4/30/11

Harus Mau "Antri"

Pembelajaran bisnis yang paling istimewa diantaranya adalah dari orang China dan Barat berikut ini, di China yang membuat bank terbesar di Indonesia, BCA, kalau jadi nasabah, kita dipaksa untuk mengantri saat setor atau ambil uang manual. Kalau Barat, di KFC, bukannya pelayan melayani kita, tapi kita ngantri memesan dan membawa baki sendiri.

Mengantri, adalah sebuah keharusan yang bukan hanya di tempat2 macam BCA dan KFC. Kesediaan diri untuk mengantri adalah syarat umum untuk seseorang yang mau sukses di jalan usaha.

Kisah pemilik warung tenda Pecenongan yang ada di pertigaan Ringin Tirta (Lapangan Glempang) mungkin bisa memperjelas maksud "antri" disini. Begini kisah singkatnya, si pemilik warung tenda pecenongan dulunya adalah penjaja belut, umurnya saat ini sepantaranku, tapi suksesnya jauh membubung di atasku. Dia awalnya membeli belut, kemudian memberishkannya dan mengadoninya dengan bumbu. Lalu, belut siap goreng itu ditawarkan ke warung-warung.

Itulah awal dia memasuki antrian. Sungkan, malu, gamang, itu adalah produk hormon alamiah yang dialami setiap pemula, lucu kisah si Pecenongan ini, karena sewaktu pertama kali, dia menyewa 2 orang temannya hanya untuk menjadi teman berdiri, saat menawarkan belutnya ke warung-warung di sekitaran Unsoed. Dan 2 temannya itu diimbal sewa dengan ditraktir makan.

Aktivitas itu dilakukan, sampai setengah tahun lebih kurangnya, sampai dia ditawari mengakuisis sebuah warung tenda, yang saat ini ramai dikenal sebagai warung tenda Pecenongan. Tapi bukan kisah akuisisi ini yang mau aku ceritakan. Kembali ke soal "antri" tadi.

Seiring dengan berjalannya waktu, dia berjualan belut, pada akhirnya dia menemukan satu celah, dimana stokist burung puyuh kosong. Sehingga saat ini, dia menjadi pengedrop burung puyuh di banyak warung di Purwokerto, sampai 80 ekor perharinya.

Nah, inilah yang aku maksud "antri". Menjajakan belut adalah bentuk dia sudah mengantri. Sambil mengantri, sambil berdiri, sambil kadang lapar, kadang gerah, kadang pegel, dia terus ada dalam antrian. Sampai akhirnya ada loket peluang terbuka, peluang itu adalah burung puyuh.

Peluang burung puyuh itu kenapa tidak jatuh padaku, misalnya. Jawabannya adalah, karena aku tidak ikut mengantri, mana mungkin kebagian antrian rejeki burung puyuh.

Itulah, silahkan dielaborasi sendiri. Betapa usawahan pemula itu inginnya enggak usah ngantri karena membuang waktu, pegel, haus, dan maunya langsung dapat peluang basah menggiurkan. Tapi pada kenyataannya, orang yang mau mengantri biasanya lebih diprioritaskan Tuhan untuk mendapatkan hal-hal besar, kitimbang orang lain yang hanya dari jauh menerawang.

Teknis datangnya loket rejeki semacam itu sedikitnya ada dua macam, bisa dsuatu waktu sudah ada sirkulasi bisnis, tetapi di satu waktu kosong dan kita masuk. Atau bisa jadi tidak ada riwayat sirkulasi bisnis apa-apa, semata-mata kita mengkreasikan hal baru seiring dengan sudah seberapa maju langkah kita di dalam antrian.

Belajarlah untuk bersabar mengantri.

4/29/11

Crack!

Sekarang jadi tahu aku, kenapa orang enggan jadi pengusaha. Pengusaha itu susah, susahnya minta ampun. Belum berhasil harus prihatin, sudah berhasil disiriki orang. Belum berhasil harus banyak sedekah, sudah berhasil juga tidak serta merta ayem karena badai bisa datang sewaktu-waktu.

Cara menikmati pilihan jalan hidup seorang pengusaha memang berbeda dengan cara menikmati telor ceplok, yang tinggal di tok-tok cangkangnya, lalu di bukan dan di sreng deh. Cara menikmatinya seperti menikmati nasi goreng. Nasi, sebelum digoreng, haruslah ditanak terlebih dahulu. Kalau kita menginginkan nikmat rasanya nasi yang digoreng tanpa nasi itu dibuat nasi dulu, atau masih dalam bentuk beras, yang ada adalah seliliten dan perasaaan awut-awutan di perut.

Peluang membanjir, relasi mentsunami, kepercayaan masih terjaga baik (kecuali oleh beberapa orang), memformulasikan ide lagi cemerlang-cemerlangnya, sumber daya seperti tempat, telepon dan internet juga tersaji sempurna. Ibaratnya, cabe ada, wajan ada, Bimoli ada, merica ada, timun ada, tomat ada, komplit semua bahan-bahan membuat nasi goreng. Tapi persoalannya kita sebagai beras belum tanak menjadi nasi.

Masih harus di tim dalam rice cooker beraroma keputusasaan akibat gagal-gagal bae, mbulet dengan aroma sesak nafas tiap kali teringat jumlah nominal utang, gelap gulita rasanya karena tiap kali melihat satu ide bisnis yang sepertinya cemerlang, sepersekian detik berikutnya langsung disusul oleh gerhana-gerhana kegagalan masa lalu. Belum lagi tambahan rasa tercekik akibat orang-orang yang selifting bahkan lebih muda, tapi nampaknya mereka begitu mudahnya mencapai sukses.

Itu perumpamaan di dapur, kalau masih bingung dengan perumpamaan itu, masih ada perumpamaan lainnya. Ibaratnya kita sudah download software, formatnya *.zip, isinya sudah komplit, tapi cracknya belum ketemu. Ya sudah deh, mumet-mumet... mbulet-mbuleeet dah....

Saatnya meng-crack. Saatnya menjaga stabilitas api kompor, "semua akan tanak pada waktunya...".


Pilih nakal, pilih liar, pilih sesat

Kalau yang penurut dari hari kehari dicekoki dengan dalil-dalil implisit : "kamu harus taat pada aturan", "kamu tidak boleh neka-neko (inovasi), patuhi saja patronnya", "kamu harus dapat A, karena dibawah A itu jelek". Di kampus, mending aku pilih nakal saja. Nakal yang terarah pada satu capaian tertentu, nakal yang diadon sedemikian rupa biar bisa lebih matang

Kalau berijin itu harus membuang waktu mengurus alur birokrasi yang ribet, apalagi dijerat retribusi yang bertikel-tikel jumlahnya tidak jelas, belum lagi harus ada mel sana mel sini misalnya. Sebagai PKL, mending liar saja deh, liar bukan berarti tidak bisa tertib, liar bukan berarti selalu mengotori lingkungan, justru dengan liar kita bisa menghemat waktu untuk mengoptimalkan promosi, justru dengan liar bisa ada anggaran yang leluasa untuk service excellent ke konsumen.

Kalau yang selamat mengkluster pada satu kelompok tertentu, kalau panji-panji kebaikan dimonopoli, kalau mereka seolah-olah menjadi wakil Tuhan memberikan penghakiman-penghakiman pada orang lain. Mending pilih jadi orang sesat saja. Orang yang tidak pernah mengaku dirinya sesat, hina dina, fasik, dholim dan selalu mengatakan dirinya benar, susah untuk minta maaf, apalagi introspeksi, adalah orang yang susah untuk maju. Maju cara berpikirnya, meluas pandangan matapikir dan matabatinnya.

4/27/11

Infak Infak

Orang modern, orang modern, sekarang muncul istilah Infak Sepatu. Yakni infak yang diberikan oleh orang yang menitipkan sepatunya di Masjid.


Ada juga infak parkir, yakni kotak infak yang diperuntukkan bagi yang mereka yang memparkir motor dan mobilnya di halaman Masjid. Kalau enggak infak, jadinya rikuh deh.

