12/26/15

Step by Step menjadi Wahabi

Pada tahap pertama, dengan teknik passing & leading orang dicekoki doktrin MURNI & TIDAK MURNI dalam beragama. Murni adalah ada dalilnya, bukannya murni akhlaknya.

Pada tahap berikutnya, diciptakanlah GUILTY FEELING. Rasa bersalah dan berdosa. Padahal fitrah manusia ya salah dan dosa, harusnya fokus ke perbaikan, bukam fokus ke rasa bersalah. Kalau kita diletakkan di kutub negatif, disinilah dikenalkan siapa yang akan diletakkan di kutub positif, yakni generasi SALAFUS SHOLEH.

Metode mengenali dan mengautentifikasi generasi salaf mana yang benar-benar sholeh dan mana yang justru tholeh sebenarnya sangat lemah dan cenderung sebatas klaim. Karena jarak abad dan minimnya informasi, tapi entahlah kok tidak ada yang mempertanyakan itu.

Pada step ke-3, orang akan dirancukan tentang parameter TUHAN dan MAKHLUK. Karena Tuhan diletakkan meneyerupai makluk, maka makhluk gaib dianggap berpotensi menjadi saingan Tuhan karena mereka sama-sama tak kasat mata. Maka muncullah jargon anti-syirik.

Berikutnya, mereka beragama tapi diajak menggunakan parameter kaum sekuler. Parameter di lingkungan sekuler adalah perkara keseharian dibagi menjadi : AKHIRAT & DUNIA. Sedangkan parameter orang beragama seharusnya adalah: Perkara Maghdoh dan Muamalah.

Sampai pada tahap ini, sebetulnya orang sudah berpotensi untuk merusak. Bukan merusak rumah atau bangunan, tapi merusak harmoninya tatanan sosial.

Eh masih ditambah lagi step berikutnya: penciptaan musuh bersama. Musuh sosiokultur mereka adalah Nahdlatul Ulama dengan pengembangan BUDAYA-nya. Musuh geopolitik mereka adalah SYIAH dengan Imamah-nya.

Kemudian untuk memunculkan semangat kolegial soliderity dibuatlah semacam SERAGAM bersama. Jenggotnya panjang, celananya pendek.

12/23/15

Subcon Nutrisi

Dulu, jaman beberapa generasi di atas kita, bagian rumah yang bernama dapur adalah tempat yang primer. Sehingga dapur didesain lega dengan berbagai tempat ubarampe yang fungsionable. Dapur lebih vital dari ruang tamu. Karena di ruang tamu, hanya tamu tertentu yang masuk, sedangkan didapur, tetangga, orang lewat, semua bisa masuk, ngendong (berkunjung) juha nganthong (numpang makan).

Vitalnya dapur adalah karena ditempat itu first hand dari nutrisi keluarga dihasilkan. Nutrisi yg akan mempengaruhi kualitas anggota keluarga baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Sayangnya, entah sejak kapan. Dapur menjadi mendapat stiga negatif. Dapur jadi terpinggirkan. Yang utama adalah tamu dan ruanh tivi.

Akibatnya, orang tidak bisa menemukan lagi keasyikan di dapur. Warna-warni cabe, fragmen2 pethikan kangkung, wangi rempah-rempah, semua tidak lagi menarik. Sambil disaat yang sama, orang lebih ayem men-sub-kontrak-kan pasokan nutrisinya kepada pihak ketiga. Ngewarung. Ngerames. Delivery order.

12/21/15

Bangkrut Statis

Orang Jawa itu di keadaan apa saja kok ya tetep saja bisa melihat untungnya. Kalau jatuh di jalan: untung cuma lecet, enggak ada yang parah.

Kalau dagang sepi: untung cuma sepi, enggak sampai nombok. Kalau nombok: untung cuma nombok, enggak sampai utang. Kalau utang: untung cuma utang, enggak sampai bangkrut. Kalau bangkrut: untung ketemu bangkrut, daripada enggak pernah mencoba.

Kalau nggak pernah mencoba: untung nggak pernah mencoba, jadi nggak perlu ngerasain bangkrut. Loh? Hehe...

Tidak ada peristiwa statis di dunia ini, termasuk bangkrut. Bangkrut statis tidak akan terjadi, kalau energi pikiran kita tetap digerakkan menjadi kumparan yang dinamis, sehingga bisa mengelektromagnetik keadaan dan memproduk momentum kebangkitan. Kecuali pikiran kita stuck berhenti.

Ekonomi Sederhana

Tentang perlambatan ekonomi yang terjadi nyaris menyeluruh, dari perusahaan multi-nasional sampai perusahaan ecek-ecek, disatu sisi adalah sebuah keluhan disisi lain juga kesyukuran.

Bagaimana tidak mengeluh kalau sales mobil dan sales kredit semakin diforsir demi target. Pun demikian kaum usahawan kecil. Kalau pedagang nasi goreng harus menaikkan harga jualnya, itu bukan aji mumpung atas momentum, itu karena kepepet atas harga2 bahan baku yang melambung. Disisi lain mereka harus siap dengan realita pembeli menjadi berkurang drastis karena daya beli konsumen melemah.

Itulah arti 2.000 rupiah dinaikkannya harga premium yg merupakan satu dari tiga kebutuhan bahan pokok selain beras dan gas. Kita belum mendengar dampak pengalihan subsidi untuk pendidikan dan daerah tertinggal, tapi sudah bising dengan pelemahan daya beli masyarakat yang menyeluruh se-nasional.

Belum lagi ditambah faktor ekonomi global, pemusatan modal dan berbagai rekayasa ekonomi lainnya. Apakah sensus ekonomi tahun ini akan mampu menyajikan fakta yang jujur dari data yang akan mereka serap dari lapangan se-nasional ini? Kita lihat saja nanti.

Kalau hal di atas adalah sisi keluhannya. Maka ada pula sisi kesyukurannya. Syukurnya adalah, mudah2an perlambatan ekonomi ini akan mendekatkan kita pada momentum dimana kita sadae bahwa rekayasa ekonomi sudah terlalu akut. Sehingga secara kompak dan massal kita mau bersama-sama kembali ke konsep ekonomi yang sederhana. Sederhana bahwa bisnis adalah tukar menukar kebutuhan, bukan rekayasa keinginan disulap jadi kebutuhan. Sederhana bahwa iklan itu mengenalkan produk, bukan menjebak. Sederhana bahwa modal itu faktor pendukung sistem, bukan penguasa sistem. Sederhana bahwa hidup yang enak itu hidup sederhana.

12/20/15

Impossible Ikhtiar

Aku hidup didesa, tapi jauh dari pelayanan alam, pelayananku dari Industri: bumbu instan, alfam*rt, gadget. Mbahku petani, tapi ilmuku teknologi informasi.

Ini sepertinya aku harus buru-buru men-download ilmu dari Mbah-mbahku. Agar aku paham ilmu bertani. Agar aku tidak bengong, nglangut, se-pasca ikhtiar. Agar aku tidak mengerjakan imposible ikhtiar.

Pak Tani itu, kalau sudah mencangkul lahan, memberi kompos dan menanam bibit, selanjutnya pekerjaannya ya tinggal menunggu. Menunggu panen.

Tinggal tugas Tuhan dan keniscayaan waktu yang bekerja. Kita menunggui saja, merawat, menjaga. Boleh menunggu sambil ngelangut, boleh menunggu sambil menggerutu. Tapi boleh juga menunggu sambil pergi 'repek' mencari kayu bakar. Atau sekedar nyeset-nyeseti bambu barangkali bisa jadi irus atau siwur.

Tapi please pekerjaan Tuhan jangan diganggu dengan mulur-mulurin batang tanaman. Kamu kira itu bisa membuat waktu panen lebih cepat?

Lah, tapi kalau panen masih lama. Kita makan apa donk? Makan tuh lamunanmu. Ya salahmu sendiri kenapa dari dulu tidak mempersiapkan umbi-umbian kek, atau tanaman sela apa kek, yang umur panennya lebih cepat, bisa untuk bahan pangan alternatif. Itu kan bisa direncanakan. Asal kamu mau berpikir detail.

Pecundang Vacancy

Entah aku harus bersyukur atau harus mengeluh. 10 tahun mencoba konsisten mengikuti katahati. 10 tahun puasa untuk tidak melacur dari mitos 'urip mapan kudu dadi pegawai'. Hari ini sepertinya semua pintu untukku berkemungkinan menjadi pekerja sudah tertutup sempurna.

Faktor eksternal adalah perlambatan ekonomi global yang mengakibatkan perusahaan makin eksploitatif memerah anak buahnya. Sudah kenyang aku mendapat keluhan kaum pekerja mulai dari yang bergaji rendah sampai yang bergaji bejibun. Dari yang bekerja di perusahaan ecek-ecek sampai yang kerja di perusahaan gedhe, segedhe gaban.

Sementara faktor internal adalah karena aku tidak mempunyai ijasah yang bonafide dan tinggalan IPK yang memadai. Ketambahan hasrat untuk kuliah lanjutan belum ada, tetap rencananya lanjut kuliah ya nanti mengisi waktu luang bersama istri setelah menikah.

