8/31/15

Tepat untuk Zamannya

Apa sih alasan bagi kita untuk membenci orang lain? Hanya karena dia tidak mengerti yang kita pahami?

Ustadz Yusuf Mansyur itu dulu datang disaat etnologis manusia memang butuh untuk digugah bersedekah. Saat dhuha itu masih aneh belum membudaya.

Pa Ari Ginanjar Agustian itu melahirkan ESQ saat pola pikir masyarakat sudah sangat sekuler tanpa sadar. Yakni masa diman penat sekai manusia oleh keterpisahan dunia dan akherat, agama dianggap diluar ilmu pengetahuan.

Pun begitu Pa Purdi E. Chandra, timing kemunculan beliau tepat disaat musim pasca krisis, butuh orang didorong untuk menciptakan sense of crisis-nya dan mengambil langkah-langkah nekat untuk bangkit.

Eh, bahwa sekarang ilmu sedekah dan dhuha dipelintir fungsi dan orientasi oleh mereka yang mengaku murid2nya. Itu akal kita yang harus pandai-pandai agar jangan terpedaya.

Atau bahwa kemudian pemadatab ESQ yang kini meraksasa demikian cepat yang membuat secara keilmuan ia nyaris mandeg karena terbebani overhead, janganlah kita memincingkan mata disitu saja.

Pun bahwa banyak murid2 EU yang mengutamakan hasrat tamak dan tidak siap melewati fase bangkrut, janganlah kita ikut2an mencaci. Kita yang salah mempraktekkan jurus, eh guru yang disalahkan.

Kalau kita meletakkan mereka semua di zamannya, justru yang muncul adalah rasa kagum dan penghormatan. Kalau yang masih muncul adalah sentimen atau kebencian, berarti kita yang masih gagal paham.

8/29/15

Beneran Kaya

Kalau jaman dulu, orang kaya ya kaya beneran, sakti ya sakti beneran, berwibawa ya berwibawa beneran.

Kalau sekarang, orang kaya karena kedunungan alias moment, bahkan beberapa kaya karena ngakali. Orang sakti karena membeli kesaktian, sanggup membeli karena kaya. Orang berwibawa karena jabatan yang dia miliki, memiliki jabatan juga karena kaya.

Padahal ukuran kekayaan orang adalah dari jumlah asetnya. Aset itu bukan semata simpanan harta dan properti. Aset sejati adalah sesuatu yang bernilai karena bisa memberikan manfaat.

Apa yang kita miliki, saat kita tidak memiliki apa-apa dan dengan itu kita bisa survive. Itulah aset sejati.

Ini tahun ke-10 dari perjalananku di Purwokerto. Agustus 10 tahun yang lalu aku merintis apa yang dicapai hari ini di Padepokan milik eyang Sinto Gendheng, di Jalan Pramuka 212.

Ini saat yang tepat untuk menghitung berapa aset kekayaan kita. Terpenting, berapa aset sejati kita. Dari situ kita tahu, 10 tahun ini berapa kemajuan hidup kita, berapa langkah keberhasilan pengerjaan misi kita.

Menghitung aset bisa dilakukan dengan melihat catatan kekayaan kita. Sedangkan menghitung aset sejati, caranya dengan membayangkan seandainya kita tak punya apa-apa, seberapa kita mampu survive? Kalau tak ada dayung, tak ada pelampung,  seberapa mahir kemampuan renang kita, seberapa lihai kita bertahan di atas air. Itulah aset sejati.

Jangan sampai, kita merasa punya banyak hal. Tapi ternyata tak ada kemajuan pengerjaan misi yang berarti dalam 10 tahun ini.

8/28/15

Zaman Meninggi

Sedikitnya 1.000 calon santri fundamentalis diberangkatkan ke Timur Tengah secara periodik, lalu mereka kembali ke tanah air membuat resah dan geger mengerjakan misi monopoli tafsir dgn mengangkat berbagai isu pemurnian agama.

Disaat yang sama ada "The Mesenger" yang turun di akhir zaman dengan nama akun: Jonru.

Tapi tak usah kuwatir2 amat dengan semua itu. Sebisa kita saja membentengi diri dan orang2 terdekat kita dari rongrongan teror, adu keyakinan dan fitnah yang mereka tebarkan.

