Akhirnya saya kembali membuat rekening di Bank Tidak Syariah (Baca : Bank Konvensional) karena saya kecewa dengan praktek pelayanan Bank Syariah sebagaimana pertama kali saya membuat rekening dulu.
Dulu saya tertarik membuat rekening di Bank Syariah karena tidak ada biaya bulanan. Dalilnya jelas kata mereka, tidak ada transaksi uang di atas uang. Lah, seiring dengan berjalannya waktu, ketika umur rekening saya sudah menginjak tahun ke-empat kok sekarang ada biaya administari bulanannya?
Satu Bank Syariah menawarkan biaya bulanan 6.000/bulan, dan Bank lainnya menawarkan 7.500/bulan. “Loh, apa-apaan ini, Bank besar di ujung perempatan sana saja cuma 9.000/bulan dan bank satunya lagi 10.000/bulan”, masa beda tipis nominalnya sama mereka yang tidak syariah si, begitu pikir saya.
Mungkin Bank Syariah akan berdalih, “Loh itu kan biaya administrasi Mas, Bank kan perlu ongkos operasional”. Pertanyaannya, lalu apa bedanya dengan fasilitas perbankan konvensional, misalnya kartu kredit. Kartu kredit juga kalau membayarnya tepat waktu, pada masa bebas bunga, nasabah tidak dikenai bunga. Nasabah hanya dikenai biaya belanja sekitar 2% sebagai biaya administrasi.
Inilah bedanya Bank Syariah dan Bank Bukan Syariah, Bank Syariah mengatakan dengan ketinggian hati bahwa ini biaya adminstrasi, bukan bunga. Sementara Bank Konvensional dalam mengenakan biaya kepada nasabah pada saat belanja menggunakan kartu kredit dengan istilah bunga, padahal itu hanyalah biaya operasional.
Ibaratnya, si A pacaran dengan si B mengatakan “Sayang aku mencintaimu, sungguh, cup cup muah…”, sementara si C taarufan dengan si D mengatakan”Ukhti, sungguh aku mencintaimu karena Allah”.
Praktek lainnya lagi adalah soal pembiayaan yang dilakukan oleh Bank yang dinamai orang sebagai kredit. Bank Syariah menunjukkan kesyariahannya dengan pembangunan terminologi kredit seperti ini : Nasabah mau beli apa, misalnya mau beli mobil. Maka mobil itu akan dibeli dulu oleh Bank Syariah tersebut dan selanjutnya Nasabah membeli ke Bank Syariah tersebut dengan model mengangsur.
Saya bingung membedakan praktek ini dengan praktek Bank Konvensional yang menawarkan program Payment 10 kali angsuran dengan kartu kreditnya. Bank Konvensional itu tidak mengatakan, “Ini saya belikan dulu ya, nanti kamu mengangsur ke saya”, tapi pada prakteknya Bank tersebut memang membelikan terlebih dahulu ke toko, baru kemudian nasabah mengangsur ke Bank setelah harga dinaikkan. Loh, kok sama saja. Jadi apakah ternyata Bank Konvensional itu Syariah juga, tetapi tidak mengaku-ngaku.
Sisi lain lagi, seharusnya Bank Syariah merasa dirinya tergugat oleh konsep koperasi dengan azaz utamanya : Kekeluargaan dan Gotong Royong. Seorang calon nasabah Bank Syariah mengeluhkan praktek pemberian kredit di sana, menurut ketentuan yang disosialisasikan, besaran bagi hasil atau yang kalau di Bank Konvensional disebut beban bunga yang harus ditanggung nasabah bersamaan dengan pengembalian kredit mereka bilang sesuai dengan kesepakatan. Tapi ternyata, bentuk kesepakatannya menjadi begini, “Ini si biasanya kalau orang pinjam di kita bagi hasilnya sekian, kalau kamu mau sekian ya pinjaman saya kucurkan, kalau enggak mau ya sudah”.
