10/31/10

Menulis Setiap Kapan

Setiap saya menyendiri, saya menulis, merangkai tulisan dalam angan-angan. Setiap saya mendengarkan orang membagikan ilmunya saya merangkai imajinasi. Kalau semua itu ditotal dan dianggap 100%, hanya 1% nya yang saya tuangkan dalam bentuk lain, saya formulasikan, saya lahirkan keterwujudannya, dan dari 1% itu, 1% pula yang saya posting di blog ini.

10/30/10

Waljinahan

Pagi-pagi nyetel Winamp, muternya lagu-lagu cerianya Waljinah. Asyik ndes... Kalau kemarin seharian muternya Basanova, lagu Jawa yang di Jazzkan. Setelah mendengar LIVE suara gending saron-nya Kiai Kanjeng kemarin saya betul-betul terpukau dengan keindahan karya cipta orang Jawa, salah satunya musiknya.

Eits, jangan antipati dengan yang namanya budaya dan tradisi, sedikit-sedikit bid'ah. Bid'ah itu di ranah rukun Islam. Kalau menyenggol sedikit budaya njur langsung skeptis, yang namanya tiap pagi Anda beol dan kalau tidak beol perut Anda mules, itu juga bentuk tradisi budaya lho.

Jangan hukum vertikal digunakan untuk nyacag-nyacag perihal yang ada di zona horizontal, mundak kurus kamu. Yah, jadi nglantur saya, yang jelas I LOVE JAVA. Nanti Biro Wisata saya namanya Mocopat Tour, Armada Busnya diambilkan dari nama-nama Sekar Macapat, ada Maskumambang, Asmarandana dan sebagainya. Syukur pisan bisa beli trayek Purwokerto Semarang dan Purwokerto Cirebon.

Nanti juga kalau butuh nama lagi, saya mau ambil dari leluhur saya, dari Ronggowarsito sampai Condrolukito, dari Raden Patah sampai Adipati Mrapat. Orang Jawa itu hebat-hebat, selain yang jadi politikus. Mau melanjutkan Waljinahan dulu...

Sugeng midangetaken...

Orang Pinter ngajeni Gamelan, Orang Pekok nyepelin Gamelan

10/29/10

Benar-Benar Bening.. Jatuh Cinta Saya.. Hii...

Biasanya cuma melihat dan mendengar dari Youtube, seperti mimpi saja kemarin ikut jadi Pamiarsa LIVE performance Cak Nun bersama kelompok Gamelan Kiai Kanjengnya. Asli, benar-benar bening tabuhan saronnya, apalagi expresi Niyaga nya yang demikian total, betul betul mempesona.

Berbulan-bulan merencakana perjalanan untuk menyambangi sang Kiai berbahan dasar besi ini. Mulai dari dulu mau nekad berangkat ke TIM, beberapa kali mencari teman yang bisa diajak ke Baiturohman juga bolan-balen SMS minta tanggal dan ancer-ancer pelaksanaan di mBantul. Tapi nggak pernah ketemu kaleksanan. Eh malah CNKK (Caknun dan Kiai Kanjeng) kemarin yang mendatangi. Dan kitapun bertemu di sebuah desa di Kebasen, Kaliwedi.
Caknun dan Rakyat

Mempesona, memukau, seperti raja yang turun dari istananya menyambangi rakyatnya, merangkul camatnya, mempersilahkan lurahnya berkeluh kesah, bahkan sayapun dapat jatah Mic, anggun sekali acara ini, begitu pikir saya... jatuh cinta saya.

Terlalu banyak yang harus dipostingkan atas kesan saya di malam peringatan Sumpah Pemuda tadi malam itu, yang jelas, saya ingin ikut lagi dan berkali-kali, melebihi kuantitas berkali-kalinya saya membuntuti Ary Ginanjar dengan ESQ nya. Dan yang jelas, kalau orang-orang membaiat CakNun jadi Presiden, saya akan sewakan Horn TOA untuk berkoar-koar mendukung beliau.

