Sekarang jadi tahu aku, kenapa orang enggan jadi pengusaha. Pengusaha itu susah, susahnya minta ampun. Belum berhasil harus prihatin, sudah berhasil disiriki orang. Belum berhasil harus banyak sedekah, sudah berhasil juga tidak serta merta ayem karena badai bisa datang sewaktu-waktu.
Cara menikmati pilihan jalan hidup seorang pengusaha memang berbeda dengan cara menikmati telor ceplok, yang tinggal di tok-tok cangkangnya, lalu di bukan dan di sreng deh. Cara menikmatinya seperti menikmati nasi goreng. Nasi, sebelum digoreng, haruslah ditanak terlebih dahulu. Kalau kita menginginkan nikmat rasanya nasi yang digoreng tanpa nasi itu dibuat nasi dulu, atau masih dalam bentuk beras, yang ada adalah seliliten dan perasaaan awut-awutan di perut.
Peluang membanjir, relasi mentsunami, kepercayaan masih terjaga baik (kecuali oleh beberapa orang), memformulasikan ide lagi cemerlang-cemerlangnya, sumber daya seperti tempat, telepon dan internet juga tersaji sempurna. Ibaratnya, cabe ada, wajan ada, Bimoli ada, merica ada, timun ada, tomat ada, komplit semua bahan-bahan membuat nasi goreng. Tapi persoalannya kita sebagai beras belum tanak menjadi nasi.
Masih harus di tim dalam rice cooker beraroma keputusasaan akibat gagal-gagal bae, mbulet dengan aroma sesak nafas tiap kali teringat jumlah nominal utang, gelap gulita rasanya karena tiap kali melihat satu ide bisnis yang sepertinya cemerlang, sepersekian detik berikutnya langsung disusul oleh gerhana-gerhana kegagalan masa lalu. Belum lagi tambahan rasa tercekik akibat orang-orang yang selifting bahkan lebih muda, tapi nampaknya mereka begitu mudahnya mencapai sukses.
Itu perumpamaan di dapur, kalau masih bingung dengan perumpamaan itu, masih ada perumpamaan lainnya. Ibaratnya kita sudah download software, formatnya *.zip, isinya sudah komplit, tapi cracknya belum ketemu. Ya sudah deh, mumet-mumet... mbulet-mbuleeet dah....
Saatnya meng-crack. Saatnya menjaga stabilitas api kompor, "semua akan tanak pada waktunya...".
No comments:
Post a Comment