12/26/11

Walikukun

Melesat di atas logawa, sudah 2 jam ada.
gobyos di dalam kereta, azis memilih di pintu, hilmy tidur, aku baca bukunya cak nun.
tadi pa tofik-penasehatSBY telpon ngajak nonton wayang ruwat.
meta sms, sepertinya mau ada kiriman legit nih nanti malam sebelum nonton teman2 Jamus pentas di ump.
aku kehilangan contact dg Hurin, aduh padahal belum ngucapin terima kasih. Makasih ya Mba e, jamuannya & pertolongannya kemarin.
yang akan menjemputku nanti si Puput, siap sedia di stasiun maghrib, sekarang dia lg cari flanel bwt bikin surprise utk seseorang.
Dua calon order masuk by sms, semoga lekas deal.
bakul2 segala rupa berseliweran, cuma beli nasi campur 4.000 sebelum madiun tadi & sebungkus nangka di stasiun walikukun, ngawi.

12/21/11

Sekali Lagi : Jangan Gumunan

Gramedia Purwokerto 13/12/11

Jalan-jalan di Gramedia, lihat di etalase utama, bukunya anak muda semua : Merry Riana & Bong Chandra. Hanjuk gumun... kok bisa ya semuda itu bisnis property highclass, kok bisa ya umur 26 tahun punya income 10 miliar sebulan.

Lihat websitenya Indonesia Young Changemaker, klak klik klak klik ketemu daftar panitianya. Gebleeg, profil tiap-tiap panitia keren-keren banget, pernah ikut kongres internasional ini, pernah dapat penghargaan itu. Gumun maning...

Blogwalking ke blognya Mbak Dika, wesheh... nggak cuma ngomongnya yang fasih berbahasa Inggris, blognya juga bahasa Inggrisnya vocab & structure nya kelihatan bukan sembarang pemilihan kata. Gumun.. gumun... gumun deh.

Gumun itu baik, karena di dalam gumun terselip satu apresiasi positif, sanjungan dan ungkapan menghormati. Tapi kalau dengan gumun, kita jadi nge-peer, jadi rendah diri, jadi merasa kurang berarti, jadi kempes. Aduh, mending di-delete lah itu kegumunanmu.

Seperti saat kita gumun melihat cantiknya pemandangan sebuah gunung dengan sejuknya warna biru, pikirkanlah, jangan berhenti pada kecantikan yang membuatmu gumun itu. Pikirkanlah bahwa ketika didekati, warnanya itu hijau, hutan, pohon, batu, jurang, sama sekali berbeda dengan biru yang kamu lihat.



*gumun (jawa : kagum)

12/17/11

Satu Jam Bersama Bapak Kafir Liberal Indonesia

Bersama Orang Kafir+Liberal+Merdesa


Sudah lama mengikuti twitternya @kafirliberal, eh kemarin ketemu orangnya, Kang Dadang namanya. Mungkin bagi orang Islam fundamental dan radikal orang seperti kang Dadang ini halal darahnya. Tapi, bagiku, apalagi mutiara ilmu dari Kang Dadang, bahkan dari mulut Anjing sekalipun tetaplah mutiara.

Obrolan sekitar satu jam kemarin, lebih malah mendiskusikan cukup banyak hal. Tentang Akhlak Nabi Muhammad yang similar dengan kultur masyarakat Sunda, tentang asal-usul bangsa Yahudi yang ternyata berasal dari Paparan Sunda (baca : Nusantara), tentang Tuhan, tentang Sholat sampai tentang libido sexual.

Aku, Hilmy dan Kukuh kemarin bertiga larut dalam diskusi mengasyikkan dengan pribadi low profile tapi sangat getol sekali belajar dan melakukan pencarian hidup. Karena panasnya diskusi ini, selama diskusi berlangsung kami bolak balik menoleh kiri kanan, agar jangan sampai ada orang awam yang ikut nguping. Karena kalau ada yang mendengar perbicangan kami, dan dia belum memiliki dasar ilmu kanuragan (halah...) yang cukup, bisa-bisa kami semua ditembak ditempat karena dianggap halal darahnya.

Kang Dadang memang orang yang Edan, Tuhan saja dia maki-maki. Seperti yang kita tahu, dia membuat banyak kaos bertulisan kontroversial, seperti "DEMI TUHAN, SAYA ATHEIS", atau "DEMI ALLAH, SAYA SUDAH MEMBUNUH TUHAN", dan sebagainya. Memang betul beliau edan, tapi kan ini jaman edan, jadi dalam garis bilangan edan minus edan = 0, netral. Haha...

Ada satu statement menarik dari Kang Dadang kemarin. Begini bunyi statement itu, Bahwasannya orang yang menyembah matahari, menyembah pohon, itu lebih Islami ketimbang orang modern yang mensyirik-syirikkan mereka. Haaah... kok bisa? berani sekali kang Dadang ini membuat statement.

Benar menurut saya pernyataaan Kang Dadang ini, Orang yang memuja matahari dan memuja pohon, itu mending, dia memuja sesuatu yang merupakan bagian dari alam semesta. Ada interaksi kasih sayang antara dirinya dengan alam semesta, ada kemesraan, ada synergy, ada keselarasan. Sedangkan orang modern macam kita, kita menyembah apa coba?

"Loh, kita kan menyembah Tuhan!!!". Eit, aku tanya dulu, kamu tahu apa itu Tuhan? Kamu sudah mengenal Tuhan? Apakah Tuhan yang ada dalam pikiranmu sama dengan Tuhan secara hakiki? Kalau memang iya, lalu kenapa masih ada perdebatan soal yasinan, qunut, celana cungklang, cadar, dll?

Kita selama ini menyembah Tuhan yang sebenarnya, atau kita menyembah persepsi? Bukankah persepsi itu produk pikiran kita sendiri? Bukankan persepsi itu fiktif?

Coba introspeksi dalam-dalam, wiridan dari tengah malam sampai matahari terbit, untuk menjawab pertanyaan ini : Sesungguhnya selama ini aku menyembah Tuhan? Atau menyembah PERSEPSI-ku tentang Tuhan?

Naas sekali kalau kita mensyirik2an orang yang memuja pohon, sedangkan kita sendiri adalah penyembah persepsi.


