9/30/10

Sudahlah, tidak usah beralasan

Ada tidak ya di bangku sekolah seorang anak mengacungkan tangan dan bertanya "Pak Guru, bagaimana akhlak yang terpuji ketika kita terlambat?", sepanjang 12 tahun saya sekolah tidak pernah tuh mendapati ada pertanyaan dan penjelasan tentang itu.

Ya, karena memang materi akhlak terpuji saat terlambat tidak keluar di UASBN apalagi di Lomba Cerdas Cermat UUD 45 buatan kaum "cinta negeri".

Saya justru dapat ilmunya dari orang yang bukan siapa-siapa, yang intinya, kalau kita terlambat sudahlah tidak usah beralasan, cukup minta maaf sebagai ungkapan penyesalan. Bukan hanya alasan keterlambatan kita itu tidak perlu, tetapi hanya menyakiti hati orang yang sudah membuat kita menunggu.

Orang yang membuat kita menunggu tidak butuh pengetahuan apapun yang menunjukkan bahwa kita tidak salah-salah amat, dia lebih membutuhkan dirinya diberitahu bahwa kita sangat menyesal atas keterlambatan kita itu.

Sekali lagi, ketika terlambat, minta maaflah dengan setulus hati dan simpan semua alasan. Kecuali orang itu beberapa jeda kemudian menanyakannya, jawablah, bukan untuk membaik-baikkan diri, jawab saja sebagai sebuah pertanyaan yang memang seharusnya dijawab.

Nuwun. Yang benar dari Allah yang salah dari saya sendiri.

Kepunthal-punthal

Seperti meminta sepeda, begitulah kita merengek minta dihadirkan jodoh untuk kita. Jangan-jangan, sebagaimana sepeda, pada saat awal dimiliki tah iya, disayang-sayang sampai-sampai ditangkringkan diatas kasur untuk ikut menemani tidur. Namun, setelah selang berapa waktu, merasakan lelahnya mengayuh, mengetahui kecepatan maksimal yang bisa dikayuh, akhirnya dianggurkanlah itu sepeda.

Stop! Ini bukan bicara soal sepeda, paragraf di atas hanya perumpamaan saja, begitulah, ada yang namanya euforia. Makanya, sepertinya ada yang lebih bijak dari cara kita meminta jodoh, ketimbang merengek seperti minta sepeda.

Lalu harus seperti apa donk memintanya? Hm, bagaimana kalau seperti minta tiket perlombaan. Ketika seseorang mendaftarkan diri berharap mendapatkan tiket untuk bisa mengikuti lomba, orang itu sadar bahwasannya setelah tiket didapat bukan kesenangan belaka, tetapi tantangan yang lebih besar. Lebih besar tetapi bukannya menakutkan, tapi mengasyikkan, karena kita sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari.

Sehingga tidak ada itu satu fase kita terlena dengan kenikmatan sesaat sampai-sampai berhenti belajar, karena kalau hal itu terjadi artinya kita akan kalah konyol (sejenis mati konyol) dalam perlombaan itu.

Dan pada kondisi lain, ketika kita kok pada tahap pra kualifikasi tidak lolos, tidak mendapat tiket, bukannya menggerutu dan memaksakan panitia memberikan tiket, tetapi kita belajar lebih, berlatih lebih, sampai kita berhasil lolos mendapatkan tiket itu.

Kalau pra kualifikasi saja tidak lolos, dan eh misalnya kita memaksakan diri untuk tetap boleh ikut lomba, dijamin, kita hanya akan kepunthal-punthal.

Mau kepunthal-punthal? Dia tahu kita jarang menghitung (kemampuan) diri kita.

Rahasia Dibalik Bilangan Ganjil

Sewaktu dulu saya ikut pelatihan Kewirausahaan bersama Pa Supardi Lee di Auditorium salah satu Fakultas di IPB saya diajari tentang "anchor", atau istilah Indonesianya jangkar. Jadi, kita membuat satu gerakan khusus, misalnya menceplikkan jempol, menggenggam tangan atau apapun lah, yang dengan itu kita jadikan shortcut atau penghubung dengan memory kita yang berisi semangat, kemenggebu-gebuan dan lain sebagainya.