Rizky dan Kiai Kanjeng

10/26/10

Dadung Pak Kartasun

Tenant bisnis saya yang baru bernama Mr. Kartasun, sudah sudah tidak usah ditafsirkan sendiri Sun itu matahari dan Karta itu Grafik (Chart), nanti malah jadi diagram kartesius. Mr atau Bahasa Indonesianya Pak, Kartasun adalah seorang pengasong meja kayu.

Dari daerah bernama Kemutug Kidul (South of Kemutug) dia berangkat menjajakan meja yang dia panggul, sehari dia bawa 2 meja kayu ukuran panjang 120 cm dan harganya 70 ribu ke Kota Purwokerto, kadang juga ke kota lainnya. Tadi sekitar jam 5an sore saya ketemu di pinggir jalan (kondisi : gerimis kecil) dan dagangannya masih 1 meja, saya beli itu meja dengan tidak menawar.

Lalu ngobrol2ah kami, saya jadi tahu, untuk pulang ke rumahnya yang ada di sekitar Baturraden, dia harus naik ojek 10.000. Padahal sehari dia cuma bawa 2 meja, 2 x 70.000 (biasanya kan orang jualan meja ditawar), jadi 140.000. Saya tidak tahu harga ke pengrajin yang membuat meja berapa, dipotong ojek, dipotong makan siang, dipotong kalau ada orang nawar, hm, berapa ya kira-kira proyeksi keuntungannya?

Sudah dihitung? Itu proyeksi keuntungan kalau mejanya laku semua? kalau cuma laku satu? kalau tidak ada yang laku? Darimana cost ojek? cost ngojekin meja pulang lagi? cost makan siang? Nah lo...

Meja tadi diikatkan oleh Pak Kartasun ke motor saya, karena tidak ada rafia, saya diberi sebuah dadung hanya dengan mengganti biayanya Rp 5.000,00.

Foto dadung dari Pak Kartasun ini saya sengaja upload, untuk diri saya sendiri dan siapapun agar kalau kita puyeng dengan pangrejeken kita, kalau kita gundah dengan kecukupan hidup kita, kalau kita was-was dengan ikhtiar kita, kita ingat ke Pak Kartasun, yang keluar dari rumah hanya membawa 2 meja, jadi sampai jam 5 sore masih memanggul-menjajakannya langkah demi langkah dengan penuh keyakinan rezeki sudah ada yang mengatur.

Apa Tuhan yang kita sembah tidak kita yakini Dia Maha Kaya atas rezeki-rezeki yang kita butuhkan dan inginkan? Wah, jangan-jangan selama ini kita salah nyembah, salah sembahyang.
Dadung ini bisa digunakan untuk gantung diri

Teritory Teori

Teori-teori yang saya pelajari, di training motivasi yang katanya omong kosong, di EU yang katanya edan kebablasan dan di--yang disebut orang--sebagai kursus menangis bernama Training ESQ perlahan tetapi pasti mulai melampau batas-batas teritorinya.


Kartu nama

Time Planner, To Do List dan Buku Kas

KTP, Kartu NPWP & Rek. Koran

Struk Gestun

Investasi

10/23/10

Dont Call Me

Jangan telepon saya, kecuali untuk urusan yang penting, yang manfaat, yang memakan waktu seperlunya saja. Hm, maaf ya, saya tidak suka ditelepon lama-lama (kecuali oleh beberapa orang), apalagi pakai pula bonusan.

Trims, kalau ngobrol lama live aja, lebih asyik*

*di kafe dan ditraktir tapi, hehe

10/20/10

Ingin dan Komit

Saya tuh sebenarnya ingin sekali bersihin L22, besoklah. Tapi besoknya ngomong lagi hal yang sama dan ujungnya kembali, besoklah. Daaan seterusnya, berulang-ulang diungkapkan itu keinginan sampai orang se-RT tahu.

