2/27/11

Pertempuran Besar Kita

Benteng kuat yang sedang kita serbu bernama Benteng "Kebiasaan". Beberapa kali kita sudah coba terjang itu benteng dari pintu gerbangnya, tapi apa yang terjadi, kita mati konyol. Oh iya, tragis sekali itu. Waktu itu misalnya, benteng kebiasaan tidak biasa bangun malam diterjang dari depan, waktu itu langsung menyerang dengan bangun malam, sholat, wiridan, menulis, apa yang terjadi, pendudukan beteng cuma berhasil sampai waktu shubuh saja, sesudah itu terkapar di atas kasur sampai berkumandang waktu dhuhur.

Memang tidak mudah menguasai benteng yang satu ini, kita musti memaklumi itu. Kenapa maklum? karena kita semestinya sadar, benteng kebiasaan itu tidak didirikan sehari dua hari, tapi belasan tahun lamanya. Maka wajar kalau diserang oleh kroco-kroco kemarin sore, tidak mempan itu pasukan di dalam benteng.

Yang Sudirman teladankan, caranya adalah gerilnya. Bagaimana gerilyanya? Yusuf Mansyur pernah mengatakan, yang membuat anak-anak jaman sekarang susah sekali untuk istiqomah sholat malam adalah tanggul bernama Sholat Dhuha saja tidak mereka bangun, parit bernama Sholat rawatib tidak digali, camp pasukan bernama Puasa tidak coba didirikan. Ya pantas kita begitu lunglai tidak berimbang saat penyerangan benteng kuat itu.

Gara-gara ikut pengajian, langsung ACT NOW!, Bangun malam, sehari dua hari oke, tapi karena siangnya lemes terus, jadilah hari ketiga apatis, dan langsung main hakim sendiri dengan menghakimi diri sendiri "Ah, saya memang tidak mampu melakukannya".

Jangan begitu, main hakim sendiri dilarang oleh Gamawan Fauzi, apalagi oleh Fauzi Bowo. Yang lebih mungkin, manusia dan menyenangkan untuk dicoba adalah belajarlah membuat reward untuk diri sendiri "Celebrating!".

Yah, saya memang tidak pernah bangun malam, tapi ini mipil sudah rawatiban. Rawatib diistiqomahkan, tambahi sesekali Dhuha, dan pilihlah amalan-amalan yang enteng, sambil terus diberi sanjungan diri ini agar semakin bersemangat. Itu cara menambah dan memperkuat pasukan yang akan dibawa ke pertempuran besar kita.

Jadilah manusia proses, jangan hakimi diri sendiri dengan hasil yang kita dapat, tapi renungkanlah bahwa segala pencapaian itu berproses, makanya setiap satu milimeter tok saja pergerakan kita, tepuk tanganilah diri kita. Begitu cara bergerilya, merangsek bertahap demi bertahap, sampai mendekati benteng kebiasaan, dan tidak nyana pasukan di dalam benteng itu terkelabuhi, dan dengan tidak sadar, ternyata kita sudah menguasai benteng besar itu.

Semua butuh waktu. Semua butuh proses, kira-kira seperti ini apa ya alur penaklukan benteng kebiasaan negatif itu :


Dan kalau benteng kebiasaan positif, ya alurnya sebaliknya.

Selamat terus bertempur! Hargai setiap satu bedil serangan. Semoga menang!

2/26/11

Kotak Ajaib

Kotak Biru

Dulu saya kepengen banget punya kotak semacam ini, mbatin saya, kalau ada kotak macam ini alat tulis jadi rapi, dipandang juga jadi elegant. Sampai akhirnya bisa membeli, lalu kita beri nama ini kotak : kotak ajaib.

Dari dulu saya tidak mengerti kenapa kotak biasa macam gini kok bisa disebut kotak ajaib, hari ini saya mengerti. Ajaib dan istimewanya kotak ini adalah karena dari benda kecil macam ini bisa mengantarkan saya mendapatkan satu ilmu hikmah luar biasa.

Bahwa mendapatkan benda yang kita inginkan itu mah cuma bonus. Yang esensial, yang luar biasa  justru adalah saat kita berkemampuan untuk menginginkan(mencita-citakan)nya. Persis (ya mirip-mirip) nasehat yang saya dapatkan dari sebuah kendurian. Bahwa tercapainya sesuatu itu bonus. Yang luar biasa itu adalah kita bisa mencita-citakan pencapaian itu.

Ya iya, betul itu, bayangkan disaat miskin, makan saja sulit, puasanya saja gantian sama motor, kalau motor isi bensin hari ini, kita puasa, kalau kita makan, gantian motor yang puasa, kok di saat seperti itu bisa mikir pengen punya kotak ajaib yang harganya begitu mahal : 39.000? Hebat to?

Nah, sekarang, kotak ajaib sudah punya, punya dua malah. Tapi apa, terabaikan, kapiran, terlantar, tidak jelas gunanya.

Pesan besarnya ya itu, apapun yang sedang kita targetkan untuk dicapai, hargailah kita sudah bisa bertarget, soal tercapai itu bonus, tidak tercapai, itu wajar, biasa dan sah-sah saja.

Kepemimpinan Internal & Eksternal

Pernikahan adalah sebuah strategic colaboration yang agung memang, itulah kenapa sekalipun sejatinya pernikahan adalah sebuah amanah besar, banyak orang mencita-citakannya (termasuk saya).

Dalam sudut pandang yang luas, terbentuknya sebuah rumah tangga bukanlah soal didapuknya seorang laki-laki menjadi raja dan seorang perempuan menjadi pelayannya. Tidak, tidak demikian. Si laki-laki dan si perempuan sejatinya adalah sama-sama diangkat menjadi pemimpin.

Laki-laki memegang peranan kepemimpinan eksternal, sedangkan perempuan memegang peranan kepemimpinan internal. Kepemimpinan eksternal berpusat di ruang tamu, sedangkan kepemimpinan internal berpusat di dapur.

Kalau ada orang yang berpendapat bahwa tugas perempuan adalah di dapur saja, menyiapkan masakan dan menyajikan makanan, maka orang itu secara tidak sadar memiliki pendapat tugas lak-laki adalah di ruang tamu saja, menerima tamu sambil sesekali membaca koran.