Jadi, sekepepet-kepepetnya hidup. Mau tidak mau aku harus menjebol tembok inspirasi baru. Karena semua pintu pecundang sudah tertutup semua dengan sempurna. Sesusah apapun inspirasi itu dijebol. Energinya ya energi penghabisan: daripada sesak napas dihimpit keadaan.

12/18/15

Analisis Rasa

Kalau C.I.N.T.A itu sebuah program, maka ada input - proses - output. Yang orang pahami tentang cinta adalah output, bukan cinta itu sendiri. Output itu bentuknya : kecenderungan rasa. Walau cuma kecenderungan dan cuma rasa, tapi indahnya melampaui dunia seisinya.

Lalu apa inputnya? Dalam kosakata Arab disebut Ratib Al Qulub, yakni : diriku yang ada dihatinya, atau hatiku yang ada dirinya, atau bagian dari diriku yang ada di satu bagian di dirinya, atau entahlah disebut dengan apa, yang jelas maksudnya itu. Kecerdasan orang Jawa memaknainya, sehingga di Jawa dikenal falsafah : sigaraning nyowo yang diakronimkan menjadi garwo (Indonesia:Istri).

Apakah didalam diri calon pendampingmu, engkau menjumpai dirimu ada disana? Ataukah engkau tidak bisa melihatnya? Atau jangan-jangan bahkan engkau belum bisa mengetahui dan mengenali dirimu yang ada di dalam dirimu sendiri sehingga engkau kesulitan mendeteksi adanya dirimu di dalam orang lain? Welah dalah... mumet...

Loh, bukankah kecenderungan rasa itu tanda bahwa ada diriku di dirinya? Oh, belum tentu. Kok belum tentu? Belum tentu, karena parametermu atas rasa juga tak menentu. Cantik, cerdas, memukau. Langka, terpelihara, mempesona. Pukau dan pesona sekarang ukurannya suka-suka, bukan? Terkungkung rasa. Heum... dibawa merenung saja dulu... agar bisa melepaskan diri dari kungkung rasa dan memulai menganalisis.

Lalu, kalau output sudah tahu, input juga sudah tahu, lalu apakah prosesnya? Prosesnya bernama : Momentum. Momentum adalah sesuatu yang diatas kecepatan. Momentum adalah sesuatu yang harus panjang menganalisanya. Tinggal kita mau sibuk menganalisa atau mau sibuk online dengan Sang Penguasa Momentum.

Kaleidoskop 2015

Tahun 2015, tahun yang menakjubkan dan penuh kesyukuran. Di tahun ini, core activity-ku masih berkecimpung di dunia gula kelapa. Ini adalah tahun ke-4 aku membangun embrio perusahaan dari nol bersama dua rekanku, Hilmy dan Azis. Walaupun kecil, karena memang kita berangkat dari modal yang super cekak, tapi mungkin inilah satu-satunya perusahaan lokal di daerahku yang menerima berbagai penghargaan juga yang sudah melakukan ekspor langsung.

Pastinya masih panjang untuk perusahaan ini bisa seatle seperti Elang Groupnya Elang Gumilang atau sekaya Saratoganya Sandiaga Uno. Mudah-mudahan saja kita bisa memperjumpakan diri dengan banyak momentum sehingga proses yang masih panjang itu bisa ditempuh tidak harus memakan waktu yang lama.

Selain aktivitas makaryo sebagai kewajiban untuk mewajarkan diri sebagai manusia modern seperti di atas itu. Aku juga masih harus menyelesaikan pendidikanku. Aku mengambil pendidikan di bidang filsafat. Tahun ini insyaallah lulus wisuda dan bisa lanjut ke jenjang selanjutnya.

Kalau jenjang pendidikanku diibaratkan adalah belajar bertani, maka jenjang yang sedang aku tempuh adalah jenjang mengenali lahan yang kita miliki, jenis, countur dan karakteristiknya. Setelah kenal betul, di jenjang berikutnya aku diharuskan berkesperimen menentukan bibit budidaya apa yang benar-benar cocok dengan karakteristik lahan yang aku miliki. Menarik sekali pembelajaran yang sedang aku tempuh, aku bersyukur atas itu.

Selain kedua kesibukanku di atas, aku juga bersyukur bertemu dengan banyak persentuhan-persentuhan dan ekstrakurikuler baik rejeki maupun ilmu. Berikut catatan bulan perbulan yang sudah aku lalui di tahun 2015 ini :

Januari
Di bulan ini aku dan rekan-rekan disini menerima workshop keorganisasian dan kemasyarakatan dari Pak Toto Raharjo, Mbahnya LSM di Indonesia. Pendampingan dari beliau masih berlangsung hingga saat ini. Paradigma dan struktur yang beliau miliki mungkin hanya satu-satunya yang ada di Indonesia, silahkan sodorkan kepadaku kalau ada tandingannya.

Di bulan ini juga aku mendapat pembelajaran praktikal dari seorang pengusaha properti di Yogyakarta mengenai eksekusi lahan dan perencanaan klaster. Sayangnya memang aku belum berkesempatan mempraktekan ilmu ini hingga final, jadi klaster perumahan dan jadi uang.

Selain itu aku juga sedang getol belajar mengenai perencanaan paket program umroh dan perencanaan umroh backpacker, menimba ilmu dari teman-teman yang aku kenal dari jejaring di dunia maya. Tapi niatanku bukan untuk membisniskan ini, niatanku untuk mencari jalan termudah dan termurah bisa berhaji/umroh.

Februari
Cak Dil dari Malang dan Doktor Heri dari Jogja memberikan kepada kita pembelajaran tentang material konstruksi alternatif. Beberapa rekan mempraktekkan penggunaan material alternatif ini beberapa hari di Laboratorium milik Doktor Heri di Jogja. Sayangnya hingga saat ini, produk pengembangan yang kita tekuni belum bisa diorientasikan ke pasar.

Maret
Hall utama di hatiku harus dikosongkan, karena seseorang yang berada disana, di awal bulan ini dilamar orang. Dan lima bulan kemudian, mereka ditakdirkan menikah. Ah sudahlah..

Di hari yang sama, house of L22 yang menjadi basecamp komunitas milik rekan-rekan harus dikosongkan. Saatnya move on, hijrah.

Kesibukanku di bulan ini adalah berpartisipasi di beberapa workshop, diantaranya di Karanjambe di tengah hutan pinus Banyumas selatan, juga berpartisipasi di workshop di Magelang untuk teman-teman Komunitas Maneges Qudroh.

April
Selama tiga hari tiga malam kita mengodhog model embrio bank komunitas. Tandon uang tidak harus berada di luar komunitas, karena yang terjadi selalu akan seperti bank pada permainan monopoli yang selalu kaya raya dan semakin kaya raya sendirian.

Di bulan ini, aku menuntaskan prosesi "nedhak sungging", yakni melacak family tree, nama dan makamnya dimana. Kali ini yang baru bisa aku tuntaskan dari jalur ibu. PR untuk menyusuri jejak leluhur dari jalur bapak mudah-mudahan aku tuntaskan tahun depan.

Basecamp baru belum bisa disiapkan, kita menyiapkan basecamp alternatif. Di Kota Purbalingga. Proses rehab bulan ini dikerjakan dan segera kemudian bisa ditempati.

Mei
Akhirnya kita merealisasikan ekspedisi napak tilas pejuang Islam di Jateng, Jatim & Madura. Tercatat : Demak, Kudus, Tuban, Gresik, Bangkalan, Pasuruan dan Jombang disambangi dalam 3 waktu trip yang berbeda.

Kemampuan Bahasa Inggris-ku yang pas-pasan lagi-lagi ditagih oleh keadaan. Di bulan ini pula aku menerima kunjungan beberapa buyer gula kelapa, bulan ini tumben agak banyak.

Juni
Pindahan dari Griya Satria di Sumampir ke Sapphire Residence di Karangwangkal. Walau baru ditempati dua bulan kemudian.

Juli
Aku, Hilmy dan Azis menunaikan Ibadah Umroh akhir Ramadhan. Perjalanan didahului dengan Backpacker edisi Safari Ramadhan di Filipina, Singapura dan Malaysia. 

Memasuki lebaran, acara disibukkan dengan berbagai ritus halal bihalal. Salah satu yang paling seru adalah halal bihalal keluarga di Puncak Sikunir, Dieng.

Agustus
Kali ini kita kedatangan Guru Bangsa Emha Ainun Nadjib. Sebuah kehormatan dan kesyukuran tersendiri bagi orang-orang yang paham kadar kenegarawanan beliau. 

Di bulan ini juga aku diajak fieldtrip ke Pemalang untuk mempelajari budidaya Udang Vaname. Azis ditugasi untuk mengawal riset praktek secara langsungnya hingga sekarang masih berlanjut.

September
Silaturahim perdanaku dengan ulama kesohor yang paling dituakan di negeri ini, Kyai Haji Mustofa Bisri (Gus Mus) di sebuah Ponpes di Parangtritis, Yogya.

Di kali lain di bulan ini, aku berziarah ke makam Guru Bangsa Tjokroaminoto, Yogya. Di makamnya tertera sebutan kehormatan beliau, Tjokroaminoto Jang Oetama, Beliau adalah negarawan besar sekaliber Diponegoro yang berkiprah 70 tahun sesudahnya.