Sederhananya, dengan kita mengepalkan tangan misalnya, diri kita jadi tergerak untuk semangat lagi, mengulang semangat di suatu waktu yang pernah kita alami dulu. Itulah anchor.


Saya mengistilahkan itu dengan aktivitas "mengingat semangat" atau bahasa Arabnya mungkin "Dzikrul Semangat" (ngarang....), karena dengan melakukan apa yang menjadi anchor kita, memory tentang semangat hadir di diri kita.

Ternyata hal itu bukan ilmu baru, sudah diajarkan bagaimana Dzikrullah dengan metode anchor sebagaimana yang diajarkan Pa Supardi Lee di atas. Bagaimana caranya?


Hadits Qudsi menyebutkan, "Innalloha mitru, wayuhibbul witru", yang artinya, sesungguhnya Allah itu ganjil dan mencintai yang ganjil.


Nah, bilangan ganjil diajarkan-Nya untuk menjadi anchor atau jangkar untuk mengingat-Nya. Kita memilih hari untuk bepergian, "hm, tanggal 13 apa 14 ya?" lalu sontak kita memilih "tanggal 13 ah!", kemudian seorang teman berkata "kenapa 13?", lalu kita menjawab "Innalloha mitru, wayuhibbul witru", bukankah itu artinya kita sudah melaksanakan aktivitas mengingat Allah? Dzikrullah?


Bukan hanya mengingat, tetapi juga memilih apa yang Dia cintai. Nah, mulai sekarang jadikanlah bilangan ganjil sebagai anchor atau jangkar untuk mengingat-Nya. Ketika kita bimbang memilih hari untuk bepergian, pilih yang ganjil, ketika membeli sesuatu pilihlah jumlah yang ganjil, ketika menyalakan volume televisi tetapkan pada volume ganjil, dan setiap kali ada orang bertanya atau diri kita sendiri yang bertanya, "kenapa?", maka jawablah "Allah itu ganjil, dan menyukai yang ganjil". Maka kita sudah mengingat-Nya, sudah melibatkannya.


Quraish Syihab mengatakan, "Esensi beragama adalah melibatkan Allah dalam setiap urusan kita."


Wallahu'alam, CMIIW.



Sumber dari kuliah taraweh di Masjid Daarut Tauhid

Lilinnya Padam

Teduh rasanya ruangan, kalau ada lilin yang menyala di dalamnya. Memang tidak terang benderang, tapi nyaman. Beda ceritanya kalau lilin itu mati. Kita berharap ada lampu pijar menyala menerangi kita. Masih kurang terang, sambil menggerutu, kita menuntut dihadirkan matahari.

Ada cara yang lebih tidak menyiksa, yakni : akui saja. Akuilah saja kalau "lilin diri" kita padam, sehingga kita menuntut lampu pijar untuk segera dinyalakan agar kita terterangi. Akuilah seperti Nabi Yunus AS mengakui kedzoliman dirinya dalam doa "Lailahaila anta subhanaka inni kuntu minadzolimin" agar kita tidak lelah menuntut dihadirkan matahari.

Memang terlalu sombong manusia, Nabi saja mengaku dirinya dzolim dihadapan-NYA, lah kita malah mengaku-ngaku hebat, walau pada kenyataannya setiap hari kita meminta lampu pijar, menuntut dihadirkan matahari, pertanda "lilin diri" kita mati.

9/28/10

Amannya Mario Teguh

Ketika Ary Ginanjar dihujat lantaran dalam membawakan materi training-training pembangun jiwa mengutip Al Quran, Hadits, dan kata bijak dari tokoh2 Islam. Mario Teguh justru aman-aman saja.

Coba si simak rekaman Mario Teguh dalam programnya di Metro TV yang populer dengan sebutan MTGW, simak dengan cermat, dalam sekali tayang berapa kali Mario Teguh mengungkapkan kalimat-kalimat yang menyerupai ayat Al Quran dan Hadits Nabi SAW.

