10/31/15

Indonesia Bagian Facebook

Akhir-akhir ini inginnya menangis kalau sesekali aku mengintip timeline facebook. Bahkan kaum jahiliyah Arab dahulu saja masih mengerti sastra, masih tahu ilmu olah kata, masih mampu menanfsir menerawang makna.

Sedangkan sekarang, orang membagi ilmu tanpa ilmu. Orang berbaju agama dengan telanjang akhlak. Memberi nasehat tanpa empati. Berbagi tujuannya eksistensi. Jualan baju sampai jualan kata bijak.  

Untung semua itu, wilayah facebook cuma bagian kecil dari Indonesiaku.

10/19/15

Ubed: Simple Selling

Cita2nya M. Yunus pendiri Grameen Bank menarik: Kelak, anak cucu kita hanya akan melihat kemiskinan di museum.

Maksudnya, semua orang kaya dan berkecukupan. Kemiskinan hanya jadi diorama di museum. Apa bisa? Bisa. Ah masa? Kita nggak percaya kab karena kita closed dari informasi pra generasi kita. Kita hanya tahu dan meyakini apa yang kita alami di generasi kita. Ya maklum, ini generasi memang zamannya orang mustahil menjadi kaya tanpa memiskinkan orang lain. Mustahil kenyang, tanpa melahap orang lain.

Contoh lain yang kita gagal mengakses informasi dari generasi sebelum kita adalah adanya cara hidup "Ubed". Ubed itu cari duit dengan apa saja, untuk berlangsungnya hidup. Walaupun dengan cara "apa saja", bukan berarti tidak ada pola atau struktur teknologinya. Ubed itu "simple selling". Sekarang Ubed hanya ada di museum saja.

Yang ada sekarang adalah "Selling for Salary". Mau sehebat apapun anda jualan, kalau belum punya gaji tetap. Hidup anda tidak aman. Kalau di negara maju, tambah lagi rong2an tidak amannya: kalau hidup belum punya asuransi.

Begitulah, karena tidak ada museum ubed, hidup tanpa gaji dan asuransi menjadi tahayul. Sedangkan kita yang mau mengkaji ilmiahnya teknologi ubed, sudah tidak ada jalur untuk mengaksesnya.

10/16/15

Pejabat & WhatsApp

Di hari terakhir dari perjalanan singkatku ke Netherlands kemarin, aku dan rekan-rekan UKM lainnya berbincang dengan Pak Dubes dan Pak Gubernur Jateng di restaurant hotel. Memperbincangkan hasil-hasil kegiatan kemarin dan rencana-rencana follow up.

Ada yang menarik buatku, Pak Dubes memegang HP. Pak Gub sepanjang dari awal acara aku tak melihatnya pegang HP. Itulah beda gaya pejabat di dua negara. Di Indonesia mungkin pejabat riweuh luar biasa kalau pegang hape karena setiap detik ada satu pengajuan proposal masuk. Sedangkan Pak Dubes yang sudah terbiasa ikut gaya pejabat di Netherlands terbawa egaliter dan humble, asik saja WhatsApp-an. 

Sudah terkenal di Netherlands, anggota Parlemen ngantornya naik sepeda. Istana ratu tidak dikasih kawat berduri, kita bebas mendekat foto-foto. Jangankan suara sirine iring-iringan pejabat, suara klakson pun sangat jarang terdengar.  Disana yang kerajaan, disini yang kok masih feodal?

Republik atau Dagelan

Indonesia adalah negara pembangunan. Cirinya adalah banyak kita jumpai toko-toko bangunan. Beda dengan Netherland, penduduknya malas-masal memperbaharui cat rumahnya. Akibatnya rumahnya kusam-kusam. Susah menjumpai toko cat disini. 

Saat membangun, disaat yang sama kita merusak. Kalau bangunan yang baru, cat yang baru, ternyata kalah kualitas dari bangunan lama, cat lama. Masih sahkah kita disebut pembangun? Atau malah pasnya disebut perusak? 

