5/31/11

Surprise


Ini bukan soal ulang tahunnya siapa-siapa di bulan ini, si Intan Afiah misalnya... . June a Surprise, ya, bulan ini adalah sebuah surprise.. rasa-rasanya baru kemarin tahun baru, eh ini sudah di pertengahan tahun. Artinya adalah soal kontrakan ini dan itu, soal utang ini dan itu, soal kertetundaan ini dan itu.

Berharap saja aku bulan ini akan dapat surprise, mungkin akan ada hujan emas berkilo-kilo dihalaman rumah, atau ada transferan nyasar wahid milyun dollar amerika, atau apalah. Rasa-rasanya sudah stuck dengan semua ini. Hidup kok dipersulit terus.

Ya begini ini nasib makhluk yang tidak bisa mendefinisikan Tuhannya dengan benar. Tuhan dalam pikiranku adalah Dia yang sedang sibuk dengan tumpukan proposal doa-doa, jadi ketika berdoa sudah langsung ter-frame, ah paling doaku ya masih ngantri, mustahil langsung dikabulkan.

Dan seabreg definisi Tuhan lainnya. Entahlah, sampai pada titik mana pembelajaranku bisa mendekonstruksi pengenalanku tentang Tuhan dalam definisi yang lebih hakiki. Sehingga ketika motoran malam-malam sendirian lebih menikmati wirid padang mbulan ketimbang memikirkan aduh kalau ban bocor bagaimana. Hingga ketika mengusahakan perniagaan ini terus saja tidak berhenti dari seabreg desain demi desain tanpa teralih pikiran memikikan dia yang punya gaji sekian milyun rupiah atau dia, dia, dia lainnya.

Memang note ini membingungkan, persis seperti aku yang bingung dengan diriku sendiri. Sudahlah, tunggu saja surpirse bulan ini, semoga Tuhan membaca note dan kebingunganku ini, biar belas kasihan-Nya mengusap ubun-ubunku.

5/28/11

Malu Sama Orang Atheis

Sebelum mengatakan malu, yang pertama perasaan kita ke orang Atheis adalah kasihan. Loh kok kasihan? Iya, betapa irinya orang-orang Atheis kepada kita, ketika kita yang mengaku ber Tuhan itu terkena masalah, kita masih bisa mengatakan "Ya Tuhan...kenapa begini", atau pada level yang lebih tinggi, ketika menghadapi keadaan yang kita tidak kuat menghadapinya, kita juga bisa mengatakan "Tuhan, kenapa Kau berikan ini padaku...". Sedangkan orang Atheis, mau mengeluhkan siapa? Mau menyalahkan siapa? Wong semuanya terjadi karena mekanisme alamiah...

Sebelum mengatakan malu, yang kedua adalah perasaan yang seharusnya kita munculkan adalah perasaan kasihan pada Tuhan. Loh, Tuhan kan Maha Besar, kenapa dikasihani? Ya, betapa mudahnya Sang Maha Besar itu jadi kambing hitam, atas masalah kita, atas kejadian yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan. (Semoga note ini ditulis dari dalam lubuk kepahaman, sehingga Tuhan tidak perlu memberikan praktikum padaku)

Malunya ke orang Atheis begini, walau saya tidak tahu bagaimana etos kerja dan etos belajar mereka, tapi yang jelas mereka itu tidak sedikit-sedikit Tuhan, sedikit-sedikit Tuhan. Beda dengan orang yang mengaku ber Tuhan, berkata ratusan kali sehari Tuhan Maha Besar, tapi selalu saja kita membebani Tuhan dengan urusan-urusan kecil tentang diri kita. Sedikit-sedikit, ya kita pasrahkan kepada Tuhan...

Halah halah... kalau semua dipasrahkan pada Tuhan, lah kita ngapain donk, solidaritas kita terhadap Tuhan apa donk. Minta segera kaya, tapi enteng sekali menunda-nunda. Minta jadi orang terhormat tapi jam tidur tinggi. Minta nikah, habis nikah masih juga menuntut pendapatan.

Orang Atheis tidak pernah seperti itu, usaha diri ya pool, tidak sedikit-sedikit minta dikerjakan Tuhan. Dan kita santai-santai mengikuti mood. Nah loh, kalau yang jadi kaya raya di dunia yang Atheis, sudah banyak terjadi kan?