Saya tuh sebenarnya ingin sekali bersihin L22, diucapkan sambil menata berkas yang  berantakan, menjemur keset, terus siangnya mencari kardus untuk mewadahi barang-barang yang masih berantakan.

Itu kan bedanya keinginan dan komitmen?

Ketinggalan Banyu Biru

Pengalaman pertama sepanjang hidup naik kereta dipinggir Laut Jawa, ya, tadi, di track sebelum Stasiun Plabuan kalau tidak salah si masih masuk Kendal.
Laut Jawa dari atas KA Kaligung 20-10-2010
Seturun di Semarang Poncol langsung menggondol ojek menuju Semarang Tawang berharap bisa dapat tiket Banyu Biru ke Jogja. Ternyata eh Ternyata, KA Banyubiru sudah berangkat, ketinggalan deh...

Ketinggalan berapa menit? bukan menit, tapi Jam, 6 Jam sekitaran. Loh kok bisa? Iya, ternyata KA Banyu Biru yang sore sudah tidak beroperasi. Mungkin karena tidak laku. Hikz...

Setelah sekian jepret berfoto di Semarang Tawang sembari berharap minimal ada kereta apapun yang datang saya ingin mendengar nada sambut di stasiun itu yang katanya membunyikan aransemen "Gambang Semarang", eh tidak ada. Akhirnya segera berbecak menuju pemberhentian Damri dan meluncurlah ke Sukun, tempat dimana Bus Nusantara berpool. Tepat jam 14.00 sampai di sana. Alhamdulillah... dapat bus? tidak!! Bus Nusantara penuh.

Stasiun Semarang Tawang 20-10-2010
Maka setelah menunaikan Sholat Jamak Qosor di Masjid Agung ADA, naiklah sembarang bus yang saya sendiri tidak sempat melihat nama bus itu hingga saya turun jam 21.00 tadi. Dua minuman botol, 1 bungkus tahu bulat, 3 arem-arem dan 2 tempe goreng menemani perjalanan yang dari Purwokerto ke Semarang menyenangkan, tapi selebihnya mengenaskan tapi dipaksakan menyenangkan.

Tak apa, di bus tadi saya terpikir banyak hal, tentu tidak ditulis disini, rahasia, he. Yang ditulis disini yang terpikir sekarang saja. Sekarang saya terpikir tentang bagaimana mencari note balok lagu Ditepinya Sungai Serayu yang menjadi nada sambut stasiun Purwokerto, terpikir tentang Juragan bus Nusantara kok tidak bikin ekonomi AC ya, terpikir tentang Bangsari dan kambingnya sudah jadi berapa ekor ya, terpikir tentang Bumi Panorama Permai dan Pa Firdaus si Pengembang, terpikir tentang Pak Narsan si penjual Sop Buah dengan 3 kost2annya, terpikir tentang Siomay "Baraya Geulis", terpikir tentang papan penunjuk arah Dishub-style di Bandung yang ada ATM BNI nya, ya.. kita formuliskan pikiran2 hari ini, besok.

Sebuah Pengakuan

Diantara sekian banyak prinsip toleransi, sampai sejauh ini, konsep toleransi ala Caknunlah yang paling bisa jiwa saya terima. Bahkan nuwun sewu saya pernah privat dengan seorang ustadzpun, konsep toleransinya bagi saya nggrambyang atau bahasa arifnya, terlalu normatif.

Apa si prinsip Caknun? Wah, baca sendiri di majalahnya lah ya.

Ini bukan postingan agama, jadi tidak saya bahas disini. Ini soal jalan yang saya pilih sebagai seorang entrepeneur, atau bahasa tetangga2 saya juragan, atau bahasanya anak fisip kebanyakan orang matre yang kerjaannya nyari duit melulu, enggan bersosial. Dan lain sebagainya entahlah...