12/15/11

Dijual Terpisah


Pidato Kelulusan Rizky Dwi Rahmawan
Purwokerto, 16 Desember 2011


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pada awalnya dulu, saya mengenal kecerdasan hanya ada satu, yakni kecerdasan akademis. Pertemuan saya dengan buku karangan Andreas Harefa berjudul "Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup" membuka bingkai berpikir saya bahwa kecerdasan ada banyak macamnya, ada yang menyebut ada delapan yakni yang kita kenal sebagai multiple inteligence, ada yang menyebut lebih.

Perjalanan saya setelah bingkai berpikir itu terbongkar pada akhirnya berbanding lurus dengan ritme kesibukan saya di organisasi semasa SMA dan di dunia entrepreneurship setelah lulus SMA. Dan ini berbanding terbalik dengan skor serta rangking di bidang akademis saya. Namun, itu tidak mengapa, saya memandang itu dengan penuh ungkapan kesyukuran, bahwa seperti inilah selugas-lugasnya proses belajar saya, tidak monoton, tidak linear, tidak pula terperangkap dalam kotak.

Setelah saat ini saya dinyatakan lulus dari perkuliahan di kampus kedua saya, terbetik inisiatif untuk bertanya kepada diri saya sendiri sebuah pertanyaan yang dulu di awal kuliah juga saya tanyakan, "untuk apa saya kuliah sebenarnya?".

Maka jawaban saya masih tetap sama, yakni untuk mengisi waktu luang. Itu adalah jawaban pribadi. Lalu bagaimana jawaban yang lebih bisa mewakili bila pertanyaan itu menyangkut tentang orang tua dan keluarga saya? Jawabannya adalah saya kuliah untuk mendapatkan ijazah.

Ijazah yang selembar kertas itu tidak pernah saya pandang sebagai barang sakral yang harus berwudlu dulu sebelum menyentuhnya. Selembar kertas itu diyakini berpengaruh erat dengan nasib penghidupan seseorang, karenanyalah benda ini demikian sakral. Bagi banyak orang begitu, tapi tidak bagi saya. Ijazah bagi saya tidak berbeda dengan bon yang kita dapatkan seusai belanja dari minimarket.

Ya, ijazah adalah bukti pembayaran. Bahwa kita sudah lunas membayar tugas, PR, praktikum dan berbagai aturan kedisiplinan kampus. Bahwa kita sudah menyumbang buku di perpustakaan sebelum lulus. Dan bahwa kita sudah membayar semua biaya SKS yang kita ambil, praktikum dan remidial.

Saya memaklumi ketika Ibu dan Bapak saya begitu memandang penting selembar bukti pembayaran ini sekalipun harus mengeluarkan puluhan juta rupiah untuk mendapatkannya. Karena memang kita hidup di zaman dimana kebenaran kolektif mengatakan, orang yang berijazah lebih tinggi strata hidupnya ketimbang orang yang tidak berijazah. Tentu Ibu dan Bapak saya ingin anaknya ini mendapat kedudukan yang tinggi dimata masyarakat, dan mereka mengupayakannya dengan cara yang dipahami dan diterima oleh masyarakat luas saat ini.

Akan tetapi, sebagai pribadi, saya malah jadi tergelitik dengan kondisi yang terjadi pada diri saya. Pada tanggal 30 November 2011 dibacakan SK Yudisium, saya termasuk yang dinyatakan lulus, ada nama saya di lembar SK tersebut. Namun, dengan alasan untuk dibagikan bersamaan dengan kelulusan periode sebelumnya yang belum mendapat ijazah, maka saat itu hanya dijanjikan ijazah baru dapat diambil setelah wisuda.

Dan saya diharuskan ikut wisuda. Kalau tidak ikut wisuda, tetap bayar penuh. Kalau belum bayar penuh, ijazah ditahan. Nalar berpikir saya agak janggal mendapati pernyataan seperti ini. Saya sudah dinyatakan lulus, tapi tidak boleh mengambil ijazah, karena belum membayar biaya wisuda. Pertanyaannya apakah wisuda itu? Apa ada SKS nya? Apa kalau tidak wisuda jadi kelulusan dibatalkan.

Jawaban yang saya terima dari kampus sederhana : ini sesuai kesepakatan di awal, semua biaya satu paket. Dengan jawaban yang tidak mutu ini, saya berharap menemukan pelurusan kebijakan kampus, agar tidak intimidatif begini. Atau kalau memang tetap memaksakan biaya sepaket ini, tolong bisa menunjukkan ketentuannya seperti apa, siapa yang menandatangani ketentuan itu dan bagaimana kekuatan hukumnya.

Dulu saya tahunya ketika datang pertama kali ijazah dan wisuda dijual terpisah, tetapi ternyata satu paket. Mana mahal pula harga wisudanya. Persoalan ini bukan soal nominal atau dalih penegakkan aturan belaka. Persoalan ini menjadi benar-benar penting karena merupakan satu bentuk intimidasi mental, mental kerbau dicucuk hidungnya. Mental pembayar pajak di SAMSAT yang dipaksa membeli map+balpoint yang tidak jelas urgensi fungsinya. Disini saya mempertanyakan apa urgensi fungsi perhelatan berbiaya 135 juta rupiah besok dengan aturan yang memaksa wajib membayar semua itu?

Namun begitulah, realitas yang harus dipelajari, ditelaah dan kemudian disikapi, bukan hanya diam saja. Karena belajar bukan soal menyelsaikan silabus belaka, tetapi lebih dari itu adalah persoalan bagaimana menggunakan instrumen berpikir, untuk tidak mudah disetir, diremote dan diintimidasi.

Maka terakhir, saya mengajak kepada semua sivitas akademika untuk tidak turut dalam riuhnya hedonisme dan materialisme. Pendidikan diabaikan, penjualan dinomorsatukan. Perbudakan dikampus dilestarikan, riset lapangan entah dikemanakan. Semua itu harus diperbaiki. Agar kampus bukan hanya menghasilkan lulusan ber-IPK manajer tetapi bermental kuli. Lebih baik menghasilkan IPK kuli, tetapi berkedudukan manajer.