Dan terbayang tidak kalau ternyata nanti ketika mengintip surga isinya banyak orang Atheis? Walah, kaget enggak tuh kita. Lalu ketika tanya ke malaikat "Kok bisa-bisanya Tuhan mengijinkan mereka masuk surga si?Kan mereka Atheis?", Malaikat lalu menjawab "Iya, soalnya mereka nggak pernah merepotkan Tuhan, tidak seperti kalian". Hahaha




*Note : Ini bukan dari Caknun, seperti postingan2 lainnya, ini bikinan sendiri.

5/27/11

Kucing

Kebetulan saja sama, tapi ini bukan postingan review pertunjukan monolognya Butet Kertarajasa kemarin dengan judul yang sama "Kucing".

Kucing, ada beberapa kucing di sekitar kompleks, satu kucing dulu pernah tertabrak, mati cecel-cecel, dan akhirnya dikubur oleh Huda & Fikry. Itu cerita kucing yang mati.

Yang mati satu, tapi yang masih hidup banyak. Kucing-kucing yang masih hidup itu dulu kecil dan sekarang sudah remaja, beberapa malah sudah besar. Tidak tahu mereka sekolah dimana, kerja apa, tapi mereka hidup. Entah ikut pelatihan apa mereka, sehingga tahu di rumah mana blok berapa sedang ada sisa makanan, bagaimana teknik mengintai posisi makanan, bagaimana membangun keberanian action menuju posisi dimana makanan berada.

Dan kucing-kucing itu jaim banget, dikasih mendoan tidak dimakan, padahal masih anget dan masih baru mendoannya. Ternyata dalam soal makanan kucing cukup konsisten menjaga standarisasi mutu makanan, minimal ayam goreng, begitu mungkin (kaya upin dan ipin aja, haha).

Mungkin kucing sudah pakai beberapa produk asuransi, deposito, jaminan pensiunan dari kantor dan tentu jaminan pendapatan bulanan yang membuat ia berani jaim begitu. 

5/26/11

Tidak usah membangun sebab

Ria Marliana, sahabatku yang kini pegawai Bank di sisi utara Jawa Tengah itu suatu waktu pernah bertanya, "Apa yang membuatmu mencintainya Ki?", aku yang polos, lugu, baik dan penyantun saat itu bingung tidak bisa menjawab. "Enggak tahu Ri".

Bagus.. begitu kata dia, cinta sejati itu memang tidak membutuhkan sebab. Bisa jadi karena memang terlalu banyak sebab, sampai2 jumlah sebab itu tak terhingga, jadi kita tidak bisa menjelaskan sebab cinta itu sendiri.

Percakapan pendek di Nandan Sariharjo, Yogya di atas terregresi alias terpanggil ulang oleh memory karena perbincangan Azis sang agen asurasni perusahaan tertentu dengan Pa Fery Hasto tadi. Pa Fery menolak ditawari produknya Azis dengan alasan dia sudah bergabung dengan asuransi lain.

Ketika ditanya, kenapa kok milih asuransi itu, tidak ingin mencoba yang lain atau menambah asuransi dari perusahaan lain, Pa Fery menjawab, "Aku memilih produk asuransi xxx, karena aku suka". Azis bertanya, "kenapa suka Pa?", Pa Fery menjawab, "Suka, ya suka aja... aku cocok, ya sudah, nggak perlu sebab, nggak perlu alasan."

Kira-kira begitu ungkapannya. Ya, cinta itu tidak perlu sebab. Pencinta sejati bahkan tidak bisa menjelaskan sebab kenapa ia mencintai.

Kalau memang begitu, kenapa kita harus membangun-bangun sebab agar seseorang mencintai kita? Discover your soul & find the crack!

Obsesi

Obsesi, Kalau mau cari definisi tekstualnya, lihat saja di kamus. Kali ini ijinkan hati ini, hanya hati, yang mendefinisikannya. Hati yang tidak terkontaminasi analisis ilmiah atau perhitungan rasional apapun. Karena aku yakin, hati memiliki kecerdasannya sendiri... yang tidak baen-baen 10.000 kali lipat.

