Sudirman, nama anak desa ini tidak ada artinya kalau tidak dijadikan nama-nama jalan di hampir semua daerah di Indonesia. Bahkan salah satu kawasan sentral di Jakarta namanyapun Sudirman. Sudirman si Bapak TNI, salah satu pahlawan nasional yang namanya hampir tanpa cacat sedikitpun, ia seorang Jenderal Besar, Jenderal Terbesar yang Indonesia miliki.
Apakah Sudirman dulu berjuang dengan berkeliling keseluruh pelosok Indonesia? Tidak, rute perang Sudirman yang dicetak di buku-buku sejarah hanya di sekitar Jawa Tengah bagian selatan dan Yogyakarya saja. Apakah Sudirman dulu mempopulerkan perjuangannya dengan memasang baliho di setiap perempatan di negeri ini? Tidak, perangnya bersenjatakan bambu runcing dan senjata mesin rampasan saja.
Apakah Sudirman mendapat fasilitas kemewahan dari negara untuk mempertahankan kemerdekaannya? Tidak, kendaraan termewahnya hanyalah tandu yang digotong empat orang saja. Sakitnya tidak ter-cover asuransi paviliun kelas I.
Tapi Sudirman begitu melegenda, patungnya ada dimana-mana. Bahkan, sebuah distro bertema nasionalisme, Semangat Donk Clothing mencatat rekor penjualan tertinggi pada kaos seri inspirator yang bercetakkan pahlawan dan tokoh bangsa untuk kaos bergambar Sudirman.
Sudirman, startegi perangnya adalah gerilya. Alih-alih dia minta pengakuan public atas perjuangannya, justru sebisa mungkin tidak ada orang yang tahu kalau dia dan pasukannya sedang bergerak. Merangsek masuk hutan keluar hutan, dienergii oleh keyakinan yang terpatri sekuat berlian. Keyakinan bahwa perjuangannya dilindungi Allah Tuhan Yang Maha Pelindung, keyakinan bahwa kemenangan sekalipun berat pasti akan diraihnya.
Keyakinan itulah yang mahal harganya, yang kalau dikonversi ke dalam mata uang akan bernilai triliunan rupiah. Karena dengan keyakinan itu, pasukan bambu runcing bisa mengalahkan peralatan mahal, senapan, granat, meriam dan peralatan tempur penjajah yang canggih lainnya.
Pertanyaan sekarang, adakah yang mewarisi keyakinan Sudirman di masa kini? Keyakinan untuk mengalahkan dominasi penjajahan kapitalisme seperti keyakinan yang dimiliki oleh Sudirman dan pasukannya mengusir penjajah imperialis waktu itu. Keyakinan yang direpresentasikan dalam sebuah strategi yang panjang, melelahkan dan sunyi bernama perang gerilya.
Jawabannya adalah : Ada.
Lalu pertanyaan selanjutnya, siapakah Sudirman masa kini yang sedang bergerilya melawan penjajahan pemikiran itu? Sudirman masa kini tidak cuma satu, ada banyak, itulah yang harus kita syukuri, itulah yang harus menjadi sumber energi kita untuk optimis, bahwa bangsa kita bisa merdeka lagi, merdeka semerdeka-merdekanya.
Keyakinan dan semangat Sudirman kini mewaris ke Motivator Mario Teguh, mewaris ke Budayawan Emha Ainun Najib, mewaris ke tokoh muda Adhyaksa Dault, mewaris ke serentetan tokoh lainnya yang karena kecerdikan gerilya mereka bahkan kita tidak pernah mengindahkan hasil perang mereka.
Mereka tidak melawan pelaku kapitalisme global secara frontal, mereka tidak mengkudeta pemerintah. Mereka hanya membagikan pengertian-pengertian tentang kebijaksanaan, optimisme, melek-sosial, pencetakan prestasi. Terlihat sepele semua itu, sesepele satu batang bambu runcing.
Tugas kita adalah mendukung upaya mereka mengangkat dan menghujamkan bambu runcing, meredam gejala depresif, sehingga bertahap, tapi selalu meningkat secara elevatif, setiap komponen kecil dari bangsa ini, pemuda-pemuda, keluarga-keluarga, kampung-kampung, mulai bisa cerdas membaca zaman, siapa yang menyetir, disetir kemana dan bagaimana sikap kita seharusnya.
Sadarilah keberadaan pelaku gerilya disekeliling kita, mereka menempuh jalan sunyi, terseak-seok oleh rungkudnya semak belukar kepentingan industri. Mereka belepotan oleh fitnah dan caci maki bangsa sendiri, dianggap omong doang, dianggap sesat, dan anggapan-anggapan lainnya.
Temukanlah orang-orang seperti mereka lebih banyak, jadilah bagian dari gerilya.
No comments:
Post a Comment