Sejarah tak bisa cukup disimpan di buku. Juntaian bata, bongkahan semen, julangan cor menjadi saksi kebesaran sebuah peradaban ketika ia mampu bertahan lama melintasi generasi-generasi. Tugas negara adalah menjaga otentisitas masyarakat dan produk peradaban masyarakatnya. Salah satunya adalah bangunan. Sehingga generasi mendatang bisa belajar banyak dari tinggalan leluhurnya di masa lalu. Dari integritasnya membuat takaran semen. Dari penataan bangunan dan pengaturannya dengan sekeliling-sekelilingnya. Dari citarasa arsitekturnya. Semua adalah kekayaan ilmu luar biasa.

Ketika sebuah bangsa sibuk memborbardir trotoar dengan pelebaran jalan. Lalu disisi kiri kanan dihabisi semua jadi kios dan ruko. Apa yang bisa generasi mendatang petik? Hari ini di Indonesia harga ruko semakin tak terjangkau. Kebanyakan tutup, mangkrak ditinggalkan penghuningnya. Sebagian lainnya diam termangu menjadi agunan bank. Ternyata modernisasi, pemadatan kota, tidak selalu beriringan dengan semakin meluasnya peluang ekonomi dan percepatan ekonomi. 

Ini Republik sedang membangun, meninggikan beton, mengecat atau sedang dagelan to?

Kebebasan Terbatas

Konon katanya, Amsterdam adalah kota kebebasan. Bahkan lebih bebas dari kota-kota besar lainnya di Eropa. Kota ini lebih rame dan crowded dibanding kota lain di Netherlands. Maklum, dia ibukota negara. Sekaligus kota yang sangat touristy

Kalau datang ke kota ini, tas taruh depan. Dompet amankan. Passport dan uang amankan melekat di badan. Begitu wanti-wanti banyak orang. Di kota ini kita harus waspada dari copet. Kalau mau tidak repot, backpack dan koper bisa dititipkan di locker di Bandara Schiphol sebelum menjelajahi kota ini. 

Sajian untuk turis di kota ini memang sangat maksimal. Bagi pecinta sejarah, ada banyak sekali museum, yang terbesar namanya Rijk Museum. Bagi ibu-ibu sosialita, ada pabrik pengasahan berlian yang menyuguhkan asahan khas Amsterdam yang begitu bergengsi di dunia. Ada Canal Cruise bagi yang ingin menyusuri Amsterdam via kanal-kanal air. Ada juga buat anak-anak wahana pendidikan Nemo Science Center. 

Dan yang pasti jangan lupa jepret foto di landmark tulisan I AM AMSTERDAM yang terkenal itu.

Bukan hanya menyuguhkan wahana turis yang positif. Yang tidak positif juga ada. Namanya Red light Distric. Aquarium berisi wanita berbusana bikini yang bisa langsung di booking. Dia ada di jalan yang terlokalisir khusus, buka sejak matahari terbenam hingga dinihari. Ramainya tempat ini membuat pemerintah memberikan service yang luar biasa prima, sampai-sampai ketika musim dinginpun sungai disekitarnya dibuat tidak beku agar satwa-satwa bisa tetap ikut membangun suasana tourism disana. 

Begitulah kebebasan yang ditawarkan oleh kota Amsterdam. Bebas tapi tetap dibatasi lokasi. Sama halnya bagi yang ingin nge-fly atau sekedar nyimeng, dikota ini "halal" melakukan itu, asalkan dilakukan di tempat khusus yang bernama "coffeshop". Jadi jangan salah mencari kopi ya disana. 

Konon kata pemandu tourku, orang penduduk asli sendiri tidak tertarik dengan coffeshop, para turislah yang banyak meramaikan. Orang penduduk asli ketika diberi kebebasan malah sudah bosan. Para turislah yang pergi jauh-jauh ke Asmterdam menemukan kebebasan.

10/9/15

Edan-Wifi

Nggak banyak tulisan wifi gratisan, tapi kalau di seek ada. Bukan cuma ada, tapi kuenceng. Padahal gratisan. Itulah Netherlands. Dan mungkin begitu juga kebanyakan negara Eropa lainnya.