Obsesi itu adalah keinginan yang tanpa diimbangi oleh kesiapan menerima ketidaktercapaian. Biasanya menggebu-gebu, menguras energi, bahkan keberadaan obsesi bisa membuat diri seseorang menjadi aneh dikenali, seperti kesurupan, tepatnya kesurupan dirinya sendiri.

Ketika punya keinginan, yang pertama dilakukan bukanlah merencakan pencapaianya. Yang terbaik adalah membangun kesiapan diri, ikhlas kalau tidak tercapai. Apa tandanya ikhlas. Tentulah parameter hakiki ikhlas hanya milik Gusti Ingkang Murbeng Dumadi. Tapi kita kan bisa menakar-nakar. Ikhlas adalah saat ketika kebahagiaan kita bisa diangkat dari hal yang kita inginkan itu, tercapai bahagia, tidak tercapai tetap bahagia.

Dan untuk ini, tentulah yang diperlukan ilmu hati. Bukan pemahaman pikiran semata.

5/15/11

Setengah Mateng

Buku catatan Sosroku tanpa sepengetahuanku dibaca-baca orang kemarin. Haha, untung aku sudah terbiasa menulis dengan teknikku sendiri yang aku elaborasi dari quantum learning dan buku2 quantum lainnya, ketambahan bakatku menulis gaya dokter menulis resep, jadi pasti susah orang itu paham maksud tulisan2 di buku catatanku itu.Tak perlu gemboklah untuk sebuah privasi, tinggal pandai-pandainya kita saja.

Dari buku catatanku itu, dan semua catatan-catatanku selama ini, tidak pernah aku menemukan ada history yang menyebutkan bahwa aku punya target apalagi visi untuk mendirikan sebuah perusahaan produsen kertas bernama sertifikat. Dunia training aku masuki atas ketidaksengajaan yang berhubungan dengan eksistensi Kording saat itu, ketambahan pasiionku : mengajar dan mengorganisasi.

Ini sekedar realease beban di hati saja, karena beban rasa bersalah di hati itu sejatinya adalah neraka tanpa api, neraka sebelum akhirat, karenanya menjadi sangat penting membuang beban itu. Aku saat itu berada di jalan kampus, yang disisi kanan ada fakultas ekonomi yang selalu berbisik "aku perlu makan sob", dan di sisi kiri ada fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, yang berkelakar "lebih baik motoran, kehujanan dan mantelan daripada mengejar mobil".

Dan akhirnya aku hanya bisa menyajikannya setengah mateng, hanya sampai disitu, di jalan kampus saja, tidak seperti ASGAR, yang bisa sampai menghadirkannya ke hadapan public Indonesia, hingga sampai ke Obama.

Dan kemarin aku diberitahu tentang cakra, tentang kejayaan dan kebijaksanaan, juga tentang kebijaksanaan palsu. Seandainya ada mesin waktu, maka aku akan memilih melompat ke fakultas ekonomi saja, tidak berlama-lama clingukan di jalan kampus, bingung karena bodoh, dungu, kurang ilmu, lebay, mlempem, gamoh, kopong, tidak tahu sikap mana yang harus diambil dengan cepat dan baik.

Dan kali ini aku nyatakan sudah realease semua itu, sudah aku delete semua ornamen emosi tiap kali aku mengingat masa-masa itu, masa yang datang bersamaan dengan mulai tidak lakunya sertifikat, masa yang seharusnya bibit-bibit unit bisnis sudah sebentar lagi siap dipindah ke pekarangan untuk ditumbuh-besarkan, sebelum akhirnya pekarangan itu tidak jadi dipakai, malah dirubah jadi ladang aromanis... krupuk... mendoan.... demplo...

Bulan Ini

Beberapa lembar lagi untuk mengkhatamkan Quran di bulan ini. Menyambut Rajab, menanti Sya'ban, dan kemudian melepas kerinduan pada Ramadhan. Ramadhan yang setahun lalu aku munajatkan untuk bisa aku meNabawikan diri di 10 hari terakhirnya.

Bulan ini, bulan mei, menjadi bulan yang begitu mengesankan. Aku tema-i dengan "cracking", karena terinspirasi bukunya Renald Khasali  yang terbaru : Cracking Zone. Tema yang aku pilih dengan satu niatan, aku bisa menjadi seorang cracker, yakni kedudukan di atas leader, dimana leader sendiri adalah kedudukan di atas manajer.