Oktober
Seminggu di Netherlands. Ini kali kedua aku mengunjungi negeri Kincir Angin, kali ini dalam rangka ikut rombongan misi perdagangan Gubernur Ganjar Pranowo. Netherlands, negeri mungil yang sangat menginspirasi.

November
Aku menyebut bulan ini sebagai bulan follow up. Jejaring baru yang aku dapatkan selama hampir setahun, beberapa terlewat belum difollowup-i, saatnya dimaintain lagi baik-baik.

Di bulan ini, untuk pertama kali secara resmi keluarga Juguran Syafaat menghadap ber-pisowanan agung ke Rumah Maiyah di Kadipiro, Yogya terkait beberapa agenda pokok yang hendak dikerjakan kedepan.

Desember
Mengikuti perhelatan silaturahmi nasional penggiat maiyah di Magelang. Aku berkesempatan menjadi salah satu presenter. Dan katanya presentasiku memukau. Alhamdulillah.

Dan dibulan ini, project Epistemic Community untuk dua kabupaten sekaligus ditabuh gong pertanda dimulai.

Canggih & Tekun

"Anak-anakku itu terampil dan prigel mengolah Bumi, untuk diakhiratkan. Anak-anakku itu canggih dan tekun mengelola materi dan materialitas tidak menjadi materialisme dan tanpa pernah menjadi materialistis."

Simbah,
11-04-2015

Bincang-Bincang

Sudah lama aku tidak bincang-bincang bisnis. Bisnis ya eksekusi. Bahwa ada peluang inovasi, atau creating something new itu lah butuh bincang-bincang. Tapi itupun tidak sebatas bincang-bincang saja sebetulnya. Tapi memperbincangkan bagaimana harus eksekusi, mulai darimana yang akan dieksekusi.

Bahwa satu-satunya alasan tidak berbincang adalah karena sedang eksekusi. Kalau tidak ingin berbincang, lakukanlah eksekusi. Kalau tidak ingin eksekusi, berbincang-bincanglah. Teruslah berbincang, berhentinya ketika hendak eksekusi. Jangan hentikan eksekusi, kecuali mau berbincang-bincang.

Terbiasa Menduga-Duga

Menurut catatan sejarah, Banyumas adalah tempatnya para pertapa. Kata Cak Nun, orang Banyumas kalau kungkum atau tirakat jenis lainnya, mereka "gentur" betul. Bagi para pertapa, lapar itu nikmat. Bagi para pertapa, rezeki tak diduga-duga adalah keindahan. Sekalipun minhaitsu laa yahtasib bukanlah berarti rezeki yang didapat tanpa bekerja.

Bekerja bukan untuk mencari rezeki. Bekerja adalah ungkapan syukur atas setiap hal yang diberikan. Bahwa setelah bekerja dapat rezeki, itu sesuatu yang tidak diduga-duga, Ini nih yang sulit, sebab kita tidak terbiasa menghitung hal-hal yang harus disyukuri. Terus lagi kita terbiasa menganggap yang namanya bersyukur adalah cukup dengan mengucapkan Alhamdulillah, bukan diejawantahkan dalam kerja. Dan kalau kerja, yang diduga-duga dan dihitung-hitung dengan rigid adalah, akan memperoleh berapa nih nanti?

Bantaeng

Kabupaten Bantaeng berjarak 120 km dari Makassar, Ibukota Sulawesi Selatan. Tempat dimana Pantai Seruni yang aku ingin kesana berada. Kabupaten ini punya Bupati yang top markotop, Nurdin Abdullah namanya.

Bupati pertama yang bergelar profesor. Nurdin tidak seterkenal Risma atau Ridwan Kamil, tapi pencapaiannya jangan ditanya. Profesor yang pernah sekolah dan kerja di Jepang ini mengabdikan diri untuk daerahnya dengan dedikasi yang menurut saya keren. Dari Shubuh, pintu rumahnya terbuka untuk semua warga. Persoalan darurat sosial seperti banjir ia pelajari langsung tanpa perantara sehingga dapat menentukan solusi yang tepat dengan segera.

Kabupaten ini andalan pendapatan asli daerah (PAD)-nya adalah pertanian. Tidak mudah meng-amplify pendapatan dari sektor pertanian dalam waktu singkat. Maka solusinya adalah, ia banyak menggondol hibah dan kerjasama dari luar : Jepang, China dan Korea.

Ini yang menurut saya keren. Ia paham betul keterbatasan wilayahnya, dan cerdik memanfaatkan peluang yang paling memungkinkan. Betul, kita tidak bisa memaksakan sumber daya yang memang tidak bisa di-amplify dalam waktu singkat. Yang diperlukan adalah memahami kelemahan dan tantangannya, serta mencari sumber daya alternatif.

Saya membayangkan jika saya di posisi bupati, di daerah saya atau dimanapun. Yang repot paling sangat adalah soal teamwork. Dengan etos teamwork seperti PNS Pemda saat ini, apa yang bisa saya perbuat, konsep yang bagus paling hanya akan dibendel di sekretariat daerah. Harus ada team alternatif. Dan untuk team alternatif, harus ada source dana khusus. Dicontohkan oleh Prof. Nurdin di Bantaeng, ia mencari sumber daya dari luar negeri. Tinggal di adaptasi.

12/12/15

Jebakan Motivator

Diskusi itu membutuhkan skill. Karena dalam diskusi, kita dituntut untuk pertama:sanggup mendengarkan lawan bicara kita. Kedua:sanggup mengelaborasi materi dari lawan bicara kita.

Beberapa orang meremove akunku, hanya karena enggan diajak diskusi. Dan kebanyakan darinya adalah para motivator. Bukan karena aku pandai diskusi, tapi karena materi diskusiku mengganggu jualan mereka.

Menurut pandanganku, menjadi motivator itu tidak jelek. Tetapi bahwa banyak diantara mereka menjadi motivator hanya urusan jualan, itu memang benar. Daya nalar dan ketahanan mental mereka diatas panggung beda dengan di keseharian aslinya. Bagi mereka pencitraan adalah nomor satu, soal inputan ilmu-ilmu baru yang mungkin didapat dari diskusi mereka sangat resisten. Kalau-kalau inputan ilmu baru itu justru merusak komoditas paket training yang mereka jual.

Pandai-pandailah membeli motivasi, jangan terjebak.

12/11/15

Rumah Jawa Masakini

Rumah orang Jawa jaman dulu itu lebih ideal ketimbang produk developer masa kini. Setidaknya pemfungsiannya lebih optimal. Setiap sendi arsitekturnya mengandung filosofi. Kalau digali, bisa satu diktat sendiri hanya sekedar mengupas adiluhungnya produk arsitektur orang jaman dulu. Orang yang dicap kuno, tapi cara hidupnya jauh lebih mutakhir dibanding orang sekarang.

Kalau mau copy paste arsitektur jaman dulu, tentu saja susah. Kayu mahal, tukang mahal. Apalagi tanah, muahaaal. Maka, karena yang penting substansinya bukan bentuknya. Paling tidak, ada nilai-nilai substansi yang tetap terjaga, walau bentuk, juga ukuran rumah tidak bisa kita tiru untuk dihadirkan dimasa kini.

Ada banyak tentu saja, kita ambil lima saja misalnya apa-apa yang ada di rumah jaman dulu dan bisa kita adaptasikan untuk kita hadirkan di rumah masakini.

1. Padasan
Gentong air di depan rumah yang bisa dimanfaatkan untuk pejalan kaki yang butuh minum atau cuci kaki. Ya, kalau sekarang bisa lah dengan menaruh keran cuci mobil di depan rumah.

2. Halaman
Halaman yang luas, bisa untuk taman bermain gratis, tempat berkumpul anak-anak kita dengan anak-anak tetangga. Ruang interaksi yang multifungsi. Ya, kalau sekarang tidak harus seluas halaman rumah jaman dulu, mahal tanahnya. Tapi kita bisa memanfaatkan carport, dioptimalkan untuk ruang interaksi bagi siapa saja, jangan malah dibuat sesak dengan perabot. Pot pun sekadarnya saja.

3. Ruang Tamu
Ruang tamu jaman dulu memakai risban dan meja besar, enak untuk diskusi sambil medang. Kalau perabot besar macam risban dan meja besar malah mempersempit ruangan, yang penting ruang tamu dibuat lega, tapi tetap bisa untuk ngobrol formal dan diskusi berpanjang-panjang. Juga bisa untuk pisowanan, dimana orang-orang bertamu bermaksud menghadap, berkonsultasi atau sekedar meminta saran. Jangan malah ruang tamu disetting untuk sales-friendly belaka.

4. Dapur
Dapur itu bukan ruang belakang. Sekalipun ruangannya ada di belakang. Dapur adalah hal paling primer dalam rumah. Segala sesuatu yang dinikmati di rumah asalnya adalah dari dapur. Walaupun tidak bisa menghadirkan dipan untuk menyambut tetangga ngendong, para-para untuk menaruh barang yang harus keep warm, setidaknya, dapur tetap kita pandang sebagai ruang yang primer, bukannya ruang yang paling terabaikan. Sekalipun kita tidak suka memasak.