Ary Ginanjar yang mencoba mempenetrasikan nash-nash asli itu digampar bahkan ditendang, lantaran ini dan itu. Tetapi Mario Teguh tidak, karena Mario Teguh me re-redaksi atau membuat keredaksian sendiri yang senada dan mirip dengan nash-nash Al Quran dan Hadits.

Apapun itu, merekalah orang2 berilmu yang turun gunung, yang bukan hanya dakwah di dalam masjid, yang bukan hanya berharap membeli surga dengan rakaat sholat dan sekian persen zakat berasnya.

Saya jadi teringat kata teman baik saya di kumpulan di rumah Karyanto silaturahim Idul Fitri kemarin, "Golongan Islam klasik memang lebih getol mengkritik saudara seiman sendiri, ketimbang mengkritik orang lain."

Prihatin saya.

Pa Ary, teruslah menuju kebenaran dan teruslah berbagi. Mario Teguh, teruskan pula, saya setuju2 saja kok, toh itu lebih aman dari serangan saudara sendiri. Yang penting pesannya sampai dulu, daripada pesan tidak pernah tersampaikan hanya karena meributkan nash.

9/26/10

Nanti Dibikin

Sebuah dedikasi untuk teman-teman se-almamater tercinta, untuk persatuan ukhuwah kita dan mengembangkan semangat koperasi tanpa harus mendaftarkan diri ke departemen koperasi (karena sesungguhnya departemen koperasi, departemen agama dan lain2nya itu aneh keberadaannya...), bahkan tanpa menggunakan nama koperasi seperti yang tertempel di taksi-taksi sekarang... Nanti kita bikin :

99. Spensaba Mart
05. Pasar Kecil Psimis

Man shabara zhafira

"Sopowonge sing sabar, dheweke begja", begitu kira-kira artinya.

Hikayat Kelahiran Bedug

Waktu itu Islam belum lama datang di tanah Jawa, tanah Jawa yang masyarakatnya belum mengenal kalkulator apalagi kamus bahasa Arab, masih tradisional pokoknya.

Setelah beberapa orang di kelompok masyarakat itu bisa syahadat, selanjutnya mereka diajari sholat. Maka, dibangunlah sebuah masjid yang sederhana dan diserahkanlah pengurusan masjid itu kepada seorang warga bersama Tarmin.

Tarmin juga yang biasa adzan disitu, hari berganti hari si Tarmo yang masuk Islam dan mengaji materi "Fundamental Islam" bersama Tarmin jarang sholat Dhuhur dan Ashar berjamaah di masjid, lalu ditegurlah dia, "kamu kok nggak ikut sholat jamaah Dhuhur dan Ashar?"

Si Tarmo menjawab, "Lah, saya di kebon, nggak denger kamu Adzan, makanya beli mic & Toa donk?!", Lalu si Tarmin menjawab, "He, ini settingnya jaman tradisional, belum ada toko yang jualan mic & Toa!".

"Oh iya, lupa...", kata Tarmo. "Kalau begitu begini saja, itu ada kayu bolong kalau dipukul kan lumayan keras bunyi 'thong-thong-thong' nya, nah, kalau kamu mau Adzan, dipukul dulu ya yang keras biar aku tahu bahwa sebentar lagi Adzan", lanjut Tarmo.

"Ah, ribet amat si, tinggal kamu lihat jam si kenapa, kira2 sendiri sudah masuk waktu sholat apa belum...", Sanggah Tarmin. "He, ini settingnya jaman tradisional, belum ada jam! lupa ya?!", jawab Tarmo. "Oh iya, lupa....", balas Tarmin.

"Baiklah, aku tabuh kayu itu ya kalau mau Adzan, tapi kamu gotong gih ke depan masjid", lanjut Tarmin.

Sejak saat itu, tiap dengar 'thong-thong-thong', Tarmo segera bergegas dari kebonnya dan menuju masjid. Dia tidak pernah lagi ketinggalan jamaah karena sebuah benda yang kemudian diberi nama "Kenthong", karena bunyinya tang thong-thong-thong itu.