Ada juga infak WC.

Kalau menurutku infak ya infak saja. Kalau ada embel-embelnya lebih tepat : bayar sepatu, bayar wc, bayar titipan sepatu. Karena walau tidak ada maksud mewajibkan, di kebudayaan Jawa ada yang namanya rikuh, dan keberadaan rikuh itu bisa-bisa berdampak sistemik terhadap niatan orang berinfak, bukan krono Siro Ta'ala, tapi krono rikuh karo tukang parkir.

Daripada infak parkir, infak WC dan infak sepatu, mending infak infak aja deh.

Kotaku Tak Perlu Maju

Kalau terminologi maju saja masih awut-awutan, ya mending enggak usah maju. Maju, berarti mal dan supermal juga superblock hadir. Limbah akan jadi soal, soal yang tak serumit soal tergesernya pedagang kecil penjaja kelontong.

Maju, berarti meningkatnya pencapaian penjualan showroom mobil, artinya polusi dan kemacetan menjadi prestasi yang begitu mengharumkan sekaligus mengharukan.

Maju semacam itu tidak perlu. Maju itu, bertambah kuat karakternya, Islam transnasional yang mengajarkan marginalisasi kelompok dan polarisasi golongan jadi tidak bisa berkembang, karena masyarakatnya lebih menjunjung tinggi keramahtamahan, Sunnah Sang Rasul untuk memberi salam sekalipun kepada yang tidak dikenal tetap dijunjung tinggi.

Maju itu bertambah gotong-royongnya, yang namanyanya MEMBANGUN BERSAMA itu ya benar-benar bersama, bukannya pejabatnya membangun dengan digaji, dan rakyatnya disuruh mendukung pembangunan dengan dipalaki serentetan pajak dan retribusi.

Maju itu menjadi semakin tertib, penertiban kaki lima itu bukan dengan direlokasi ke tempat yang sepi, sisa bengkok pemda yang tidak marketable, tapi penertiban adalah pemberian dana hibah pembenahan interior, exterior, material brand dan dana dukungan pemeliharaan sistem bagi segenap UKM.

Maju itu menjadi ringkes PNS-nya, tidak sudah gemuk, semua-semua minta Innova dan Avanza pula. Kayak becus aja mereka orang punya otak gole nggo mikir.

Tidak usah meneriakkan kemajuan, kalau tidak mempunyai definisi dan konstruksi yang jelas akan kata "Maju" itu sendiri.

Sabar Tingkat Tinggi

Kalau cinta ditolak, lalu bisa mengendalikan diri, itu sabar... Kalau belum makan, nggak ada yang ngajak makan, dan nggak menggerutu, itu juga sabar. Kalau sudah usaha, lha kok bangkrut, rugi, itu sabar pula.

Sabar-sabar itu tidak ada yang mengalahkan tingkat, derajat dan stratifikasi sabarnya ketimbang sabar yang satu ini : sabar berurusan dengan birokrasi Pemda.

Sego Pincuk! Kabupaten yang katanya (saya tulis kapital dan bold ini biar pak bupati bangga) PRO INVESTASI lah kok mengurus surat ke Dinas Pendidikan diperlakukan kayak kuli nagih honor ke mandornya, apa tidak punya unggah-ungguh sebagai watak dasar orang Banyumas yang bisa ngajeni tumraping liyan? Itu cerita lama yang betul2 bikin mangkel tenanan kemarin.

Ini fresh baru beberapa menit yang lalu terjadi, saya tahu, kabupaten hebat ini sekarang sudah mempersulit prosedur perijinan reklamenya. Bhhhaaayaaangkhaaan coba, ngurus spanduk kain 1 x 6 meter saja, harus ke kantor BPM dulu, sebelumnya harus memfotokopi KTP dulu, terus mengisi formulir, terus menunggu 2 atau 3 hari (kalau ontime) sampai SK turun, terus kalau sudah dikonfirmasi dan SK turun pindah ke kantor di dekat Pendhopo untuk mbayar. Enggak sego pincuk gimana coba, sekarajang jamannya digital men! Kijang Innova plat merah simbol kemewahan para pejabat saja sudah enggak pake kaset lagi pemutar lagunya, lha kok ngurus hal seuprit begini harus pindah2 atap begitu!!!!

Wedeh jan, mau dibawa kemana Banyumas ini... Malu, malu tenanan sama Purbalingga saja, apa bulan depan saya cetak dan bagi-bagikan saja stiker PURBALINGGA SATRIA?

Mungkin agar tidak ada pejabat yang nganggur, sistem komputasi administrasi dan transfer uang antar bagian di Pemkab saja tidak dipakai. Sok lah, emut-emuten itu NIP, nikmati itu Innova, biar kami-kami rakyat ta pahal sendiri. Jen, kalau memang bisa, mending nggak usah deh berurusan sama Pemda, Pemda digaji untuk mempermudah urusan rakyat, tapi kok malah bikin mangkel tok saben kali urusannya.

Kayak lah kalau sudah dengan birokrasi seribet itu spanduk bebas dari ditumpuki spanduk lain, bebas dari pencabutan, spanduk tiba-tiba hilang sendiri dan tidak ada tempat mengadu. Huft. 

Berani Optimis Duit Siti Khadijah

Sebelum diangkat menjadi Rasul SAW, Muhammad muda adalah seorang pedagang. Yang berbisnis dengan BERANI OPTIMIS pakai DUIT SITI KHADIJAH. Sayangnya, kita terlalu angker memandang kekasih sekaligus junjungan kita itu. Padahal Rasulullah SAW tidak boleh digambar wajahnya adalah diantaranya agar tidak diangkeri orang.

Karena ke-angker-an yang tak sadar dan tak diakui kita lakukan itu, membuat kita begitu samar-samar menatap perjalanan muda beliau. Yang ditahu adalah Muhammad muda seorang entrepreneur, yang melakukan perdagangan expor impor, orangnya ramah dan pada umur 25 tahun sudah jadi milyarder.

Apa Muhammad muda pernah gagal? Apa Ia pernah ditipu orang? Apa ia pernah salah memberi harga? Apa ia pernah berurusan dengan pejabat2 kolusif saat expor impor? Bagaimana etika bisnis dia dengan sang investor, apakah ketika rugi ia meminta tambahan dana ke Khadijah, apa ketika untung dia memberikan laporan tertulis kepada Khadijah padahal dia tidak bisa menulis?

Apakah Ia pernah berhutang atau setidaknya minta ditalangin orang untuk sebuah pembayaran? Apakah Ia menanamkan hasil usahanya untuk tempat peribadatan dalam bentuk wakaf dan infak sedangkan uangnya hanya mandeg di kotak infak kecuali untuk membayar listrik dan beli wipol pembersih lantai?

Apakah Ia menanamkan hasil usahanya untuk pengembangan usaha mikro kecil dan menengah? Bagaimana sistem bagi hasil dengan usaha-usaha yang Ia tanami modal? Apakah ia hanya berdagang dipasar menunggui tekstil yang digulung-gulung atau Ia berurusan dengan juragan-juragan pebisnis kelas kakap?

Apakah Ia memilah-milah karyawannya hanya yang satu keluarga? satu suku? satu keyakinan? satu aliran? Bagaimana etika bisnis dia dengan Yahudi dan Nasrani? Bagaimana ketika menghadapi klien yang terlambat membayar? Bagaimana Ia menghadapi pembayaran yang disaat itu dana cash sedang tidak ada?

Bagaimana Ia fokus dalam menjalankan usaha? Kapan saatnya Ia melakukan diversifikasi usaha? Apakah Ia memberikan edukasi kepada calon-calon entrepeneur muda? Bagaimana model edukasinya? Apakah murid-murid yang Ia edukasii menjadi jago? Atau melempem lalu melamar menjadi pegawai di pemerintahan atau baitul mal?