Kenapa tak usab kuwatir2 amat? Jawabannya adalah karena kita hidup di tengah masyarakat yang kesadarannya sedang terus tumbuh. Kita berada di tengah bangsa yang kecerdasannya sedang terus berkembang.

Apa yang mereka jajakan, tema2 meresahkan, isu2 yang membuat jengkel, ajaran2 yang dipaksakan itu semakin nanti akan semakin tidak laku kok. Yakni ketika kesadaran dan kecerdasan masyarakat semakin tinggi.

Lihat saja sekarang, berapa banyak isu masa lalu yang sudah basi tidak bisa digoreng lagi. Lihat saja sekarang, mereka kelabakan menyajikan isu-isu baru yang karena tergesa-gesa menyiapkannya sehingga baru dilontarkan saja sudah kentara kebasiannya.

Itulah kenapa ditengah bangsa yang ekonominya sedang gonjang-ganjing ini, saya masih menyimpan keayeman di kantong. Ayem karena saya yakin saat ini adalah zaman yang sedang rising. Yang kita mau berupaya atau diam saja, kebangkitan akan tetap menjelang.

Apa yang baik sedang meninggi. Apa yang jelek sedang tenggelam.

8/25/15

Boleh Korupsi?

Konon, masalah nomor wahid dari bangsa kita adalah KORUPSI. Betulkah? Kalau iya, bagaimana hasil kerja komisi pemberantasnya jika diukur? Misalpun seluruh korupsi berhasil di STOP, jadi majukah bangsa kita?

Entah ada berapa masalah lagi yang lebih kronis ketimbang korupsi. Diantaranya adalah masalah PENGGUNAAN ANGGARAN. Ya, anggaran sudah disusun demikian cantik, tapi penyerapannya sangat memble. Adapun anggaran yang terserap, manfaat dan dampaknya banyak yang tidak jelas bahkan mubazir.

Padahal persoalan kegagalan penggunaan anggaran ini lebih signifikan pengaruhnya juga nominalnya. Jadi seandainyapun misalnya KPK bubar. Atau sekalian ada undang2 yang menyatakan bahwa korupsi boleh asal wajar. Tetapi anggaran yang tersisa tidak terkorupsi diperbaiki manajemen penggunaannya, dimaksimalkan, diefektifkan, dipastikan tepat sasaran. Maka Indonesia bisa maju. Banyak contohnya, negara yang berhasil maju dengan sumber daya yang terbatas.

Kita menunggu hadirnya pemimpin yang berani bersikap revolusioner seperti itu "Boleh korupsi asal wajar. Boleh korupsi asal kerjanya maksimal. Jika tidak, gantung!"

Terlalu sibuk menambal kekayaan yang bocor, tapi lengah memaksimalkan kekayaan yang ada hanyalah membuang waktu tak membuahkan apa-apa.

Memang kita bangsa yang kaya raya. Tapi kali ini please akuilah bahwa sumber daya kita terbatas. Terbatas oleh korupsi. Terbatas tapi dimaksimalkan, diefektifkan, dipastikan tepat sasaran.

Justru ketika korupsi diberi kelonggaran, disitulah bibit2 nurani kemanusiaan pejabat bisa tumbuh. Ketimbang dihadang bertubi-tubi oleh perundangan dan berbagai aturan, nurani kemanusiaan kian tak punya tempat, mati.

Hidup yang Mandeg

Masih tentang Mbah Barno, Ayahanda Pak Toto Raharjo (Yai Tohar). Sewajarnya orang jaman dulu, anaknya banyak, nyaris selusin. Yang unik adalah, beliau memberi nama anak-anaknya sesuai dengan situasi desa Lawen yang sedang ia bangun.

Ini adalah metode pemberian nama yang unik. Berbeda dengan kebanyakan orang jaman sekarang, mencari di ensiklopedia nama bayi Bahasa Arab. Latah...

Tapi wajar saja kalau orang jaman sekarang metode pembuatan nama anaknya seperti itu. Kenapa? Karena mereka tak punya pengalaman hidup sebagaimana yang Mbah Barno dan orang-orang jaman dulu alami.