Ruang tamu, adalah ruang penerima tamu. Ruang dimana memiliki fungsi utama untuk sarana silaturahim, dan kita tahu bersama, silaturahim berkait erat dengan rezeki, nafkah. Tugas laki-laki memanglah dalam hal pemenuhan nafkah.

Sedangkan dapur adalah tempat meracik masakan, bukan soal lezatnya, tapi juga termasuk bagaimana gizi diramu dan cinta disajikan hangat-hangat. Tugas perempuan memang membina seisi rumah.

Maka bukan alasan bagi perempuan yang belum pandai masak untuk berkilah "kalau cari yang pinter masak, nikahin pembantu aja sana."

Sepertihalnya ruang tamu bukan hanya untuk menerima tamu, dapurpun bukan sekedar memasak. Tapi penguasaan seorang perempuan akan dapur dan segala ilmunya adalah simbol, bahkan indikator, dia memiliki kesiapan untuk menjalankan kepemimpinan internal.

Karena kalau dibuat hierarki, katakanlah point-point pekerjaan fisik saja yang ada di internal, hierarki paling mendasar bukanlah menyetrika, bukan mencuci baju, bukan mengelap lemari, tapi adalah memasak.

Bahasa sederhananya beginilah kalau bingung, saya meragukan seorang mengaku open (perhatian) pada isi rumah dalam artian memelihara dan memaintenance internal rumah dengan baik sekalipun dia bersih dalam mengelap kaca, rajin dalam mencuci, tapi dia tidak bisa memasak.

Dan karena ini bukan jurnal ilmiah, sangat boleh kok dikoreksi, dibantah sekalipun.

Juga saya ingin ucapkan salut, untuk perempuan-perempuan yang sedang belajar memasak, tidak penting sudah seberapa enak masakannya, tapi gain untuk belajar memasak saja itu sudah greatfull. Sepertihalnya para lelaki yang berpayah-payah belajar mencari nafkah.

Nah, kalau ada perempuan yang sibuk, riweh, tidak punya waktu, tapi jauh dari wajan dan solet, patut ini dipertanyakan, sebenarnya orientasinya kemana : kepemimpinan internal, apa kepemimpinan eksternal?

2/24/11

Layang-Layang


Hm, kayaknya 17 tahun yang lalu apa ya aku terakhir bermain layang-layang. Lama juga yah. Kemarin pas jalan-jalan susur rel menuju stasiun Cilacap melewati pemukiman, eh ketemu anak-anak bermain layang-layang.

Menyenangkan. Apa menyenangkannya? Menyenangkannya ya kalau layang-layang yang kita terbangkan bisa tinggi, dan kita sendiri yang menerbangkannya. Bukan orang lain yang menerbangkan, terus sesudah tinggi baru dipegangin kita. Puasnya beda itu.

Hidup seperti bermain layang-layang, pergerakan anginnya ghaib alias diluar kuasa pengetahuan kita. Makanya kadang oleng, mengendor, jatuh, bergesekan dengan yang lain. Saya cuma weling pada diri saya sendiri, dan sidang jamaah sekalian (khotbah jumat kali.., haha) : kalau pas anginnya lagi enggak baik, jangan buru-buru lembek deh, terus dikasihin ke orang. Kalau baru beberapa menit orang yang kita kasihin itu sebenarnya cuma megangin, tapi beberapa menit itu angin kembali baik dan layang-layang bisa terus diulur meninggi, wah tragis yoan.

2/21/11

Ketanggungan

Sudah gelap, apalagi kalau gerimis turun, semakin terasa gelapnya melintas jalur yang disisi kirinya ada sungai buatan memanjang mendampingi jalan. Ditambah lubang-lubang dijalan yang cukup menguji suspensi kendaraan kita, sempurnalah perjalanan melewati daerah yang dinamai orang Ketanggungan itu.

Dengan kecepatan maksimal yang bisa dicapai, dan menyakitkannya lubang-lubang yang membuat kita kejeglong disana, rasa-rasanya putus asa deh berpikir Jakarta bisa dicapai hanya dalam beberapa jam. Hm, tidak enak memang ketika episose perjalanan hidup masih di area ketanggungan.  

Cengap-cengep, serasa hidup segan mati tak mampu. Membuat target-target baru hanya mencekek leher saja. Menyiapkan uang Tol Bakrie juga terlalu dini. Belum ketar-ketir rasa hati, merasa sendirian karena hanya ditemani sepinya padang ilalang dan lubuk semak belukar di kiri kanan, satu-satunya teman ngobrol hanya penyiar radio. Ada suara, dekat dan keras, tapi dia ngobrol sendiri, kita ngobrol sendiri. Hueh...

Daripada putus asa, mending jalan terus saja pelan-pelan. Yakin saja kamu tidak sedang salah jalan. Memang kalau mau ke Jakarta ya lewat situ, ketanggungan. Dan setidakenakpun trek di ketanggungan, jangan pikirkan itu, tidak selamanya kok treknya seperti itu, nanti juga ada tol pejagan, ada tol kanci ada tol cikampek.

Kalau kamu pernah ke Jakarta, dijelaskan adanya tiga tol itu mah percaya-percaya saja. Tapi coba bayangkan kalau yang diberitahu bahwa nanti juga akan ada tiga tol itu kepada orang udik, nderik, ndeso, katro yang perjalanan terjauh cuma sampai Gunung Lurah, ya butuh puluhan seminar motivasi untuk meyakinkan bahwa tol-tol itu benar-benar ada.

Jangan berhenti dulu, ini masih Ketanggungan.

2/20/11

Mood

Mood, urip kok mood-moodan. Lagi mood sregep, lagi ora mood ngapa-ngapa bebeh. Sing wis kadung di planning dadi ora tutug, sing planning anyar dadi ora kesait. Mood oh mood, ndang balio mengggone, kowe ora sanggup mimpin wadag sedununge rambut gutul sikil kiye. Mood oh mood, karepmu apa jane? gelut bae yuh!

2/17/11

18 Februari 4 Tahun yang Lalu

Auditorium UMP waktu itu diset karpet birunya Bunda Nuniek, selesai tata-tata mainan laptopnya Iyes. Zaman dimana laptop masih menakjubkan bagiku dulu. Dan saat itu, 18 Februari, Fosma Purwokerto berdiri.