Dan apakah Purdi E Chandra tahu tentang itu semua atau setidaknya sedikit saja sehingga ia merumuskan slogan BODOL (Berani Optimis Duit Orang Lain)? Kalau Purdi tidak tahu apakah Cak Nun kalau ditanya semua ini bisa menjawab? Atau ulama tanpa madzhab dari Timur-Tengah lebih tahu? Atau kepada siapa aku bertanya karena aku benar-benar ingin tahu?

4/22/11

Sanjungan Tingkat Tinggi



Kalau disanjung orang lain, apalagi yang baru kenal, itu si bagus si bagus, tapi kalau dipikir-pikir, ah, biasa saja, dia menyanjung kan karena banyak yang enggak dia tahu saja.

Tapi kalau yang tingkat tinggi, itu sanjungan dari orang-orang terdekat. Ibu dan Bapakku itu sering menyanjung dihadapan pakde bude paklik dan bulikku tanpa sepengetahuanku, kecuali saat aku nguping.

Beda lagi dengan adik2ku, biasanya aku sudah cukup tersanjung kalau sesuatu yang aku beri berguna sampai lama. Misalnya, bantal bola bank mandiri syariah, misal lainnya lagi VCD asmaul husna kids, sampai hafal sudah adikku yang baru kelas 2 SD itu 99 asmaul husna tanpa aku suruh-suruh menghafalkan.

Dan tidak cukup itu nikmat dari Allah, mbahku, budeku, juga orang-orang yang sangat apresiasi padaku, maklum, mantan juara pas jaman sekolah dulu. Tapi setidaknya walau aku masih miskin begini, keberbedaan cara berpikirku diantara teman2 di sekeliling lingkunganku menjadi sesuatu yang tetap menjadi bahan apresiasi mereka.

Dan akupun masih punya lingkaran sahabat yang ndilalahi pada hobi sekali menyanjung, sebut saja Azis, yang minimal dalam sekali pertemuan dengan dia selalu saja ada kata "Wah, Rizky memang...bla bla bla", dasar dia memang mah. Begitu juga Hilmy, yang diam-diam mengcopy obrolan di chat untuk kata-kataku yang dia anggap penting dan ya cukup antusias tiap kali aku menyerocos membahas hal-hal yang ah pasti kebanyakan orang juga tidak suka topiknya.

Apa dengan sanjungan-sanjungan tingkat tinggi, yang bisa jadi dan pasti itu adalah representasi sanjungan Tuhan itu, aku masih pantas untuk mencurigai Tuhan akan tidak memberikan jodoh, istri, ibu dari anak-anakku yang terbaik?

Malas Tingkat Tinggi

Kalau jam 8 baru mandi, dan jam 3 sore sudah mandi lagi tinggal santai-santai itu disebut malas. Dan, pagi-pagi shubuh sudah memanasi motor untuk berangkat, lalu jam 9 malam baru sampai di rumah itu disebut rajin.

Kalau tidak ada perintah, lalu melakukan, lalu berinisiatif, itu namanya malas tingkat tinggi. Kalau rajin, karena perintah, karena desakan, itu namanya apa ya?

Pa Jamil Azzaini pernah memberitahu (lupa istilahnya apa ya bahasa inggirisnya) tentang aktivitas yang terlihat berulang-ulang begitu rajin dilakukan, tapi hanya berefek membiasa, tidak berefek progresif. Itu adalah aktivitas yang bahaya, karena tidak membekaskan apa-apa.

Kalau iri pada mereka yang ritmenya begitu tinggi, coba dikoreksi lagi, dimantapkan lagi iri nya, benarkan patut diirikan, atau itu hanya sesuatu yang tanpa progresivitas belaka?

4/19/11

Malas itu Nikmat, Apakah Semua Kenikmatan itu adalah Bentuk Kemalasan?

Jam sudah menunjukkan pukul 7.19, sudah mencancang handuk dari tadi, tapi belum juga bergerak ke kamar mandi. Tidak ada kewajiban untuk aku mandi harus sebelum jam berapa. Dasar hukumku mandi hanyalah atas dasar kenikmatan : nikmatnya mandi jam berapa.

Enak bener aku, pantes saja perkembanganku tidak sesignifikan yang aku harapkan. Coba si perbandingkan dengan yang lain, yang jam 4 pagi harus sudah mandi karena kalau tidak maka akan termakan kemacetan, yang jam 2 pagi sudah stand by di pasar tradisional, atau yang jam 12 malam belum tidur karena masih mengurusi lemburan, atau yang seharian seliwar-seliwer menghabiskan sejerigen bensin dalam rangka menunaikan tugas kantor mencari nasabah.

Mereka rajin, dan aku malas. Karena mereka bekerja, mereka punya kantor yang ada rule nya, mereka punya bos yang memaksa mereka rajin. Sedangkan aku, aku hanya hidup semauku sendiri, maju semauku sendiri, kaya semauku sendiri, dapat uang semauku sendiri. 

"Kalau mau mulia, bekerjalah", apakah ini yang harus aku ucapkan pada diriku? Apa ada dimensi lain yang belum aku pahami?

Manusia Istikharoh

Jam sudah menunjukkan pukul 7.19, sudah mencancang handuk dari tadi, tapi belum juga bergerak ke kamar mandi. Tidak ada kewajiban untuk aku mandi harus sebelum jam berapa. Dasar hukumku mandi hanyalah atas dasar kenikmatan : nikmatnya mandi jam berapa.

Sekalipun serentetan agenda sudah mengantri hari ini, pun tidak ada yang memaksa harus aku mulai sesi pertamaku hari ini jam berapa? Agenda mana yang akan aku dahulukan, aku nomorduakan, aku nomortigakan dan seterusnya.

Keputusan. Adalah satu kata yang tidak bisa lepas dalam setiap hari-hariku. Aku tak punya kantor yang membantuku berkeputusan, tak punya bos, tak punya NIP, tak punya apapun, semuanya ada di tanganku. Berat, kalau dipikir semua ini berat. Keputusan, kalau benar aku mendapat keuntungan, kalau salah kerugianpun aku yang menanggung.

Mulai dari keputusan mandi jam berapa, keputusan mengurutkan agenda, keputusan menambah PC, keputusan mengubah menu, keputusan untuk silaturahim atau cukup memelototi laptop saja, keputusan membayar tepat waktu atau membayar lain waktu, keputusan memilih mimpi A atau mimpi B, keputusan untuk memilih menyesali masa lalu atau melupakan masa lalu, keputusan untuk menentukan skala kesungguhan untuk persiapan pernikahanku. Banyak lagi lainnya.

Baru aku merasa sombong, mengentengkan istikharoh selama ini, merasa bisa dengan tepat memutuskan semua itu. Padahal, memang, aku tak punya kewajiban untuk mandi jam berapa, untuk nanti siang atau sore ngapain, tapi aku punya kewajiban untuk memberesi semua keputusan-keputusan itu.

4/17/11

Kabupaten Tanpa Tema

Wagu, itulah Banyumas dibawah kanjeng sinuhun marjoko. Orang lagi dagang enak-enak di alun-alun eh di gusur ke jalan ragasemangsang. berapa keluarga yang berubah jadi miskin karena ulah kanjeng sinuhub berkedok perda itu.

ASU pisan buat saya kalau pejabat itu bilang "Ini sudah sesuai peraturannya!", untuk sebuah tindakan bernama penggusuran. Kalau saya ditakdirkan jadi presiden nanti, kesalahan yang akan saya hukum berat-berat adalah pejabat yang pernah menggusur pedagang kaki lima, orang-orang yang pahal susah-susah, pakai uang utang, pendapatan belum tentu nutup, eh lapaknya dibongkar, gerobagnya diangkut. Saya hukum mereka miskin sampai tua!!!!

Harusnya pertanyaannya disesuaikan, "peraturannya tidak sesuai dengan kondisi rakyat! jangan dipatuhi!". Lihat si Banyumas, bikin taman kota, apa maksudnya coba, seberapa kontribusinya pada kesejahteraan rakyat? paling-paling yang terimbas adalah muda-mudi yang baru jadian, masih malu-malu kucing, buat lebih leluasa pacaran.