Tak ada tahapan tahun prihatin, tahun tirakat, tahun mulai menata, tahun mulai tertata dan seterusnya. Kalaupun ada fase-fase seperti itu, itupun tidak dalam konteks 'pengerjaan tugas kehidupan', melainkan perjalanan mencapai penghidupan. Alias 'kere munggah mbale'. Itu kan puncak obsesi orang jaman sekarang?

Begitulah jaman sudah mengalami downgrade. Tak ada misi hidup sebagaimana Mbah Barno membangun dan menata desa Lawen dengan framework kekhalifahan.

Orang yang berkarier, milestone hidupnya hanya soal mutasi kerja dan kenaikan pangkat. Orang yang berbisnis, milestone hidupnya hanya soal gonta-ganti bisnis, gali lubang tutup lubang. Hidup yang mandeg. Tapi fine-fine saja. Karena kita tidak pernah mengenal bagaimana si konsep hidup yang berjalan sesungguhnya.

Nilai Kepantasan

Kita boleh berdagang apa saja. Namun, kalau memilih empat bidang ini musti hati-hati tingkat tinggi.

1. Pendidikan
2. Agama
3. Kesehatan
4. Kebudayaan

Kebanyakan orang mau membayar mahal untuk meraih kepandaian. Tapi janganlah kita memanfaatkan itu. Kebanyakan orang juga menempatkan agama dalam skala prioritasnya. Tapi jangan kita memanfaatkan itu. Kebanyakan orang tentu akan membayar berapapun saja untuk sehat. Lagi-lagi tapi, janganlah memanfaatkan itu. Dan kebanyakan orang tak begitu menghitung-hitung angka untuk sebuah apresiasi seni. Sekali lagi tapi, janganlah kita memanfaatkan itu.

Selain keempat bidang itu, komponen biaya dari produk yang kita jual terdiri dari :

harga pokok produksi + laba.

Sedangkan untuk keempat bidang itu, kita tidak boleh mengambil laba. Batasannya kita hanya boleh mengambil ongkos waktu, tenaga dan keringat kita.

harga pokok produksi + ongkos (waktu + tenaga + pikiran).

Disinilah kehati-hatian tingkat tinggi harus kita terapkan. Batas bawah dari ongkos adl Rp 0. Artinya kita mensedekahkan ongkos waktu, tenaga dan pikiran yang sudah kita keluarkan. Sedangkan batas atasnya adalah: NILAI KEPANTASAN.

Nilai kepantasan sangatlah subyektif. Karena ia tidak berupa barang belanjaan yang terukur nominalnya. Kita sendiri yang paham, seberapa sejujurnya ongkos waktu, tenaga dan pikiran yang pantas untuk kita ambil. Kita sendiri yang paling tahu, adakah unsur serakah, tamak, nafsu mengkapitalisasi, dsb sehingga kita melanggar nilai kepantasan itu.

8/24/15

Mbah Barno

Seorang anak muda yg sedang belajar di Yogya dipanggil pulang oleh Ayahnya. Ia diminta mengurus desa, meneruskan menjadi lurah di pedalaman Banjarnegara. Lawen, Pandanarum tepatnya.

Soebarno muda benar-benar telah menerapkan konsep zakat. Ia telah menzakatkan hidupnya dalam bentuk dedikasi 100 persen untuk mewujudkan toto tentrem kerto raharjonya Desa Lawen.

Buah dari zakatnya yang paripurna itu, maka Soebarno muda sangat cepat berproses menjadi pribadi multitalenta. Hingga ia bisa menguasai ilmu tata lingkungan, mengajari berbagai kesenian termasuk pedalangan, menerapkan manajemen pengelolaan ladang, revitalisasi pasar dan banyak lagi lainnya dengan tetap menjadi pribadi religius yang kharismatik.

Meski seluruh hidupnya ia zakatkan, bukan berarti keluarganya terbengkalai. Bukan berarti hidupnya nestapa menderita.

Hari ini beliau dikenal sebagai tokoh. Mbah Barno adalah figur mengagumkan bagi orang zaman sekarang. Mengapa mengagumkan? Karena orang zaman sekarang tak memiliki daya baca sosiologis-antropologis masyarakat pada era beberapa puluh tahun yang lalu.

Dimana di era itu, siapa saja yang hidup setia pada kewajaran, maka ia menjadi multitalenta, berguna optimal dan tidak membengkalaikan siapa-siapa.