Washolallohu'ala nabi muhammad, 
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

12/14/11

Buku

Aku bukan kolektor buku, karenanya aku tidak pernah menemui kerepotan seperti defi yang sedang melacak buku2nya malam ini. Buku dipinjam, tidak kembali ya tidak apa2. Yang penting aku sudah katam membacanya. Kalau ilang gimana? Ya tidak apa2, toh tiap beli buku juga nawaitunya sedekah jariyah, duitnya juga diambil dari spare dana sosial pribadi.he..

Tp karena itu juga, aku tidak bisa seperti pa asep. Yang rumahnya penuh buku, kalau mau menulis apa referensi tinggal comot. Ah, tp tidak mengapa, toh aku bukan penulis ilmiah.

Dan aku juga kok ya nggak pernah kepikiran untuk menjepret mendokumentasikan buku2 yang pernah aku baca seperti adhi. Jadi kadang sampe lupa aku pernah beli buku quantum ikhlas, buku2nya ippho, prof zuhal.. Dll

Buku hanya titipan.. He

Kapitalisasi Populasi Nyamuk

Kemarin ngobrol-ngobrol dengan kawanku, Anggi, salah satu putra desa di ujung Barat Banyumas. Gumelar nama daerahnya. Ditengah-tengah kesibukannya menuntaskan skripsi, ternyata dia punya kesibukan lain. Apa itu kesibukannya? kesibukannya adalah mengamati nyamuk pasca disemprot obat anti nyamuk.

Jadi, menurut pengamatannya. Nyamuk, setelah disemprot obat anti nyamuk, mereka pada tepar, tapi tidak mat. Setelah matahari terbit, mereka pada bangun lagi *kayak vampire* lalu terbang tapi oleng kekiri dan ke kanan. Dia berhipotesis mungkin si nyamuk itu mabok karena obat semprot anti nyamuk itu.

Nah inilah... inilah.... disini ada yang janggal. Jangan-jangan obat anti nyamuk itu tidak ampuh. Masa membunuh nyamuk saja tidak becus, cuma bikin itu nyamuk mabok dan pingsan saja. Atau... ada kesengajaan dari pabrik pembuat anti nyamuk. Karena mereka sayang sama nyamuk, sehingga tidak dibunuh, cuma dipingsankan saja.

Pantas saja walau sudah tiap hari pakai semprotan anti nyamuk, nyamuk ada terus setiap hari. Tapi kalau obat anti nyamuk yang disemprot itu bisa mematikan nyamuk, perusahaan pembuat antinyamuk yang repot, besok lagi sudah tidak pada ada nyamuk, lalu sepi deh itu produk.

Atau ada kesengajaan, populasi nyamuk dipertahankan sedemikian rupa agar obat antinyamuk tetap laku? Nah, ini nih yang namanya kapitalisasi.

Tapi mungkin ada yang berkilah, nyamuk mati kok mas kena semprot, tapi kan yang bayi-bayi nyamuk pada lahir lagi dan meneruskan generasi, makanya besoknya ada lagi. Nah inilah... inilah... masa iya si sebodoh itu profesor membuat riset penelitian hanya untuk membunuh nyamuk dewasa, nyamuk bayinya tidak sekalian agar generasi nyamuk habis.

Bagaimanapun nyamuk seperti pelangi, keduanya adalah ciptaan Tuhan. Mungkin perusahaan antinyamuk membuat formula yang tidak memberangus habis nyamuk bukan karena tidak mampu, tapi karena ingin melestarikan keberadaan populasi ciptaan Tuhan. Atau sebenarnya si lebih mungkin, agar produknya laku terus, ada yang butuh terus.

Hidup Nyamuk!


Keren lah ya?

Rencana menghidupkan lagi Kording masih belum terrealiasasi, padahal sudah hampir 8 bulan berlalu. Ah, masih bermental birokrat rupanya kita. Padahal, orisinalitas dan nilai inspiratifnya tidak remeh temeh itu produk. Hayuklah, sebelum tahun ini lewat, harus sudah terbit lagi.

Semangat Donk sebagai komunitas tetap akan dikibarkan, tanpa perlu diganti nama. Aku punya satu usulan lagi, karena kemarin mendengar nama yang bagus dan walau sudah dipakai di banyak instansi, tapi nanti unit bisnisnya Semangat Donk kalau sudah established juga akan memakai nama SDI. Misalnya, PT SDI : Sumber Daya Insani...

Maknanya apa? usaha ini berbasis padat karya, memberdayakan insan-insan. Keren lah ya? Hm, bayangkan saja SDI tercetak seperti tulisan di sisi kanan jalan tol sokaraja di sebuah pabrik internasional : Indesso

12/13/11

Nglarisi

Dekade training sudah selesai. ESQ berhasil meleading dengan baik, didampingi oleh EU, Kubik dan banyak lagi lainnya. Indonesia yang katanya negara terbelakang ternyata memiliki produk yang mendunia macam nama-nama di atas, itu satu kebanggaan tersendiri buat kita pastinya.

Training bisa menjadi solusi, salah satunya untuk menghidupan sektor riil, yakni dengan training-training entrepreneurship. Namun, training bukanlah satu-satunya solusi untuk itu. Ada cara lain untuk menghidupkan sektor riil, yang cara ini bisa dilakukan oleh semua orang, tanpa harus berlatih public speaking terlebih dahulu sebagaimana calon trainer.

Cara itu adalah dengan : sedekah.

Sedekah yang kita kenal selama ini kebanyakan adalah sedekah konvensional, ada kotak di masjid dicemplungin receh. Ada peminta-minta, dikasih. Ada yayasan bawa proposal, diberi uang. Ada lebihan rejeki diwakafkan untuk mengkeramik masjid dan seterusnya.

Padahal ada model sedekah yang tidak kalah keren. Itu adalah sedekah dengan "nglarisi" pedagang kecil. Ada penjual sapu keliling, dibeli. Ada penjual ciri-mutu, dibeli. Ada penjual mainan anak kecil, dibeli. Ada penjual tas jelek, dibeli. Ada penjual salak, dibeli. Pernahkah seperti itu? Atau merasa itu tidak penting karena pahalanya tidak sebesar membelikan keramik untuk masjid?

