Jam sudah menunjukkan pukul 7.19, sudah mencancang handuk dari tadi, tapi belum juga bergerak ke kamar mandi. Tidak ada kewajiban untuk aku mandi harus sebelum jam berapa. Dasar hukumku mandi hanyalah atas dasar kenikmatan : nikmatnya mandi jam berapa.
Sekalipun serentetan agenda sudah mengantri hari ini, pun tidak ada yang memaksa harus aku mulai sesi pertamaku hari ini jam berapa? Agenda mana yang akan aku dahulukan, aku nomorduakan, aku nomortigakan dan seterusnya.
Keputusan. Adalah satu kata yang tidak bisa lepas dalam setiap hari-hariku. Aku tak punya kantor yang membantuku berkeputusan, tak punya bos, tak punya NIP, tak punya apapun, semuanya ada di tanganku. Berat, kalau dipikir semua ini berat. Keputusan, kalau benar aku mendapat keuntungan, kalau salah kerugianpun aku yang menanggung.
Mulai dari keputusan mandi jam berapa, keputusan mengurutkan agenda, keputusan menambah PC, keputusan mengubah menu, keputusan untuk silaturahim atau cukup memelototi laptop saja, keputusan membayar tepat waktu atau membayar lain waktu, keputusan memilih mimpi A atau mimpi B, keputusan untuk memilih menyesali masa lalu atau melupakan masa lalu, keputusan untuk menentukan skala kesungguhan untuk persiapan pernikahanku. Banyak lagi lainnya.
Baru aku merasa sombong, mengentengkan istikharoh selama ini, merasa bisa dengan tepat memutuskan semua itu. Padahal, memang, aku tak punya kewajiban untuk mandi jam berapa, untuk nanti siang atau sore ngapain, tapi aku punya kewajiban untuk memberesi semua keputusan-keputusan itu.
No comments:
Post a Comment