Sudah setiakah kita pada kewajaran hidup. Atau kita sibuk iri, meri, kemrungsung pada obsesi-obsesi, hingga hidup tak jelas berpegang pada siapa, ikut prinsip siapa, mengkonsumsi wacana siapa. Alih-alih angan-angan keberhasilan kita terwujud. Eladalah, kita malah ikut katut dalam rombongan generasi zaman yang tergerus oleh mekanisme metamorfosis dan kehancuran zaman.

8/22/15

Ekosistem Pahlawan

Lingkungan kita ini sudah nombok mentalnya. Sehingga ketika ada sopir taksi yang tidak menilep barang penumpang yang ketinggalan, kita gumun luar biasa. Begitu pula dengan slogan "Berani Jujur, Hebat". 

Konsekuensinya, jika tidak menilep barang penumpang adalah luar biasa, maka perbuatan menilep barang penumpang yang ketinggalan dianggap biasa. Begitupun, jika berani jujur adalah hebat, maka tidak jujur menjadi wajar. 

Ada missing pada strata nilai mental sosial kita. Karena jujur dianggap hebat, dan tidak jujur menjadi wajar, maka kita kehilangan daya identifikasi untuk mengenali sesuatu yang tidak wajar. Begitupun karena tidak menilep barang penumpang itu luar biasa, sehingga menilep barang penumpang menjadi biasa, maka kita kehilangan daya identifikasi untuk mengenali sesuatu yang tidak biasa. 

Defisit mental hingga nombok inilah yang membuat ketakjuban kita pada keperwiraan Soedirman dan kesatriaan Soekarno menjadi tidak aplikabel di ranah perjuangan hidup dan pengupayaan masalah sosial kita saat ini. 

Soekarno itu relijius, tapi yang ditunjuk-tunjukkan hanya foto-foto sholat dan haji beliau, tidak ditunjukkan bagaimana ketakdziman beliau pada ulama. Apa sebab? Sebab sekarang dan dulu sudah jauh beda kondisinya, demi ustadz-ustadz muda bergelar Lc. laku di pasaran dakwah, ulama khos diberangus dari pengenalan sosial kita.

Kalau Sudirman itu punya ketangkasan fisik sebagai tentara di kesatuan militer bentukan Jepang, itu karena di zaman itu pemuda belum dimanjakan dengan gadget dan gaya hidup yang melemahkan fisik seperti sekarang ini. 

Dari peta sederhana lintas zaman ini, mudah-mudahan kita faham untuk tidak bersusah payah memaksakan diri menjadi pahlawan seorang diri. Karena sekeras apapun kita menggembleng diri untuk sesempurna profil pribadi Soekarno atau Soedirman, akan tetapi tetap saja sulit kalau kita masih mahfum dengan defisit mental lingkungan sosial kita.

Kita tidak bisa upgrade personal saja, kita harus upgrade komunal. Sosial kita harus jadi ekosistem yang kondusif dulu, baru bibit-bibit pahlawan bisa tumbuh. 

Everytime, Everywhere

Akhir Ramadhan kemarin menjadi marking point super berharga dalam babak hidup yang sedang aku lalui. Di waktu yang termustajab, di tempat yang termustajab sudah aku lakukan sebaik-baik dan seberkesan-kesannya ibadah napak tilas dan ibadah menuntut ilmu.

Empat puluh hari telah berlalu. Dan sekarang, tak ada alasan lagi untuk menghadir-hadirkan guilty feeling mengejar waktu dan mengejar tempat. Sudah kok kemarin. Sekarang tinggal sekontemplatif mungkin kapanpun, dimanapun. Itulah tugas hari ini, bisa lebih kontemplatif menjalani hidup. Wayatafakaruna fii khalqi samaawati wal 'ard..


Mataf

11 Tahun Psimis

Puasa Senin-Kamis jadi pilihan moda tirakat favorit anak SMA 2 zaman itu. Agar puasa terasa ringan, maka jadilah dibuat semacam komunitas puasa, karena secara psikologis jadi terasa banyak temannya yang sama-sama puasa. 