Selamat hari jadi Fosma Purwokerto. Bergeraklah sesukamu, seleluasamu, tidak ada batas yang perlu membatasimu.

Hueh, jadi terkenang masa-masa jauh sebelum hari jadi itu : Gedung BPD, Dana, Rani, Isma, Iyes, Paparons, dan banyak lagi...

Pengajian Pizza

Pak kiai sedang mengajar di dalam kelas. Santri-santri disuruh belajar berkelompok. Setelah santri-santri itu berkelompok, Pak kiai menugaskan santri-santrinya untuk masing-masing kelompok membuat puisi yang bagus.

Beberapa lama mereka berdiskusi, selesailah puisi karya masing-masing kelompok. Kemudian masing-masing membacakan dan mempresentasikan. Mirip audisi penyanyi di tv, Pak kiaipun satu persatu memberikan komentar pada masing-masing puisi itu.

Maka dikatakanlah apa adanya kualitas puisi masing-masing, Pak kiai begitu lugas berkomentar negatif, bahkan mencela sekalipun. Ternyata, bukannya semangat untuk memperbaiki diri, sepertinya para santri mulai ngedrop, merasa jelek atas hasil karyanya, merasa Pak kiai kecewa pada mereka.

Tidak selang berapa lama, Pak kiai masuk ke ruang dalam dan mengambil sebuah bungkusan. Ternyata bungkusan itu berisi pizza yang sangat lezat. Hm, Pak kiai langsung menawarkan kepada semua santri : "Hayo, siapa yang mau pizza?...", dengan senyum tulus dan bersahabat Pak kiai menawarkan.

Tapi semua murid diam. Bukan karena tidak kepengen pizza itu, tapi sungkan saja. Sampai akhirnya beberapa kali Pak kiai mengulang tawarannya, hingga salah satu santri dari kelompok yang puisinya paling jelek memberanikan diri maju ke hadapan Pak kiai, dan diberikanlah oleh Pak kiai sepotong pizza kepada dia.

>>>

Sering, kita sungkan meminta padahal ingin, sering kita merasa tidak pantas mendekat padahal butuh, dikarenakan kita telah mengecewakan-NYA atas maksiat dan dosa-dosa kita. Tapi, apakah rahmat-NYA tertutup atas pengecewaan dan kesalahan-kesalahan kita itu?

<<<

Dikira oleh anak-anak yang lain, yang berhak dapat pizza hanyalah yang puisinya sempurna, tidak ada cacad dan kurangnya. Tapi ternyata, sekalipun puisinya paling jelek, ketika si santri berani mendekat Pak kiai tetap memberikan potongan pizza itu.

2/16/11

Grow


What you focus on : GROWS!

Apa yang kamu fokuskan : itulah yang akan tumbuh.

Pengajian Sambal

Ada seorang anak yang disuruh oleh seseorang untuk membelikan sesuatu di sebuah restaurant. Apa yang disuruh untuk dibeli? Seporsi bebek asap? Jus alpukat? Atau... bukan, bukan, tidak usah menebak-nebak.

Yang disuruh untuk dibeli oleh anak itu hanya sambalnya saja, sambal dari sebuah restaurant bebek mewah di kota itu. Dan anak itu hanya diberi bekal 1.000 rupiah saja.

Menghina bener ini yang menyuruh!!!

Ya, pertama mendengar cerita ini sebagaimana kebanyakan orang sayapun yang terlintas dipikiran adalah kata-kata itu. Kalau Anda juga, berarti kita sama, toss.... Tapi, betulkah ini sebuah penghinaan? Kita lanjutkan kisahnya dulu sebelum menyimpulkan.

Dengan tidak bertanya apalagi membantah anak itu pergi ke restaurant dimaksud, ia tidak menyodorkan uang 1.000 rupiah untuk membeli sambal. Apa yang ia lakukan?

Yang dia lakukan adalah ngobrol dengan pelayan restaurant itu, obrolan sudah mulai nikmat, tibalah pada point sambal : "Ngomong-ngomong sambal disini terkenal enak ya?"

"Gimana si cara bikinnya, saya pengen bikin sendiri dirumah", Daripada repot-repot menjelaskan cara membuat sambal, maka disodorkanlah sambal yang sudah jadi ke anak itu dengan sukahati.

Dan akhirnya anak itu bisa pulang membawa sambal, tanpa mempermalukan diri menyodorkan receh 1.000 rupiah untuk membeli.

***

Bukan menghina, hanya saja orang yang menyuruh itu percaya bahwa anak itu bisa kok, punya caranya kok. Sebuah penghargaan, malah.

Begitu pula, kata ustadz, masalah itu datangnya dari Allah SWT. Nah, bisa jadi Allah memberi masalah adalah karena menghargai kita, menghargai bahwa kita mampu.

"La yukallifullahu nafsan illa wus'aha".



Ini sekedar sekelumit pelajaran dari sekelumit sambal yang semoga menuju ke arah tauhid.

Empat Banding Satu

Mengaku
1. Mengaku, Dia Tuhan Alam Semesta
2. Mengaku, Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang
3. Mengaku, Dia menguasai hari pembalasan
4. Mengaku, hanya kepadaNya menyembah dan memohon pertolongan


Meminta
1. Meminta ditunjukkan jalan yang lurus, jalannya orang-orang yang diberi nikmat, bukan jalannya orang yang dimurkai, bukan juga jalannya orang-orang yang sesat.




Sumber : Ki Nur, Cilacap.

Mendaki Puncak Ikhlas

Kalau kamu tidak suka durian, lalu durian yang kamu miliki diminta orang lain, dan kamu memberikan. Apakah itu bisa dinamakan ikhlas? Kalau kamu sangat menyukai apel, lalu apel yang kamu miliki diinta orang lain, dan kamu memberikan. Apakah itu bisa dinamakan ikhlas juga?

Bagaimana perbandingan kedua ikhlas itu? Atau sama saja?

Kalau kamu ikut balap karung dengan modal karung pinjaman, lalu kamu tidak mendapat hadiah juara, dan kamu tetap bahagia. Apakah itu bisa dinamakan ikhlas? Kalau kamu ikut balap karung dan kamu menggunakan karung yang kamu beli sendiri di tempat yang jauh hanya untuk balap karung itu, lalu kamu tidak mendapat juara, dan kamu tetap bahagia, Apakah itu bisa dinamakan ikhlas juga?