Terus slogan di depan Dinas Pendidikan, ayo belajar biar pintar! NORMATIF sekali. Terus slogan menjadi Sinarnya Tanah Jawa di alun-alun, apa maksudnya? mana didahului dengan kata "Mari Bersama", mau bersama gimana, mereka leha-leha pakai innova mewah sedangkan yang lain digusur2 ke tempat enggak jelas, direlokasi tempat relokasinya belum siap, YANG BERSAMA ITU APANYA?

Terus slogan di billboard sawangan, menjadikan banyumas sejajar dengan kota lain, bahkan lebih maju. Haha, pertama : ini yang konsisten dong, mau sejajar apa lebih maju, mencla-mencle amat...
kedua : bilang lebih maju, sudah dirumuskan TERMINOLOGI maju itu kayak apa belum? Maju itu ada Carefournya, maju itu jalanannya macet, apa maju itu budayanya berkembang, PKL nya rapi dan laris-laris, apa gimana?.... Banyumas tidak perlu maju, kalau hanya meningkat konsumerismenya, menjamur kapitalisme globalnya... maju itu kalau tambah kuat karakternya, rendah hatinya, bersahajanya, kenyamanan berjualannya, rendah pajaknya, santun pejabatnya...

Belum lagi baliho selamat datang di banyumas kota kripik yang ada di jalan tol sokaraja. lucu pisan : pertama, itu baliho di dalam banyumas, kok bisanya tulisannya selamat datang, kan sudah datang lama, masuk lama... kedua, bukannya yang kota kripik itu purwokerto, bukan banyumas?

Halah...... banyumas tak bertema, apalagi dibuat lebih berkarakter. Nanti dah, nunggu Rita gulung tikar, nunggu kanjeng sinuhun turun tahta.

Banyumas itu wilayah wisata, kalau wisatanya dikembangkan optimal saja, sudah lebih dari cukup untuk membuatnya maju, maju dalam terminologi, nyaman berikhtiar dan tetap berkarakter

Ibukota Jawa Selatan

Bukan karena miskin potensi, bukan karena unstrategis posisinya Purwokerto kalah berkembang dengan kota-kota setaraf lainnya. Saya baru sadar hari ini, bahwa Purwokerto adalah kota besar, ibukotanya Jawa Selatan, setaraf dengan Jogja, Bandung, Semarang, Solo, Malang, Cirebon, Surabaya.

Purwokerto begini-begini saja adalah karena kapitalis lokal yang mencengkeram lokal penguasanya, kanjeng sinuhun sultannya. Dulu Moro, sekarang Rita, menjegal datangnya Giant, dan serentetan produk global lainnya untuk dibangun dan menyesaki kota ini agar sama dengan kota-kota lainnya.

Tapi ada untungnya loh hal itu, untungnya adalah kota ini tidak ada pusat-pusat konsumerisme sebagaimana kota-kota besar yang setaraf sehingga kota-kota itu kehilangan karakter dan 'ruh' aslinya. Sedangkan Purwokerto masih punya, masih ada soto jalan bank, masih ada mie ayam karang salam, masih ada roti Go, masih ada ci wa wa.

Coba kalau breadtalk masuk, hoka-hoka bento masuk, sesedikit apapun bergeserlah potensi lokal itu.

Jadi positifnya adalah karakter asli wilayah masih terpelihara, sedangkan negatifnya adalah karena berbeda dengan kota-kota besar lainnya, ini kota minder, merasa lebih rendah dari mereka-mereka. 

*tulisan tanpa ending, selamat bertafakur, merenungkan sepostingan ini. jangan habis membaca terus bubar, eman-eman...

4/13/11

Jadi Dosen

Setelah mengundurkan diri dalam ajang pencalonan presiden karena terlalu belepotan kotornya sistem politik dan beratnya tekanan kapitalis global, maka aku umumkan cita-citaku yang baru : jadi dosen.

Seorang dosen : Bu Ery namanya, cuma mengatakan "realy?..", wajar kalau enggak percaya dengan track record akademikku saat ini. 

Kalau mata kuliah yang ingin aku ajar tentang bisnis, entrepreneurship, dengan modalitas dan kapasitas diriku, apa aku bisa menjadi dosen yang baik bila terlalu rajin di kampus? Jangan-jangan aku akan menjadi dosen omong doang seperti instruktur-intruktur dari balai latihan yang mengajarkan kewirausahaan sedangkan sendirinya tidak pernah berani berwirausaha.

Kalau aku ingin menjadi dosen yang baik, apakah bisa mengajarkan tentang term of rugi sedangkan sendirinya tidak pernah merasakan rugi, sulitnya bangkit, sesaknya dikungkung dalam stagnansi dan mosi tidak percaya oleh sekeliling?

Al ustadz Yusuf Mansyur rahimahullah mengingatkanku semalam tentang kalimat ini, berfikir sedetik itu lebih baik daripada ibadah semalaman. Selamat berpikir, menangkap ke kedalaman dimensi, hingga serasa dari Aceh ke Papua berjalan kaki, memang lambat, tapi mendapatkan banyak hal. Tidak seperti bila naik pesawat, hanya mendapatkan kursi dan empuknya bantal.

Aih..

Aih... aku menemukan sesuatu yang sangat berharga malam ini, tidak crita2 dulu ah. Kata Ridwan Kamil kan talk less do more.

4/12/11

Arifin Panigoro


Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, nama Arifin Panigoro hanya dikenal kalangan terbatas sebagai pengusaha di bidang perminyakan. Lingkaran pergaulannya lebih banyak dengan Pertamina dan pengusaha perminyakan internasional. Namun, ketika reformasi tengan “hamil tua” yang ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, kesadaran politik Arifin bangkit. Ia telah menjadi simbol kebangkitan politik pengusaha.

Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif membantu pergerakan mahasiswa, termasuk menyiapkan nasi bungkus untuk dikirim kepada mahasiswa yang tengah menggelar aksi di Gedung DPR Senayan, Jakarta.

Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya tidak langsung menjadi bos di Meta Epsi Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma sebagai kontraktor instalasi listrik door to door. Selanjutnya memulai proyek pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada proyek yang berdiameter besar, hal itu bukan porsi pengusaha lokal, melainkan pengusaha asing. Jadi, setiap Pertamina melakukan tender untuk pemasangan pipa besar, maka perusahaan asing yang menang karena untuk pipeline butuh peralatan berat. Peralatan itu umumnya hanya dimiliki oleh perusahaan asing.

Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya pengusaha lokal pun diberi kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani pemasangan pipa besar dan tidak hanya diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun 1981 ia memberanikan diri untuk mulai masuk proyek pipanisasi yang berdiameter besar. Untuk pekerjaan itu, ia bekerja sama dengan perusahaan asing. Deal-nya, bila satu proyek selesai, bagi hasilnya adalah peralatan itu. Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu dengan alat tersebut ia mencari proyek ke mana-mana.

Selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah amat diperlukan. Tidak mungkin pengusaha lokal yang baru berdiri dan tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan perusahaan asing yang berpengalaman di bidang perminyakan sela puluhan tahun. Menggandeng mitra luar dan dukungan pemerintah itu merupakan cara pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang bisnis yang lebih luas. Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan asing bisa dilakukan.

Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan proyek besar. Contoh yang dialaminya dengan bendera usaha Medco tejadi pada tahun 1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara mengambil inisiatif untuk membangun kilang minyak karena ada tambahan anggaran. Pada saat itu, pemerintah berkeinginan untuk menyelipkan unsur pembinaan bagi pengusaha lokal, termasuk Medco. Saat itu, dalam pembangunan Kilang Cilacap, Medco dikawinkan dengan satu perusahaan asal Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang pemasangan pipa, menjadi mengerti.

Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga tak lepas dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin, tahun itulah titik awal Medco menjadi besar. Pada waktu itu, ia memiliki kedekatan dengan Dirjen Migas Wiharso yang menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek jasa pengeboran. Kebetulan ada penyertaan modal pemerintah ke Pertamina, yang mau melakukan pengeboran gas di Sumatera Selatan.

Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya peralatan ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang menang diminta untuk menyewakan alat, atau memakai orang-orang Medco sebagai mitra. Tujuan pemerintah waktu itu adalah untuk membesarkan pengusaha lokal. Namun, tanggapan dari perusahaan asing itu membuat Pak Wiharso tersingung dan batal. Lalu Pak Wiharso memintanya menggarap proyek itu sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya dengan keputusan itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan pengeboran.

Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979 sudah harus mulai dikerjakan pada tahun 1980. Dengan perasaan yakin, ia pun terima tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang memiliki kemampuan bahasa Inggris untuk menjajaki pusat penjualan peralatan pengeboran di AS. Baru setelah ada kepastian dan diketahui harganya, ia terbang dari Jakarta ke Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman pertamanya ke AS. Bermodal "bahasa Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, ia melakukan deal dengan pemilik barang. Hasilnya, deal berangsung buruk.

Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta dollar AS sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka 300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa menerima syarat itu karena posisi tawarnya yang jelek. Setelah itu ia langsung terbang ke Indonesia. Saking panjangnya perjalanan dengan tiket ekonomi, tiba di Indonesia langsung sakit. Namun, dengan kondisi yang berat ia berusaha menemui Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.

Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia masih merupakan pengusaha "bayi". Beruntung, Pak Piet Haryono dan Pak Wiharso memberikan rekomendasi, Medco patut dibantu. Dana pun cair di ambang batas perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai waktu yang ditentukan pemerintah.

Terhadap bantuan yang diberikan pemerintah itu, Arifin menilai sangat positif agar pengusaha lokal mampu bersaing. Namun, tetap harus dilakukan secara betul karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. Di sinilah sulitnya, kadang proteksi itu memberikan hasil yang sebaliknya. Mumpung dikasih proteksi, pengusaha malah menjadi manja.

Setelah merintis usaha tahun 80-an, Medco memulai kejayaannya pada tahun 1990. Sebelum tahun 1990 Medco selalu bekerja sama dengan pihak ketiga dan untuk masuk ke sana bukan hanya masalah konsistensi ketekunan dan normatif, tetapi juga urusan garis tangan sebagai penentu. Sebab, untuk memburu satu sumur minyak bukan urusan ribuan dollar AS, tetapi jutaan dollar AS dan itu pun belum tentu ketemu minyaknya.

Namun, keinginan untuk bisa mandiri tetap ada, maka tahun 1990 untuk pertama kali Arifin membeli sumur minyak di Tarakan, Kalimantan Timur, seharga 13 juta dollar AS. Ladang itu mampu berproduksi 4.000 barrel per hari (bph). Tahun 1995, beli lagi sumur minyak tertua PT Stanvac Indonesia milik ExxonMobil, yang sampai saat ini total produksi yang dimiliki Medco mencapai 80.000 bph.

Barangkali inilah prestasi paling gemilang dari Arifin dan perusahaannya, Meta Epsi Drilling Company (Medco). Pembelian Stanvac dimenangkan melalui tender yang kemudian namanya diubah menjadi Expan. Dengan pembelian itu, PT Stanvac tidak lagi dikuasai orang asing sebab perusahaan minyak tertua di Indonesia itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh Medco.

Keberhasilan itu konon karena ada unsur tekanan dari pemerintah. Atas isu tersebut, Arifin membeberkan bahwa ia membeli perusahaan minyak itu melalui tender intemasional. Untuk bertemu langsung dengan orangnya saja tidak bisa. Baru setelah selesai pembelian, mereka bisa benar-benar bertemu. Ia membelinya secara langsung. Waktu itu cadangannya cuma 20 juta. Kemudian tahun 1996 produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan saja bisa mendapatkan 320 juta barel minyak.

Sukses di bidang perminyakan ternyata membuat Arifin berpikir lain masih dalam sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak bisa berjaya di gas, seperti halnya di minyak. Padahal Indonesia kan salah satu produsen gas terbesar di dunia dan banyak industri yang berteriak kekurangan gas? Pernyaan inilah yang kerap membuatnya gundah. Jika kita lihat pada satu sisi, Indonesia menempati posisi nomor satu di dunia dalam ekspor LNG karena cadangan gas jauh lebih banyak dari minyak. Kini, cadangan sudah mencapai 170 triliun kaki kubik (TCF). Jika cadangan itu diproduksi, sampai 50 tahun pun tidak akan habis.

Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap harus harus dibawa ke Pulau Jawa karena berapa pun harganya tetap menarik. Misalnya PLN, jika membeli gas harganya hanya 3 dollar per million metric british thermal unit (MMBTU) sudah sangat mewah. Namun, kalau disetarakan dengan BBM sama dengan 18 dollar AS per barrel. Harga itu sangat murah dibandingkan harga BBM yang harus dibayar PLN sebesar 30 dollar AS per barrel.

Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada di Pulau Jawa, ini masalah kebijakan pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau Menteri bidang Ekuin sama memikirkan, apakah terus bergantung minyak yang harganya 30 dollar AS per barrel. Medco menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah ongkos pipa 0,5 sen dollar, sudah bisa untung.

Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. Demikian juga proyek yang dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara, yang berhasil menyambung pipa gas ke Singapura, setelah itu membangun pipa ke Pulau Jawa adalah kebijakan yang salah. Gas di Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi, barangkali pemeritah memiliki pertimbangan harga di Singapura yang barangkali lebih baik.

Sukses di dunia bisnis membuatnya ikut berpetualang ke dunia politik. Awalnya ia melakukan pertemuan di Hotel Radisson Yogyakarta tahun 1997. Sebenarnya itu adalah pertemuan atau diskusi biasa. Namun, efeknya luar biasa, khususnya buat Arifin. Ia dituduh berupaya menggagalkan Sidang Umum MPR yang akan mengesahkan Soeharto menjadi Presiden ketujuh kalinya.

Ketika aksi mahasiswa semakin memanas, Arifin memberi bantuan konsumsi kepada para demonstran yang melakukan aksi di Gedung DPR. Ribuan kotak makanan dikirim. Tak heran jika kemudian muncul opini bahwa Arifin adalah tokoh di belakang aksi atau cukong para mahasiswa. Namun, Arifin tahu bahwa ia tidak sendiri. Gerakan reformasi merupakan suratan untuk memperbaiki keadaan.

Cobaan terhadap langkahnya di dunia politik masih berlanjut. Di era Presiden BJ Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat dengan tuduhan pidana korupsi penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu itu, sejumlah kalangan percaya dijeratnya Arifin karena kedekatannya dengan gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati, Arifin kembali dicoba untuk dijerat lewat perkara di kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin hanya dikerjain karena masih banyak pihak yang tidak senang dengan aktivitas politik yang digeluti.

Pengalamannya sebagai pengusaha membuat dia tidak kaget dengan praktik politik karena di dalamnya ada aktivitas melobi atau menggarap, juga money politics. Baginya, hari-hari uang adalah urusannya. Dari permulaan bekerja sebagai pengusaha, ia tidak pernah buat kesepakatan dengan fasilitas yang diperolehnya.

Demikian juga dengan urusan politik yang juga bagian dari kompromi lintas fraksi, kesepakatan semua kekuatan. Hal-hal begitu tidak selalu pakai uang, cukup pengertian bahwa kita punya sesuatu yang lebih besar, mari kita jalani sama-sama. Namun, perjalanan tidak selalu mulus, godaan banyak. Apalagi kekuatan politik sekarang sesudah zaman Soeharto, relatif pemainnya baru semua.

Meskipun terbiasa bermain dengan uang, namun Arifin mengaku memiliki batasan dalam memainkan uangnya. Sayangnya, proses politik atau proses pengambilan keputusan politik, ternyata uang yang berbicara. Padahal, meskipun ia seorang pebisnis, tetapi ia mau bisnis tanpa uang. Meskipun ia mengaku, cara bisnisnya memang tidak sebersih di AS. Di negara itu, mentraktir makan di atas 100 dollar AS sudah termasuk kategori sogokan. Ia tidak begitu amat, tetapi mendambakan good government and corporate governance, supaya bisa membuat bangsa ini ke depan lebih baik.

Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk apa saja. Ia mau menghitung berapa total uang yang dikeluarkan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, yang akan membebani APBD setiap daerah. Jangan lupa, itu uang rakyat dari pajak. Kalau pemimpinnya main, tentu menggelembungkan dana proyek, tentu bawahan juga ikut ambil bagian. Dengan demikian korupsi akibat kedudukan bisa menimbulkan efek berantai, jika dana diselewengkan Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal hilang sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan kepala daerah.

Perkenalannya lebih mendalam dengan dunia politik adalah ketika partai-partai baru bermunculan tahun 1998-1999 setelah lengsernya Soeharto dari kursi presiden. Pada awalnya, Arifin menjalin hubungan dengan berbagai tokoh politik, baik tokoh masyarakat yan sudah lama dikenal maupun tokoh yang baru muncul. Saat deklarasi partai baru dilangsungkan, Arifin kerap menghadirinya. Namun, akhirnya pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Bersama PDIP, Arifin pun melenggang menuju Senayan sebagai anggota DPR/MPR.

Untuk kategori pemain baru di dunia politik, sebenarnya karir politik Arifin terbailang bagus. Ia bisa duduk di jajaran DPP partai peraih suara terbanyak dalam pemilu. Ia pernah memimpin lintas fraksi, juga menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR. Namun, dunia politik memang seperti cuaca yang cepat berubah. Arifin yang kerap dikenal sebagai anak “indekos” di partai berlambang banteng merah gemuk itu dianggap sudah kurang loyal kepada partainya dan mulai memihak lawan partai politiknya bernaung.

Arifin Panigoro yang dulu dianggap sebagai inspirator pembangunan jalan mulus Presiden Megawati menuju kursi kepresidenan, kini dianggap sebagai anak yang nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin bakal dipecat. Namun, hingga saat ini, isu tersebut tidak berbuah menjadi kenyataan.

Terhadap isu tersebut, ia berpendapat kalau dirinya dikeluarkan, sepertinya ia harus membuat acara perpisahan dengan teman-teman. Tetapi, sebetulnya ia sudah memikirkan untuk keluar. Menurutnya, kalau dikeluarkan dirinya akan lebih senang. Seperti orang kerja, kalau berhenti tidak dapat pesangon, kalau diberhentikan malah dapat pesangon.

Meskipun siap untuk keluar, namun mengenai masa depan politiknya masih belum jelas, dan ia sendiri masih belum bisa mengira-ngira ke mana akan berlabuh. Hal itu terjadi karena dari tahun 1998 ia termasuk non-partisan, meskipun belakangan bergabung ke partai. Awalnya, ia datang pada setiap acara peresmian partai baru, sampai akhirnya bergabung dengan PDIP.

Arifin menganggap dirinya sebagai seorang oportunis yang iseng-iseng. Atau ia hanya ingin ada lima tahun periode yang lain, tidak hanya menjadi seorang pengusaha.Tetapi yang pasti, hematnya, konyol jika berhenti lalu serta-merta melawan PDIP, apalagi mau menggulingkan Megawati.

Jika benar-benar mundur dari dunia politik, kemungkinan ia akan relaksasi dan bermain golf di Paris atau mencari sekolah khusus untuk mereka yang sudah berumur di kota yang mempunyai makanan yang enak-enak. Mungkin enam bulan istirahat dulu.

Ia juga termasuk orang yang respek terhadap cendekiawan muslim Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, Cak Nur itu bukan politikus, tetapi berminat jadi presiden. Ketika pertama kali mengemukakan minatnya jadi presiden Arifin termasuk orang yang awal-awal mendatangi dan bertanya, ternyata jawabannya memang mau. Pikirnya, siapa pun ini, dia dari unsur yang berbeda dibandingkan politikus yang lain. Dengan demikian bisa menjadi ukuran moral, sebab moral juga harus terukur. Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit. Jadi, pencalonan Cak Nur, sebenarnya dapat meningkatkan kualitas pertandingan.

Mengenai kehidupan keluarganya, suami dari Raisis A Panigoro cukup bahagia. Anak-anaknya sudah besar, bahkan yang tertua Maera Hanafiah sudah menikah dan sebentar lagi dikarunia anak kedua. Adapun yang bungsu Yaser Mairi sedang menambah pendidikan di Singapura pada bidang IT. Sekarang, meskipun agak telat, ia sadar, kalau dirinya kurang memberikan perhatian kepada anak-anak, karena jam kerja yang ngawur. Sekarang, sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya seakan-akan lupa dengan orang tua.

Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar negeri, namun tidak ada yang secara khusus disiapkan menggantikannya. Anak pertamanya seorang ibu rumah tangga, anak kedua tidak dipersiapkan untuk itu. Prinsipnya, Medco bukan perusahaan keluarga, jadi sebaiknya dijalankan oleh profesional. Kebetulan, adiknya orang minyak. Jadi, Hilmi Panigoro duduk Medco.

Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak untuk meneruskan usaha orang tuanya. Jika kapasitasnya sudah dipenuhi, silakan saja kalau mau meneruskan. Ia mengaku tidak takut jika perusahaannya dipegang oleh orang lain, toh semua aset, cadangan tidak ke mana-mana.

Meskipun kini sudah menjadi "raja minyak", suami dari Raisis A Panigoro ini mengaku, kaya itu relatif. Dia mengaku tak pernah menghitung, apakah dirinya kaya atau tidak, sebab semua hidup yang dijalani terus menggelinding. Baginya, disebut kaya itu relatif, kalau di Indonesia, seperti dirinya memang sudah menonjol. Sebagai orang yang beberapa kali dicekal untuk bepergian ke luar negeri, ia pun bertanya untuk apa kekayaan itu.

Sebagai orang yang romantis, ia mengaku merasa benar-benar kaya, kalau berada dalam satu konser musik yang benar-benar disukai. Seperti saat ini, setelah bisa menikmati alunan gamelan Jawa, maka setiap mendengar musik Jawa itu sebelum tidur, dia merasa kaya. Jadi, baginya kaya cukup sederhana, bukan harta melimpah atau kekuasaan.

Arifin juga sadar, suatu saat akan pendiun sebagai orang perminyakan. Namun, tidak berarti ia akan berdiam diri. Ia merencanakan untuk memfokuskan ke Medco yang lain yaitu di bidang agrobisnis. Sekarang ini orang sedang banyak bicara tentang pertanian. Masalah minyak goreng yang masih kurang kelapa sawitnya. Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan yang akan ditujunya kemudian.








***

Dari sini

4/11/11

In The Name of Entrepreneurship

In The Name of Entrepreneurship with Autonomy and Welfare

Dengan menyebut nama entrepreneurship, aku mengakui telah begitu banyak kehilangan dimensi. Ibarat ke Papua naik pesawat terbang, tak bisa mengukur betapa luasnya Indonesia. Atau kalau bingung tidak bisa membayangkan karena belum pernah naik pesawat terbang, Ibarat ke Jogja naik KA Eksekutif, yang didapat hanya Stasiun Purwokerto, bantal dan Stasiun Tugu. 

Terasa cepat, terasa nikmat, tapi sebenarnya aku telah kehilangan dimensi. Dimensi nasi pecel, dimensi ayam goreng 5.000an, dimensi pengemis penyapu gerbong, dimensi-dimensi yang penuh sensasi.

Aku meluncur dari Stasiun April 2010 dengan kenyamanan kendaraan eksekutifku, sampai-sampai ini sudah sampai di Stasiun April 2011 dan tidak menemukan banyak sensasi diperjalanannya, tidak menemukan sensasi karena kehilangan dimensi.

Rugi besar, rugi bandar kalau begitu. Apakah aku harus kembali lagi ke arah Stasiun April 2010 dan kali ini harus dengan berjalan kaki untuk memastikan tidak ada satupun dimensi yang terlewati?