Nah, yang kebonnya lebih jauh tidak bisa mendengar jelas itu kenthong, apalagi anak-anak biasa mainan menabuh-menabuh kayu. Daripada salah pendengaran atau tidak terdengar, ada orang lain yang kebonnya lebih jauh dari Tarmo urun kulit sapi yang dibundarkan di atas kayu yang kalau dipukul bunyinya "dug-dug-dug".

Lambat laun benda itu dikenal dengan nama bedug karena bunyinya yang 'dug-dug-dug'. Karena tarmin sudah ribuan hari menabuh itu dua benda, maka lambat laun jadi tidak sekedar menabuh tetapi muncul irama tertentu seperti yang terdengar sekarang ini.

Dan karena kayu bolong dan kulit sapi itu sering kehujanan, maka diiubkanlah di di serambi masjid. Tidak lama berselang setelah kebiasaan itu terbentuk, kiai yang mengajar ngaji Tarmin dan Tarmo ditangkap penjajah Belanda.

Kejamnya penjajah Belanda, kiai yang baik itu diasingkan dan ditukar dengan kiai palsu yang pekerjaannya menyelewengkan aqidah. Walhasil, masyarakah Jawa yang tradisional, sederhana dan miskin wawasan itu beberapa ada yang mensyariatkan kenthong dan bedug sebagai syarat sah sebuah masjid.

Begitulah, tidak selang berapa lama berlalu, Tarmo, Tarmin dan gurunya dianggap sesat karena menggunakan benda-benda itu. Mungkin pendapat dari orang yang menganggap sesat itu, seandainya Tarmo tidak usah menggunakan benda-benda itu, dan tidak usah mendengar orang adzan karena jauhnya ladang, itu bisa jadi dianggap tidak sesat. (*Aneh...)

Sebagaimana di judul, ini cuma hikayat, hikayat itu cuma ngarang... jadi ini bukan teks sejarah kelahiran bedug ya, jangan dicap sesat saya.

Sekedar ingin mengajak berpikir, bahwa yang mutlak benar itu Al Quran dan Hadits. Dengan kata lain, selain Al Quran dan Hadits semuanya mempunyai kemungkinan salah. Nah, cara dan hasil tafsil Al Quran dan Hadits itu bagian dari Al Quran dan Hadits itu sendiri atau bukan? Kalau bukan, berarti itupun mungkin salah.

CMIIW

9/24/10

Play On

Tidak terasa, sudah hampir setengah tahun saya menikmati irama aktivitas yang baru, yang berbeda dari sebelumnya. Kalau sebelumnya saya banyak di balik layar (layar laptop) dan sedikit putar-putar purwokerto, sekarang hampir setiap hari harus mampir SPBU.

Setiap kali saya selesai dari sebuah urusan eh kemudian merogoh saku dan menyimak lembaran to do list yang saya buat dari potongan kertas aster ukuran 6 x 8 dan ternyata sudah ada waiting list aktivitas berikutnya yang harus segera saya temujui dan saya beresi, seketika itu pula saya melatih diri saya untuk reflex mengucap ungkapan tertulus dari dalam hati :

"Alhamdulillah, waktu yang saya punyai termanfaatkan"

Betapa syukur itu kentara mendalam ketika saya mengcounternya dengan dua kenyataan berbeda di luar saya : 1. mereka yang bingung mau ngapain dan 2. mereka yang terpaksa harus ngapa-ngapain demi janji yang mereka tuangkan dalam surat kontrak yang mereka tanda tangani sendiri.

Dan sebuah hadiah indah kemarin saya dapati, MYELIN namanya. Bahwasannya, tidak ada yang merugi bagi seorang yang gemar playon tetapi tetap berpikir mendalam (berkontemplasi), karena muscle memory atau memory yang tersebar di sekujur tubuh kita berkembang, seiring dengan berkembangnya brain memory di dalam otak kita.