Cobalah "nglarisi", agar penjual salak senang dengan aktivitasnya dan dia terus berjualan. Cobalah "nglarisi", agar penjual sapu dapat menyambung hidupnya dan dia bisa mengajari anaknya berjualan juga. "Loh kan aku nggak butuh", atau "Aduh, aku kalau beli sapu harus yang kualitas supermarket boo", dan seterusnya.

Ya sudah kalau memang enggak butuh, atau barangnya jelek, simpan saja dulu, besok lagi berikan ke orang. Niatkan sedekah pokoknya. Bayangkan, hal seperti itu jarang dilakukan, makanya orang meninggalkan aktivitas berjualan, akhirnya jadi deh mereka buruh dengan gaji tidak seberapa tapi waktunya habis di pabrik.

Salah siapa? dosa siapa itu? jadi siapa yang membuat sektor riil tidak bergerak?

"nglarisi", dengan niatan sedekah agar dia bisa menyambung penghidupannya. "nglarisi", agar dia optimis dengan produk yang ia jual. "nglarisi" agar orang-orang yang menganggur bisa terinspirasi "ini loh, aku jualan ini, laku loh".

Janganlah mendongak, mentang-mentang tidak butuh, atau bukan level kualitasnya itu sapu, itu salak, itu ciri-muthu.

Kalau di pinggir jalan ada yang meminta-minta lalu kita tidak memberi dengan alasan takut membuat mereka ketagihan meminta-minta. Ya sudah, kalau ada yang menawari barang, dan kita ada uang, beli saja, agar mereka ketagihan jualan.

Kelihatan sepele, tapi ini bisa memajukan bangsa yang didominasi oleh orang-orang yang bergelut dalam skala UMKM ini.



Giliran yang Muda

Akan ada 5 speaker yang diundang, masing-masing speaker didampingi oleh 1 fasilitator dari orang-orang kita saja. Kelimanya adalah :
1. Goris Mustaqim, Asgar Muda, bidangnya entrepreneurship
2. Zaini Alif, Komunitas Hong, bidangnya education
3. Syammahfuz Chazali, Pemenang Global Social Venture Competition, bidangnya research
4. Ayos Purwoaji, Hifatlobrain, bidangnya travelwriter
5. Anton Abdul Fatah, Pemenang E-idea, bidangnya environtment


Jadi bagaimana caranya dikondisikan agar mereka bisa menularkan "sesuatu" untuk anak-anak kemarin sore (baca : generasi muda) bisa melanjutkan estafet sesepuh-sesepuhnya. Giliran yang muda, mulai semuda mungkin, jangan menunggu tua.

Siapa saja sesepuh-sesepuhnya?
1. entrepreneurship : Happy Trenggono dengan gerakan "Beli Indonesia"


2. education : Annis Baswedan dengan "Indonesia Mengajar"




3. research : Renald Khasali dengan "Rumah Perubahan"



4. travelwriter : Chairul Tanjung dengan seabreg program reportase perjalanan dan wisata di Trans7, ada Bolang, Jejak Petualang, dll



5. environtment : Ridwan Kamil dengan "Indonesia Berkebun"



Wah, itu baru 10 ya orang hebat di negeri ini. Ya, mudah-mudahan pemerintah kita segera bubar karena dirinya sendiri, jadi orang-orang hebat nan baik macam 5 anak muda dan 5 orang tua di atas bisa masuk ke tengah, menjadi pusaran kemuliaan hidup.

Mudah-mudahan sukses terlaksana acara ini.





Anak adalah rejeki. Lalu, apakah rejeki = anak?

Tahu, bagaimana cara membuat anak? Ah, pasti jawabannya adalah dengan melakukan begini ini, begitu itu di atas ranjang, guling-guling kadang sampai jatuh, tapi tetap nikmat. Halah....

Caknun pernah bilang, tak ada seorang laki-lakipun yang berkuasa membuat seorang wanita hamil. Hm, kira-kira betul apa betul pernyataan itu? Iya, laki-laki cuma bisa membuncahkan sperma, itu kalau tidak impotensi. Soal sperma itu bertemu dengan ovum apa tidak, setelah bertemu kemudian terjadi pembuahan apa tidak, apakah si laki-laki masih berperan mengurusi itu?

Begitulah seorang anak terlahir diawali dari pencampuran sperma dan ovum, yang kemudian menjadi segumpal darah, segumpal daging dan seterusnya. Semua itu terjadi bahkan tanpa sepengatuan si laki-laki dan perempuan. Mereka tidak tahu apa-apa, mereka tidak mendesain apa-apa, mereka tidak merancang apa-apa di dalam proses yang panjang dan ultrarumit itu. Mereka hanya bersenggama, mendesah-desah menikmati tubuh satu sama lain.

Dan kata orang, anak adalah rejeki. Lalu pertanyaannya, apakah rejeki juga sama dengan anak kalau memang anak adalah rejeki? Apakah kelahiran rejeki sama dengan kelahiran anak?

Sepertinya iya loh. Seseorang bersenggama dengan gerobak bubur ayam, melakukan foreplay dengan mangkok, krupuk, ayam, celoteh pelanggan, tukang retribusi, komplain dari kompetitor, lalu setelah sekian waktu, setelah Tuhan selesai memproses formulasi hasil persenggamaannya, lahirlah rejeki : tukang bubur ayam bisa naik haji. *film nya Yusuf Mansyur.

Tapi bisa juga, sudah tiap malam bersetubuh dengan laptop dan printer, menyusun proposal ini dan itu, membelai lembar-demi lembar kertas, menggerayangi handphone berkoordinasi dengan sana-sini, meremas staplers, lakban dan gunting, sampai kenikmatan itu memuncak mencapai klimaks dengan mendapat ACC proyek. Ah, puas sudah.... eh, tapi ternyata tidak goal. tidak lahir itu rejeki. hal biasa juga terjadi hal seperti itu.

Yah, begitulah, kita berikhtiar, tidak disuruh untuk mengurusi hal-hal yang ultranjlimet sepertihalnya strutur kimia perkembangan janin. Kita cuma disuruh menggauli aktivitas kita, sampai membuncah, sampai klimaks. Sederhana sekali kan?