Sudah tiga point, terakhir adalah tentang salam di Bank Syariah. Kalau anda sering ke Bank Konvensional, akan mendapati sapaan dari Satpam bak burung beo yang mengucapkan salam serupa kepada semua nasabah “Selamat siang, selamat datang di bank bla bla bla”, tapi kalau di Bank Syariah tidak ada itu selamat siang, salamnya harus Assalamu’alaikum. Tapi sayang, “Assalamu’alaikum” melekat menjadi SOP, sampai beberapa kali saya ke Bank Syariah dan saya yang uluk salam duluan “Assalamu’alaikum”, eh dijawabnya bukan “Waalaikumussalam”, tetapi justru si petugas mengatakan ulang “Assalamu’alaikum”.
Tidak serta merta ketika menggunakan peci, jilbab dan salamnya Assalamu’alaikum kemudian seuatu institusi menjadi layak mencap dirinya sebagai institusi syariah. Bahkan saya miris, simbol-simbol syariah itu seolah-olah menjadi value added agar bisnisnya lebih laku. Syariah adalah pelaksanaan tata nilai, kesyariahan justru ada pada gagasan koperasi yang dicetuskan oleh Wakil Presiden pertama kita, Mohammad Hatta. Bahwa sumber modalnya itu syar’i, komponennya jelas, dari Si A, Si B dan Si C nya pun rinciannya jelas, mana simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela.
Kemudian basis bisnisnyapun syar’i, manusia. Koperasi mengemban konsep one man one vote bukan satu saham satu suara, makin banyak sahamnya makin besar suaranya. Begitupun pembagian hasilnya terbuka, tidak ujug-ujug keluar dalam skala prosentase bagi hasil. Pembagian hasilnya Syar’i melalui sebuah forum tertinggi bernama RAT (Rapat Anggota Tahunan).
Begitulah, kalaulah bangsa kita mau beralih dari bangsa konvensional berganti menjadi Republik Indonesia Syariah, caranya tidak dengan cara ikut-ikutan manajemen perusahaan Bank Syariah, yang memunculkan bahasa-bahasa Arab dalam praktiknya, mengenakan simbol-simbol syariah dalam kesehariannya, tetapi pada prakteknya tetap banyak praktek Bank Konvensional yang masih diterapkan.
Bangsa ini tidak serta merta menjadi syariah dengan memperbanyak jumlah masjid, dengan memperbanyak kegiatan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) yang menghambir-hamburkan dana negara dengan borosnya. Kalau Mau jadi bangsa syariah, cukup dengan mengambil alih pengelolaan Freport, diserahkan kepada SDM pribumi untuk dikelola dengan azaz Kekeluargaan dan Gotong Royong. Sampaikan “Amerika, ini Gunung Grasberg punya saya, saya sudah bisa mengelola sendiri, saya mau dikelola dengan konsep syariah, jadi kontrak kita selesai hari ini ya, terima kasih”.
Lalu Amerika protes, “Loh, tidak bisa! kontraknya kan masih tiga ratus tahun lagi. Kamu nanti saya laporkan ke Pengadilan Arbitrase Internasional loh.”
Indonesia yang cerdas menjawab, “Laporkan saja, sekalian nanti saya mau beberkan kerusakan lingkungan hidup akibat ulahmu di Pulau Surga Papua 100 tahun terakhir ini loh ya.”
Dan begitupun untuk semua praktek pengelolaan cabang-cabang produksi vital bagi negara, yang membuat salah satu negeri penghasil gas terbesar di dunia ini PLN nya kebingungan mencari gas karena diobral keluar negeri semua. Ayo, saatnya men-syariahkan Republik ini, bukan sekedar labelnya, bukan cuma citranya, tetapi nilai-nilai dan prinsipnya. Toh nilai dan prinsip koperasi tidak mengimpor dari bangsa manapun, itu warisan Bapak Bangsa kita sendiri.
No comments:
Post a Comment