And in the name of entrepreneurship, i am blank now, realy2 blank...

4/9/11

10 untuk Hari Ini

Tidak lebih dari 300 detakan jarum detik jam dinding, hari ini akan terlewat. Sebelum itu terjadi, akan saya tuliskan dulu 10 nasehat yang saya dapat hari ini.

1. Dari Elang Gumilang
Tekanan hidup yang berat adalah cara Allah menempa kemampuan hamba-Nya. Baru juga berapa juta, Elang itu Miliaran men, nggelar sajadahnya berapa panjang coba...

2. Dari Khotib Jumat
Ittiba'!

3. Dari Putu Putrayasa
Bikin sekolah, bikin kampus, ingat itu cita-citamu dulu. Cemen lah masa sekarang melempem.

4. Dari Pak Bowo
Prihatin dengan kerja keras, belum tidur kalau belum lelah. Kalau malas berlelah-lelah nyambut gawe, nanti kalau sukses jadi gemagus.

+ Bonus nasehat Grand Livina barunya isinya premium campur pertamax dengan perbandingan 10L : 10L. (Nah lo, dah siap beli Pertamax kah?)

5. Dari Hilmy
Kegagalan2 yang datang silih berganti membuat kita takut mencoba hal2 besar.

6. Dari Amet
Belum saatnya layah-leyeh, santai-santai, masih panjang jalan berlubang yang harus kita lewati. Aspale pada dikorupsi si, (Haha apa hubungane coba...)

7. Dari Ayu
Gagang pintu dibenerin, bikin bingung orang kalau mau nutup susah.

8. Dari Arie Puyink
Bikin konveksi enggak usah dibikin ribet, beli aja mesinnya. Selanjutnya, pikir nanti, pasti mengikuti lah.

9. Dari CS Bank Niaga
Kalau bisa jangan ada coretan. (Kalau bisa...)

10. Dari PLN
Kalau hari senin besok belum bayar 800.000, cabut rampung semua instalasi! (Tutup aja, meteran taruh dalam, simpen. Haha...)

4/8/11

Cuti Satu Setengah Bulan

Niat, katanya niat dapat 1 kebaikan. Mudah2an ini juga dinilai niat yang ada nilai kebaikannya. Per 16 April besok, saya mau cuti dari dunia ramai sebagai owner bisnis ini dan itu. Persiapannya sudah sejak bulan lalu, agar ketika cuti nanti, saya bisa aman dari gangguan.

Walhasil, saya bisa rampungkan TA dengan tenang. TA bukan Total Action, training yang sedang saya dan ribuan alumni SC2 lainnya tunggu-tunggu, TA adalah Tugas Akhir, sebuah dharma bakti untuk kampus tercinta. Loh kok dharma bakti? Iyalah, saya datang ke kampus, itu untuk kampus, saya belajar itu untuk kampus, saya bayar itu untuk kampus, saya nilainya tidak boleh jelek, tugas harus mengumpulkan, TA harus selesai juga untuk kampus kan?

Mahasiswa sudah diset demikian patuh akan hukum itu, sampai-sampai tidak punya taring untuk menuntut ketika atas apa yang dia bayar mahal-mahal, kampus tidak bisa memberikan kepandaian dengan modalitas belajar yang sesuai dengan kita. Tidak pernah ada gugatan kampus tidak akomodatif, yang ada adalah kita yang bodoh, tidak rajin, malas, dan sebagainya.

Satu setengah bulan saja, menjadi mutakifin kampus. Tapi walau begitu, sadar kok saya, cutinya owner itu beda sama cutinya karyawan, gimana juga musti bayar langganan internet, listrik, tagihan bulanan, yah, that's my responsibility

Dan postingan ini saya tutup dengan satu kalimat bijak dari salah satu personel hebat expeditur Garis Depan Nusantara (GDN) di Jogya kemarin :

"Lebih baik bodoh dengan cara sendiri, daripada pandai dengan cara orang lain!"

4/7/11

Berburu Competition

1. Merebut Voucher belanja buku 20 juta. di sini

2. Memenangkan Expedisi ke Pulau Komodo. di sini

3. Menjajal homestay di Entikong. di sini

4. Dapatkan 3 juta rupiah. di sini

4/5/11

Trip to Pacitan

Merencanakan perjalanan (enak berangkat 8 orang)

Hari Pertama :
05.30 Standby di Stasiun Purwokerto, siapkan 25.000 untuk 4 jam perjalanan bersama Logawa

10.00 Pastikan tanggal itu adalah tanggal ganjil, sehingga Logawa berhenti di Stasiun Tugu, turun di situ dan lanjutkan jalan-jalan di Malioboro, Keraton, Tamansari, Alun-alun Kidul dan lain-lain tempat sepuasnya

16.15 Pastikan sudah di Stasiun Tugu lagi, Jamak-Qasar Sholat Dhuhur & Ashar di Moshola stasiun dilanjut naik Pramex meninggalkan Jogya menuju Solo. 9.000 rupiah saja

17.15 Diantara tiga stasiun di Solo, turun di stasiun pertama, Stasiun Purwosari. Jalan kaki sekitar setengah km ke arah Kraton ada Hotel kelas melati 80.000/malam minta + extrabed jadi sekamar bisa berempat @20.000an saja.

Setelah mandi-mandi fresh-kan badan, jelajahi Solo walau hanya Jalan Slamet Riyadinya. Mulai dari Solo Grand Mall, terus ke arah kraton ada Taman Sriwedari, Ada Gramedia di kiri jalan, sampai ke Kraton dan foodcourt Gladak Langen Bogan (Galabo)

Hari Kedua :
06.00 Sudah bangun, sarapan Nasi Tim khas Solo di depan Hotel, dilanjut naik Batik Solo Trans ke stasiun Purwosari. 3.000 rupiah kalau nggak salah

08.30 Naik kereta Feeder ke Wonogiri, kereta Tua yang relnya ada di atas jalan raya pusat kota Solo. 2.000 rupiah saja.


10.30 Tiba di stasiun Wonogiri, mudah-mudahan dapat mobil rentalan yang nyaman, disewa sehari saja, + BBM katakanlah total 440.000 jadi kalau berdelapan kena patungan 55.000 saja. Siap meluncur...

Tujuan pertama Waduk Gajah Mungkur, dilanjut hunting-hunting obyek lainnya.

Jangan kesorean, butuh waktu 1-2 jam untuk sampai Pacitan, menikmati senja di Pantai Klayar.



Sepuasnya dipantai tinggal hunting hotel melati, lagi-lagi +extrabed & sekamar berempat jadi kena patungan maksimal 25.000 lah.

Hari ketiga :
Masih di Pacitan, menjelajah Teluk Pacitan

11.00 Bergerak kembali ke Wonogiri. Eits, kalau masih sempat, mampir dulu ke Rumah kelahiran Pak SBY.

14.00 Kembalikan mobil rental dan stand by di stasiun. Naik Senja Bengawan gerbong Wonogiri sampai ke Purwosari, 2.000 rupiah saja.

16.22 9.000 untuk Pramex ke Stasiun Tugu. Dilanjut jalan kaki ke Shelter Malioboro I

17.30 Naik Trans Jogya sampai terminal Giwangan, 3.000 saja. Kejar Efisiensi jam 18.30. Siapkan 40.000



Have a nice trip...

Beragama Panjang x Lebar

Dalam agama ada unsur bernama ketaatan, itulah kenapa kita tidak perlu mempertanyakan latar belakang jumlah rakaan shalat, puasa kenapa dari fajar sampai maghrib bukan sebaliknya dan sebagainya. Tapi yang perlu diingat, yang ditaatkan itu bukan sekedar kebodohan, kedunguan dan kepolosan kita. Yang perlu ditaatkan juga adalah intelektualitas kita.

