6/30/16

#2 Tebak Bahasa

Kota Sattahip
Pagi menjelang, kota Sattahip yang ketika aku datang masih berbalut malam, kini nampak telanjang. Pemandangan kota kecil yang sedang gegap membangun, mengaspal, melebarkan jalan, juga mengeruk gunung-gunung. Melihat pemandangan seperti ini, yang teringat olehku adalah Sumenep. Entah mirip, entah tidak.

Semalam aku ditunjukki oleh pemuda karyawan bandara yang membantuku sebuah kios dengan papan nama full Bahasa Thai. Ini adalah kios sebuah agen shuttle bus. Setelah berbincang panjang, perbincangan unik antara calon penumpang dengan ibu penjaga agen, akhirnya aku tahu tarif ke Bangkok adalah 1,600 Bath atau sekitar 640,000 rupiah. Kenapa perbincangan unik? Yah, karena aku bertanya dengan bahasa Inggris dan si ibu menjawab dengan bahasa Thai. Dan begitu seterusnya dialog berlangsung. Satu sama lain tidak paham sebenarnya, tapi tetap saja bicara.

Begitulah, reception hotel, penjaga mini market, satpam bank, tukang ojek, mereka yang aku jumpai hanya bisa bahasa Thai. Susah-susah aku melafalkan Bahasa Inggris, eh lah mereka tak paham. Lebih baik bahasa Jawa-an saja saya kalau begitu. Toh, sama juga tak pahamnya.

Thailand mempungai bahasa sendiri, juga mempunyai abjad sendiri. Konon kosakata dan huruf yang mereka miliki berasal-usul dari Sanskerta. Yah, Thailand beruntung tak pernah dijajah. Mungkin seruntuhnya Majapahit, mereka berdikari, dipimpin adipati atau raja kecil dari masyarakat mereka sendiri. Lalu kemudian setelah PD II lahir tren membuat negara modern, sehingga terpaksa merekapun membentuk diri menjadi sebuah negara. Sehingga bahasa daerah, huruf dari suku mereka, menjadi bahasa dan huruf nasional. Keren.

Keesokan harinya, seorang interpreter yang menemaniku selama di Thailand menyampaikan, bahwa untuk belajar Bahasa Thailand butuh waktu bertahun-tahun lebih lama, ketimbang belajar Bahasa Indonesia. Ia mengaku belajar Bahasa Indonesia di Semarang, setahun saja kala itu. Arus turis yang gencar masuk ke Negeri Gajah Putih itu, tidak diimbangi dengan penguasaan bahasa internasional. Tidak seperti di Manila, tidak seperti di Jakarta. Entah keunggulan karena otentik, atau kemunduran karena membuat bingung pelancong sepertiku. Hehe..

Aksara Thailand


6/28/16

#1 Penumpang Terakhir

Hampir tengah malam, akhirnya aku menginjakkan kaki jua di Thailand. Airasia SIN-UTP yang membawaku tiba di Bandara Utapao, dekat Pattaya. Aku sengaja memilih rute ini dalam perjalananku ke Bangkok kali ini, sebab rute ini tarifnya paling murah.

Tak apalah harus dua jam overland ke Bangkok. Dua jam itu menurut wisik dari google map, walau pada kenyataannya berbeda : seharian! Yah, butuh waktu sehari untuk menempuh Bangkok, keesokan petang menjelang maghrib barulah aku menginjakkan kaki di ibukota Negeri Siam.

Ceritanya seru, tapi nanti dulu. Ini aku selesaikan dulu tantangan pertamaku dulu. Berada di Bandara Utapao, bandara kecil milik militer Thailand yang sedang membangun menjadi bandara komersial. Flight-ku adalah yang terakhir malam hari itu. Petugas bandara, karyawan-karyawan kios, semua berkemas. Lampu dikurangi, pintu-pintu ditutup. Yang ada hanya tentara berjaga. Yah, karena memang ini lapangan terbang milik tentara.

Aku sebenarnya sudah berniat begadang menunggu bus paling pagi ke Bangkok. Welah, tak disangka ternyata tak ada satupun kedai junk food atau minimarket 24 jam untukku nongkrong di sini. Bagaimana ini? Mana Taksi sudah habis pula.

Ditengah kebingunanku malam hari itu, setelah hampir sejam beranjak, akhirnya Tuhan turun langsung menangani penumpang terakhir di Bandara Utapao. Ada seorang karyawan yang baru selesai berkemas bersiap akan pulang tiba-tiba manyapaku. Tidak seperti kebanyakan petugas lainnya, dia bisa aku ajak bicara Bahasa Inggris. Syukurlah.. 

Lalu anak muda ini, bersama seorang kawannya berbaik hati mencarikan solusi untukku. Mereka menawarkan diri untuk mengantarku keluar dari bandara menuju ke kota terdekat, kota Sattahip. Sekitar 7 km aku membonceng, dicarikan oleh mereka sebuah penginapan, aku memutuskan bermalam. Menunggu pagi menjelang. 

Dua anak muda baik ini tak mau diberi ongkos. Padahal dia sudah melakukan misi penyelamatan dari resiko dikeroyok nyamuk, atau mati kutu menunggu pagi, atau diseret petugas keamanan. Terima kasih. []


Hall kedatangan U-Tapao, Pattaya Airport
Sebuah loket bus antar kota

6/19/16

Aman Bergenerasi-Generasi

2016 dilanda elnino, dingin-panas, reda-hujan berfluktuasi secara ujug-ujug dan mengagetkan. Kabarnya beberapa daerah dilanda bencana, banjir dan longsor. 

Setiap tanah yang kita pijaki, bisa berpotensi bencana. Antara takut-takut paranoid bencana mendatangi kita, antara penuh percaya diri daerah kita aman, dimana tepatnya sikap kita?

Dari cerita yang tutur tinular, Mbah Buyut adalah yang pertama kali datang ke Desa tempat aku tinggal sekarang. Orang tua dari Mbah Putri itu bertempat tinggal di depan Masjid yang sekarang biasa aku pakai Jumatan. Lalu ketika Mbah berkeluarga, mereka menempati rumah di sebelah kanan nya, yang menjadi rumah Mbah sampai akhir hayatnya.

Aku percaya Mbah Buyut memilih lokasi rumah tinggal di tempat itu, bukan tanpa pertimbangan. Bahkan pertimbangannya lebih akurat ketimbang orang jaman sekarang memilih perumahan. Aku percaya sejak peletakkan batu pertama, rumah pertama di desa tempat aku tinggal itu, Mbah sudah memanjatkan doa, untuk aman dan selamat, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk anak turun dan generasi penerusnya. 

Aku hanya bisa menerka-nerka, ilmu memilih ketepatan, sepertihalnya kemampuan Mbah Buyut menemukan ketepatan pemilihan lokasi dahulu. Satu petak tanah dari sebukit ladang yang demikian luas, yang berjarak berkilo-kilo meter dari pemukiman yang sudah ada sebelumnya.