Apakah bentangan jarak untuk transfer teknologi antara Eropa di Barat hingga pojokan tenggara Asia masih sebegitu jauhnya hingga kondisi kedua belahan bumi untuk urusan koneksi internet saja begitu berbeda?

Ah, perjalanan pesawat saja hanya 14 jam ditempuhnya kok. Perjalanan transfer teknologi internet aku rasa nggak beda-beda jauh. Yang beda mungkin manajemennya. Kalau di negara maju, orang kaya dan yang benar2 butuh akses spesial mau membayar mahal. Begitupun negara mau membayarkan untuk rakyatnya pembangunan infrastruktur IT. Sehingga terjadi subsidi silang. Sehingga dimana-mana ada wifi gratisan. Di pinggiran hotel. Di kereta. Di bus. Di taman.

Sementara di belahan bumi lain tempat negara2 berkembang, internet dijual murah, sekalipun kepada mereka yang mampu dan mau bayar mahal.

Begitulah. Ke Netherlands, tak perlu beli kartu internet. Rajin-rajin hunting wifi di public area saja. Gartis. Kuenceng. Edan.

10/8/15

Roti Belanda vs Nasi China

Orang Asia kalau ke Eropa paling galau kalau nggak ketemu nasi. Padahal bukannya wagu, kalau cuma mau makan nasi si dirumah bisa. Mumpung ke-Barat, ya berlagaklah jadi orang barat. Makan roti, keju, minumnya susu.

Aku sendiri bukan termasuk yang risau berhari-hari nggak ketemu nasi. Bahkan kalau boleh memilih, mending aku makan roti belanda daripada makan nasi Chinese food. Seenak-enaknya nasi di negeri barat, tetep saja kalah sama nasinya orang Purwokerto. Apalagi nggak ada sambel tlenjenk lombok ijonya.

Tapi seenggak akrabnya perutku dengan roti dan keju. Aku akuin aku suka karena aneka roti-rotian mereka memang lezat, padat dan mengenyangkan.

Kalau dihidangkan dengan susu. Susunya enggak dikorupsi takarannya. Kalau disandingkan dengan butter, butternya enggak pakai perisa. Kalau dilahap bareng keju, kejunya aneka macam. Kalau disuguhkan dengan jus buah, segar beneran jusnya.

Gimana nggak sehat, gimana nggak smart kalau makanannya kualitas prima begini.

10/7/15

Cash Mindset

Pegang cash dan tidak pegang cash itu mindsetnya beda. Pegang cash sedikit dan pegang cash banyak, mindsetnya juga beda. Itulah kenapa dalam business coaching selalunya kita diajarkan untuk: seberapa besarpun utang bisnis anda, pertahankan cash income anda.

Kalau pergi ke tempat perbelanjaan mengantongi banyak Euro, apa-apa terasa murah. Padahal, perbandingan harga dengan barang sejenis di Indonesia wooow juga.

Maka rem paling ampuh adalah kalkulator. Hitung kurs sebelum membeli. Jangan cuma lihat angka di price tag terlihat kecil. Ingat loh itu logonya "€" bukan "Rp" hehe. Dan rem lainnya adalah, jangan bawa cash terlalu banyak.

Tapi kadang-kadang, susah juga orang kita yang overromantic. Buat orang2 tersayang, oleh-oleh berapa saja harganya dibeli.

Gantungan kunci €2 alias 30ribuan. Padahal di Malioboro 10.000 dapat 3 kali. Tshirt €10 alias 150.000an. Padahal di tanah abang 30.000 masih bisa ditawar kali. Lalu Jaket, ada €150 padahal kalau di Indonesia, tinggal tambahin nol 3 tapi ganti dulu logonya jadi IDR. Eheee...