5. Ruang Pribadi
Ruang untuk meditasi atau uzlah atau tafakur. Ruang untuk me-time. Bisa didesain suka-suka, tidak harus bernuansa etnik klasik seperti ruang meditasi di keraton milik raja. Yang penting bisa untuk merenung dan menenangkan diri. Kalau lahan terbatas, kita bisa memanfaatkan loteng.

Begitulah kalau prinsip-prinsip itu tetap dijaga, sekalipun bentuknya sama sekali berbeda, tapi kita sudah berasa berada di Rumah Jawa.

Spirit of Jamaah

Keuntungan kita hidup di lingkungan teman-teman yang kebanyakan sudah pada menikah adalah kita mendapat booster etos kerja alami. Pagi-pagi masih kepengin tidur, sudah di-oyak-oyak untuk cari orderan. Sore-sore sudah kepengin pulang masih dipaksa nambah setoran. Malam hari, masih disuruh mantengin lemburan. Iya lah, over head cost orang menikah kan lebih tinggi dibanding para jomblo.

Maka untungnya lagi adalah, ketika kerja bersama dan dapat hasil yang sama, buat yang sudah menikah untuk belanja sekeluarga. Buat yang belum, untuk belanja sendiri. Eh, ini keuntungan apa kerugian yah. Hehe..

Begitulah kalau kita berada di lingkungan komunitas yang positif juga solid. Beda kalau kita berada di lingkungan komunitas yang egois. Begitu banyak tanggungan di rumah, komunitas ditinggalkan. Cari kerjaan dan kesibukan sendiri diluar. Urusan "spirit of jamaah" kagak urusan dah, yang penting gua rajin sholat jamaah di masjid inih.

11/28/15

Derajat Ilmu

Kadang-kadang mikir, mending jadi orang yang banyak enggak tahunya saja. Jadi, ketika ada orang lain minta masukan, aku tidak dibebani kewajiban untuk memberi masukan. Karena memang tidak punya pengetahuan untuk membuat masukan.

Daripada, tiwas sudah meminta masukan, diberi, eh tidak dipake. Dibuat berceceran begitu saja. Tapi yah, itulah kenapa orang berilmu ditinggikan derajatnya. Kompensasi atas beratnya berlaku bijaksana. Harus menahan diri, daripada obral masukan. Meski gemes nggak karuan melihat tingkah polah yang sebetulnya bisa aku berii masukan.

Maksud Sang Nabi

Kalau diantara kita ada yang berani menghukumi bahwa Syiah bukan Islam. Apalagi Khawarij. Kalau syiah saja tidak dianggap bagian dari Islam, terlebih mereka kaum Khawarij.

Tapi apa berani menghukumi khawarij itu bukan Islam. Sedangkan mereka bajunya Islami, rujukannya Quran dan Sunnah. Cara penafsiran dan penerapannya saja yang sakpenakwudele dhewe. Maka yakin, tak berani kita menghukumi kaum khawarij itu bukan Islam.

Kalau menghukumi syiah bukan Islam berani. Karena media berkata begitu. Wong kita lebih sami'na wa ato'na kepada media. Ketimbang bertabbayun pada maksud-maksud Nabi pada Sunnah-sunnahnya.

Sebegitu kita tidak mengenal baik Nabi kita sendiri, sehingga ketika tafsir atas perkataan Nabi dimanipulasi sedemikian rupa, kita masih yakin bahwa itu memang benar-benar yang dimaksud oleh Nabi.

11/27/15

Sulitnya Hidup Jujur

Sulitnya hidup jujur. Jujur itu bukan sekedar ngomong ke orang lain yang benar. Kalau itu jujur fisik. Jujur dalam hidup hakikinya adalah kita tidak mengingkari anggukan universal alias kebenaran murni yang tersimpan di dalam hati.

Kalau mau hidup tidak jujur gampang sebetulnya. Sekolah dan kuliah yang nurut. Kejar nilai tugas dan ujian yang baik. Lulus cari kerja yang menjanjikan. Kerja yang nurut. Disela-sela kerja, sholat yang rajin. Ikuti majelis taklim, rajin mengisi infak ini, infak itu.

Diwaktu senggang hafalkan beberapa dalil. Kuasai keahlian ceramah dg itu, bawakan dengan santun. Kejarlah pahala, nikmatilah dunia.

Semua kebenaran sudah tersaji. Tinggal rajin membaca teks agama. Hindari perdebatan. Ikuti mainstream. Dikala jenuh, sesekali berwisatalah, hitung-hitung mengambil jatah kebahagiaan duniamu.

Mudah bukan? Modalnya nurut. Taat. Pada aturan Tuhan dan Nabi. Tak perlu berpikir sedikitpun bukan untuk menjalani cara hidup seperti di atas? Enak, pikiran enteng, tak perlu banyak yang harus dikaji, diterjemahkan, dikontekstualisasi. Waktu senggang dan waktu tidurpun cukup.

Saking enaknya, bahkan kita tak perlu berpikir untuk meneliti, yang disampaikan tentang perintah Tuhan dan Nabi itu dituturkan oleh siapa? Siapa kelompok yang menuliskan menjadi bacaan tafsir kita? Adakah kepentingan mereka kepada diri kita?

Dan yang terpenting, kita sama sekali tidak perlu berpikir. Apakah yang mereka tuturkan dan tuliskan tentang Tuhan dan Nabi itu sudah betul-betul bisa mewakili yang benar-benar dimaksud oleh Tuhan dan Nabi? Atau jangan-jangan belum.

Maqomat

Kalau di arloji, maqomat aku itu enggine bukan interface. Kalau di kantor, kecenderungannya aku di backoffice bukan di frontoffice.

Aslinya bagian paling pas buatku ya di dapur. Tidak lihai ngurusin permukaan. Tapi bagaimanapun, 'kutukan' trah dari mbah-mbahku adalah aku harus mandito tapi juga harus siap satrio.

Harus pandai mikir. Tapi juga harus kalau 'terpaksa' dibutuhkan untuk tampil ya harus bisa. Tiba-tiba disuruh presentasi didepan juri nasional. Harus naik panggung disorot kamera tv nasional. Harus negosiasi dengan wong londo dengan bahasa mereka. Harus berbicara didepan umum. Minimal tidak ngisin-ngisini.

Tapi jangan salah mengenali maqomatmu. Aslinya ya kamu urusan dapur. Bahwa bisa tampil, itu jurus darurat belaka. Jangan malah terbuai sibuk cari panggung. Dan lupa nguleg ide, mblender gagasan di dapur.

Dan jangan membanding2kan diri dengan kualitas mereka yang maqomatnya memang dipanggung.

11/15/15

Genting

Malam-malam tidak bisa tidur. Seperti AH Nasution di penghujung September 65, seperti Soedirman di 28 Februari 1949. Sesuatu yang besar akan segera terjadi. Ontran-ontran. Genting. Tapi bukan chaos fisik, bukan huru-hara massa. Tapi membaliknya iklim, berganti drastisnya cuaca kehidupan bangsa kita.

Semoga bisa menyambutnya dengan sebaik-baiknya. Minimal menyadarinya. Syukur sekali menjadi bagian dari mekanisme kejadiannya.

10/31/15

Indonesia Bagian Facebook

Akhir-akhir ini inginnya menangis kalau sesekali aku mengintip timeline facebook. Bahkan kaum jahiliyah Arab dahulu saja masih mengerti sastra, masih tahu ilmu olah kata, masih mampu menanfsir menerawang makna.

Sedangkan sekarang, orang membagi ilmu tanpa ilmu. Orang berbaju agama dengan telanjang akhlak. Memberi nasehat tanpa empati. Berbagi tujuannya eksistensi. Jualan baju sampai jualan kata bijak.  

Untung semua itu, wilayah facebook cuma bagian kecil dari Indonesiaku.

10/19/15

Ubed: Simple Selling

Cita2nya M. Yunus pendiri Grameen Bank menarik: Kelak, anak cucu kita hanya akan melihat kemiskinan di museum.

Maksudnya, semua orang kaya dan berkecukupan. Kemiskinan hanya jadi diorama di museum. Apa bisa? Bisa. Ah masa? Kita nggak percaya kab karena kita closed dari informasi pra generasi kita. Kita hanya tahu dan meyakini apa yang kita alami di generasi kita. Ya maklum, ini generasi memang zamannya orang mustahil menjadi kaya tanpa memiskinkan orang lain. Mustahil kenyang, tanpa melahap orang lain.

Contoh lain yang kita gagal mengakses informasi dari generasi sebelum kita adalah adanya cara hidup "Ubed". Ubed itu cari duit dengan apa saja, untuk berlangsungnya hidup. Walaupun dengan cara "apa saja", bukan berarti tidak ada pola atau struktur teknologinya. Ubed itu "simple selling". Sekarang Ubed hanya ada di museum saja.

Yang ada sekarang adalah "Selling for Salary". Mau sehebat apapun anda jualan, kalau belum punya gaji tetap. Hidup anda tidak aman. Kalau di negara maju, tambah lagi rong2an tidak amannya: kalau hidup belum punya asuransi.