Jadi pesannya adalah, jangan berkecil hati, jangan merasa tidak berhak atas rejeki besar, hanya karena menilai ikhtiarnya masih sedikit. Wong kita tidak disuruh mengurusi yang tidak bisa kita urusi kok seperti urusan janin itu... yang penting kita bisa tegak berdiri lalu dimasukkan, lalu klimaks, gitu tok kok. Itu bukan cuma hal yang sederhana, bahkan dalam prosesnya sungguh nikmat bukan? *katanya yang sudah nikah si, kalau masih bujang begini mah ya bisanya manggut-manggut doank...

Apakah Muhammad muda seorang social-entrepreneur?

Obrolanku dengan Hilmy sepulang menjajal ifu mie & kwetio sapi Bang Arul semalam belum tuntas, keburu ngantuk. Tapi kebelumtuntasan itu membuatku masih berpikir sampai sekarang. Yang pertama adalah tentang "Apakah Muhammad muda seorang social-entrepreneur?", dan yang kedua adalah tentang "Anak adalah rejeki. Lalu, apakah rejeki = anak?".

Bergabung dalam keluarga maiyah memang begini jadinya, mulai berani nakal, nakal dalam berpikir, menggali, mengeksplorasi, mentafakuri, lalu mengadon formulanya untuk siap dinyalakan menjadi bara di dalam diri. Halah....

Baik, yang pertama dulu ya, yang kedua di lain postingan. 

Jadi sebagai seorang muslim, eh sebagai manusia, kita baik untuk meneladani Nabi Muhammad, termasuk masa mudanya. Nah, pertanyaannya dulu, sewaktu muda kan Nabi Muhammad kaya raya itu, tetapi juga mendapat kedudukan yang tinggi di bidang sosial, itu bagaimana konsepnya.

Apakah beliau beraktivitas sosial, lalu aktivitas sosialnya itu didukung dengan mata pencaharian beliau. Ataukah beliau bermata pencaharian dan hasilnya banyak digunakan untuk sosial?

Begini gambarannya kalau bingung, apakah misalnya kalau diterapkan jaman sekarang, kita membuat sebuah taman bacaan dan aktivitas serta konsentrasi kita sebagian besar disitu, sementara diluar itu kita mencari nafkah dan menyisihkannya untuk kemajuan taman baca itu.

Ataukah kita mencari nafkah, semaksimal mungkin, nah soal hasilnya untuk kegiatan sosial apa, ya itu dibagi-bagi, brel... brel... brel....

Beliau aktivis sosial yang mencoba mandiri, atau beliau orang mandiri yang berjiwa sosial?





12/12/11

Perjalanan 2011

Ini tahun ke-6 aku di Purwokerto. Tiga tahun pertama di kota ini adalah tahun-tahun yang membanggakan. Dan tiga tahun berikutnya adalah tahun yang senyap.

Di 2006 Koran Dinding, sebuah ide orisinil tapi membekas di banyak anak sekolahan terbit pertama kali dan selanjutnya kontinyu setiap bulan. Di Tahun 2007, SDTC berdiri, lembaga pelatihan pelajar pertama di kota ini, lagi-lagi karya orisinil. Di tahun 2008, ipoint yang waktu itu namanya masih SDCP berdiri, RT RW net pertama juga disini.

Lalu 2009 aku menyatakan vakum dari Semangat Donk, 2010 dan sampai sekarang. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, itu equivalen dengan waktu yang ditempuh seseorang untuk menyelesaikan program diploma normal. Tiga tahun adalah waktu yang kurang lebih sama, dengan waktu yang dilewati Muhammad muda naik turun Jabal Nur sampai akhirnya mendapat wahtu di Gua Hira. Waktu yang kurang lebih sama juga ketika umat Islam yang masih sedikit itu diboikot, embargo ekonomi di tahun-tahun awal kenabian.

Jadi, sekalipun 3 tahun ini tidak ada satu hal besar yang dibanggakan, tapi insyaallah, aku memastikan pada diri sendiri, bahwa waktu yang aku lewati itu tidak sia-sia belaka. Bukan jalan ditempat belaka.

Dan tahun 2011 pun sebentar lagi habis. Akan segera datang tahun yang digadang-gadang akan terjadi badai matahari nanti. Optimisme untuk kembali membuat pencapaian besar, bahkan lebih besar bertikel-tikel kali lipat ketimbang yang pernah kita capai dulu ada. Tunggu saja karya kita...

Selamat jalan 2011, semoga 365 harinya semuanya bernilai barokah, tidak satu haripun yang tidak.

Kaos seri inspirator bukan hanya dalam gagasan, value to reality lah. Di bulan-bulan ini kita gencar ber-event di beberapa tempat. Selain berjualan online di toko bagus. Search saja : kaos semangat donk
Hasil silaturahim dengan seorang kawan alumni UTHB 6, Ust Zainurrofieq namanya membuahkan beberapa perjalanan untuk belajar dunia umroh dan haji. Belum berhasil menyelenggarakan perjalalanan si, baru seminar nya saja waktu itu
 
