5/17/16

Materialisme, Eksistensialisme

Sejak aku sadar di sekolah aku dikandangkan untuk menjadi perahan industri, batinku minggat meski lahirku tetap tertahan. Batin sudah minggat, badan kemudian ikut-ikutan tak kuat tetap bertahan. Untung bisa menahan badan, setidaknya sampai dapat ijasah.

Hidup itu memang butuh materi, karena itu kita harus mencarinya. Tapi bukan berarti kita harus menjadi pengaut agama materi, yang inna sholati, wanusuki, wa mahyaya, wa mahmati li materi.

Tapi sekarang, sudah sempurnalah kemurtadanku dari agama materi. Sudah, selesaikan euforiamu, kebiasaanmu berbangga-bangga mengaku-aku menjadi kaum murtad.

Kamu sudah berada di agama baru. Kamu tak butuh mencantumkan agama non-materi mu itu di KTP. Cukup dibatin saja juga nggak apa-apa.

Kalau kamu tidak paham ini, diam-diam justru kamu terseret masuk ke dalam agama eksistensi. Malah lebih mengerikan lagi.

5/8/16

Bulan Puasa di Manila

Ini kali pertamaku merasakan suasana Bulan Puasa di negeri orang. Manila, Ibukota negara Filipina, di Bulan Puasa tahun kemarin aku berkesempatan mengunjunginya. Kami bertiga dalam rombongan backpacker kali ini.

Di Kota Manila, muslim adalah minoritas. Ketika berangkat dari tanah air, nuansa Bulan Puasa begitu kentara, mulai dari pengeras suara di Masjid dan Surau, jalanan yang lengang karena warung makan sebagian tutup, juga iklan-iklan di televise yang dipenuhi oleh sirup, sarung dan obat maagh. Berbeda situasinya setiba aku di Ibukota negara yang terletak di sisian Samudera Pasifik saat itu, tidak ada pengeras suara nuansa Bulan Puasa menggema, warung dan penjaja jajanan juga ramai saja.

Dengan penerbangan Cebu Pacific Airlines tengah malam kita meninggalkan Jakarta, tiba di Bandara Ninoy Aquino International pagi-pagi buta. Setelah sejenak meregangkan tubuh di selasar hall kedatangan, lalu menuju money changer, kita lantas beranjak menuju halte shuttle bus. Dengan shuttle bus seharga 20 Peso, kita terangkut menuju stasiun MRT dalam kota terdekat. Kurs untuk 1 Peso sekitar 300 rupiah. Setelah naik MRT, kita harus menyambung dengan kendaraan lagi untuk mencapai hotel. Disinilah kita menjumpai angkutan yang hanya ada di Filipina, angkutan umum mirip jeep, mirip oplet, Jeepney namanya. Bentuknya lucu, ditambah livery yang dibuat oleh si-sopir suka-suka, menjadi kesan tersendiri menumpangi Jeepney. Ruang untuk penumpangnya luas dan ongkosnya murah, 8 Peso saja.

Sesampai di Artina Hotel, kita diijinkan early chek in gratis. Mungkin sang receptionist kasihan melihat muka lusuh kita, apalagi diluar sedang turun hujan. Padahal Bulan Juli 2015 waktu itu Indonesia masih kemarau, tapi Filipina hujan dan gerimis sepanjang hari. Tampaknya Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sedang tidak akur. Hehe..

Jeepney

Setelah badan terasa lebih fit, menjelang sore hari kita kembali berburu Jeepney. Masih belum puas menikmati kendaraan unik yang satu ini. Kali ini destinasi kita adalah menuju Carriedo. Di Carriedo terdapat masjid terbesar di Manila, Moskeng Ginto namanya. Masjid ini kubahnya dicat kuning keemasan, karena inilah dinamai Moskeng Ginto yang berarti Masjid Emas. Disekeliling masjid dihuni oleh penduduk Muslim, sehingga kawasan tersebut disebut Moslem Town.