Orang merasa sudah sempurna ketika mengerti bahwa oh yang namanya selamat itu adalah murni amalannya, nanti amalan-amalan itu bisa membawanya masuk ke surga. Karena fokusnya ke kemurnian, maka dia pincang (baca : tidak kaffah) dalam persoalan-persoalan intelektualitas-sosial. Misalnya, dalil di Al Quran menyebutkan

: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.”(Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat, ayat 13)

Lalu kalau semua diarabkan, diseragamkan, bagaimana implementasi dengan ayat di atas? Dan pula yang bersuku-suku itu apanya kalau tradisi hingga kesenian itu dianggap perusak kemurnian ajaran. Sungguh pada didangkalkan oleh Barat tapi tidak merasa.

Asal pada tahu, Barat itu paling takut kalau nilai-nilai Islam diimplementasikan. Makanya didangkalkan begitu. Orang Islam dibiarkan merasakan agamanya itu sudah cukup memuaskan, pokoknya ngerti panjang kali lebar saja sehingga bisa menghitung luas sudah dijamin masuk surga.

Lalu, bagaimana kalau menemukan permasalah menghitung luas dengan bentuk seperti bidang S ini?

Nah lo, modyyiiiaarrr ora jal...

Kita perlu tahu rumus integral rupa-rupanya, kita perlu mengasah intelektualitas kita rupanya, kita perlu mentaatkan intelektualitas yang telah terasah itu rupanya.

Kita perlu melakukan searching alias pencarian alias toriqot. Walau tidak menutup mata, beberapa jamaah toriqot justru jauh dari nilai-nilai pencarian, karena sudah diciptakan sepaket sebagai sebuah doktrinasi pula.

Selamat belajar, andai amal-amalmu dianggap tidak termasuk amalan yang selamat, toh masih percaya mbok ada jalan lain untuk bisa masuk surga, yaitu melalui rahmat Allah SWT.

Karena Allah, bukan karena usaha Kita

MasyaAllah, belum juga sehari balik. pengen kesana lagi. sensasi spiritualnya luar biasa. ada batu, tapi dimuliakan oleh Allah, dia didatangi dan dihormati ribuan manusia setiap hari setiap detik tanpa putas, siang malam tak peduli waktu. luar biasa. itu cuma batu. ditawafi jutaan manusia. kun fayakun.
bagaimana seandainya terjadi pada manusia? jika Allah berkehendak memuliakan, maka manusia pun bisa seperti itu, si batu hitam. kehadiran kita selalu dimuliakan dan dirindukan orang setiap saat. sudahkah kita seperti itu? atau bisakah kita seperti hajar aswad itu? semoga!

Among Kurnia Ebo

4/2/11

Jetlag Pernikahan

Seperti pindah benua, itu mungkin yang saya bayangkan tentang pernikahan. Sampai-sampai mereka yang baru menikah pada jetlag... tandanya jetlag, diantara mereka nih, belum pada update postingan blog lagi. Hm, mungkin saking tidak sempatnya, atau mungkin saking tidak menariknya yang namanya blog dibanding pasangan baru mereka.

Adalah hal biasa, mungkin bisa disebut syndrome pasca-menikah, yang dalam bahasa lugas dan polosnya orang Jawa yang diriwayatkan oleh si Slamet begini : "Biasa lah, angger wis nduwe dolanan anyar, ya kelalen batir" (Translate in Indonesia : Hal biasa, kalau sudah punya pasangan, teman terkesampingkan).

Artinya ini satu pelajaran bagi kita semua yang belum menikah maupun yang sudah menikah, baik yang merasa cukup menikah atau ingin menikah lagi (Haha...), bahwa kita semua punya kesempatan mendapat nilai lebih, kalau saja bisa romantisme dengan pasangan kita nanti tidak mengurangi kadar persahabatan dengan sahabat-sahabat sebelumnya...

Selalu ada kesempatan point reward, nilai lebih di setiap kondisi, asal jangan merumangsai kita itu paling benar, bahkan sudah benar saja sekalipun itu unproductive.

Tiga Tingkatan Sedekah

Ini tidak dirunut dari nash manapun, ini ngarang sendiri, jadi jangan percaya ya :

1. Sedekah level 1, yang penting ikhlas
Orang yang sedekah di level ini harapannya adalah surga, dia tidak neka-neko membuat permintaan-permintaan keduniaan

2. Sedekah level 2, banyak lebih baik
Orang sedekah di level ini sudah tidak memikirkan surga, baginya sudah pasti berbuat baik dapat balasan surga, sambil sedekah dia meminta, dan katanya Allah suka diminta, yang diminta biasanya kemudahan urusan dunia...

3. Sedekah level 3, pilih-pilih
Dalam mainstreamnya, surga sudah pastilah, balasan di dunia juga sudah pastilah, yang dia pikirkan adalah bagaimana yang disedekahkannya memiliki ketepatan manfaat. Antara ke peminta-minta dengan pemulung, bagaimana tingkat perbandingannya, antara ke kotak masjid dengan ke saku tukang parkir, bagaimana perimbangannya, dan sebagainya....

Nah, termasuk sedekahers level berapa kamu?

Tiga Jenis Sibuk

1. Sibuk serial
Sibuk membuat nota order, sibuk mendesain kartu nama, sibuk nggunting-ngguntingi, sibuk menerima komplain pelanggan... wedew... semuanya dikerjakan seorang diri, belum bisa mendelegasikan ke orang lain... kalau sibuk anda semacam ini, tidak usah malu-malu mengungkapkannya, karena tidak ada kehormatan tersendiri kok atas kesibukan jenis ini. Ini sibuk biasa, sibuknya orang yang tangannya cuma dua dan jamnya cuma 24.

2. Sibuk paralel
Sibuk inilah yang kalau ada orang lain mengatakan "wah Anda sibuk ya sekarang?", lalu Anda menjawabnya tersipu malu "Ah, enggak kok, biasa saja". Karena sibuk jenis ini mengandung kehormatan luar biasa tinggi, sibuk yang patut dibanggakan, tapi biasanya oleh orang-orang yang sudah berhasil mencapainya akan memilih menyembunyikannya.

Kesibukan paralel adalah sibuk dalam satu tim yang kompak, sibuk dalam satu sistem yang padu, sibuk yang melibatkan begitu banyak komponen yang semuanya berjalan beriringan secara paralel untuk satu tujuan. Inilah sibuknya orang-orang besar.

3. Sok sibuk
Nah, ini adalah sibuknya orang yang tidak bisa menej waktu, ada ini ditolak, ada itu ditolak "Maaf, saya sedang sibuk". Betapa orang macam ini adalah orang yang tidak sibuk beneran, hanya sok sibuk. Kenapa? Loh, sebenarnya dia cuma mengerjakan satu hal kok, karena setiap ada hal baru yang menyambanginya dia akan mengatakan "Maaf, saya sibuk", maka tertolaklah aktivitas-aktivitas lain to? Orang macam ini biasanya rejekinya ya mentok segitu lah.

Gagal

Kha... kha...(* Mas Imam style)
Niatnya tiru-tiru Hilmy membuat tulisan menjelang hari ulang tahunnya yang bersamaan dengan yang oleh orang barat sebagai hari valentine--semoga kita tidak ikut merayakannya--seperti di sini.... eh, ternyata gagal, dari 30 yang seharusnya, 1 April ini yang bersamaan dengan yang orang barat menyebutnya sebagai april mop--dan ayu berhasil dikerjain oleh teman-temannya katanya patung sudirman roboh kena petir dan terlanjut menyebarkan berita tipu-tipu itu ke teman-temannya-- cuma 20 tulisan yang berhasil ditulis. Kurang 10.... Memang aku ini jauh dari sempurna ya

Nomor 10 sampai 1 nya mana? Nah, lo... kebanyakan jalan-jalan si... ke rumah Ayuku saja belum kober-kober. Eh, ini mau ke semarang magelang lagi. Ujian khususnya kapan? Bimbingan TA mulai kapan? Wedew..... sibuk, sibuk, tapi tidak selalu sibuk itu dibanggakan. Karena sibuk itu ada 3 jenis...

Simak di postingan selanjutnya