10/25/14

Ritual Sura : Mencerca di balik mimbar

Apa hebatnya bergegap gempita mencerca pelaku ritual 'klenik' Sura di balik mimbar masjid kota yang jamaahnya sudah modern?

Kalau berani datangi mereka yg memang pelaku ritual, ceramahlah disana. Atau kalau masih mau sedikit pakai akhlak, pahami mereka dari dekat, syukur2 risetlah dulu  barang beberapa bulan atau tahun sebelum ceramah mencerca mereka.

10/16/14

Makan Malam

Dibilang telat si belum, tapi lapar iya. Akibat melewatkan beberapa rest area di sepanjang Cipularang, sampai keluar pintu tol, hasrat untuk makan belum tersalurkan.

Mengisi bahan bakar tambahan dan memelankan laju kendaraan, sambil tolah-toleh kanan kiri, menatap setiap kios dan warung tenda.

Tak ada yang membuatku kepincut. Secara kriteria kiosnya, menunya, pelayanannya, keleluasaan selonjorannya sepertinya diambang batas ekspektasi semua. Satu-satunya alasan aku memutuskan untuk singgah adalah jika dan hanya jika aku lapar sekali. Yang kalau aku tidak makan, maka aku akan mati seketika.

Namun, makan malam kali itu bukanlah sekedar memasukkan nasi ke dalam lambung, menggelontor kerongkongan dengan air. Karena makan malam kali itu hanya sekali disepanjang perjalanan pulang dari Jakarta ke Banyumas malam itu, tak bisa diulang lagi. Bahkan itu adalah makan malam tanggal 4 Oktober yang hanya sekali-kalinya sepajang hidupku.

Antara lapar dan antara ayam goreng mergo yang aku idam2kan bertarung hebat memberangus kantukku menyetir. Namun, tak kunjung ada warung tenda dan kios yang membuatku kepincut.

Sampai masuk di daerah Limbangan. Warung2 kumuh, sesak dan panas tidak terlihat lagi. Yang ada adalah resto-resto yang menggiurkan. Aku kepincut habis, terbayang semua kriteria atas kekenyangan hasratku bisa aku lampiaskan sempurna di saung-saung mewah di pinggir jalan itu.

Namun entah, hasrat pelampiasan itu masih kalah oleh keinginanku untuk berjodoh dengan ayam goreng mergo.

Sampai akhirnya belasan menit berlalu dan aku tidak bergeming untuk mampir. Jalanan yang ramai lancar mendadak macet. Bebedapa ratus meter aku bergerak tersendat dalam macet, saat menoleh ke kiri depan, tampak billboard ayam goreng yang aku gadang-gadang itu.

Aih senangnya, karena kupikir masih harus menunggu tiga perempat sampai satu jam lagi untuk menggapai klangenanku itu. Belum ditambah macet. Ternyata tidak harus selama itu.

Lahap makan malam kali itu. Makan malam yang nikmat dan penuh arti.

10/15/14

Elitis & Merakyat

Purwokerto yang elitis, bertemu dengan Purbalingga yang bukan cuma merakyat, tapi memang rakyat beneran. Yang elitis secara alami menjadi junior ketika berhadap-hadapan dengan rakyat beneran.

Beneran rakyatnya, beneran tirakatnya, beneran cari uangnya, beneran infak fisabililahnya.

Beneran pergerakannya, bukan cuma pemikiran. Beneran fightingnya, bukan cuma tulisan.

Down to earth, undur diri dari elitisme, mungkin itu lebih baik.

Menanti Kereta Api Swasta

Menelusuri rel mati, menyaksikan bangunan-bangunan stasiun kuno, tampaknya lebih menyenangkan ketimbang menelusuri dan menyaksikan cara PT KAI membangun dirinya sekarang. Konon kabarnya, PT KAI bersikukuh untuk mengalihkan PSO alias subsidi kereta murah. Dengan segudang alasan, tapi satu akar rumpunnya : kepentingan kapital.

Kita tahu, kereta ekonomi AC dan bisnis selama ini mendapat kompetitor internal, dikanibal oleh saudaranya sendiri, KA ekonomi (yang sekarang juga sudah AC). Dengan fasilitas yang tidak terlalu jauh berbeda, tetapi harga tiketnya berbeda jauh akibat kereta ekonomi mendapat subsidi PSO.

Dengan alasan Commuter Line dipakai harian, sedangkan kereta api ekonomi jarak jauh tidak harian, maka PSO dialihkan dari kereta jarak jauh ke Commuter Line. Penasehat hukum PT KAI kecolongan satu butir dalih, bahwa Commuter Line sekalipun dipakai harian, itu digunakan oleh orang-orang yang punya pekerjaan, punya gaji. Sedangkan KA ekonomi lokal jarak jauh, dipilih oleh orang yang tidak mampu, yang mungkin juga pengangguran, tidak mendapat fasilitasi lapangan kerja dari negara yang terpaksa harus bepergian luar kota karena ada saudaranya yang sakit atau kesripahan.

Silahkan sesekali naik kereta ekonomi jarak jauh, tanyai penumpang bepergian dengan tujuan apa saja. Rakyat mengamanatkan transportasi umum kepada PT KAI dan Perum Damri. Kini Perum Damri harus menanggung beban sendiri.

Selama landasan kapitalistik selalu jadi orientasi pembangunan perkeretaapian, dia hanya akan bertahan jika dan hanya jika kereta api swasta belum muncul.