Samakah kedua ikhlas itu? Atau berbeda, kalau berbeda bagaimana perbandingannya?

Kalau kamu merasa cukup hidup biasa-biasa saja, lalu kamu menjadi orang biasa-biasa saja, lalu melihat orang lain yang berhasil menjadi orang (berkontribusi) besar. Lalu kamu tetap bahagia. Apakah itu bisa dinamakan ikhlas? Kalau kamu ingin menjadi orang besar, lalu kamu mempertaruhkan semua yang kamu miliki, nama baikmu, masa mudamu, harta bendamu, kesenangan-kesenanganmu. Lalu kamu gagal mencapai yang kamu inginkan itu, tapi kamu memilih tetap untuk bahagia. Apakah itu bisa juga dinamakan ikhlas?

Samakah kedua ikhlas itu? Bagaimana perbandingannya?

Apakah memang ikhlas berjenis-jenis?

2/10/11

Munajat Malam Jumat Ini

Tuhanku Yang Maha Benar,

Aku datang berserah kepada-Mu
karena telah letih ku bernafas
dalam rasa khawatir dan takut
akan ketidak-pastian ini.

Tuhan kecintaan hidupku,
sesungguhnya kedamaianku
hanya seperkasa keberserahanku
kepada kekuasaan-Mu.

Aku mohon Engkau menegaskan hatiku
untuk menetapkan pilihanku,
yang walau tepat atau tidak,
adalah jalan menuju kebaikan hidupku.

Amin...

2/9/11

Sembarangan

Bolehkah kita berbuat sembarangan? Jawabannya, tergantung. Loh? Iya, kalau disitu ada tulisannya dilarang buang sampah sembarangan, maka berarti kau harus buang sampah dengan cara yang santun, tidak sembarangan.

Saya lupa siapa yang ngomong, yang jelas dia seorang pakar dan praktisi pendidikan. Pesannya begini, kalau masih muda, berbuat salah itu tidak apa-apa. Loh? Iya, mending berbuat salah daripada tidak berbuat. Tapi... kalau sudah tua, ada saatnya berbuat salah itu tidak boleh.

Berbuat sembarangan itu boleh, kalau belum nyunggi wakul, kalau belum menyunting pasangan, kalau belum mengemban amanat. Tapi kalau sudah menyunggi wakul amanat, harus diminimalisir itu mood dan hasrat untuk berbuat sembarangan.

Percayalah, ada hal-hal dimana salah itu adalah sesuatu yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Contohnya kita tahu lah, misalnya, melingkari bunderan lembar jawab ujian calon pegawai, atau memasukkan nomor rekening transfer, atau, banyaklah lainnya.

Hal-hal itu, ada.

2/8/11

Menakar Kedewasaan

Sederhana, cukup dengan menghitung ketiga hal ini

Berapa kali memberikan apresiasi?
Jadi misalnya orang itu sedang cerita tentang sesuatu, tiba-tiba disempilkan "nah, ini kamu jago banget kalau soal ini", atau misalnya dalam bentuk pujian-pujian. Ini bagus, untuk membuat kesan.

Berapa kali memberikan jeda? 
Jadi misalnya Anda cerita, dari cerita Anda selesai ada 1-2 detik tidak sebelum dia merespon? Semakin lama detiknya semakin bagus, artinya cerita Anda diserapnya ke otak. Tapi kalau boro-boro jeda, malah Anda belum selesai cerita sudah di cut, nah ini nih...

Berapa kali mengatakan "kalau saya"?
Kalau Anda bercerita apa, lantas dihubungkan dengan cerita yang nyambung dengan diri orang itu. Lebih bagus merespon dulu sebelum mengaitkan dengan kisah yang ada hubungannya dengan Anda. Karena bagaimanapun, walaupun kisah itu mirip, tapi tetap kisah itu kan kisah berbeda.

Selamat belajar.

Sepaket

Adikku pintar, disodori komik tokoh dunia saja dia bisa memetik pelajaran-pelajarannya tanpa aku dikte. Tapi kadang adikku juga nakal, disuruh mandi susahnya minta ampun. Tapi ya itulah, sepaket anugerah Tuhan bernama adikku.

Sayang, hanya kepada adik, kakak, orang tua saja kita menyadari bahwa plus dan minus yang ada di dirinya itu sepaket. Pada teman kita, klien kita, orang lain tidak begitu. Kalau ada kekurangan, muak-muaklah kita, lupa kalau sekecil apapun orang lain itu juga punya kelebihan.

Terimalah siapapun sepaket. Belajar pelan-pelan.

Dramatugi

Di dalam training ada dramatugi. Di dalam blog juga ada dalam dramatugi. Dihadapan orang lain kita berdrama, di hadapan pohonpun kita berdrama, bahkan dihadapan diri sendiripun kita berdrama. Kapan kita menjadi diri sendiri? Tidak pernah ada waktu untuk itu.

2/7/11

Pribadi Haji

Kali ini saya dapat dari Cak Nun, ini mungkin ilmu sesat, tidak ada tuntunannya, tidak ada di deretan buku-buku komprehensif perpustakaan atsar sahabat, tapi ada di laboratorium implementatif keseharian kita.

Ada saja cara manusia mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai upaya, ikhtiar, perjuangan untuk mengenali dirinya sendiri. Kata Cak Nun, diantara 5 rukun Islam, bisa diidentifikasi dominasi pribadi kita. Kalau Cak Nun sendiri, termasuk pribadi puasa. Puasa itu esensi maknanya adalah menahan dari sesuatu perbuatan yang sebetulnya boleh saja kita melakukan.

Dari kecil dia puasa, menahan dari semua keinginan dunia, tidak ingin jabatan, tidak ingin dikenal, tidak ingin kaya raya,. bahkan tidak ingin istri (Tapi kok dapat Novia Kolopaking).

Ada pribadi lain, misalnya Ary Ginanjar, dalam penilaian saya, beliau memiliki pribadi sholat. Dituturkan oleh asistennya, Pa Ary adalah orang yang sangat gemar belajar, dia terus menempa karakternya, dari karate, samurai sampai kemanapun sumber ilmu ia timba, ia gali lalu ia formulasi.