Tapi aku menemukan makna lain, bahkan ini lebih mendalam. Di bulan ini aku baru tahu bahwa di kalangan terapis alias dokter jiwa, mereka menggunakan istilah "ayo kita crack", untuk klien yang datang minta masalah dalam dirinya diselesaikan.

Terima kasih Miss Ary, Mas Rio, Pas Asep, Pa Dadan, Teh Ai, Pa Masrury, Mas Anam dan tentu saja Pa Dul, sudah membantu cracking, memenuhi tema yang aku canangkan sendiri untuk bulan ini.

Dan karena lusa sudah tanggal 17, itu artinya harus sudah mulai disiapkan calon tema untuk bulan depan. Percayalah, jangan lewatkan bulanmu tanpa tema. Tema bermakna pem-fokus-an. Yang terbesar terpengaruhi atas pem-fokus-an tema adalah niat. Bukankah dalilnya jelas, bahwa, seseorang akan mendapatkan, apa yang diniatkannya.

Tiap tanggal 1 datang, tidak ada gaji yang membuat aku harus mengistimewakan hari itu. Tapi ada pencanganan niat, yang membuat hari itu setiap bulannya menjadi begitu istimewa

5/6/11

Not Me

Kali ini giliran Andre, seorang pejuang tangguh, solo karier, pribadi bebas yang beda dari orang kebanyakan, guugur di medan entrepreneurship dan menjadi teller di sebuah Bank besar, Mandiri Sudirman, Purwokerto.

Ucapannya ya tentu saja selamat, selamat karena itu jalan rezeki dari Tuhan Allah SWT. Soal dia masuk kesitu karena menyerah, atau karena mencari batu sandungan... (ups.. maksudnya batu loncatan), atau strategi gerilya, atau apapun, ya tentu kebebasan dia sebagai Individu yang merdeka.

Tugasku semakin berat nih untuk mengemban kata-kata ini : 

Not to show into the world "this is loh me, that can life in prosperously without having to be a worker. But to give knowing that its can be loh tobe rich with better way not should with generally way... nguli...

5/1/11

Dulu Kombrang sekarang Pensil

Orang yang tidak mau kerja bakti di Indonesia sebenarnya bisa dimasukkan kualifikasi orang sombong. Ceritanya begini, di zaman yang begitu modern, masih ada masyarakat berkarakter kuat yang menjunjung tinggi namanya kerja bakti, nama masyarakat itu adalah masyarakat Kemawi. Waktu itu Pak Camat datang dan meninjau salah satu air terjun yang ada di Kemawi, lalu belau memberikan titah kepada Warga, "Ayo dirapikan curug (air tejunnya), nanti akan saya undang investor untuk menjadikannya obyek wisata yang ramai dikunjungi".

Tanpa memikirkan track record bualan pejabat di negeri ini, sontak masyarakat langsung merespon dengan mengadakan kerja bakti, setiap minggu, sampai hari ini juga belum selesai, dan saya tidak ikut. Kerja bakti tidak memikirkan, nanti kalau ternyata pak Camat gagal mendatangkan investor sia-sia donk sudah bersih-bersih sepanjang rute berkilo-kilo meter merapihkan terjalnya medan ke curug. Juga tidak berpikir, nanti kalau beneran jadi obyek wisata yang ramai, akan kebagian lahan bisnisan apa tidak.

Inilah, sekarang masyarakat yang masih ikut idealismenya masyarakat Kemawi ini masih dengan senang hati kerja bakti. Tapi masyarakat yang sudah masuk kelompok modern sudah ogah, yang penting saya ngode, kerja bakti terus si anak istri makan apa. Jadi, kalau orang yang enggan kerja bakti seperti aku ini sudah sombong dengan masyarakatnya sendiri, karena sudah sok-sokan masuk dalam kelompok masyarakat modern.

Beda lagi versi sombongnya orang Arab, sombong itu kalau pakainnya seperti Putri Kate pas nikahan kemarin, kalau bajunya kangsrah tanah, kalau bajunya menutupi mata kaki.