Orang yang hanya bertindak, berorientasi pada bayaran atau penilaian atas hasil tanpa berpikir mendalam tentang visi hingga evaluasi maka brain memory-nya tidak berkembang. Dan orang yang hanya berpikir, tanpa tersibukkan dirinya dengan action fisik (playon), maka muscle memory nya tidak akan berkembang. Dan kata Renald Kasali si penulis buku MYELIN, beriringnya perkembangan kedua memori penting di dalam tubuh kita itulah yang membuat lahirnya pemimpin-pemimpin besar dibidangnya.

Saya mengira-ira, mungkin itu semakna dengan perpaduan yang kata Bob Sadino jam terbang dan kata Ippho Santosa Intuisi.

Mari playon, marilah playon, marilah Play On bersama sama...

9/23/10

Stadium Kepepet, Stadium Dorurot

Sebetulnya sangat beda, tapi berapa banyak orang yang sengaja merancukan antara dua kondisi ini, yakni stadium kepepet dan stadium darurat.

Kepepet itu misalnya, jatuh tempo angsuran. Dorurot itu diancam sama depkolektor mau dibunuh. Nah, diajaran agama kita, dalam kondisi dorurot bahkan daging babipun boleh dimakan asal dianggap menjadi satu-satunya jalan yang bisa berefek kuratif (menyembuhkan).

Kehati-hatian kita adalah dalam menentukan kita sebetulnya stadiumnya sudah dorurot apa baru kepepet. Kalau baru kepepet kok sudah makan daging babi, aduh jaaan sayang..... Jasa Setiabudi sampai membuat buku tersendiri tentang kekuatan dibalik kepepet yang judulnya The Power of Kepepet.

Pesan saya, saat merasa stress, buntu, merasa kondisi sudah dorurot, sharinglah kepada orang yang tepat, kalau bisa jangan hanya kepada satu orang, agar kita bisa menemukan angle (sudut pandang) yang tepat untuk mendefinisikan kondisi kita memang benar-benar dorurot atau baru kepepet tapi sudah mau makan babi?

Kepepet adalah tonggak kebangkitan diri kita, kecuali sudah benar-benar dorurot, janganlah terburu-buru makan babi. Kepepet bukan dalih untuk bisa kita sebut dorurot, kepepet adalah timing kita untuk meluncur...

Ayuku

Rangkaian penawaran demi penawaran yang kupikir selesai dengan 2,5 jam talkshow dan diskusi interaktif tadi malam dirumah kawan lamaku, Ayuku namanya. Ternyata tidak, setelah tadi pagi menandatangani 3 materai, sore dan malam ini masih ada 3 appointment lagi. Alhamdulillah...

Saya jadi ingat sebuah kalimat sakral di salah satu awal paragraf pembukaan UUD 1945, itulah bukti betapa tinggi spiritualitas para pendiri bangsa, bayangkan kemerdekaan yang untuk menggapainya melahap seabreg harta benda bahkan ribuan malah jutaan nyawa, tidak mereka tulis di UUD : Atas berkat uang yang terbuang dan darah yang tertumpah, tetapi

"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa..."

Dan bukan hanya itu, kalimat yang membuntutinyapun bukan soal materi, bukan soal kerja keras, tapi :

"...dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur."

Keinginan luhur mungkin identik artinya dengan niat yang lurus dan penuh kesungguhan.

Ya, semua penawaran dan penerimaan yang bertubi-tubi adalah atas berkat Rahmat Allah, bukan hasil kerja keras dan lelah...

*to Ayuku dan all tenant-tenant saya, semoga berlanjut ya obrolan kita...

Cukup Jadikan itu Pemacu, Bukan Peresah

Hari ini talkshow Inspirasi Entrepeneurship di kampus Akatel berlangsung lancar, antusias dan saya sendiri puas dengan performa tadi. Slide terakhir yang saya tampilkan tadi di baris paling bawah sebagai inti materi adalah "berpikir linear v.s. berpikir lateral".

Ini sebetulnya bukan slide untuk mereka saja, tapi slide untuk diri saya sendiri. Agar tidak terjebak dalam alur berpikir linear ketika dilontari pertanyaan-pertanyaan yang terkesan menekan. Contohnya adalah pertanyaan ini "Lah, kamu kapan nikah?", yang dilontarkan bertubi-tubi selama rangkaian silaturahim Idul Fitri keliling diantaranya ke guru-guru SMA tercinta kemarin.