Berbeda dengan Mas Hendro, dimata saya Mas Hendro termasuk pribadi zakat. Bukan karena hobinya yang mentraktir saja, tapi memang sepertinya Mas Hendro paling hobi beramal baik dengan memberi, memberi ruang untuk berbagi, memberikan apresiasi, memberikan perhatian, memberikan kesabaran, memberi apa saja.

Kalau saya sendiri, baru teridentifikasi sebagai pribadi haji. Bukan atas keinginan kuat saya untuk sesegera mungkin ziarah ke tanah suci, tapi dalam laku kehidupan saya saya gemar sekali menggali makna, salah satunya dari proses sa'i. Saya adalah penikmat sa'i.

Dari jamannya pramuka saya membuat rute mencari jejak, menyiapkan soal-soal dan permainan dari pos demi pos, tanpa berpikir, ini saya dapat untung apa ya? Sampai akhirnya punya beberapa perusahaan-perusahaan kecil seperti ini. Berapa sering saya salah ngitung order dan walhasil saya tidak dapat untung bahkan rugi, tapi tetap saya jabanin. Berapa sering saya dapat untung belum juga dinikmati itu untung sudah harus untuk menutup utang dan kerugian usaha saya yang lain. Dan saya enjoy-enjoy saja sepanjang masih bisa makan, tidur dan jalan-jalan.

Begitupun saya lontar jumroh bukan cuma 31 kali, tapi ribuan kali, dan setan di dalam diri belum juga terusir. Dan hobi saya salah satunya adalah wukuf, di atas gerbong kereta bahkan di atas motor.

Dan ilmu-ilmu hikmah hasil perenungan dari setiap laku wukuf, sa'i, lontar jumroh itu saya tambatkan dalam putaran-putaran tawaf, salah satunya dalam bentuk tulisan, salah satunya dengan blog ini.

Saya banyak dosa, tapi saya bersyukur, saya masih dipilih-Nya menjadi pribadi yang mencintai ilmu, yang merasakan kenikmatan ketika mendapat ilmu baru, yang diberi gairah untuk selalu mengilmui segala sesuatu. Sefasik-fasiknya saya, saya tidak dicueki-Nya.

Kata Eko Laksono kunci perubahan spektakuler kan belajar, dan bukankah inti belajar adalah ilmu. Jadi, saya masih punya peluang untuk berubah secara spektakuler, fenomenal, bombastis.. (*kata Marsela)

Nah, saya belum menukan siapa contoh pribadi syahadat. Anda kah?

Bernyawa Sembilankah Kamu?

Kali ini saya dengar dari Danang, teman baik saya. Seorang peworo entrepreneurship ulung, yang setelah bosan berbisnis, ia penasaran mencoba peruntungannya di PNS, dan walhasil tak disangka ternyata diterima. Dalam ke-PNS-annya sepertinya hidupnya belum berakhir, PNS belum menjadi surga baginya, makanya dia masih suka berceletuk aneh.

Salah satunya adalah celetuk pertanyaan di FB nya beberapa hari yang lalu : Lebih baik hidup biasa, tapi berkecukupan, atau hidup spesial, dengan segala resiko konsekuensinya?

Diantara pemberi komen ada yang menjawab, mending hidup biasa, ada juga yang mengatakan lebih baik hidup spesial. Ya, hidup adalah pilihan. Bagi yang merasa nyawanya 9 dan umurnya lama, hidup biasa itu menyenangkan, tapi bagi mereka yang sadar nyawanya satu dan waktunya sebentar, akan sangat sayang kalau hidup kok tidak dibuat spesial.

Ini mungkin lebih bisa menjelaskan ketimbang postingan saya beberapa waktu yang lalu tentang Jangan Samakan Mereka. Bukan soal pegawai dan penguasaha secara profesi dalam artian sempit perbandingan kemuliaan itu, tapi pada visi besar dan visi kecil yang terwakili oleh dominasi masing-masing golongan itu.

Kalau Anda termasuk orang yang menjawab pertanyaan Danang itu dengan jawaban pertama, koreksilah pengertian Anda tentang arti hidup, Anda belum memahami arti hidup Anda sendiri. Kalau Anda termasuk penjawab jawaban kedua, juga koreksilah diri Anda, sudahkah Anda fokus di penanganan resiko menuju pencapaian, atau sebatas fokus pada peng-angan-an kenikmatan pencapaian?

Pendekar Harum

Modeling kesuksesan saya bergerak dari waktu ke waktu. Pre-school, zaman saya TK bahkan sebelum TK, model kesuksesan saya adalah artis masa kini, pakai baju santai sambil menyetir mobil mewah, disukai banyak teman wanita dan yah, indahnya dunia.

Lalu bergerak, ketika SD, walaupun disuguhi Wiro Sableng berlebihan, modeling saya tidak pada pemilik kapak 212 itu, saya memodel pendekar harum. Menjadi pribadi yang berpembawaan kalem, tapi dibaliknya dia sakti dan tersohor. Sempurnalah menjadi seperti itu.

Ketika beranjak SMP, berubah lagi, kali ini model saya adalah Habibie. Ilmuwan yang terkenal karena penemuannya, betapa bangganya bisa seperti itu. Haha, masih ingat dulu saya membayangkan masuk sekolah analis kimia SMAKBO, dan mencari-cari informasi tentang sebuah sekolah ilmuwan berbeasiswa VEDC Malang, atau berrembug mendalam dengan seorang teman untuk bercita-cita masuk ke President University.

SMA berubah lagi, kalau SBY tidak wagu-wagu amat sebenarnya saya memodel beliau, tapi sayang dari periode pertama saja saya sudah membawa kewaguannya. Saya akhirnya tidak memodel tokoh, saya hanya memodel kedudukan : Presiden.

Presiden inipun terbagi dua fase modeling, fase pertama : Saya fokus berorientasi ke kemewahannya, mewah istananya, fiuh betapa senangnya bisa mencutri jepret di beranda istana, sebuah tempat yang dilarang berfoto disitu, termasuk foridernya, dan semua orang yang menghormat ketika upacara HUT kemerdekaan.

fase kedua : saya fokus ke kebesaran pribadinya, bagaimana menjadi seperti Ahmadinejad, yang presiden tapi berbeda dari kebanyakan, hidup sederhana tapi besar kontribusinya.