Terlepas dari versi manapun, sombong itu dilarang, dilarang karena untuk kebaikan hati si sombong itu sendiri. Kanjeng Nabi SAW mengingatkan sombong dengan kalimat agar pakaiannya jangan menutupi mata kaki.

Sebagai orang yang menjalankan sunnah, tuntunan Rasulnya, Pak Solihin 5 tahun yang lalu juga mengingatkan sombong dengan kalimat "janganlah memakai celana yang kombrang-kombrang", tetapi 5 tahun kemudian, Pak solihin kembali menjalankan sunnah Rasul mengingatkan untuk tidak sombong dengan versi berbeda, "janganlah memakai celana pensil".

Aku mengingatkan orang agar tidak sombong dengan mengisahkan "Raja Firaun dulu tenggelam loh karena kesombongannya", ataupun Hilmy mengingatkanku saat sombong dengan kisah balasan "Kapal Titanic itu akhirnya tenggelam lho...".

Hidup untuk Jam Berapa?

Ketika SD, yang menjadi doktrin dunia pada kita adalah bahwa tugas utama kita adalah sekolah, maka prime time kita adalah pagi hari jam tujuh sampai jam tengah dua siang. Selain rentang waktu itu adalah waktu yang lebih santai, bahkan waktu tidak penting. Jadi waktu itu hidup adalah untuk jam 07.00 sampai 13.30.

Kalau kuliah beda lagi, jamnya tidak tentu, prime time nya juga tergantung biro akademik. Kalau tidak ada jadwal, berarti hari itu tidak ada prime time.Hidup untuk jam kuliah, tergantung akademik.

Kalau televisi, prime timenye adalah saat sinetron malam hari. Jam 19.00-21.00 adalah waktu yang jadi rebutan para produser.

Kalau penganten baru, prime timenya adalah sepanjang malam. mungkin... Malam adalah waktu yang dinanti-nantikannya.

Nah, kalau kita, hidup untuk apa? Atau, kapan prime time setiap hari-hari kita?

Hingga April kemarin, prime time ku adalah tengah hari. Waktu yang aku nanti-nantikan adalah tengah hari, ya jam 10.00 sampai 14.00an. Seringnya kalau waktu itu belum tiba, ada rasa "santai saja lah ngapa-ngapainnya", dan seringnya banyak point pekerjaan ditumpukkan ke jam itu "ah, digarap nanti saja lah".

Sampai akhirnya menemui fakta bahwa kondisi disaat jam itu ternyata bukan kondisi terbaik, stamina bukan yang paling ultimate, akibatnya kadang ketika jam yang aku anggap prime time itu datang, aku kewalahan tidak bisa seserius yang aku inginkan, tidak bisa mengerjakan hal sebanyak yang aku mau.

Dan sejak beberapa waktu lalu aku berusaha menggeser prime time, biar hidup lebih pagi, jam 04.00-07.00. Tapi gagal terus, gagal terus. Mudah-mudahan per 1 mei ini ada perbedaan lah, kalau belum bisa ya minimal agak bisa pindah jam prime time ke jam itu.

Itu adalah jam istimewa, para motivator menyebut waktu sekitar jam itu sebagai THE GOLDEN TIME, karena otak berfungsi sangat optimal, dan stamina juga baru bangun tidur, masih utuh, belum berkurang, jadi masih ultimate.

Para penulis mengistimewakan jam itu karena itu adalah jam dimana otak begitu dinamis memproses ide-ide tulisan. Dan orang-orang yang mengistimewakan jam itu lainnya diantaranya adalah Pak dan Bu Darto penjual bubur ayam, bakul-bakul di pasar tradisional, para takmir masjid muadzhin adzan shubuh dan para satpam perumahan, karena di jam itu tugasnya sudah selesai dan sudah bisa tidur lelap dirumah.

Rasulullah SAW juga memberitahu istimewanya orang yang menghidupkan waktu itu. Apabila seseorang sholat shubuh, lalu tidak beranjak dari masjid, mengisi waktu itu dengan amaliah, sampai ia melaksanakan sholat dhuha di awal waktu, maka pahalanya seperti haji dan umroh, sempurna, sempurna, sempurna.

Jadi, kapan prime time kita? sudah tepatkah? kalau belum, mau digeser ke waktu yang lebih tepat? Apa malah kita tidak punya prime time? Haduh-haduh... hidup mengejar apa sampai prime time saja tidak punya.