Rame orderan plakat buat anak-anak KKN, dan orderan2 percetakan lainnya mulai berdatangan, perlahan tetapi pasti sebanding dengan bertambahnya jumlah relasi
Kumpulan anak-anak semangat donk, susah sekali sekarang, karena sudah dengan kesibukan dan kenganggurannya masing-masing
Mengamati sebuah konferensi (summit) di ibukota Jawa Tengah dengan mengikutinya, berharap bisa menyelenggarakan sendiri beberapa saat lagi. Bagus sekali acara semacam ini, agar anak muda tidak jumud, diam, manut saja diatur kampusnya sekalipun itu eksploitatif, persis kerbau dicucuk hidungnya
Setelah hanya berkomunikasi di dunia maya, akhirnya ketemu langsung dengan Mas Miko. Dan akhirnya kita sepakat mendirikan Banjoemas History & Heritage Community, dari Juni bahkan beberapa tahun yang lalu mas Miko sudah mulai riset, baru 11-11-11 komunitas itu diresmikan
Membentuk grup orkestra gamelan untuk pementasan wayang tiga jaman bernama Jamus Kalimasada. Yang mengasuh tidak baen-baen, Ki Dalang Subur Widadi, salah satu sesepuh budaya Banyumas yang kesohor. Sampai sekarang masih sering latihan dengan beberapa kali pementasan sudah sukses dilaksanakan.
Di Bulan ini juga lolos penyisihan Community Entrepreneur Challange-nya British Council. Belum menang, tapi networking yang didapat hedewh... mantep.
Rame gawean ini dan itu, ketambahan lagi sidang tugas akhir dan meyelesaikan urusan kampus, akhirnya STOP 10 hari menjelang Idul Fitri, ngadem dulu di Padepokan Budi Mulia, daerah Ngaglik, Jogja. Orang-orang hebat berdatangan disini, mantep tenan, tahun depan yang mau ngadem recomended untuk datang kesini lah.
Usai lebaran kesibukanku adalah lintang-lintung dengan sahabat terbaikku, Hilmy. Menjelajah dan meriset dunia gula. Semua pelaku gula dijabanin, dari Cilongok, Dukuhwaluh, Bojongsari sampai Kulonprogo di Jogja sana. Berharap awal tahun depan siap action

Jalan-jalan ke Bandung, serap inspirasi, study bandingi tata cara penyelenggaraannya. Banyak yang didapat di perjalanan sehari itu, apalagi ketambahan mampir ke Komunitas Hong. Saat ini, aku dkk sedang memvoluntiri TEDx Purwokerto.
Pemda Banyumas punya mbaranggawe, yang ditanggap BPPT pusat, bikin kompetisi Technopreneur yang enggak jelas juntrungannya sampai sekarang. Hadiahnya si menggiurkan, dapat pembinaan, kabarnya kalau dikonversi setara 100.000.000, ah tapi entah sampai sekarang bagaimana prosedurnya, tidak penting. Yang lebih penting aku kenal hampir 100 pengusaha inovatif dari Banyumas yang ide, mental dan sikapnya jos jos tenan.
Dan Desember ini adalah waktunya menyimpulkan dari 11 bulan perjalanan yang sudah aku lalui. Agar menjadi sebuah formula, bukannya cuma dijeprat-jepret dipasang didinding jadi kenangan belaka. Tapi semuanya jadi aset investatif untuk "sesuatu" yang tidak biasa di tahun yang baru. Tunggu karya kita, sambil terus doakan ya...

12/10/11

Karpet 7,5 Juta

Zaman sekarang, masjid sudah pada mewah-mewah. Ketika banyak orang masih beratap rumbia, halaman masjid sudah full kanopi 350.000/meter.

Jadi, untuk beberapa masjid memang sudah perlu disumbang, justru malah masjidlah yang harus menyumbang kepada orang.Kalau orang sudah disumbang, kan pekewuh, nah, nanti mau deh dia jadi jamaah masjid itu.

Kalau tahu masjid baik, masjid mau menyumbang, pasti kristenisasi tidak akan mempan. Tidak tergiurlah kalau cuma sama indomie dari para misionaris. Tapi kenyataannya, masjid itu angkuh. Mandi tidak boleh, tidur tidak boleh. Beberapa masjid sudah berubah, bukan lagi rumah Tuhan, tapi rumah takmir. Hobi sekali takmir membuat larangan ini dan itu.

Eh kemarin di sebuah Masjid di Jogja aku mendengar ceramah ustadz di sebuah pengajian ibu-ibu. "Ibu-ibu, mulai minggu depan kajian kita pindah ke masjid X. Di masjid X, lantainya belum pakai karpet. Jadi kalau ibu-ibu duduk 1 jam, bisa pada masuk angin. Karpet yang dibutuhkan itu 150 meter. Jadi dengan itungan harga 50.000/meter, masjid itu butuh dana pengadaan karpet 7.500.000... Amal jariyah ibu-ibu sekalian insyallah akan mengantarkan ibu-ibu ke surga."

Kira-kira begitu bunyi penutup ceramahnya. Nah, baikkah membeli karpet untuk masjid? Lihat kondisi dulu, kalau masih banyak orang yang butuh beras, butuh penghasilan, beli karpet sekalipun baik secara dimensi ke-sholeh-an, tapi belumlah baik secara dimensi ke-ihsan-an.

Mending si 7,5 juta itu diberikan pembekalan dan modal untuk kelompok masyarakat fakir, agar derajat ekonomi mereka meningkat. Jadi waktu mereka tidak habis untuk mengais rejeki, sampai tak punya waktu untuk ke masjid. Itu amal jariyah juga kan?

Pertanyaannya sekarang, diantara dua amal jariyah itu mana yang lebih prioritas? Mana yang harus dipilih agar memenuhi kaidah ihsan?jawabanku si yang kedua, membantu penghidupan sesama umat.

Mungkin akan ada yang membantah, "loh, tapi kan karpet juga penting, kalau ibu-ibu apalagi sudah nenek-nenek, duduk di lantai 1 jam bisa meriang semua nanti."

Ya gampang jawabannya... saat pengajian, jangan duduk. Berdiri saja dilantai. Buahahaha... Atau, pengumumannya diubah begini "Ibu-ibu, mulai minggu depan kajian kita pindah ke masjid X. Di masjid X, lantainya belum pakai karpet. Jadi kalau ibu-ibu duduk 1 jam, bisa pada masuk angin. Oleh karena itu, diharapkan ibu-ibu membawa sajadah dari rumah untuk alas duduk, kalau bisa yang tebal, kalau perlu dobel."





Arti Kepompong

Kemarin ke Merapi, Dusun Godang I tepatnya. Kali ini bukan review trip yang mau aku obrolkan, tapi satu obrolan sederhana bareng kawan-kawan disana sambil istirahat di depan koperasi.

"aku lah rak mudheng kuwi arti persahabatan bagai kepompong", celetuk seorang teman. Hm, iya juga ya, baru aku terpikir padahal dari dulu sering nyanyi. Persahabatan kok kepompong, kepompong kok persahabatan.

Dan begitulah obrolan berlangsung beberapa menit dengan banyak argumentasi-argumentasi. Obrolan akhirnya selesai, tanpa kesimpulan apa-apa.