Dulu saya orang yang paling tidak tedeng aling-aling menggembor2kan keunggulan entrepeneur diatas employee, juragan di atas rewang, demi sebuah pengakuan, bahwa saya lebih baik, karena memilih jalan yang lebih baik.

Lalu sekarang, apakah sudah saya anggap sama kasta juragan dan rewang itu dimata saya? Bukan, justru sebaliknya, saya semakin menemukan banyak data ilmiah tak terbantahkan 9 dari 10 pintu rezeki ada pada berdagang. Tapi ya itu, prinsip toleransi yang saya anut adalah prinsipnya Caknun. Saya harus yakin jalan yang saya pilih paling baik dan benar, dan jalan yang lain kalah baik bahkan salah, tapi itu saya pendam dalam hati, tidak saya konfrontasikan. Bagiku jalanku, bagimu jalanku, bagimunegeri jiwaraga kami.

Sok, sekarang saya dibilang malas kuliah karena sudah ijo matanya karena sudah lihat duit. Atau dibilang kelewat matre dan tidak penting apa itu yang namanya sosial atau sok idealis nggak ngerti cari uang kalau nggak dari gaji dikira gampang apa, atau apapun itu tidak lagi jadi masalah buat saya. Sebuah pengakuan tidak lagi penting untuk saya.

Yang lebih penting adalah kontribusi dan penambahan aset kita sebagai energi potensial kontribusi.

10/17/10

Yang Bahaya itu Diri Kita Sendiri

Saya mengenal istilah "Kontekstualisasi" itu pertama kali dari guru kita, Caknun. Entah apa whole definitionnya, tapi dari itu saya merenung dan merenung, menemukan sebuah pengertian yang mungkin kita semua akan menganggukinya.

Bahwasannya, yang paling berbahaya justru diri kita sendiri. Mengapa? Diri kita berbahaya, karena kita terlalu pandai membuat alasan untuk mengkontekskan apa yang ingin kita pilih untuk lakukan. Ketika ingin memilih jadi pengusaha, ada sejuta dalil untuk menjelek2kan karyawan. Ketika ingin jadi karyawan, ada semilyar pasal untuk membela diri bahwa karyawan itu tidak jelek.

Ketika ingin memilih jadi orang kaya, ada setriliun postulat untuk menjelaskan bahwa menjadi kaya itu baik. Begitu juga atas pilihan kita untuk utang atau tidak utang ke Bank, untuk membeli smartphone atau cukup stupidphone, memilih mengejar IPK atau cukup hanya lulus, memilih membuat kartu kuning atau kartu merah, memilih menikah dini atau menikah nanti-nanti saja, memilih ini dan itu.

Boleh saja tumpukan alasan itu kita lontarkan ke orang lain, tapi sebaiknya jangan aniaya diri dengan beralasan pada diri sendiri. Kalau memang pilihan itu diambil karena kepepet, karena terpaksa atau bahkan karena nafsu, boleh sembunyikan itu pada orang lain, tapi pastikan kita beralasan yang sejujurnya kepada diri kita.

Sekali lagi, jangan banggakan alasan yang kita buat untuk mendukung pilihan yang kita inginkan. Jangan menjebak diri sendiri, jangan memasung nasib kita sendiri.

Berpikirlan siklikal, tidak selalu yang ada alasan baik dibaliknya itu adalah pilihan baik pula. Karena kita terlalu pandai membuat alasan yang dipas-paskan dengan hasrat, nafsu, libibo kita. *menurut saya note pendek ini benar-benar penting, kalau belum paham membacanya, ulangi 2X lagi*

10/16/10

Avanza Plat Merah

Tepat 5 meter sebelum bakul bensin eceran di pertigaan MT Haryono utara, bensin motor habis. "Hil, ada Pak Camat", ucap saya sambil nuntun motor mendekati warung bensin. "Camat Sopo?", tanyanya.