---

Dari Anas Radhiyallahu Anhu, dari Nabi shallalahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: ” Barangsiapa menunaikan sholat subuh berjamaah di masjid, kemudian duduk ditempat shalatnya untuk berdzikir kepada Allah Ta’Ala sampai matahari terbit, kemudian shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yg menunaikan ibadah haji dan umrah yg sempurna, sempurna, sempurna”.

Sudah Hampir Jam 12


 
Jam 5 lewat 15 menit, itulah jam dimana aku lahir. Seperti diabadikan di KTP 010487 adalah tanggal kelahiranku, angka itu didahului dengan kode wilayah 330209 dan dibuntuti oleh 4 digit angka 0001, rangkaian tiga kelompok angka itu menjadi nomor KTP-ku saat ini.

Bukan mau membahas KTP kok, ini tentang perjalanan hidup. Andai waktu lahir dan mati diibaratkan adalah perjalanan satu hari, maka perjalanan hidup normal seseorang, yang tidak mati muda adalah kira-kira seperti ini.

Jam 6 paginya hidup adalah saat kita masuk TK. Jam 7 paginya kita adalah saat kita masuk SD, lalu jam 8 paginya hidup adalah ketika kita masuk SMP, lalu jam 9 paginya adalah ketika masuk SMA.

Jam 10 paginya hidup adalah saat masuk kuliah. Jam 11nya adalah saat selesai kuliah dan masa-masa panjang memilih jalan hidup, ada yang memilih jalan hidup terbaik, ada yang memilih jalan hidup termudah, ada yang memilih jalan hidup ikut-ikutan saja.

Jam 12 nya hidup adalah saat menikah, karena saat menikah tidak ada patokan, ada yang 23 tahun sudah menikah, tapi ada yang 27 tahun baru menikah, lebih pas kalau dengan gambaran umur, jam 12nya hidup adalah umur 25 tahun.

Jam 1 siangnya hidup adalah ketika kedewasaan sudah matang gemading, kira-kira umur 30 tahun. Jam 2 siangnya hidup adalah ketika kita sudah menjadi tokoh di bidang kita, sudah meraskan hidup yang sebenarnya bagi kebanyakan orang, yakni umur 40 tahun.

Jam 3 siangnya hidup adalah ketika pencapaian hidup semakin gemilang dan diimbangi dengan kecerdasan spiritual yang semakin mantap. Digambarkan begitu indahnya suasana jam segini adalah ketika terang sore, itulah umur 50 tahun.

Lalu jam 4 sorenya adalah saat pensiun, atau bagi para pengusaha ya saat rekan-rekan sepantarannya yang jadi pegawai mulai tidak ngantor lagi sambil menikmati berhamburannya dana pensiun.

Dan jam 5 sorenya adalah ketika mulai akrab dengan rumah sakit, Tuhan mulai menyapa dengan sakit demi sakit penggugur dosa, untuk memastikan pada saat waktu 'kepulangan' nanti tidak banyak-banyak amat dosa yang dibawa.

Dan jam 6 sorenya adalah saat dimana tutup usia.

Dan sekarang sudah hampir jam 12. Perhatikanlah dengan cermat, ini memang bukan data ilmiah, tapi sedikit banyak ini cukup menggambarkan perumpamaan perjalanan hidup yang sebenarnya. Perhatikanlah dengan cermat bahwa mid-day, jam 12 siangnya hidup, tengah-tengahnya hidup itu bukan tengah-tengahnya umur, katakanlah umur 35, bukan. Tapi tengah-tengahnya hidup adalah umur 25.

Artinya dalam hitungan linear, setengah umur pertama hanya 25 tahun, sedangkan setengah umur berikutnya 45 tahun. Kira-kira begitu. Itu artinya memang masa muda jauh lebih mahal ketimbang masa tua. Itu artinya memang masa muda lebih padat ketimbang masa tua. Itu artinya masa muda memang lebih dinamis ketimbang masa tua. Itu artinya masa muda harus lebih kita hargai ketimbang masa tua, kita tidak bisa bersantai-santai membayangkan masa tua akan berjalan santai sesantai kesantaian kita di masa muda.