Pertanyaan itu, harus kita analisis asbabun-nya atau latar belakang kenapa pertanyaan itu dilontarkan. Apakah sebuah pertintah untuk kita lekas menikah, atau sebuah bumbu komunikasi yang ringan, menggelitik tetapi mengesankan perhatian personal yang dekat?

Berpikir linear terhadap pertanyaan itu dan pertanyaan lain yang serupa hanya akan membuat kita terjerumus dalam lubang bernama keresahan. Karena itu, berpikir lateral saja, cukup jadikan itu sebagai pemacu, tidak perlu merasa tidak nyaman, sehingga kita mempercepat nikah kita atas dasar ingin menjawab pertanyaan itu secepatnya, bukan lagi karena niat sucinya sebuah pernikahan.

Sering bukan? kita terjebak dalam kekeliruan niat semacam itu? Misalnya di kasus lain, ada orang menutup akun facebook, sebenarnya ingin membukanya lagi, tapi karena gengsi, ia tak kunjung membukanya. Bayangkan, susah-susah tutup akun bukan karena niat ingin memetik manfaatnya, tetapi karena demi gengsi.

Begitu juga dengan wisuda, niat suci mengambil bagian dalam perhetalan wisuda sebagai perhelatan proklamasi diri bahwa skill yang ia ilmui sudah melampaui batas kapasitas, eh banyak orang justru memburu-buru wisuda karena resah dengan slentingan dan omongan orang, termasuk orang tua.

Hal semacam itulah yang memboroskan amal, kinerja meningkat tapi niat tidak terpelihara, sayang... mubah... . Mending si tidak usah nikah saja, atau buka saja itu akun facebook, atau tidak usah wisuda saja, daripada niat ingsun memuja gengsi diri.

Ya sudahlah, intinya, jangan resah oleh omongan orang, karena belum tentu orang ngomong seperti itu sedang dalam konteks menuntut, bisa saja cuma sekedar menggelitik. Jadikan saja itu pemacu. Kalau itu menimbulkan keresahan dan keresahan tidak bisa diusir, percayalah, setelah pertanyaan itu terjawab akan menyusul pertanyaan berikutnya, "Kapan punya rumah?", "Kapan punya anak?", "Kapan punya mantu?", "Kapan punya cucu?", "Kapan kamu mati?"...

Haha, mending mati sekarang, daripada menghabiskan umur hanya untuk bergumul dari keresahan akibat :
1. omongan orang
2. gengsi diri



CMIIW

9/22/10

Nasi Kuning

Nasi kuning depan Rumah Makan Sederhana jam 08.00 sudah habis. Padahal jam 06.00 baru buka. Hm, sudah laku berapa ya? Katakanlah laku 100, harga perporsi 3.500 maka didapat angka 350.000 omzet perhari.

Keuntungan minim-minimnya 50%, jadi untung 175.000. Angka itu mungkin sudah bersih, karena tidak perlu bayar karyawan sebab si owner sekaligus jadi self-employee disitu, dan tidak perlu sewa ruko karena cukup menggelar lapak.

Perbulan didapat laba bersih 175.000 x 30 = 5.250.000,00. Tiga kali lipat dari gaji CS. Bahkan cicilan Avanza saja cuma 3.500.000,00.

Kepada para entrepeneur yang saat ini omzetnya masih seret, sabarlah, ikhlaslah, asal tidak putus asa, kata SBY "Ku Yakin Sampai Disana".

9/20/10

Bebaskan Dirimu....

Orang yang terlalu sering diberi arahan akan jadi bebek.
Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi besi.
Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan.
Orang yang terlalu sering diberi pidato kelak hanya bisa minta petunjuk.

(Dahlan Iskan)

9/15/10

Multi-intepretasi SMS

Memang gampang sekali salah tafsir dalam membaca SMS, apalagi yang membacanya cepat, hanya sekali dan tidak diulang. Haha, sore ini, SMS-an dengan harus dua kali kirim dengan penjedaan dan tata penulisan yang berbeda demi menghindari multi-intepretasi SMS. Hahaha... ada ada saja.