Tapi ada satu oleh-oleh yg lebih murah dibanding beli di Indonesia, yaitu: Cokelat... Pinter2 saja carinya. Salah satunya bisa didapat di Albert Heijn. Borong saja yang banyak. Daripada nyesel nanti pulangnya... :D

10/6/15

Qiyamulail di Perpust

Budaya itu terbentuk oleh tuntutan zaman. Seperti budaya belanja di Netherlands misalnya, orang terbiasa berbelanja siang sampai sore saja. Sebab toko baru buka jam 10 atau 11 pagi. Dan sedikit saja toko yang buka hingga di atas jam 6 sore. Kenapa singkat sekali waktu belanja? Karena gaji karyawan mahal.

Kalau budaya mengunjungi tempat perbelanjaan waktunya singkat, budaya mengunjungi perpust waktunya lama. Perpust buka sampai jam 2 dini hari. Itu kata Mas Selo, mahasiswa master di Univ Delft asal Malang yang membantuku disini kemarin. Dia membantuku di event Misi Dagang Jateng bersama Pak Gub kemarin di Schakenbosch, Den Haag.

Enak kalo perpust sampai dinihari. Nggak harus pinjam buku, nggak harus baca buku kan disana. Sekarang jaman gadget, informasi cukup dipantengin di depan layar.

Loh, kalau cukup dipantengin di layar, bisa dirumah noh? Bisa. Tapi kan kalau di perpust bisa rame-rame, bareng-bareng, engga ngantuk jadinya.

Bisa juga qiyamul lail jamaah disana. Qiyamul lail artinya mendirikan malam. Mendirikan malam bisa dengan :
1. Tadzabur alam
2. Membaca Qur'an
3. Menuntut ilmu.

Tadzabur alam bisa dengan tafakuf merenungi malam. Membaca Qur'an bisa dengan sholat tahajjud juga. Menuntut ilmu, bisa dengan mengerjakan tesis atau belajar ilmu lainnya.

Loh. Mengerjakan tesis kok qiyamul lail. Ya nggak bisa to? Ya nggak bisa kalau cara pandang kita sekuler. Ilmu dunia dan ilmu agama dipisah.

Karena di Indonesia jarang perpustakaan buka hingga waktu tahajjud, haha, sampai waktu ashar juga jarang, ya sudah perpustakaan kita di halaman rumah, tradisi intelektuali kita langsung dibawah langit.

Kalau tidak begitu, kapan qiyamul lail kita mengungguli budaya yang Barat punya?

Ijtihad Toilet

Di negara maju seperti di Netherlands ini salah satu yang keren adalah di soal kebersihan toilet. Walaupun tetap saja tidak semua. Toilet umum di taman-taman kota misalnya, pesing juga.

Tapi satu hal, tidak dikenalnya budaya 'bersuci' ala Islam disini, membuat aku kerepotan juga. Disinilah skill ijtihad sosial ditagih.

Loh, bagaimana coba, orinoar nggak ada air bilasnya. Closet nggak ada washernya, cuma ada tisyu.

Tinggal putuskan sendiri kita, apa nawaitu istinja (bersuci dg benda kering dlm keadaan darurat), nawaitu peper (cebok tanpa air), atau bawa botol atau gayung buat wadah air, atau kencing & mulesnya ditahan saja sampai kembali ke tanah air.

Tentu saja keputusan-keputusan kita akan tergantung situasinya. Disitulah ada kebenaran kontekstual atas ijtihad kita. Karena kebenaran tidak selalu cuma satu.

10/5/15

Gaya Hidup Mahal

Rokok itu sekarang bagian dari gaya hidup. Tentu saja gaya hidupnya orang yang merokok. Saya tidak.

Bahkan bukan cuma di jaman sekarang, jaman dulupun rokok itu gaya hidup. Lalu apa yang membedakan gaya hidup merokok jaman sekarang dan jaman dulu.

Kalau jaman dulu, mbako tinggal ambil di kebun. Klobot ambil sisa panenan jagung. Gratis. Jadi mau sehari 24 batangpun nggak ada masalah.

Sedangkan kalau sekarang, rokok harganya belasan ribu. Kalau gaya hidup seseorang itu satu hari dua bungkus merokoknya, ya tinggal dihitung sendiri ongkosnya.