Tapi, ada benarnya juga menurutku, persahabatan bagai kepompong. benarnya apa itu? benarnya adalah seperti kepompong yang melahirkan kupu-kupu, persahabatan juga bisa melahirkan cinta. ciee...

Contoh nyata adalah Arini & Azis, awalnya ya sahabat di Fosma, eh sekarang sudah mbojo dan hampir punya momongan. Contoh lainnya adalah inisial A dan U. Haha, karena ini belum tau kejelasan nasibnya, jadi pakai inisial saja dulu ya... dulunya sahabat lekat, eh kemudian menjadi cinta. prikitiuw...lah.

Ada juga, sepasang lagi kawan kita, ah tapi tidak mau sebut-sebut dulu ah. Tapi ya itu, witing tresno jalaran soko kulino.

Ketika seorang pernah bercurhat padaku, lalu aku dedes dengan sebuah pertanyaan. Karena kamu suka, dia jadi perhatian, apa karena dia perhatian jadi kamu suka? dia jawab, yang kedua mas... itulah sekali lagi witing tresno jalaran soko kulino.

Kalau masih bertanya-tanya siapakah gerangan jodohku nanti? coba di list daftar sahabat2mu yang kamu berikan perhatian sedemikian hari ini. Jangan-jangan satu diantara mereka. 


12/8/11

Gedung Agung

Kenapa ya istana negara yg diluar jakarta, gedung agung di jogja salah satunya, dibiarkan menganggur? Kenapa tidak difungsikan saja, utk tempat tinggal tunawisma, dhuafa atau anak2 terlantar...
mungkin akan menjawab : loh tidak bisa, itu akan menurunkan wibawa presiden.
eleh eleh eleh... Memangnya ketika kita punya 6 istana megah, tp sekian banyak orang tidur beralas kardus, itu tidak menurunkan wibawa? Jawab pak presiden????

12/7/11

Young Leader Summit 2011 : Membesarkan Anak Macan

ada satu statement dari Panji Pragiwaksono saat dia menjadi speaker di event TEDx Bandung bulan lalu, bahwa dalam program acara TV Provokatif Proaktif yang dia gagas, disana orang boleh bicara tentang politik secara subyektif sesuai pandangan dirinya. Ini dalam rangka mendobrak kemalasan anak muda jaman sekarang yang manja, enggan menginvestigasi, enggan berpikir karena selalu saja menerima informasi yang sudah dalam bentuk jadi.

Seperti postingan ini, ini bukan sebuah judgement, saya tidak menganjak siapapun untuk sekedar manggut-manggut atau geleng-geleng, tapi ayo gunakan kemampuan fikriyah kita untuk berpikir, menelusuri, menelaah dan selanjutnya menemukan insight.

Ini postingan tentang perhelatan nasional bertajuk YOUNG LEADER SUMMIT (YLS) yang diselenggarakan tempo hari 2-4 Desember 2011. YLS diprakarsai penyelenggaraannya oleh sebuah yayasan internasional yang didirikan oleh orang Korea dan berkantor pusat di New York Amerika Serikat, yakni Global Peace Festifal Foundation (GPFF) Indonesia. Acara ini diikuti oleh 200 pemimpin muda dari berbagai organisasi kampus, organisasi kepemudaan non kampus, komunitas dan LSM dari seluruh wilayah di Indonesia. Acara dilaksanakan di Vila Aryanti, Puncak, Bogor.

Bagi peserta dari luar Jabodetabek, tidak dikenai biaya sama sekali untuk ikut acara ini. Sedangkan bagi peserta dari Jabodetabek dikenai biaya 100.000 rupiah. Peserta yang mendaftar menurut pengumuman dari panitia sebanyak 700 orang, kemudian diseleksi sehingga hanya 200 orang saja yang dibolehkan ikut serta.

Setelah peserta dijemput di dua titik penjemputan, yakni Stasiun Gambir dan Soekarno Hatta Intl Airport, kemudian dilakukan pembagian kamar dan pengkondisian, dibukalah acara konferensi pemimpin muda tingkat nasional ini. Acara dibuka oleh Ibu Dr. Musdah Mulia, pengajar dari UIN Jakarta. Saya tidak tahu banyak tentang beliau saat beliau berpidato. Yang saya tangkap, beliau berpidato tentang perjuangan pemenuhan hak azasi manusia dan kesetaraan gender. Selidik punya selidik, Ibu Musdah ternyata mempunyai sepak terjang internasional, beliau mendapat previllage & penghargaan dari Amerika Serikat atas prestasinya sebagai tokoh Islam. Gagasan beliau diantaranya adalah tentang penghalalan kasus homoseksual & lesbian. Selengkapnya, silahkan googling sendiri.

Acara selanjutnya diisi oleh pembicara dari Korea. Oh iya, di awal sesi kita beberapa kali diajak menyanyi lagu "One Family Under God". Nah, di sesi pembicara dari Korea berulang-ulang dibahas tentang apa itu One Family Under God.

Yang berikutnya adalah materi dari Romo Magnis Susanto, materinya bagus, tentang pluralisme, bahwasanya sudah, kita perkuat keyakinan kita masing-masing. Yang menarik menurut saya adalah, ini audience kan sebagian besar muslim, kenapa narasumbernya seorang Romo, kenapa tidak ada Ustadz siapa begitu sehingga komposisinya bagus.

Ada dua pembicara dari Korea lainnya, yang kesemuanya pakai bahasa Inggris. Nah, satu lagi pembicara dari Malaysia. Pembicara dari Malaysia ini mengajarkan tentang bagaimana menjadi Sukarelawan. Oh iya, ada juga pembicara dari Indonesia yakni Ibu Zubaidah dari Paramadina, materi yang dibawakan adalah tentang Paradigma Baru Kepemimpinan. Saya kurang terlalu menangkap materi yang beliau sampaikan, paradigma yang lama salahnya dimana saja, seberapa penting harus diganti paradigma yang baru, paradigma yang baru itu seperti apa, kelebihannya dibanding paradigma lama apa, jaminan keberhasilannya apa kalau memakai paradigma yang baru. Selesai sesi saya mendapat informasi bahwa Ibu Zubaidah ini aktif dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Silahkan googling sendiri saja atau tanya kanan kiri OKE.