Dipikir-pikir jadi presiden capek juga, maka ketika kuliah, model berubah lagi, semua teman dekat saya tahu siapa model selanjutnya : Ary Ginanjar. Ya, bagaimana menjadi tokoh public (umum) atau tokoh swasta, tapi bisa membangun bangsa dengan PT Arga Bangun Bangsanya.

Dan sebentar lagi saya lulus, siapakah model baru berikutnya? Caknun? Sunan Bonang? Abdurrahman bin Auf? atau yang lain?

Kalau dikaitkan dengan diagram maslow, yang menjelaskan tentang hierarki kebutuhan manusia, bergantinya model dari waktu ke waktu adalah tanda yang positif, tanda bahwa kita terus belajar, tanda bahwa sikap "ndunya" kita itu mengikis dari waktu ke waktu, sampai mudah-mudahan waktunya cukup nanti untuk mengatakan "Laa" pada dunia.

Kalaupun waktu tidak cukup, toh, kita sedang menuju kesana.

Looking Forward

Kali ini saya mendengar dari Mas Tampo, trainer pertama yang saya kenal dan ketemu langsung ya beliau. Zuly Husni Tampo nama lengkapnya, saat ini sudah resign, bersama beberapa rekan mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang travel umroh dan haji.

Kemarin bertemu dan dengan sedikit nakal saya bertanya-tanya alasan beliau resign dari ESQ, hm, tidak saya share disinilah, yang jelas beliau keluar bukan karena metodologi dan materi training ESQ, dia bilang : ESQ is still the best training, the best method for me.

Betul juga, metode training ESQ adalah mahakarya kekayaan bangsa, satu output ikhtiar manusia yang luar biasa cerdasnya, sedangkan Mario Teguh atau Caknun sekalipun tidak menguasainya. ESQ hanya kekurangan daya dukung pengembangan dan keberlanjutannya.

Lalu apa yang saya dengar dari Mas Tampo? Beliau berpesan : Looking forward.

Pandang kedepan, masa lalu cukup jadikan pijakan. Rindu suasana masa lalu, membangga-banggakan prestasi masa lalu, apalagi menyesali diri atas kesalahan masa lalu secara berlebihan, tidak usah semua itu kalau tidak bernilai konstruktif ke depan.

Betul juga, kalau tiga kali gagal energi kita berkurang 30%, lah kalau 11 kali gagal bagaimana? gagal menjadi pengurang energi hanya ketika kita terlalu menatap ke belakang. Copot saja spionnya.

Sebesar apapun kesalahan yang pernah kita perbuat, sebanyak apapun saldo dosa masa lalu kita, seburuk apapun kuantitas kegagalan kita, Mas Eko Laksono bilang, manusia mempunyai suatu kemampuan sangat luar biasa, yakni kemampuan untuk belajar dan berubah.

Silahkan beli bukunya di Gramedia, Imperium III cetakan terbaru, betapa sejarah telah menunjukkan pada kita begitu banyaknya orang-orang bodoh yang belajar dengan spektakuler, orang-orang lemah yang belajar dengan bombastic dan pada akhirnya mereka bisa berubah dengan luar biasa menjadi seorang yang luar biasa.

Just Looking Forward. Sekali lagi, copot saja spionnya kalau belum bisa menggunakannya.

Budaya Kerja

Saya dengar dari Jamil Azzaini yang menuturkan dari sebuah sumber, katanya : "Perusahaan sekecil apapun, haruslah punya budaya kerja".

Tentu bukan hanya untuk perusahaan, untuk semua organisasipun kredo ini berfungsi. Syukurlah masih ada budaya kerja disini, sekalipun salam semut dan sholat berjamaah sudah memudar, budaya yang tersisa diantaranya adalah tidak boleh meletakkan gelas di atas meja komputer, menyandarkan jaket di kursi dan memprioritaskan Aqua gelas hanya untuk tamu.

Satu persatu budaya kerja lainnya secara evolusioner, sampai lahirnya peradaban baru, komunitas yang lebih fresh, mudah-mudahan akan terwujud. Coba di chek di komunitasmu, di perusaanmu, atau sekedar di kost mu, ada budaya kerja apa saja? Jangan sampai tidak ada.

L22 Titik Tengah Griya Satria 2

Setidakpunya uang apapun, saya ingin tetap mempertahankan L22, mudah-mudahan suatu saat nanti sampai bisa dimiliki. sebelum menjelaskan alasannya, saya ingin berbagi tentang L22 itu sendiri terlebih dahulu.

L22 berada di titik tengah perumahan Griya Satria Indah II, ada 7 gang paralel yang berjajar dari selatan ke utara, dan L22 ada di gang keempat. L22 merupakan rumah kontrakan 3 kamar termurah di perumahan itu, dan bahkan mungkin di seluruh kota Purwokerto. L22 memiliki lahan terbuka yang cukup luas, bila digunakan untuk lahan pertanian, subur luar biasa, pernah dibuktikan dulu untuk menanam kacang panjang, sampai Pak Slamet, petani yang menanam itu heran sendiri, pohon kacangnya lebat sekali.

L22 memiliki daya listrik yang cukup, 1350 watt untuk ukuran rumah diperumahan. untuk ke warung kelontong, cukup berjalan setengah menit, karena diseberang jalan hanya selisih satu rumah itu sudah warung. Untuk makan, cukup ke ujung gang, melewati 10 rumah saja ada nasi rames ambil sendiri, untuk ke Masjid cukup 3 menit saja dan masjidnyapun lumayan hidup.

Kalau ingin mie ayam yang merupakan salah satu mie ayam terenak di Purwokerto, ada di sebelah utara perumahan tidak lebih dari 500 meter. Jarak yang sama di sebelah selatan disiagakan sekitar 6 unit pemadam kebakaran, karena kebetulan kantor pemadam kebakaran kabupaten baru pindah kesitu.

Di ujung gang, sebelah warung rames yang disebutkan tadi ada akses terobosan untuk keluar perumahan yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, apabila perumahan dikepung musuh, bisa lari dari jalan itu, karena disebelah situ perumahan berbatasan langsung dengan asrama polisi dan sekolah polisi negara.

Dan mungkin masih banyak lagi lainnya. Untuk mendeteksi keberadaan L22 cukup mudah, lihat saja rumah yang memiliki pemancar antenna wifi paling tinggi, itu adalah L22.