Dan kamipun berbincang-bincang sambil berdiri di pinggir jalan. Begitulah cara kami dipertemukan dengan Pak Abdul Kudus, teman EU yang sekarang jadi Camat di Kecamatan saya dan sedang menemani istrinya menggunakan Avanza Plat Merahnya. Pas bensin sat, pas ada bakul bensin, pas ada pak Camat.

10/5/10

Dibonsai oleh Instruksi

Orang hebat sering menunggu waktu free, waktu menganggur, karena di waktu kosong itu dia bisa mengeksplorasi dirinya dan membuat reka-cipta daya-karya yang baru, yang menantang dan yang memberi manfaat.

Tapi tidak dengan sarjanawan dan diplomawati kebanyakan di Indonesia. Menganggur adalah masa yang menyiksa, menganggur adalah saatnya lamar sana lamar sini berharap dapat pekerjaan. Saya tahu, walau mereka yang melakukan malah sendirinya justru tidak tahu. Tahu bahwa sebenarnya yang mereka cari atas pekerjaan itu bukanlah serta merta uang. Lalu? Apa yang mereka cari? Yang mereka cari adalah instruksi.

6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA dan 5 tahun di kampus atau total 17 tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk membonsai keberanian, gagasan, inovasi, daya-cipta, kemampuan reka-karya yang ada dalam setiap diri manusia. Tragis sekali, memilukan sekali. Yang lebih memilukan, mereka yang mengalaminya justru tidak menyadarinya.

Saya berbelasungkawa atas itu. Atas orang yang bingung mau ngapain ketika menganggur, bukannya mencari ke dalam diri, tetapi kursus disana-sini, ngikut disana-sini, ngelamar disana-sini berharap mendapat instruksi "ini saya mesti ngapain?".

Tapi tetap saya memberikan apresiasi tinggi, kepada mereka yang kursus untuk mempertajam potensi diri, yang ngikut orang untuk menduplikasi benih-benih keberhasilan dan yang melamar sana-sini untuk mendedikasikan potensi. BUKAN untuk mengemis instruksi dan sekedar menyadong rejeki.

Sebentar lagi jadi CPNS

Bersamaan dengan tepat 5 tahunnya saya mencanangkan diri sebagai manusia entrepeneur, maka besok Desember saya akan melaksanakan wisuda atau tepatnya mewisuda diri sendiri dari kampus bisnis yang saya buat sendiri. Dulu, 13 Desember adalah awal masuk ke kampus bisnis itu, Studium Generalnya oleh Zainal Abidin dan Supardi Lee.

Dan kali ini, tinggal merampungkan proyek skripsi saya yang mudah-mudahan Desember sudah kelar. Saya ambil judul skripsi PNC, doakan lancar ya.

Dan layaknya kehidupan manusia pada umumnya, setelah lulus dari kampus, maka saya tinggal memasuki fase CPNS, apa itu CPNS? CPNS adalah Calon Pengusaha Nasional Sukses. Ya, tidak bisa langsung jadi PNS lah. berarti mulai 13 Desember besok, saya tidak lagi belajar toq, tidak lagi dolanan tok dalam urusan bisnis, karena saya sudah lulus.

Masa CPNS sendiri saya perkirakan mungkin sekitar 8 bulanan hingga saya menyelesaikan PTA saya di Akatel. Kemudian, barulah saya prajabatan, prajabatan mungkin berlangsung satu atau dua minggu saja, saya si berharap mudah-mudahan prajabatan saya kebagian tempat di Madinah sana.

Dan setelah itu tidak lagi magang, tidak lagi training, saya sudah benar-benar jadi PNS alias Penguasa Nasional Sukses.

Saya optimis bisa mencapainya kok. Apalagi kalau saya ingat pengalaman masa lalu, awal masuk kampus bisnis yang saya buat sendiri, yang saya jadi dosen sekaligus rektor sekaligus mahasiswanya sendiri itu saya mengikuti masa orientasi menjajakan air minum kemasan di Stasiun Lenteng Agung, memasarkan gantungan kunci di IPB dan mengasong snack di Pasar Bogor.