Begitulah, karena tidak ada museum ubed, hidup tanpa gaji dan asuransi menjadi tahayul. Sedangkan kita yang mau mengkaji ilmiahnya teknologi ubed, sudah tidak ada jalur untuk mengaksesnya.

10/16/15

Pejabat & WhatsApp

Di hari terakhir dari perjalanan singkatku ke Netherlands kemarin, aku dan rekan-rekan UKM lainnya berbincang dengan Pak Dubes dan Pak Gubernur Jateng di restaurant hotel. Memperbincangkan hasil-hasil kegiatan kemarin dan rencana-rencana follow up.

Ada yang menarik buatku, Pak Dubes memegang HP. Pak Gub sepanjang dari awal acara aku tak melihatnya pegang HP. Itulah beda gaya pejabat di dua negara. Di Indonesia mungkin pejabat riweuh luar biasa kalau pegang hape karena setiap detik ada satu pengajuan proposal masuk. Sedangkan Pak Dubes yang sudah terbiasa ikut gaya pejabat di Netherlands terbawa egaliter dan humble, asik saja WhatsApp-an. 

Sudah terkenal di Netherlands, anggota Parlemen ngantornya naik sepeda. Istana ratu tidak dikasih kawat berduri, kita bebas mendekat foto-foto. Jangankan suara sirine iring-iringan pejabat, suara klakson pun sangat jarang terdengar.  Disana yang kerajaan, disini yang kok masih feodal?

Republik atau Dagelan

Indonesia adalah negara pembangunan. Cirinya adalah banyak kita jumpai toko-toko bangunan. Beda dengan Netherland, penduduknya malas-masal memperbaharui cat rumahnya. Akibatnya rumahnya kusam-kusam. Susah menjumpai toko cat disini. 

Saat membangun, disaat yang sama kita merusak. Kalau bangunan yang baru, cat yang baru, ternyata kalah kualitas dari bangunan lama, cat lama. Masih sahkah kita disebut pembangun? Atau malah pasnya disebut perusak? 

Sejarah tak bisa cukup disimpan di buku. Juntaian bata, bongkahan semen, julangan cor menjadi saksi kebesaran sebuah peradaban ketika ia mampu bertahan lama melintasi generasi-generasi. Tugas negara adalah menjaga otentisitas masyarakat dan produk peradaban masyarakatnya. Salah satunya adalah bangunan. Sehingga generasi mendatang bisa belajar banyak dari tinggalan leluhurnya di masa lalu. Dari integritasnya membuat takaran semen. Dari penataan bangunan dan pengaturannya dengan sekeliling-sekelilingnya. Dari citarasa arsitekturnya. Semua adalah kekayaan ilmu luar biasa.

Ketika sebuah bangsa sibuk memborbardir trotoar dengan pelebaran jalan. Lalu disisi kiri kanan dihabisi semua jadi kios dan ruko. Apa yang bisa generasi mendatang petik? Hari ini di Indonesia harga ruko semakin tak terjangkau. Kebanyakan tutup, mangkrak ditinggalkan penghuningnya. Sebagian lainnya diam termangu menjadi agunan bank. Ternyata modernisasi, pemadatan kota, tidak selalu beriringan dengan semakin meluasnya peluang ekonomi dan percepatan ekonomi. 

Ini Republik sedang membangun, meninggikan beton, mengecat atau sedang dagelan to?

Kebebasan Terbatas

Konon katanya, Amsterdam adalah kota kebebasan. Bahkan lebih bebas dari kota-kota besar lainnya di Eropa. Kota ini lebih rame dan crowded dibanding kota lain di Netherlands. Maklum, dia ibukota negara. Sekaligus kota yang sangat touristy

Kalau datang ke kota ini, tas taruh depan. Dompet amankan. Passport dan uang amankan melekat di badan. Begitu wanti-wanti banyak orang. Di kota ini kita harus waspada dari copet. Kalau mau tidak repot, backpack dan koper bisa dititipkan di locker di Bandara Schiphol sebelum menjelajahi kota ini. 

Sajian untuk turis di kota ini memang sangat maksimal. Bagi pecinta sejarah, ada banyak sekali museum, yang terbesar namanya Rijk Museum. Bagi ibu-ibu sosialita, ada pabrik pengasahan berlian yang menyuguhkan asahan khas Amsterdam yang begitu bergengsi di dunia. Ada Canal Cruise bagi yang ingin menyusuri Amsterdam via kanal-kanal air. Ada juga buat anak-anak wahana pendidikan Nemo Science Center. 

Dan yang pasti jangan lupa jepret foto di landmark tulisan I AM AMSTERDAM yang terkenal itu.

Bukan hanya menyuguhkan wahana turis yang positif. Yang tidak positif juga ada. Namanya Red light Distric. Aquarium berisi wanita berbusana bikini yang bisa langsung di booking. Dia ada di jalan yang terlokalisir khusus, buka sejak matahari terbenam hingga dinihari. Ramainya tempat ini membuat pemerintah memberikan service yang luar biasa prima, sampai-sampai ketika musim dinginpun sungai disekitarnya dibuat tidak beku agar satwa-satwa bisa tetap ikut membangun suasana tourism disana. 

Begitulah kebebasan yang ditawarkan oleh kota Amsterdam. Bebas tapi tetap dibatasi lokasi. Sama halnya bagi yang ingin nge-fly atau sekedar nyimeng, dikota ini "halal" melakukan itu, asalkan dilakukan di tempat khusus yang bernama "coffeshop". Jadi jangan salah mencari kopi ya disana. 

Konon kata pemandu tourku, orang penduduk asli sendiri tidak tertarik dengan coffeshop, para turislah yang banyak meramaikan. Orang penduduk asli ketika diberi kebebasan malah sudah bosan. Para turislah yang pergi jauh-jauh ke Asmterdam menemukan kebebasan.

10/9/15

Edan-Wifi

Nggak banyak tulisan wifi gratisan, tapi kalau di seek ada. Bukan cuma ada, tapi kuenceng. Padahal gratisan. Itulah Netherlands. Dan mungkin begitu juga kebanyakan negara Eropa lainnya.

Apakah bentangan jarak untuk transfer teknologi antara Eropa di Barat hingga pojokan tenggara Asia masih sebegitu jauhnya hingga kondisi kedua belahan bumi untuk urusan koneksi internet saja begitu berbeda?

Ah, perjalanan pesawat saja hanya 14 jam ditempuhnya kok. Perjalanan transfer teknologi internet aku rasa nggak beda-beda jauh. Yang beda mungkin manajemennya. Kalau di negara maju, orang kaya dan yang benar2 butuh akses spesial mau membayar mahal. Begitupun negara mau membayarkan untuk rakyatnya pembangunan infrastruktur IT. Sehingga terjadi subsidi silang. Sehingga dimana-mana ada wifi gratisan. Di pinggiran hotel. Di kereta. Di bus. Di taman.

Sementara di belahan bumi lain tempat negara2 berkembang, internet dijual murah, sekalipun kepada mereka yang mampu dan mau bayar mahal.

Begitulah. Ke Netherlands, tak perlu beli kartu internet. Rajin-rajin hunting wifi di public area saja. Gartis. Kuenceng. Edan.

10/8/15

Roti Belanda vs Nasi China

Orang Asia kalau ke Eropa paling galau kalau nggak ketemu nasi. Padahal bukannya wagu, kalau cuma mau makan nasi si dirumah bisa. Mumpung ke-Barat, ya berlagaklah jadi orang barat. Makan roti, keju, minumnya susu.

Aku sendiri bukan termasuk yang risau berhari-hari nggak ketemu nasi. Bahkan kalau boleh memilih, mending aku makan roti belanda daripada makan nasi Chinese food. Seenak-enaknya nasi di negeri barat, tetep saja kalah sama nasinya orang Purwokerto. Apalagi nggak ada sambel tlenjenk lombok ijonya.

Tapi seenggak akrabnya perutku dengan roti dan keju. Aku akuin aku suka karena aneka roti-rotian mereka memang lezat, padat dan mengenyangkan.

Kalau dihidangkan dengan susu. Susunya enggak dikorupsi takarannya. Kalau disandingkan dengan butter, butternya enggak pakai perisa. Kalau dilahap bareng keju, kejunya aneka macam. Kalau disuguhkan dengan jus buah, segar beneran jusnya.

Gimana nggak sehat, gimana nggak smart kalau makanannya kualitas prima begini.

10/7/15

Cash Mindset

Pegang cash dan tidak pegang cash itu mindsetnya beda. Pegang cash sedikit dan pegang cash banyak, mindsetnya juga beda. Itulah kenapa dalam business coaching selalunya kita diajarkan untuk: seberapa besarpun utang bisnis anda, pertahankan cash income anda.

Kalau pergi ke tempat perbelanjaan mengantongi banyak Euro, apa-apa terasa murah. Padahal, perbandingan harga dengan barang sejenis di Indonesia wooow juga.

Maka rem paling ampuh adalah kalkulator. Hitung kurs sebelum membeli. Jangan cuma lihat angka di price tag terlihat kecil. Ingat loh itu logonya "€" bukan "Rp" hehe. Dan rem lainnya adalah, jangan bawa cash terlalu banyak.

Tapi kadang-kadang, susah juga orang kita yang overromantic. Buat orang2 tersayang, oleh-oleh berapa saja harganya dibeli.

