Gaul gitu loch... pakai celana pensil, bawa bolpoint, jangka sorong, kacamata tebal & kalkulator scientific, itu adalah tanda-tanda gaul. *betul nggak sih? hehe... ngarang...
Ya intinya begitu lah, nah sekelompok anak-anak yang merasa dirinya gaul dengan segala atribut ke-gaul-annya itu akhirnya mendirikan suatu komunitas atau perkumpulan yang lebih reket. Akhirnya dibentuklah Dewan Gaul Indonesia.
Kira-kira menguntungkan atau merugikan ya pendirian organisasi itu? Bagi para pengikut dewan tersebut pasti menguntungkan, kenapa? Pertama, mereka jadi eksis di ranah kegaulan, kedua, mereka lebih mudah memberikan pengaruh gaulisme kepada sesama anggota perkumpulan, ketiga, bisa diatur proses rekrutmen untuk menambah jamaah gaul Indonesia.
Tapi bagi public, terutama dunia gaul, keberadaan mereka bisa jadi merugikan. Anak-anak yang sebenarnya sangat gaul, bukan hanya penampilannya, tapi juga jiwa, dan ideologinya, tetapi mereka tidak menampilkan diri dan membentuk organisasi massa seolah-olah tidak eksis.
Seolah-olah ada stigma sosial, belum gaul kalau belum gabung di Dewan Gaul Indonesia lah pokoknya. Padahal, mungkin anak-anak supergaul banyak, dimana ideologi, nafas dan ruh kegaulannya bisa jadi tidak bisa ditampung oleh organisasi Dewan Gaul Indonesia, satu aliran yang baru muncul kemarin sore itu.
Walhasil, kosakata "gaul" akhirnya dimonopoli oleh aliran perkumpulan itu. Bukan hanya orang-orang supergaul yang tidak bisa dikenal kegaulannya, tetapi juga anak-anak norak, kampungan, kutu buku dan dari berbagai golongan lain yang ingin menjadi gaul merasa minder, karena terlanjur lahir stigma, kalau belum gabung di DGI, belumlah disebut gaul.
Walhasil, mereka tidak pernah berusaha untuk menggaulkan dirinya, untuk bertahap berproses menjadi anak gaul. Kasihan ya..
No comments:
Post a Comment