Tram sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Menurut cerita yang dituturkan Mas Miko dan koleksi dokumentasi Banjoemas.com, komunitas sejarah & heritage yang ia bina dan aku ikut2an nimbrung di dalamnya, tram ini sudah ada di Indonesia pada masa pendudukan Hindia-Belanda dulu. Bukan hanya di Batavia, bahkan di Purwokerto pun ada, salah satu jalurnya melintasi Pasar Wage.
Sebuah tram melintas didepan hotelku. Membayangkan ini di Pasar Wage. Oho.. |
Diantara belasan museum kereta api dan tram yang tersebar di belasan kota, aku hanya sempat mengunjungi museum tram di Horn. Sayang, karena waktu yang terbatas, saya tidak sempat mencicipi naik tram kuno disana. Mungkin ada diantara koleksi tram yang ada, adalah jenis tram yang berkembang di Indonesia pada masa negeri ini diperintah oleh Ratu negeri Kincir Angin ini dahulu.
Sebuah Kereta Intercity berhenti di Stasiun Amsterdam Centraal |
Beralih ke soal air, negeri ini kini menjadi rujukan penaklukan air bagi negara-negara di seantero jagad. Negeri yang 60% daratannya berada dibawah permukaan laut ini sudah setengah abad lebih tidak menjumpai banjir. Dam atau bendungan dengan sistemasi yang fungsionable tersebar dimana-mana. Aku hanya sempat menghampiri tanggul pinggir pantai di Volendam, selebihnya aku menonton berbagai miniatur terknik pengaturan air di Taman Mini Madurodam.
Tanggul di tepi laut, Volendam |
Miniatur bendungan dan sistem pengairan terpadu di Madurodam, bisa untuk belajar anak-anak |
Penataan saluran air yang smart, sehingga dibawah kalipun masih bisa dibuat ruang tinggal |
Indonesia impor daging sapi, udah impor tapi harganya 2x lipat dari negeri jiran, itu bukan soal kita tidak bisa membangun peternakan, tidak bisa mengairi rumput. Tapi soal proyek dan soal mafia kok. Begitu pula Jakarta yang katanya mustahil bebas banjir, loh kok bisa fatalis begitu, orang Jakarta masih diatas permukaan air laut kok.
Balik lagi ke Nederland, berikutnya aku terkesan pada perilaku warga yang 'njawani' disana. Diantaranya, pejalan kaki begitu dihormati, kalau ada orang mau menyeberang, mobil mengalah, bukannya klakson-klakson bikin bising. Trotoar juga leluasa untuk menjelajahi kota dengan berjalan kaki.
Kemudian budaya family-time, dimana waktu untuk keluarga yang membudaya disana adalah memasak dan makan bersama dirumah, bukannya makan diluar. Pantas saja, jarang aku menjumpai resto keluarga, banyakan bar dan cafe. Pekerjaan rumah juga menjadi urusan pemilik rumah, bukan semata-mata pembantu. Taman-taman yang sederhana tapi apik di depan rumah-rumah mungil yang aku lihat, ternyata itu dirawat oleh istri-istri saat mengisi waktu menunggu suami pulang kerja. Ya, kalau mau mempekerjakan tukang kebun disana harus siap merogoh kocek EUR 10 perjamnya.
Dan yang 'njawani' lagi disana adalah banyaknya penduduk Suriname dan keturunannya, yang mereka faseh berbahasa Jawa, walau tak bisa bahasa Indonesia. Asik berbicara dengan mereka, bahasa Jawa yang entah Banyumasan, Tegal, Solo, Semarang mbuh campur-campur ra nggenah. Hahah.
Berpose didepan Merah-Putih-Biru (Untung nggak bawa gunting, jadi nggak bisa merobek birunya. Hehe) |
Ah, masih butuh petualangan panjang untuk mengobati kerinduan menemukan Indonesia yang disini hilang, sedangkan banyak masih tersimpan rapih disana.
Bule-bule menari Bali |
No comments:
Post a Comment