Tidak cukup secara psikologis, tapi secara fisiologis dan ekonomis juga komunitas ini harus bisa membuat pengaruh. Maka diakalilah agar bagaimana dengan iuran Rp 2.500,00 bisa buka bersama sering-sering. Jadilah kita adakan agenda buka bersama rutin dengan rumah berpindah-pindah, juga menyambangi rumah para guru. 

Akta Pendirian Psimis
Sampai 11 tahun berlalu, komunitas ini mesih membekaskan kenangan yang menyenangkan. Semoga tidak pernah terputus pasedulurannya.

8/17/15

Bekal

Seseorang ketika diberi sebuah tugas, pasti dibekali juga dengan peralatannya.

Kalau orang ditugasi untuk tidak menjadi pekerja, pasti juga dibekali dengan peralatannya: hasrat, stamina, daya survive, kreativitas, keberanian, dll. Dan tiap fase perjalanan tugas, bekalnya beda-beda.

Dirgahayu RI Ke-70

Hari ini memoriku lari secepat kilat menuju hari yang sama dengan ini di 20 tahun yang lalu. Ketika itu aku masih duduk di bangku SD, merayakan ulang tahun emas kemerdekaan. Desaku ramai mempersiapkan gapura selamat datang. Walau hanya terbuat dari bahan bambu yang di cat dengan gamping, diberi ornamen logo HUT RI yang dicat diatas tampah, tapi aku masih ingat betapa aku merasa mengagumi gapura itu.

Aku tidak ikut menyaksikan Pak Harto memimpin upacara di Istana Merdeka, karena waktu itu di rumahku belum ada TV. Sementara TV di tempat tetangga juga akinya sedang disetrum. Caraku untuk ikut memeriahkannya adalah aku menggambar logo HUT RI banyak-banyak. Saking seringnya aku membuat, dari di awal aku harus mensketsa lekuk-lekuk benderanya dulu, sampai aku sudah mahir, sekali jadi. Spidol warna merah untuk menggambar bendera. Spidol warna hitam untuk menulis angkanya. Sebetulnya di logo yang asli harusnya warna emas. Tapi tak masalah, waktu itu spidol warna emas belum ada dalam benakku dimana harus aku dapatkan.

Hari ini berlalu 20 tahun. Aku tak tertarik sama sekali untuk menggambar logo HUT RI. Bukan karena menggambar logo itu pekerjaan anak SD. Bukan juga karena sekarang sudah ada Photoshop dan Corel. Tapi karena aku muak, jijik dan rasanya ingin muntah melihat tagline dibawahnya yang asal njeplak.

Aku memperingati HUT RI kali ini dengan cukup sederhana, menjenguk PakDe yang saat ini hanya bisa terbaring di tempat tidur. Sakit sejak depresi akibat guncangan hebat 8 tahun lalu setelah di PHK. Aku disana hanya membisikkan sholawat. Tidak berani mengucapkan dirgahayu kemerdekaan, apalagi menyebut-nyebut tagline-nya : "AYO KERJA!"

Regresi

8/15/15

Sebuah Perspektif tentang Rukun Islam

1. Syahadat yakni engkau senantiasa berusaha memahami dan semakin memahami kesadaran disaksikan dan menyaksikan. Dimana dua kesadaran itu sesungguhnya saling menampung satu sama lain.

2. Sholat adalah pemberian Allah sebab Dia mengasihi menyayangi kita sehingga Ia harus 'pura-pura' memaksa seperti Bu'de yang sewaktu kita datang memaksa untuk kita mau makan. Manfaatnya ya untuk kita sendiri seperti kita disuruh mencuci motor, yang nyaman menggunakan setelahnya ya kita sendiri.

3. Puasa membuat kita jadi cerdas. Cerdas karena antara insting dan tindakan diberi jeda oleh bekerjanya akal. Saking pentingnya dan karena Allah tahu seking beratnya, Allah berretorika mengatakan "puasa itu untuk-Ku".

4. Zakat diawali dari kesadaran bahwa semua bukan hak kita. Semua wajib kita berikan. Bahwa ada hal-hal dimana kita butuh mengambil untuk diri sendiri, maka sedikit saja. Dan pastikan itupun dalam rangka sedang memberi.

5. Haji adalah kita hadir ke Baitullah. Rumah dimana Allah kita akui sebagai tuan rumah, kita cuma petugas-Nya, khalifah-Nya, kepanjangangan tangan-Nya, ART-nya, qadim-Nya, hamba-Nya. Abdullah.

