Kalau terminologi maju saja masih awut-awutan, ya mending enggak usah maju. Maju, berarti mal dan supermal juga superblock hadir. Limbah akan jadi soal, soal yang tak serumit soal tergesernya pedagang kecil penjaja kelontong.
Maju, berarti meningkatnya pencapaian penjualan showroom mobil, artinya polusi dan kemacetan menjadi prestasi yang begitu mengharumkan sekaligus mengharukan.
Maju semacam itu tidak perlu. Maju itu, bertambah kuat karakternya, Islam transnasional yang mengajarkan marginalisasi kelompok dan polarisasi golongan jadi tidak bisa berkembang, karena masyarakatnya lebih menjunjung tinggi keramahtamahan, Sunnah Sang Rasul untuk memberi salam sekalipun kepada yang tidak dikenal tetap dijunjung tinggi.
Maju itu bertambah gotong-royongnya, yang namanyanya MEMBANGUN BERSAMA itu ya benar-benar bersama, bukannya pejabatnya membangun dengan digaji, dan rakyatnya disuruh mendukung pembangunan dengan dipalaki serentetan pajak dan retribusi.
Maju itu menjadi semakin tertib, penertiban kaki lima itu bukan dengan direlokasi ke tempat yang sepi, sisa bengkok pemda yang tidak marketable, tapi penertiban adalah pemberian dana hibah pembenahan interior, exterior, material brand dan dana dukungan pemeliharaan sistem bagi segenap UKM.
Maju itu menjadi ringkes PNS-nya, tidak sudah gemuk, semua-semua minta Innova dan Avanza pula. Kayak becus aja mereka orang punya otak gole nggo mikir.
Tidak usah meneriakkan kemajuan, kalau tidak mempunyai definisi dan konstruksi yang jelas akan kata "Maju" itu sendiri.
No comments:
Post a Comment