Kalaupun saya mampu membeli ruko 1 M di sebelah Moro, itu tidak bisa menggantikan arti L22 sepenuhnya. Karena pembelian ruko itu tidak sepaket dengan membeli struktur sosial disekelilingnya. Interaksi yang baik dengan tetangga-tetangga bisa dilakukan dengan mudah dan menyenangkan di L22.

Dan kalaupun saya punya ruko, belum tentu absah untuk melakukan segala kegiatan yang ada, dari mengeprint surat, browsing info pameran sampai mengemas produk. Hanya di L22 lah segala aktivitas dari segala organisasi sah adanya, dakwah manhaj apapun boleh disini, menjalankan usaha apapun bahkan sekedar tidur sepanjang haripun boleh disini.

L22, sebagian mungkin sadar dan sebagian mungkin tidak tentang arti pentingnya. Sebuah rumah kebebasan yang telah banyak berkontribusi untuk banyak orang, bahkan mungkin untuk Indonesia. Sekalipun tidak pernah mendapat award social entrepeneurship, sekalipun belum pantas untuk bertestimoni kesuksesan bisnis di Entrepeneur University (EU), sekalipun tidak layak disebut tempat tinggal karena tidak ada satu dipanpun disana.

...

Cutting The Edge

Kalau istilah ini saya pertama dengar dari Hilmy, Cutting The Edge maksudnya itu melintas Zaman. Di zaman musik itu seperti ini, itu, anu dan ono, Frau mengaransemen sesuatu yang berbeda, musik masa depan mungkin.

Berandai-andai, sekiranya saya tidak dilahirkan di tahun 1987, tapi di zaman pra kemerdekaan, dimanakah posisi saya? Apa saya menjadi kopral yang mempertahankan merah putih, atau menjadi inlander, demang-demang kesayangan Belanda?

Kalau saya hidup di Badui yang jahiliyah, zaman dimana Rasulullah SAW belum lahir, apakah saya termasuk orang yang resah dengan dengan kondisi masyarakat saat itu, atau saya termasuk salah satu pelaku budaya mengubur hidup-hidup bayi perempuan?

Kalau saya hidup di zaman Galileo Galilei, apakah saya termasuk orang yang menerka-nerka yang disampaikan Galileo itu benar bahwa bumi itu bukan pusat edar, dan kemudian saya jadi muridnya, atau saya termasuk santri gereja yang alim di saat itu yang mendukung hukuman mati untuk Galileo yang sudah melanggar kebenaran yang disampaikan al kitab?

Dan saya hidup di zaman ini, zaman dimana orang belum dikatakan sebagai orang kalau belum punya gaji minimal 1.000.000 perbulan. Zaman dimana siklus hidup ya lahir, sekolah, kerja dan mati. Zaman dimana untuk dikebiri imajinasinya oleh dosen seseorang harus membayarnya mahal-mahal. Zaman dimana menjadi kuli bangsa lain itu mulia, ketimbang merintis sesuatu sendiri yang gagal melulu.

Pertanyaan untuk tiap-tiap kita, atas pola pikir yang terbangun saat ini di alam pikiran kita. Betulkah itu keberanan hakiki? Atau sekedar kungkungan lingkungan? Lingkungan dalam arti sempit, lingkungan RT dan RW kita, atau lingkungan dalam arti luas, yakni zaman kita. Pernahkah kita berpikir meloncat-loncat zaman? Zaman dimana PNS belum pernah ada di negeri ini, zaman dimana gadis-gadis dinikahkan dalam usia belia tanpa memandang pekerjaan si calon suami, zaman dimana kondisinya berbeda bahkan bertolak belakang dari zaman dimana kita hidup saat ini.

Saya masih berandai-andai, seandainya saya lahir di ruko-ruko china, bukan di dukun bayi Jawa, apakah saya akan berprinsip seperti china-china itu : lebih baik menjadi kepala kucing, daripada menjadi ekor harimau. Sungguh, keyakinan saya sedang diuji. Tapi kata Mas Hendro kemarin : bertahanlah.

Etika, Estetika & Saintika

Kebenaran, keindahan dan kebaikan itu adalah satu paket. Peci sejelek apapun tidak sepatutnya diletakkan di bawah kaki, begitu juga sandal sebagus apapun tidak match diletakkan di atas kepala.

Benar dan tidak benar itu ada di dalam etika. Indah dan tidak indah itu ada di dalam estetika. Baik dan tidak baik itu ada di dalam saintika. Dunia politik Indonesia saat ini dipenuhi orang-orang pandai yang mengerti sesuatu yang baik dan tidak baik, mereka mengerti saintika, tapi mereka kurang dari segi etika dan estetika. Maka wajar, banyak rakyat muak dengan mereka.

Berbeda dengan dunia pesantren, mereka mengerti tentang benar dan tidak benar, mengerti tentang etika, tapi mengenyampingkan estetika dan menomorduakan saintika. Keindahan berpakaian, keindahan berinteraksi sosial lemah, begitu juga pelajaran-pelajaran sains dianggap lebih rendah dibanding ilmu pelajaran agama. Maka wajar, mereka terpinggirkan dari simpul-simpul pengaruh di masyarakat bahkan sebagian dari menjadi pengemis infak di jalanan.

Sebetulnya ilmu ini bukan ilmu baru, dari 8 tahun yang lalu saya dapati dari Ary Ginanjar di bukunya saya sudah dikenalkan tentang konsep ketiga hal ini, etika itu kecerdasan spiritual (SQ), estetika itu kecerdasan emosional (EQ) dan Saintika itu kecerdasan intelektual (IQ).

Gemar Masturbasi

Dua istilah berikut ini saya kenal dari Kompasiana : senggama dan masturbasi. Seorang netizen dikatakan gemar senggama karena ia suka menulis yang dikomentari, atau tulisan dan komentarnya hidup, atau pada beberapa kasus dia suka menulis topik atau jenis tulisan yang kira-kira akan banyak mengundang komentar, atau memang tulisan dia menarik sehingga orang banyak mengomentarinya. Ada interaksi dua arah antara penulis dan pembaca.