Itulah bedanya gaya hidup jaman sekarang dan jaman dulu. Jam 6 pagi kemarin lusa, aku landing di Schiphol Airport, Amsterdam. Rekanku ada yang bawa satu pak rokok gudang garam merah.

Konon rokok Indonesia dicari disini. Selain itu, untuk kebutuhan dia merokok sendiri disini. Maklum, disini harga rokok 6 kali lipat. Kalo di Indonesia satu bungkus 15.000. Disini 6 Euro.

Begitulah mahalnya gaya hidup merokok disini. Tinggal pilih, mempertebal kantong, atau mengganti gaya hidup

10/2/15

Organic, Green and Health Expo 2015

Ditengah peradaban yang terus menguning, mengemas, menggemerlapkan diri, ada sekelompok orang yang berjalan agak 'menyimpang'. Mereka berkomunitas untuk memilih menghijau. Komunitas Organik Indonesia hingga akhir pekan besok sedang menggelar expo nasional Organic, Green and Health (OGH) Expo.

Ini adalah penyelenggaraan yang ke-5. Produknya unik-unik, di area depan ada banyak booth hidroponik dan aneka kreativitas bercocoktanam. Geser ke kanan ada booth2 cafetaria. Masuk ke dalam banyak kita bisa jumpai aneka bahan pangan organik. Masuk ke aula dalam, lebih beragam lagi produk kosmetik dan modern lifestyle.

Produk lokal juga import. Ada yang murah ada yang mahal, tapi kebanyakan mahal. Untuk yang sedang belajar gaya hidup sehat nan modern, nggak ada salahnya merapat ke Bentara Budaya Kompas, Palmerah.

Memewahkan Diri, Menyusul Ketinggalan

Setelah bertahun-tahun ketinggalan dengan negara tetangga Malaysia, Filipina dan Singapore, kini negara kita sudah mulai hampir akan menyusul di soal transportasi massal. Jangan dulu bicara MRT atau sekedar legalisasi odong-odong menjadi Jeepney, yang minimal bisa kita lihat saat ini adalah perbaikan2 pelayanan juga perbaikan2 setasiunnya.

Ke Setasiun tak perlu karcis, tinggal menge-tap kartu uang elektrobik saja. Simple. Keren. Setasiun di tengah kota disulap menjadi lebih mewah. Jadi seperti di luar negeri saja. Tentu saja lengkap dengan kios-kios modern yang mahal-mahal dagangannya.

Setasiun Juanda yang dulu mungil dekil, kini megah gemerlap. Begitu juga Setasiun Sudirman. Setasiun Palmerah sudah jadi bangunan barunya nan mewah. Mungkin kini sedang tahap deal-deal lobi dengan para pelapak mewah.

Tapi stasiun Tanah Abang tetap saja kumuh yah. Sekelilingnya maksudnya. Memang kemana dana CSR perusahaan digelontorkan ya?

Transit Area Stasiun Gambir

Googling punya googling, ternyata Stasiun Gambir sekarang punya transit area. Wah, kemajuan..

Walau sayangnya, area ini bukan untuk publik. Jadi yang mau memanfaatkan fasilitasnya ya harus bayar. Fasilitas yang ditawarkan meliputi:
Sewaan locker per 2 jam kecil 5.000, besar 10.000. Terus juga ada shower room 55.000/jam dengan gratis kopi.

Juga ada room single 200.000/4 jam dan double dengan harga selisih 50ribuan. Lokasinya ada di area selatan, lantai dua.

Tadi jam 6 pagi (2/10) aku tiba di gambir. Gotong2 koper 20 kiloan ke lantai 2, karena itu transit area belum punya lift. Lumayan...

Dan... Ketika turun dari transit area, aku mendapati ada fotokopi merangkap money changer merangkap penitipan barang. Cuma 2.000/jam/item. Perhari 20.000. Lebih murah. Nggak perlu gotong2 koper keatas. Weeeewww...