Gantungan kunci €2 alias 30ribuan. Padahal di Malioboro 10.000 dapat 3 kali. Tshirt €10 alias 150.000an. Padahal di tanah abang 30.000 masih bisa ditawar kali. Lalu Jaket, ada €150 padahal kalau di Indonesia, tinggal tambahin nol 3 tapi ganti dulu logonya jadi IDR. Eheee...

Tapi ada satu oleh-oleh yg lebih murah dibanding beli di Indonesia, yaitu: Cokelat... Pinter2 saja carinya. Salah satunya bisa didapat di Albert Heijn. Borong saja yang banyak. Daripada nyesel nanti pulangnya... :D

10/6/15

Qiyamulail di Perpust

Budaya itu terbentuk oleh tuntutan zaman. Seperti budaya belanja di Netherlands misalnya, orang terbiasa berbelanja siang sampai sore saja. Sebab toko baru buka jam 10 atau 11 pagi. Dan sedikit saja toko yang buka hingga di atas jam 6 sore. Kenapa singkat sekali waktu belanja? Karena gaji karyawan mahal.

Kalau budaya mengunjungi tempat perbelanjaan waktunya singkat, budaya mengunjungi perpust waktunya lama. Perpust buka sampai jam 2 dini hari. Itu kata Mas Selo, mahasiswa master di Univ Delft asal Malang yang membantuku disini kemarin. Dia membantuku di event Misi Dagang Jateng bersama Pak Gub kemarin di Schakenbosch, Den Haag.

Enak kalo perpust sampai dinihari. Nggak harus pinjam buku, nggak harus baca buku kan disana. Sekarang jaman gadget, informasi cukup dipantengin di depan layar.

Loh, kalau cukup dipantengin di layar, bisa dirumah noh? Bisa. Tapi kan kalau di perpust bisa rame-rame, bareng-bareng, engga ngantuk jadinya.

Bisa juga qiyamul lail jamaah disana. Qiyamul lail artinya mendirikan malam. Mendirikan malam bisa dengan :
1. Tadzabur alam
2. Membaca Qur'an
3. Menuntut ilmu.

Tadzabur alam bisa dengan tafakuf merenungi malam. Membaca Qur'an bisa dengan sholat tahajjud juga. Menuntut ilmu, bisa dengan mengerjakan tesis atau belajar ilmu lainnya.

Loh. Mengerjakan tesis kok qiyamul lail. Ya nggak bisa to? Ya nggak bisa kalau cara pandang kita sekuler. Ilmu dunia dan ilmu agama dipisah.

Karena di Indonesia jarang perpustakaan buka hingga waktu tahajjud, haha, sampai waktu ashar juga jarang, ya sudah perpustakaan kita di halaman rumah, tradisi intelektuali kita langsung dibawah langit.

Kalau tidak begitu, kapan qiyamul lail kita mengungguli budaya yang Barat punya?

Ijtihad Toilet

Di negara maju seperti di Netherlands ini salah satu yang keren adalah di soal kebersihan toilet. Walaupun tetap saja tidak semua. Toilet umum di taman-taman kota misalnya, pesing juga.

Tapi satu hal, tidak dikenalnya budaya 'bersuci' ala Islam disini, membuat aku kerepotan juga. Disinilah skill ijtihad sosial ditagih.

Loh, bagaimana coba, orinoar nggak ada air bilasnya. Closet nggak ada washernya, cuma ada tisyu.

Tinggal putuskan sendiri kita, apa nawaitu istinja (bersuci dg benda kering dlm keadaan darurat), nawaitu peper (cebok tanpa air), atau bawa botol atau gayung buat wadah air, atau kencing & mulesnya ditahan saja sampai kembali ke tanah air.

Tentu saja keputusan-keputusan kita akan tergantung situasinya. Disitulah ada kebenaran kontekstual atas ijtihad kita. Karena kebenaran tidak selalu cuma satu.

10/5/15

Gaya Hidup Mahal

Rokok itu sekarang bagian dari gaya hidup. Tentu saja gaya hidupnya orang yang merokok. Saya tidak.

Bahkan bukan cuma di jaman sekarang, jaman dulupun rokok itu gaya hidup. Lalu apa yang membedakan gaya hidup merokok jaman sekarang dan jaman dulu.

Kalau jaman dulu, mbako tinggal ambil di kebun. Klobot ambil sisa panenan jagung. Gratis. Jadi mau sehari 24 batangpun nggak ada masalah.

Sedangkan kalau sekarang, rokok harganya belasan ribu. Kalau gaya hidup seseorang itu satu hari dua bungkus merokoknya, ya tinggal dihitung sendiri ongkosnya.

Itulah bedanya gaya hidup jaman sekarang dan jaman dulu. Jam 6 pagi kemarin lusa, aku landing di Schiphol Airport, Amsterdam. Rekanku ada yang bawa satu pak rokok gudang garam merah.

Konon rokok Indonesia dicari disini. Selain itu, untuk kebutuhan dia merokok sendiri disini. Maklum, disini harga rokok 6 kali lipat. Kalo di Indonesia satu bungkus 15.000. Disini 6 Euro.

Begitulah mahalnya gaya hidup merokok disini. Tinggal pilih, mempertebal kantong, atau mengganti gaya hidup

10/2/15

Organic, Green and Health Expo 2015

Ditengah peradaban yang terus menguning, mengemas, menggemerlapkan diri, ada sekelompok orang yang berjalan agak 'menyimpang'. Mereka berkomunitas untuk memilih menghijau. Komunitas Organik Indonesia hingga akhir pekan besok sedang menggelar expo nasional Organic, Green and Health (OGH) Expo.

Ini adalah penyelenggaraan yang ke-5. Produknya unik-unik, di area depan ada banyak booth hidroponik dan aneka kreativitas bercocoktanam. Geser ke kanan ada booth2 cafetaria. Masuk ke dalam banyak kita bisa jumpai aneka bahan pangan organik. Masuk ke aula dalam, lebih beragam lagi produk kosmetik dan modern lifestyle.

Produk lokal juga import. Ada yang murah ada yang mahal, tapi kebanyakan mahal. Untuk yang sedang belajar gaya hidup sehat nan modern, nggak ada salahnya merapat ke Bentara Budaya Kompas, Palmerah.

Memewahkan Diri, Menyusul Ketinggalan

Setelah bertahun-tahun ketinggalan dengan negara tetangga Malaysia, Filipina dan Singapore, kini negara kita sudah mulai hampir akan menyusul di soal transportasi massal. Jangan dulu bicara MRT atau sekedar legalisasi odong-odong menjadi Jeepney, yang minimal bisa kita lihat saat ini adalah perbaikan2 pelayanan juga perbaikan2 setasiunnya.

Ke Setasiun tak perlu karcis, tinggal menge-tap kartu uang elektrobik saja. Simple. Keren. Setasiun di tengah kota disulap menjadi lebih mewah. Jadi seperti di luar negeri saja. Tentu saja lengkap dengan kios-kios modern yang mahal-mahal dagangannya.

Setasiun Juanda yang dulu mungil dekil, kini megah gemerlap. Begitu juga Setasiun Sudirman. Setasiun Palmerah sudah jadi bangunan barunya nan mewah. Mungkin kini sedang tahap deal-deal lobi dengan para pelapak mewah.

Tapi stasiun Tanah Abang tetap saja kumuh yah. Sekelilingnya maksudnya. Memang kemana dana CSR perusahaan digelontorkan ya?

Transit Area Stasiun Gambir

Googling punya googling, ternyata Stasiun Gambir sekarang punya transit area. Wah, kemajuan..

Walau sayangnya, area ini bukan untuk publik. Jadi yang mau memanfaatkan fasilitasnya ya harus bayar. Fasilitas yang ditawarkan meliputi:
Sewaan locker per 2 jam kecil 5.000, besar 10.000. Terus juga ada shower room 55.000/jam dengan gratis kopi.

Juga ada room single 200.000/4 jam dan double dengan harga selisih 50ribuan. Lokasinya ada di area selatan, lantai dua.

Tadi jam 6 pagi (2/10) aku tiba di gambir. Gotong2 koper 20 kiloan ke lantai 2, karena itu transit area belum punya lift. Lumayan...

Dan... Ketika turun dari transit area, aku mendapati ada fotokopi merangkap money changer merangkap penitipan barang. Cuma 2.000/jam/item. Perhari 20.000. Lebih murah. Nggak perlu gotong2 koper keatas. Weeeewww...

9/22/15

Bisnis dengan Cara Pandang Pancasila

Sila ke-1: Alat pemenuh kebutuhan itu tak terbatas. Karena Tuhan Maha Tak Terbatas.
Sila ke-2: Cara manusia memenuhi kebutuhan itu terbatas.
Sila ke-3: Diperlukan rantai-rantai persambungan.
Sila ke-4: Jangan cuma meniru, tapi hikmahi. Miliki cara pandang yang detail case by case.
Sila ke-5: Pastikan ridho bi ridho, bukan saling memangsa.

9/21/15

Les

Kalau mau les pernikahan, ya kepada yang sudah menikah. Kalau mau kursus parenting, ya kepada yang sudah punya anak.