Sedangkan dikatakan gemar masturbasi, bila seorang netizen suka menulis untuk dia konsumsi sendiri. Tidak peduli ada yang komentar atau tidak, tidak peduli tulisannya tidak menarik bahkan jelek sekalipun, dia menikmati aktivitas menulis untuk dinikmati sendiri. Termasuk yang mana Anda? Atau bisa saja keduanya, kadang senggama, sesekali masturbasi. Atau Anda netizen yang tidak gemar menulis?

Pesan bijak dari seorang kawan netizen kemarin : Kurangilah membaca untuk bisa lebih banyak menulis.

2/6/11

Menggunakan Akal Semata?

Kesekian kalinya, mendapati kalimat-kalimat dari calon penghuni surga seperti ini :

astaghfirullah,,,,,,,,,,,
dakwah termasuk amal ibadah,
syarat diterima nya amal insan manusia disamping ikhlas harus ikut contoh nabi.
kalau mengikut contoh nabi,hendaklah menggunakan kalamullah dan sunattallah dan atsar para sahabat, dan ulama 2 yg i`tiba kepada mereka.bukan menggunakan akal semata.
jazakallahu khairan ....

Pandai sekali mereka menghakimi, bahwa orang2 yang menggunakan akalnya untuk mentadzaburi Al Quran dan Sunnah itu disebut tidak mengikuti contoh nabi. Bahwa ia menggunakan akalnya doank, bahwa ia menjadikan akalnya sebagai hakim.

Padahal, para mujtahid (orang-orang yang berijtihad) itu, apakah betul ia hanya menggunakan akal? Data darimana? Ia menggunakan panca indera, perasaan, qalbu, memori membaca sejarah, visi menatap masa depan, modalitas kepemimpinan mendefinisikan realitas permasalahan disekelilingnya, intinya mereka menggunakan semua yang ada dalam diri (badan dan jiwa) nya untuk menelaah sumber-sumber kebenaran.

Ingat postingan saya beberapa waktu lalu, tentang substantif, komprehensif dan implementatif. Bagi mereka yang menulis di bold italic itu, saya menangkap mereka adalah orang-orang yang menganggap kebenaran itu cukup pada dimensi komprehensif saja. Sudah, kebenaran simpan di perpustakaan saja, jangan diotak-atik, jangan diformulasi menjadi sesuatu yang implementatif nanti malah rusak aqidahnya, nanti malah tidak sesuai tuntutan! seperti itu mungkin yang mereka pikirkan.

Islam itu bukan rahmatan lil alamin, Islam itu bagaimana kita murni dan masuk ke surga, orang lain biar sesat kita jangan ikut-ikutan, nanti malah kita ikut rusak. Islam itu nilai yang harus tersimpan rapi dalam perpustakaan, bukan dalam pabrik-pabrik implementasi solusi atas masalah-masalah yang dihadapi umat manusia.

:: Kutipan dari sini

2/2/11

Jangan Samakan Mereka

Pengusaha itu lebih mulia. Orang yang bervisi besar itu lebih mulia. Sekalipun pesan Tuhan cukup simple, "jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" itu dimata Tuhan cukup, tapi tetap mereka yang berkontribusi lebih besar, pasti lebih besar pula kemuliaannya. Selalu ada nilai A dan B di atas nilai C (C=cukup).

Begitupun, sekalipun jalannya para employee itu tulus, ikhlas, loyal yang ketiganya merupakan percikan dari sifat-sifat mulia. Tapi tetap bukan pembenaran untuk menyatakan alasan bahwa pengusaha atau employee sama kedudukannya.

Dua paragraf di atas silahkan diulang sekali lagi membacanya, kali ini jangan sambil engkau berpikir bahwa aku adalah seorang pengusaha. Bukan, sama sekali bukan, aku hanya seorang yang masih belajar jadi pengusaha? Kenapa belajar menjadi pengusaha, bukan belajar penjadi employee?

Begitupula, jangan membaca dua paragraf teratas itu sembari beranggapan bahwa aku seorang yang bervisi besar, sama sekali bukan, aku hanya punya angan-angan yang besar saja. Ya, hanya angan-angan.

Aku menulis ini, bukan untuk diriku, kehormatan dan kemuliaan diriku, bukan, sama sekali bukan. Karena betul-betul aku tidak pantas untuk merasa termasuk. Aku menulis ini sebagai bentuk penghormatan kepada mereka, yang telah mengorbankan diri dan memilih jalan pengusaha, yang telah mengenyampingkan diri sendiri dan memilih mempertaruhkan umurnya untuk visi besar bagi sesama.

Sungguh kurang tepat, kalau kau samakan kedudukan tinggi yang mereka pilih dengan sadar dan dengan pengorbanan, dengan kedudukan orang-orang yang memilih jalan biasa.

2/1/11

Ngangsa

Cita-citaku, itu diluar kapasitasku. Membangun Indonesia, lebih-lebih. Memberdayakan masyarakat, apalagi. Aku terlalu kecil untuk mewujudkan semua visi dan mimpi besar yang meloncat-loncat di benakku.
Kurva (1) : orang mengira, jalan kesabaran itu menjauhi pencapaian

Kalau di gambar itu, aku termasuk orang yang berkeras berlari ke kiri. Mengejar pencapaian, padahal tidak punya kapasitas yang memadai. Itulah orang yang ngangsa. Ibaratnya cuma modal sepeda onthel kok mau ke Papua. Disaat yang sama aku alergi dengan kesabaran. Yang aku pahami sabar adalah bentuk ketidakberdayaan, sabar itu tidak enak.

Hm, tapi benarkah penililaianku itu? Ternyata kalau aku berjalan ke arah sebaliknya, bukan ngangsa jalan ke kiri, tapi justru jalan ke kanan, eh ternyata jalan kesabaran itu justru kalau terus dijalani akan bertemu dengan pencapaian yang kita impikan, itulah titik persinggungan yang bernama keberuntungan.

"Sopowonge sabar, bakal bejo"

Percayalah, setiap tirakat kesabaranmu adalah untaian anak tangga menuju titik persinggungan dengan pencapaianmu. Meskipun di awal kau pandang jalan yang kau pilih berlawanan, tidak sebagaimana lazimnya orang-orang digenerasimu, dilingkunganmu.

Kurva (1) yang diperpanjang : Padahal pada suatu titik, jalan kesabaran akan bersinggungan dengan titik pencapaian, malah jaraknya lebih dekat.