9/30/10

Kepunthal-punthal

Seperti meminta sepeda, begitulah kita merengek minta dihadirkan jodoh untuk kita. Jangan-jangan, sebagaimana sepeda, pada saat awal dimiliki tah iya, disayang-sayang sampai-sampai ditangkringkan diatas kasur untuk ikut menemani tidur. Namun, setelah selang berapa waktu, merasakan lelahnya mengayuh, mengetahui kecepatan maksimal yang bisa dikayuh, akhirnya dianggurkanlah itu sepeda.

Stop! Ini bukan bicara soal sepeda, paragraf di atas hanya perumpamaan saja, begitulah, ada yang namanya euforia. Makanya, sepertinya ada yang lebih bijak dari cara kita meminta jodoh, ketimbang merengek seperti minta sepeda.

Lalu harus seperti apa donk memintanya? Hm, bagaimana kalau seperti minta tiket perlombaan. Ketika seseorang mendaftarkan diri berharap mendapatkan tiket untuk bisa mengikuti lomba, orang itu sadar bahwasannya setelah tiket didapat bukan kesenangan belaka, tetapi tantangan yang lebih besar. Lebih besar tetapi bukannya menakutkan, tapi mengasyikkan, karena kita sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari.

Sehingga tidak ada itu satu fase kita terlena dengan kenikmatan sesaat sampai-sampai berhenti belajar, karena kalau hal itu terjadi artinya kita akan kalah konyol (sejenis mati konyol) dalam perlombaan itu.

Dan pada kondisi lain, ketika kita kok pada tahap pra kualifikasi tidak lolos, tidak mendapat tiket, bukannya menggerutu dan memaksakan panitia memberikan tiket, tetapi kita belajar lebih, berlatih lebih, sampai kita berhasil lolos mendapatkan tiket itu.

Kalau pra kualifikasi saja tidak lolos, dan eh misalnya kita memaksakan diri untuk tetap boleh ikut lomba, dijamin, kita hanya akan kepunthal-punthal.

Mau kepunthal-punthal? Dia tahu kita jarang menghitung (kemampuan) diri kita.

1 comment:

  1. numpak pit sing penting konsekuen dan istiqomah.

    begitu juga meminta sesuatu.

    ReplyDelete