8/10/15

Ramadhan di Tanah Suci

KAAIA - Juli, 2015


Tidak semua sesuai dengan rencana, tapi hari itu, kita sudah tiba di Bandara Jeddah. Disambut matahari musim panas di Jazirah Arabia, bibir tak berhenti melafadz Talbiyah "Labbaik Allohumma Labbaik".

Hadiah istimewa dari Allah. Kita menjemput undangan-Nya untuk mengecap nikmatnya Ramadhan di dua kota suci yang ditempuh dengan perjalanan semi-menggelandang, didahului dengan backpacker di tiga negara. Banyak pelajaran, semua menarik dan mengesankan.

8/3/15

Jodoh dan Aqidah

Setiap orang pasti punya kriteria atas jodoh idamannya. Kebanyakan kita, terutama yang kerepotan dengan kriteria itu pada akhirnya lebih memilih downgrade kriteria ketika jodoh tak kunjung ditemukan.

Kriteriamu sih terlalu muluk-muluk, begitu komentar banyak orang. Lalu kita menjadi blaming of the victim, melafadz banyak-banyak istigfar, lalu dengan terpaksa menurunkan standar kriteria.

Tidak adakah orang yang berpikir kalau kriteria itu adalah clue dari Tuhan? Clue tentang perjanjian azali manusia di awal waktu sebelum penciptaan, akad manusia dengan Tuhannya tentang takdirnya, tentang jodohnya.

Tuhan itu Maha Berkomitmen. Sekalipun manusia lupa ingatan blas tentang rembugan kesepakatan dan akad perjanjian itu, Tuhan tidak lantas acuh tak acuh. Dia dengan caranya mengingatkan butir-butir kesepakatan itu menggunakan 'clue', demi kita benar-benar menemukan jodoh sesuai yang tertulis di akta perjanjian yang bernama lauh mahfudz.

Menemukan akad azali itu, adalah perjalanan aqidah. Jangan-jangan kita berbusa beristighfar, sok-sokan bertawadhu menurunkan kriteria, eh malah dalam rangka melemahkan aqidah kita sendiri.

Jadi, apakah alasan paling mendasarmu menikah? Untuk tidak kesepiankah? Heum, jangan2 setelah menikah jadi sepi karena perjumpaan dgn teman2mu makin terbatas.

Untuk status sosialkah? Ehehe, capek sekali memenuhi tuntutan-tuntutan sosial itu.

Atau untuk menjalankan sunnah Rasul? Kalau itu, sholat rowatib juha sunnah Rasul.

Alasan paling mendasar dari menikah adalah untuk aqidah. Untuk menjumpai perjanjian agung dengan Tuhan di awal waktu, di masa azali, yang tak terjangkau memori kognisi kita.

Bakat dan Aqidah

Bakat adalah kecenderungan yang dilanjutkan dengan kegigihan berlatih. Kecenderungan atas kesukaan kepada suatu bidang yang tidak dilanjutkan dengan latihan hanya akan menjadi seperti tunas tanaman yang tidak dipupuk.

Tentu Allah tidak menggunakan sistem undian dalam membagi-bagi bidang bakat setiap orang. Amnesia kita saja mungkin yang membuat lupa bahwa kita pernah berembug dan bermufakat di awal waktu di masa azali sebelum dilahirkan tentang pilihan tunas kecenderungan atas kesukaan kita kepada suatu bidang.

Menempuh bakat adalah menempuh perjalanan aqidah. Sementara bakat sudah sempurna kita krupuk-kan. Passing grade, potensi ekonomi, jaminan penghasilan, berdasarkan itulah kita memilih bidang hidup kita.

Kalau hari ini kamu miskin, tapi setia kepada kecenderungan kesukaan bidangmu, berbahagialah, karena kamu sedang berpegang teguh pada perjanjian dan akad kesepakatan azalimu dengan Tuhanmu dulu.

Meskipun kamu amnesia sekarang, bukankah kamu yakin Tuhanmu tidak berwatak culas dan curang? Maka yakin saja akad perjanjian azalimu apapun itu isinya tidak mungkin merugikanmu.

Tempuhlah bakat, temui akad aqidahmu sendiri.