9/14/10

Semudah itukah Mencap Orang Lain Sesat?

Kepada para kiai-kiai itu saya ingin bertanya ke mereka, ibadah itu ada (1) ATURAN dan ada (2) TUJUAN, apa cukup kita mencapai maqom kemuliaan tertinggi hanya dengan mencapai ATURAN ibadah saja, sehingga tidak perlu kita berpikir, merasa dan merenung tentang TUJUAN ibadah. Atau TUJUAN ibadah memang hanya sebatas mencukupi ATURAN2nya saja?

Jangan Pake "Mantese"

Mantese kepenak ya ngger nduwe bojo, mantese nyamleng ya nek wis ana kodean, mantese bombong ya ngger dadi kaya Aa Gym...

Mau sampai manapun diperturuti, "mantese" hanya akan berbuah kekecewaan. Ya, dalilnya jelas, jangan mengikuti prasangka, karena kebanyakan prasangka itu tidak benar. Nyatanya memang begitu, wong mbojo kepengen menyepi, wong ngode kepengin prei, wong penggede kepengen leren.

Itulah tingkatan hakikat kehidupan yang diajarkan Tuhan kepada manusia melalui proses. Bukan karena tidak mampu, Tuhan kok mengulur terkabulnya doa, memperpanjang masa prihatin sebelum sukses, cuma agar manusia tidak terjerat oleh pikirannya sendiri yang bernama "mantese".

Pada akhirnya, semua keberhasilan adalah karena Rahmat Allah. Upaya kita bukan penyebab keberhasilan kita, secuilpun tidak. Kalau konsep ini sudah tertanam bukan sekedar "mudheng", tetapi bener-bener "dong" alias "ngeh", saya yakin, tidak ada itu kita ngode dan bilang "kepriwe maning", tidak juga cemas dan kuwatir dikala jodoh yang dipanjatkan disetiap doa tidak kunjung hadir, tidak pula kemrungsung untuk mengharuskan diri menjadi penggede negeri.

Sekali lagi, bukan karena kerja keras terus kita jadi sukses, bukan karena dosa terus kita jadi gagal, karena Rahmat Allah semata. Kerja keras dan dosa itu hanya link untuk kita eling bahwa Allah itu dekat, rahmat-Nya itu dekat...

Bagi yang tidak mudheng, silahkan tanya langsung ke Allah... boleh kok.

9/13/10

Opname

Masjid Daarut Tauhid

Bergumam

Toyota Vios 2007, 140juta. Sikat???

Meminta

Tuhan berikanlah aku cinta...

Bertanya

Apa umur idealis saya sudah habis ya? Saatnya menyerah pada persoalan-persoalan hidup dan menjadi manusia "ya, kepriwe maning..."

9/7/10

Pasak/Pilar yang Dipancangkan

Pasak/Pilar yang Dipancangkan tidak cukup dengan satu atau dua hari, atau dengan energi satu atau dua joule itu akan menjadi penjaga keyakinan kita dalam berikhtiar.

Terlaksana Sudah

Ditujukan kepada para donatur postingan ini di publis, minta maaf nih atas keterlamabatnya.

Telah terselenggara dengan baik, pelatihan inspirasi menulis dilanjutkan buka puasa bersama untuk putra-putri panti asuhan Darmo Yuwono, kala itu tanggalnya 20 bulannya Agustus 2010.

Ini dokumentasinya sekelumit...

Peserta

Crew, mohon maaf yang sisi sebelah kanan masih ada sederet lagi, tapi belum ketemu dokumentasinya

Pelatihan lanjutan, setiap pekan sekali
Untuk teman-teman yang tertarik untuk ikut berpartisipasi dan berbagi inspirasi di pertemuan-pertemuan lanjutan, hubungi saya saja

Jazakumulloh khoiron katsiron untuk para donatur, salam sudah disampaikan bersambut doa dari saya dan mereka semua.