Kalau mau les kehidupan, ya kepada yang sudah lulus hidupnya. Namun sayang, mereka yang sudah mati tak bisa kita akses lagi. Atau lebih tepatnya, kita tak punya kepahaman tentang cara mengakses dan menghubungi mereka.

Ketambahan ditambahi self-sugesti. Amalan terputus. Doa tidak sampai. Khurafat. Musyrik.

Pantesan hidup tak kunjung cerdas.

9/16/15

Skill Dasar Memasak Informasi

Apa yang dipertengkarkan Semaun dan Agus Salim di rapat SI di salah satu scene Tjokro-Movie pada hakekatnya terjadi juga sekarang.

Waktu itu Semaun bersikeras bahwa pergerakan yang utama adalah perjuangan hak atas lahan bagi petani. Sedangkan Agus Salim bersikeras bahwa pergerakan yang paling utama adalah pendidikan.

Pergerakan tentang lahan adalah tentang akses ekonomi rakyat. Saat ini banyak dilakukan oleh banyak LSM. Walau hampir semua dari mereka kepentingan terdalamnya adalah proyek-oriented.

Sedangkan pergerakan tentang pendidikan, itu bukan dengan beasiswa siswa miskin atau pemegahan gedung sekolah. Sama sekali bukan.

Pendidikan yang Agus Salim bersikeras padanya, kalau dibawa ke kekinian adalah tentang pembelajaran struktur dan cara berpikir. Ini yang hampir tidak ada dimanapun. Kalaupun ada, dianggap tidak penting adanya.

Inilah yang akan menggerakkan cakra zaman dan manggilingannya nasib bangsa kedepan.

Pendidikan cara berpikir itu diantaranya mencakup ilmu untuk mendefinisikan benar dan salah secara tepat konteks. Cakupan lainnya adalah tentang ilmu untuk menseleksi mana tafsir-terjemah yang berintegritas dan mana tafsir-terjemah yang abal-abal.

Pada generasi terdahulu, ilmu semacam ini menjadi skill wajib yang musti dimiliki setiap orang. Karena tanpa memiliki ilmu ini, psikis seseorang tidak akan hidup. Beda dgn generasi sekarang, informasi sudah tersaji lengkap tentang benar dan salah, tentang asli dan palsu. Sayangnya, informasi yang lengkap itu, bukan buatan wali zaman. Tapi buatan bathara kala.

Analoginya seperti dunia kuliner. Zaman dulu orang wajib punya skill masak, apalagi di wanita. Karena makanan harus menyediakan sendiri, tidak banyak warung seperti sekarang. Kalau sekarang, wanita tidak punya skill masak pede saja menikah. Karena toh semua masakan sudah tersaji, warung tinggal pilih, semua sudah tersaji diantaranya oleh Bathara Kaefce.

Sekali lagi: ini tentang Pendidikan. Dan oleh warung bernama Salaf*, ilmu dasar semacam ini langsung diidentikkan dan ditahbiskan dengan filsafat. Setelah sebelumnha filsafat mereka klaim sebagai bagian dari khurafat. Ya, sajian mereka akan tidak laku, kalau orang sudah pada bisa masak benar-salah, asli-palsu sendiri. Wong dagangan mereka tidak enak kok aslinya. Tidak percaya? Coba si dengarkan siaran radio mereka beberapa episode, berapa banyak dalil yang mereka pakai yang tidak mem-blame kita sbg korban.

9/14/15

Penimba

Demi nilai-nilai yang harus beliau biayai pendistribusiannya, Rasul rela memilih mengajak keluarganya mengalah. Rela menyaksikan Fatimah sang puteri mengganjal perutnya dengan sebutir batu, untuk bertahan dari laparnya.

Beliau sendiri mengganjal perutnya dengan tiga butir batu. Bukan hanya itu, dengan kondisi seperti itu beliau masih pergi keluar rumah, bekerja menjadi penimba air, dengan menyamarkan muka, untuk mendapat upah.

Assolatuwasalamu'alaika Yaa Rasulullah

Ruang Logika, Ruang Iman

Kemarin baru saja dikunjungi, disalurahimi oleh orang yang punya arti dari nama panjangnya: menyeberang dengan cahaya pembimbing. Sabrang, dia sangat kuat dalam melogikakan segala sesuatu, mengilmiahkan hal-hal yang bagi kebanyakan orang adalah ranah yang susah diilmiahkan. Disisi lain, dia adalah orang yang sangat luas menjangkau iman.

Jadi, kalau Anda sudah pintar ilmu kejiwaan modern, sehingga tahu hakekat misalnya, hekakat wukuf, thawaf, sa'i dan zam-zam, maka jangan buru-buru meniadakan sakralitas tanah haram. Atau jika hati Anda sudah merasa mengerti perjumpaan agung bahkan kekuatan batin untuk mampu memenej alam semesta, jangan buru-buru menafikan kekuatan iman di dalam sholat dan puasa.

Kesimpulanku sementara, kalau orang semakin cerdas, dan ia tetap berintegritas pada kecerdasannya, maka ia akan semakin merasa kecil di luasnya ruang iman.

8/31/15

Tepat untuk Zamannya

Apa sih alasan bagi kita untuk membenci orang lain? Hanya karena dia tidak mengerti yang kita pahami?

Ustadz Yusuf Mansyur itu dulu datang disaat etnologis manusia memang butuh untuk digugah bersedekah. Saat dhuha itu masih aneh belum membudaya.

Pa Ari Ginanjar Agustian itu melahirkan ESQ saat pola pikir masyarakat sudah sangat sekuler tanpa sadar. Yakni masa diman penat sekai manusia oleh keterpisahan dunia dan akherat, agama dianggap diluar ilmu pengetahuan.

Pun begitu Pa Purdi E. Chandra, timing kemunculan beliau tepat disaat musim pasca krisis, butuh orang didorong untuk menciptakan sense of crisis-nya dan mengambil langkah-langkah nekat untuk bangkit.

Eh, bahwa sekarang ilmu sedekah dan dhuha dipelintir fungsi dan orientasi oleh mereka yang mengaku murid2nya. Itu akal kita yang harus pandai-pandai agar jangan terpedaya.

Atau bahwa kemudian pemadatab ESQ yang kini meraksasa demikian cepat yang membuat secara keilmuan ia nyaris mandeg karena terbebani overhead, janganlah kita memincingkan mata disitu saja.

Pun bahwa banyak murid2 EU yang mengutamakan hasrat tamak dan tidak siap melewati fase bangkrut, janganlah kita ikut2an mencaci. Kita yang salah mempraktekkan jurus, eh guru yang disalahkan.

Kalau kita meletakkan mereka semua di zamannya, justru yang muncul adalah rasa kagum dan penghormatan. Kalau yang masih muncul adalah sentimen atau kebencian, berarti kita yang masih gagal paham.

8/29/15

Beneran Kaya

Kalau jaman dulu, orang kaya ya kaya beneran, sakti ya sakti beneran, berwibawa ya berwibawa beneran.

Kalau sekarang, orang kaya karena kedunungan alias moment, bahkan beberapa kaya karena ngakali. Orang sakti karena membeli kesaktian, sanggup membeli karena kaya. Orang berwibawa karena jabatan yang dia miliki, memiliki jabatan juga karena kaya.

Padahal ukuran kekayaan orang adalah dari jumlah asetnya. Aset itu bukan semata simpanan harta dan properti. Aset sejati adalah sesuatu yang bernilai karena bisa memberikan manfaat.

Apa yang kita miliki, saat kita tidak memiliki apa-apa dan dengan itu kita bisa survive. Itulah aset sejati.

Ini tahun ke-10 dari perjalananku di Purwokerto. Agustus 10 tahun yang lalu aku merintis apa yang dicapai hari ini di Padepokan milik eyang Sinto Gendheng, di Jalan Pramuka 212.

Ini saat yang tepat untuk menghitung berapa aset kekayaan kita. Terpenting, berapa aset sejati kita. Dari situ kita tahu, 10 tahun ini berapa kemajuan hidup kita, berapa langkah keberhasilan pengerjaan misi kita.

Menghitung aset bisa dilakukan dengan melihat catatan kekayaan kita. Sedangkan menghitung aset sejati, caranya dengan membayangkan seandainya kita tak punya apa-apa, seberapa kita mampu survive? Kalau tak ada dayung, tak ada pelampung,  seberapa mahir kemampuan renang kita, seberapa lihai kita bertahan di atas air. Itulah aset sejati.

Jangan sampai, kita merasa punya banyak hal. Tapi ternyata tak ada kemajuan pengerjaan misi yang berarti dalam 10 tahun ini.

8/28/15

Zaman Meninggi

Sedikitnya 1.000 calon santri fundamentalis diberangkatkan ke Timur Tengah secara periodik, lalu mereka kembali ke tanah air membuat resah dan geger mengerjakan misi monopoli tafsir dgn mengangkat berbagai isu pemurnian agama.

Disaat yang sama ada "The Mesenger" yang turun di akhir zaman dengan nama akun: Jonru.

Tapi tak usah kuwatir2 amat dengan semua itu. Sebisa kita saja membentengi diri dan orang2 terdekat kita dari rongrongan teror, adu keyakinan dan fitnah yang mereka tebarkan.

