Modeling kesuksesan saya bergerak dari waktu ke waktu. Pre-school, zaman saya TK bahkan sebelum TK, model kesuksesan saya adalah artis masa kini, pakai baju santai sambil menyetir mobil mewah, disukai banyak teman wanita dan yah, indahnya dunia.
Lalu bergerak, ketika SD, walaupun disuguhi Wiro Sableng berlebihan, modeling saya tidak pada pemilik kapak 212 itu, saya memodel pendekar harum. Menjadi pribadi yang berpembawaan kalem, tapi dibaliknya dia sakti dan tersohor. Sempurnalah menjadi seperti itu.
Ketika beranjak SMP, berubah lagi, kali ini model saya adalah Habibie. Ilmuwan yang terkenal karena penemuannya, betapa bangganya bisa seperti itu. Haha, masih ingat dulu saya membayangkan masuk sekolah analis kimia SMAKBO, dan mencari-cari informasi tentang sebuah sekolah ilmuwan berbeasiswa VEDC Malang, atau berrembug mendalam dengan seorang teman untuk bercita-cita masuk ke President University.
SMA berubah lagi, kalau SBY tidak wagu-wagu amat sebenarnya saya memodel beliau, tapi sayang dari periode pertama saja saya sudah membawa kewaguannya. Saya akhirnya tidak memodel tokoh, saya hanya memodel kedudukan : Presiden.
Presiden inipun terbagi dua fase modeling, fase pertama : Saya fokus berorientasi ke kemewahannya, mewah istananya, fiuh betapa senangnya bisa mencutri jepret di beranda istana, sebuah tempat yang dilarang berfoto disitu, termasuk foridernya, dan semua orang yang menghormat ketika upacara HUT kemerdekaan.
fase kedua : saya fokus ke kebesaran pribadinya, bagaimana menjadi seperti Ahmadinejad, yang presiden tapi berbeda dari kebanyakan, hidup sederhana tapi besar kontribusinya.
Dipikir-pikir jadi presiden capek juga, maka ketika kuliah, model berubah lagi, semua teman dekat saya tahu siapa model selanjutnya : Ary Ginanjar. Ya, bagaimana menjadi tokoh public (umum) atau tokoh swasta, tapi bisa membangun bangsa dengan PT Arga Bangun Bangsanya.
Dan sebentar lagi saya lulus, siapakah model baru berikutnya? Caknun? Sunan Bonang? Abdurrahman bin Auf? atau yang lain?
Kalau dikaitkan dengan diagram maslow, yang menjelaskan tentang hierarki kebutuhan manusia, bergantinya model dari waktu ke waktu adalah tanda yang positif, tanda bahwa kita terus belajar, tanda bahwa sikap "ndunya" kita itu mengikis dari waktu ke waktu, sampai mudah-mudahan waktunya cukup nanti untuk mengatakan "Laa" pada dunia.
Kalaupun waktu tidak cukup, toh, kita sedang menuju kesana.
No comments:
Post a Comment