Ikut tampil sebagai pembicara adalah Anton Abdul Fatah, pemuda garut yang mendapat juara di E-Idea Competition yang dilaksanakan oleh British Council. Ini materi paling geeerrr mungkin, antusiasme peserta menyimak ulasan Kang Anton tentang proyek Agroforestynya menginspirasi banyak Audience.

Ikut hadir sebagai pembicara adalah Kang Goris Mustaqim. Kang Goris tertulis di proposal ikut sebagai stering comitee, tetapi anehnya saat diklarifikasi ternyata beliau hanya diundang sebagai narasumber saja. Padahal beberapa peserta tertarik datang karena melihat nama beliau ada dalam kepanitiaan.

Desas-desuspun beredar dalam acara ini, ada yang berbicara di dalam forum, ada yang berbicara diluar forum, ada yang menyampaikannya melalui jejaring sosial, ada yang sebatas mendiskusikannya diantara teman sekelompoknya tentang indikasi adanya kejanggalan disana-sini dalam penyelenggaraan acara ini yang diindikasi itu merupakan tanda adanya hidden agenda.

(1) Tidak dinyanyikannya lagu kebangsaan Indonesia Raya di awal maupun akhir acara, (2) narasumber yang dipilih didominasi oleh tokoh-tokoh liberal, (3) tidak jelas kesinambungan antar acara, (4) adanya acara dadakan Focus Group Discussion (FGD) setelah panitia melihat keresahan diantara peserta, (5) tidak adanya kesimpulan yang jelas di akhir acara, malah Goris Mustaqim yang menutup acara, bukannya tokoh dari Global Peace atau setidaknya Ibu Musdah Mulia kembali yang menutup (6) besarnya anggaran yang dihabiskan untuk acara ini hingga ratusan juta rupiah bahkan dari sumber yang tidak dapat disebutkan menyebut total dana mencapai 250 juta dan tidak ada goal besar yang ditonjolkan. Itu adalah diantara beberapa hal yang membuat desas-desus dan keresahan beredar. Semuanya itu diawali dari pernyataan oleh salah satu peserta yang menyatakan, "diantara kami, tidak ada persoalan dengan agama-agama, sumber konflik bukanlah perbedaan keyakinan terhadap Tuhan, tapi kenapa yang dibahas adalah isu-isu tentang Ketuhanan?".

Nah, inilah tanda, kemungkinannya dua : pertama, narasumber yang kebanyakan dari luar negeri tidak memahami persoalan Indonesia, jadi tidak solutif yang mereka sampaikan dengan membawakan materi kompromi ketuhanan dengan kredo "One Family Under God" nya. Kedua, ada penyusupan paham secara terselubung.

Ini semakin menarik, ketika seorang peserta menemukan daftar nama yang terlibat dalam konstelasi Jaringan Islam Liberal (JIL), dan ternyata orang2 yang diundang kebanyakan ada dalam daftar itu. Semakin mencengangkan ketika seorang peserta lainnya menemukan data keterkaitan antara Global Peace Foundation dengan sebuah sekte yang menguversalkan Tuhan di Amerika Serikat bernama Sun Myung Moon. Sun Myung Moon sendiri adalah tokoh dari Korea yang mengaku dirinya sebagai Mesiah, dan Global Peace didirkan oleh anak ketiga dari Pak Sun Myung Moon ini. Ingin tahu lebih lanjut, googling sendiri.

Saya jadi teringat kisah yang disampaikan oleh Caknun (Emha Ainun Najib) beberapa hari sebelum saya berangkat mengikuti YLS ini. Bahwa Caknun pernah diberi previllage sedemikian rupa oleh pemerintah Amerika Serikat untuk berbaur dan belajar di sekte ini. Namun, karena Caknun tidak terpengaruh dan tidak mau menjadi kepanjangan mereka, oleh karenanya dia dibuang dan tidak jadi dipakai untuk kepentingan mereka. Maka pantas saja Caknun sebagai agamawan dan budayawan yang sudah banyak menorehkan kiprah2 nyata dalam perdamaian antar suku maupun antar agama tidak pernah mendapat pengakuan dan penghargaan apa-apa dari Amerika Serikat.

YLS ini sendiri merupakan perhelatan pertama. sebelum-sebelumnya Global Peace concern mengadakan kegiatan Voluntering dan pelatihan-pelatihan menyusup ke sekolah-sekolah. Melalui event YLS ini mungkin tujuan awal mereka adalah untuk membangun simpul-simpul kepanjangan tangan mereka di seluruh Indonesia. Nyatanya, peserta yang lolos dan ikut YLS terseleksi secara kecerdasan dan kapabilitas mereka, sehingga, mereka tidak terpengaruh oleh materi-materi dan pilihan narasumber yang doktrinatif dari Global Peace ini.

Walhasil, mereka seperti membesarkan anak macan dengan YLS ini. Saya dan 199 pemimpin muda dari berbagai daerah lainnya yang sebelumnya hanya tahu Global Peace adalah NGO yang bergerak memperjuangkan perdamaian dunia (Tapi kok aneh, tidak membahas apa-apa tentang upaya perdamaian Israel dan Palestina), ternyata memiliki keterkaitan dengan JIL dan Sun Myung Moon, sekte sesat dari Korea itu.

Yang tadinya diharapkan peserta yang 200 dari berbagai penjuru itu akan menjadi musang piaraan mereka, kini menjadi macan yang siap memantau setiap gerak-gerik Global Peace di Indonesia dan siap menerkam kalau gerakannya sampai macam-macam.

Maka, keuntungan terbesar dari keikutsertaan dari YLS adalah networking. Oleh karenanya, baiknya semua peserta yang ikut dalam acara kemarin melakukan dua hal : (1) Menjaga networking antar peserta, tidak peduli beda suku, beda agama, semuanya bersatu padu untuk Indonesia yang lebih baik dan ke (2) Informasikan setiap mendengar berita tentang program-program global peace, kalau program itu baik, kita dukung. kalau program itu meragukan, kita investigasi. kalau program itu merusak, kita TERKAM.

Rizky Dwi Rahmawan