Dengan terus mendatangkan dosen-dosen terbang dari orang-orang terbaik di dunia bisnis, masuk semester kedua saya dan rekan-rekan membuat satu bangun usaha pertama berbasis investasi, nama usaha waktu itu Slash Point Pinmaker yang saat ini sudah berkembang menjadi SPC.

Tepat setahun saya kuliah di kampus bisnis itu, tepatnya 12 Desember, saya membuat media massa sendiri bernama Koran Dinding, sebuah koran iklan fenomenal pertama yang dipasang di dinding dan terbit hingga 2 tahun, jarang-jarang koran iklan lokal bertahan bahkan hanya sampai 1 tahun loh.

Pasca UTS semester 3 di kampus bisnis itu saya dan tim mendirikan lembaga pelatihan pelajar pertama di Purwokerto yang kemudian dikenal dengan SDTC. Pada tahun ketiga kuliah saya, saya bergabung dengan banyak komunitas, diantaranya adalah EU buatan Purdi E Chandra dan bermitra dengan banyak tokoh-tokoh public lokal maupun nasional.

Hingga di awal semester ke delapan saya mendirikan Warnet dan tidak lama berselang saya mulai terjun ke dunia kuliner. Sampai saat ini kaki bisnis saya, saya kerucutkan menjadi 4 saja, IT, Publishing, Training Center dan Kuliner.

Dan semua itu hanyalah praktikum-praktikum dalam siklus pembelajaran saya di kampus bisnis yang saya buat dan saya miliki sendiri. Ada keuntungan, ada juga kerugian. Dapat uang, tetapi juga banyak keluar uang. Ya, seperti kuliah konvensional saja, keluar uang banyak sampai puluhan juta, tapi tidak pernah menuntut kampus mengembalikannya.

Demikian pula saya, keluar uang banyak untuk menutup utang, rugi-rugi dan operasional yang belum balance, tapi saya tidak menggerutuinya, wong itu biaya yang memang wajib saya bayar untuk ilmu-ilmu yang saya pelajari. Toh pada saatnya Desember nanti, saya diwisuda juga, saya si berharap orang tua bisa datang nanti pas Wisuda, begitu juga pejabat negara bisa memberikan ucapan selamat, ya minimal Pak Bupati lah. Doakan ya...

Dan atas track record dan antusiasme pembelajaran saya selama kurun 10 semester, senat kampus menganugerahi saya predikat Summa Cumlaude. Wah senang sekali?

Loh kok bisa dapat predikat sebagus itu? Ya bisa-bisa saja, wong ketua senatnya ya saya sendiri. Dan nanti juga yang mencetak ijazahnya saya sendiri juga, yang memajang juga saya sendiri. Suksesnya ya saya peroleh sendiri, tapi si saya terus niatkan untuk selalu bagi-bagi.

10/3/10

Identiknya Bisnis

Identiknya bisnis itu dengan sportivitas, kejantanan, keterbukaan, ketegasan, kecemerlangan. Bukan dengan colong-colongan, serobot-serobotan, salip-salipan apalagi sabotase-sabotasean. Untuk yang sedang membangun bisnis, semoga dimudahkan urusannya.

Seperti yang pernah saya tulis di status, berdoa mohon kemudahan itu beda dengan berdoa mohon yang mudah-mudah saja. Setiap kita pasti menghendaki pribadi kita meningkat, pribadi menjadi meningkat karena diberikan ujian/masalah yang lebih, nah sekalipun ujian dan masalah yang datang bertambah besarnya, semoga setiap itu pula senantiasa diiringi kemudahan menyelesaikannya.

Berbeda bukan, dengan doa minta masalah yang mudah-mudah tok saja?