Jam di Manila lebih cepat dua jam dari Jakarta, karenanya buka puasanya terasa lebih lambat dua jam. Kita biasa berbuka puasa menjelang jam enam, kali ini harus menunggu jam setengah delapan lebih. Tapi kukuruyuknya perut untungnya terhibur oleh stand pembagian buka puasa gratis di halaman masjid. Horee.. senangnya berbuka puasa bersama di negeri orang, gratis pula.

Moskeng Ginto tentu saja tidak sebesar Istiqlal. Masjid terbesar di Manila ini mungkin setara besarnya dengan masjid-masjid agung di kabupaten-kabupaten di Indonesia. Masjid cukup ramai oleh jamaah, karena memang disekelilingnya dihuni oleh penduduk Muslim. Disamping itu, kala itu juga sedang Bulan Puasa. Penjaga Masjidnya bersikap ramah terhadap tamu, kita diajak berkeliling untuk mengenali arsitektur dan diberi cerita singkat sekilas masjid ini. Sayangnya, lingkungan sekeliling masjid masih kumuh terkesannya. Terlebih saat itu becek karena musim hujan. Mungkin perlu dibuatkan pagar yang lebih rapih sebagai pembatas masjid dengan hunian penduduk disekelilingnya, sehingga sampah rumah tangga tidak ikut membuat kumuh masjid.

Seusai mengikuti sholat taraweh, kita mengisi waktu dengan berkeliling sekitar Moslem Town itu. Disini banyak warung makanan dan jajanan. Diantara makanan yang unik adalah ikan asap yang ditusuk utuh berukuran 30 – 40 cm. Sebab aku tidak menyukai ikan, aku tidak berminat untuk mencobanya. Bagi kaum Muslim tentu berbelanja makanan di area ini aman, karena diluar sana banyak sekali makanan yang mengandung babi. Meskipun diluaran sana kita dapat mengenali warung makan yang menyediakan babi atau tidak dengan di papan namanya terdapat tulisan “Bobbay”.

Di hari berikutnya, giliran kita mengeksplorasi sejarah Manila di Museum Nasional-nya. Museum yang memanfaatkan bangunan peninggalan kuno yang megah ini memiliki koleksi yang lengkap, mulai dari sejarah purbakala, sejarah awal Filipina hingga perjalanan tumbuh kembang seni budaya, tradisi dan pangan Filipina hingga saat ini. Untuk menikmati semua itu, kita tidak dipungut tiket masuk. Souvenir shop ada di sisi museum, kita memborong untuk oleh-oleh disini.

Moslem Town
National Museum
Selain mengunjungi Rizal Park, selebihnya di hari itu kita mondar-mandir menikmati MRT dan Jeepney, moda transportasi dalam kota yang tidak mewah, tapi mudah dan murah.

Di hari ketiga yang menjadi hari terakhir kita di negara bekas jajahan Portugis ini, kita melanjutkan eksplorasi ke Manila Bay. Pantai di pusat kota ini berada disamping persis Kedutaan Besar Amerika Serikat. Lalu disampingnya lagi ada Pelabuhan Laut Manila. Setelah kepayahan berjalan kaki lima kilometer lebih menyusuri pantai dan menyusuri jalanan kota Manila, tibalah saatnya kita menuju Bandara. Untuk menjangkau stasiun MRT terdekat, kita memilih kendaraan semacam Bentor (Becak Bermotor). Aih sayang, driver bentornya nakal. Harga yang disepakati 40 Peso saat sebelum naik, lalu saat turun dia memaksa kita membayar 80 Peso. Daripada membuat ribut di negeri orang, ya sudah lah aku bayar saja sesuai yang dia minta.

Naik Bentor
Halte LRT
Akhirnya sampailah kita di Bandara, menunggu penerbangan berikutnya menuju Singapura. Lain kali mudah-mudahan ada kesempatan mengeksplorasi lebih luas negara ini. Mungkin bisa dicoba lewat jalur laut, menyeberang dari arah selatan dari Pulau Morotai di Indonesia Timur sana.[]