2/29/16

Kemutakhiran Masa Lalu

Kisah ini terjadi sekitar 250 tahun yang lalu, dituturkan oleh Mbah Kung yang tahun ini genap beliau menginjak usia 100 tahun.

Alkisah Kadipaten Banyumas dipimpin oleh Adipati Yudhanegara II. Sang Adipati bertitah untuk membangun Masjid.], maka dibangunlah Masjid di sisi barat alun-alun Banyumas. Dengan membuka sistem donasi terbatas, Demang Nur Dlaiman dari Gemelem menyumbangkan soko guru atau 4 pilar utama untuk masjid tersebut sekaligus mengarsitekinya.

Setelah Masjid tersebut berdiri, Adipati kesulitan menemukan khatib atau imam masjid. Maklum, saat itu belum ada audisi orang alim seperti hari ini. Tidak selang berapa lama, seorang santri yang tengah lulus dari Pesantren Somalangu, Kebumen sedang berperjalanan menuju Pajajaran tempat kelahirannya. Ketika santri tersebut melintas di alun-alun Banyumas, dicegatlah santri tersebut, kemudian sang Adipati memohon kesediaannya untuk tinggal dan menetap di Banyumas menjadi khatib di masjid yang baru dibangun tersebut.

Singkat cerita, santri tersebut bersedia memenuhi permintaan sang Adipati. Kelak di kemudian hari, santri tersebut dikenal sebagai Eyang Sulaiman, namanya dipadukan dengan nama Deman Nur Dlaiman donatur utama dan arsitek masjid tersebut menjadi Masjid Nur Sulaiman. Masjid tersebut kini menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi oleh negara berdasarkan undang-undang.

Masjid tersebut berdiri ketika sekuleritas agama belum terjadi seperti saat ini. Selain sebagai khatib Masjid, Eyang Sulaiman dikenal sebagai penasehat spiritual Adipati Yudhanegara II. Mungkin istilah sekarang yang relevan adalah menjadi ketua Epistemic Kota. Alangkah Indahnya suasana pemerintahan kadipaten di masa itu ketika Sang Adipati mengkonsultasikan segala unek-unek dan kebijakannya kepada sesepuh terlebih dahulu yang pada masa itu sesepuh direpresentasikan oleh kaum alim ulama.

Di usia senjanya Eyang Sulaiman berpindah ke Kalimanah, Purbalingga. Entah mengapa sebabnya Mbah Kung tidak menuturkan. Dugaanku, Eyang Sulaiman pindah ke Purbalingga karena di saat itu Kadipaten Purbalingga baru saja disahkan pemekarannya oleh Negara Monarki Pajang. Sebagai kadipaten yang baru berdiri tentu saja membutuhkan konsultan Epistemic Kota pula untuk mengawal laju awal pemerintahan. Atau kemungkinan lainnya dari kepindahan itu adalah karena Eyang Sulaiman beristri orang Purbalingga.

Sejarah kerajaan dan kadipaten kini distigmakan dengan pertikaian dan keterbelakangan. Namun sesungguhnya, sejarah itu disembunyikan dari kecanggihan dan kemutakhiran sistem manajemen pemerintahan, konsititusi dan penanganan sosial. Agamawan dahulu ditempatkan sedemikian rupa dalam kasta tertinggi setara Brahmana, sekarang agamawan dikenal dikerdilkan hanya boleh maksimal hanya menjadi seorang mubaligh yang kesibukannya berceramah kesana-kesini.

Eyang Sulaiman setelah mangkat kemudian dimakamkan di pemakaman Bupati-Bupati Banyumas di Dawuhan, Banyumas. Namun anak cucunya tetap dimakamkan di Kalimanah, Purbalingga. Kompleks tempat tinggalnya ditandai dengan keberadaan Masjid Mustahal di Kalimanah Kulon. Nama yang diambil dari nama cucu generasi ke-4 sesudahnya. Dari Mbah Mustahal, di cucu generasi ke-3 berikutnya lahirlah Mbah Putri istri dari Mbah Kung yang menuturkan cerita di atas.