Kenapa tak usab kuwatir2 amat? Jawabannya adalah karena kita hidup di tengah masyarakat yang kesadarannya sedang terus tumbuh. Kita berada di tengah bangsa yang kecerdasannya sedang terus berkembang.

Apa yang mereka jajakan, tema2 meresahkan, isu2 yang membuat jengkel, ajaran2 yang dipaksakan itu semakin nanti akan semakin tidak laku kok. Yakni ketika kesadaran dan kecerdasan masyarakat semakin tinggi.

Lihat saja sekarang, berapa banyak isu masa lalu yang sudah basi tidak bisa digoreng lagi. Lihat saja sekarang, mereka kelabakan menyajikan isu-isu baru yang karena tergesa-gesa menyiapkannya sehingga baru dilontarkan saja sudah kentara kebasiannya.

Itulah kenapa ditengah bangsa yang ekonominya sedang gonjang-ganjing ini, saya masih menyimpan keayeman di kantong. Ayem karena saya yakin saat ini adalah zaman yang sedang rising. Yang kita mau berupaya atau diam saja, kebangkitan akan tetap menjelang.

Apa yang baik sedang meninggi. Apa yang jelek sedang tenggelam.

8/25/15

Boleh Korupsi?

Konon, masalah nomor wahid dari bangsa kita adalah KORUPSI. Betulkah? Kalau iya, bagaimana hasil kerja komisi pemberantasnya jika diukur? Misalpun seluruh korupsi berhasil di STOP, jadi majukah bangsa kita?

Entah ada berapa masalah lagi yang lebih kronis ketimbang korupsi. Diantaranya adalah masalah PENGGUNAAN ANGGARAN. Ya, anggaran sudah disusun demikian cantik, tapi penyerapannya sangat memble. Adapun anggaran yang terserap, manfaat dan dampaknya banyak yang tidak jelas bahkan mubazir.

Padahal persoalan kegagalan penggunaan anggaran ini lebih signifikan pengaruhnya juga nominalnya. Jadi seandainyapun misalnya KPK bubar. Atau sekalian ada undang2 yang menyatakan bahwa korupsi boleh asal wajar. Tetapi anggaran yang tersisa tidak terkorupsi diperbaiki manajemen penggunaannya, dimaksimalkan, diefektifkan, dipastikan tepat sasaran. Maka Indonesia bisa maju. Banyak contohnya, negara yang berhasil maju dengan sumber daya yang terbatas.

Kita menunggu hadirnya pemimpin yang berani bersikap revolusioner seperti itu "Boleh korupsi asal wajar. Boleh korupsi asal kerjanya maksimal. Jika tidak, gantung!"

Terlalu sibuk menambal kekayaan yang bocor, tapi lengah memaksimalkan kekayaan yang ada hanyalah membuang waktu tak membuahkan apa-apa.

Memang kita bangsa yang kaya raya. Tapi kali ini please akuilah bahwa sumber daya kita terbatas. Terbatas oleh korupsi. Terbatas tapi dimaksimalkan, diefektifkan, dipastikan tepat sasaran.

Justru ketika korupsi diberi kelonggaran, disitulah bibit2 nurani kemanusiaan pejabat bisa tumbuh. Ketimbang dihadang bertubi-tubi oleh perundangan dan berbagai aturan, nurani kemanusiaan kian tak punya tempat, mati.

Hidup yang Mandeg

Masih tentang Mbah Barno, Ayahanda Pak Toto Raharjo (Yai Tohar). Sewajarnya orang jaman dulu, anaknya banyak, nyaris selusin. Yang unik adalah, beliau memberi nama anak-anaknya sesuai dengan situasi desa Lawen yang sedang ia bangun.

Ini adalah metode pemberian nama yang unik. Berbeda dengan kebanyakan orang jaman sekarang, mencari di ensiklopedia nama bayi Bahasa Arab. Latah...

Tapi wajar saja kalau orang jaman sekarang metode pembuatan nama anaknya seperti itu. Kenapa? Karena mereka tak punya pengalaman hidup sebagaimana yang Mbah Barno dan orang-orang jaman dulu alami.

Tak ada tahapan tahun prihatin, tahun tirakat, tahun mulai menata, tahun mulai tertata dan seterusnya. Kalaupun ada fase-fase seperti itu, itupun tidak dalam konteks 'pengerjaan tugas kehidupan', melainkan perjalanan mencapai penghidupan. Alias 'kere munggah mbale'. Itu kan puncak obsesi orang jaman sekarang?

Begitulah jaman sudah mengalami downgrade. Tak ada misi hidup sebagaimana Mbah Barno membangun dan menata desa Lawen dengan framework kekhalifahan.

Orang yang berkarier, milestone hidupnya hanya soal mutasi kerja dan kenaikan pangkat. Orang yang berbisnis, milestone hidupnya hanya soal gonta-ganti bisnis, gali lubang tutup lubang. Hidup yang mandeg. Tapi fine-fine saja. Karena kita tidak pernah mengenal bagaimana si konsep hidup yang berjalan sesungguhnya.

Nilai Kepantasan

Kita boleh berdagang apa saja. Namun, kalau memilih empat bidang ini musti hati-hati tingkat tinggi.

1. Pendidikan
2. Agama
3. Kesehatan
4. Kebudayaan

Kebanyakan orang mau membayar mahal untuk meraih kepandaian. Tapi janganlah kita memanfaatkan itu. Kebanyakan orang juga menempatkan agama dalam skala prioritasnya. Tapi jangan kita memanfaatkan itu. Kebanyakan orang tentu akan membayar berapapun saja untuk sehat. Lagi-lagi tapi, janganlah memanfaatkan itu. Dan kebanyakan orang tak begitu menghitung-hitung angka untuk sebuah apresiasi seni. Sekali lagi tapi, janganlah kita memanfaatkan itu.

Selain keempat bidang itu, komponen biaya dari produk yang kita jual terdiri dari :

harga pokok produksi + laba.

Sedangkan untuk keempat bidang itu, kita tidak boleh mengambil laba. Batasannya kita hanya boleh mengambil ongkos waktu, tenaga dan keringat kita.

harga pokok produksi + ongkos (waktu + tenaga + pikiran).

Disinilah kehati-hatian tingkat tinggi harus kita terapkan. Batas bawah dari ongkos adl Rp 0. Artinya kita mensedekahkan ongkos waktu, tenaga dan pikiran yang sudah kita keluarkan. Sedangkan batas atasnya adalah: NILAI KEPANTASAN.

Nilai kepantasan sangatlah subyektif. Karena ia tidak berupa barang belanjaan yang terukur nominalnya. Kita sendiri yang paham, seberapa sejujurnya ongkos waktu, tenaga dan pikiran yang pantas untuk kita ambil. Kita sendiri yang paling tahu, adakah unsur serakah, tamak, nafsu mengkapitalisasi, dsb sehingga kita melanggar nilai kepantasan itu.

8/24/15

Mbah Barno

Seorang anak muda yg sedang belajar di Yogya dipanggil pulang oleh Ayahnya. Ia diminta mengurus desa, meneruskan menjadi lurah di pedalaman Banjarnegara. Lawen, Pandanarum tepatnya.

Soebarno muda benar-benar telah menerapkan konsep zakat. Ia telah menzakatkan hidupnya dalam bentuk dedikasi 100 persen untuk mewujudkan toto tentrem kerto raharjonya Desa Lawen.

Buah dari zakatnya yang paripurna itu, maka Soebarno muda sangat cepat berproses menjadi pribadi multitalenta. Hingga ia bisa menguasai ilmu tata lingkungan, mengajari berbagai kesenian termasuk pedalangan, menerapkan manajemen pengelolaan ladang, revitalisasi pasar dan banyak lagi lainnya dengan tetap menjadi pribadi religius yang kharismatik.

Meski seluruh hidupnya ia zakatkan, bukan berarti keluarganya terbengkalai. Bukan berarti hidupnya nestapa menderita.

Hari ini beliau dikenal sebagai tokoh. Mbah Barno adalah figur mengagumkan bagi orang zaman sekarang. Mengapa mengagumkan? Karena orang zaman sekarang tak memiliki daya baca sosiologis-antropologis masyarakat pada era beberapa puluh tahun yang lalu.

Dimana di era itu, siapa saja yang hidup setia pada kewajaran, maka ia menjadi multitalenta, berguna optimal dan tidak membengkalaikan siapa-siapa.

Sudah setiakah kita pada kewajaran hidup. Atau kita sibuk iri, meri, kemrungsung pada obsesi-obsesi, hingga hidup tak jelas berpegang pada siapa, ikut prinsip siapa, mengkonsumsi wacana siapa. Alih-alih angan-angan keberhasilan kita terwujud. Eladalah, kita malah ikut katut dalam rombongan generasi zaman yang tergerus oleh mekanisme metamorfosis dan kehancuran zaman.

8/22/15

Ekosistem Pahlawan

Lingkungan kita ini sudah nombok mentalnya. Sehingga ketika ada sopir taksi yang tidak menilep barang penumpang yang ketinggalan, kita gumun luar biasa. Begitu pula dengan slogan "Berani Jujur, Hebat". 

Konsekuensinya, jika tidak menilep barang penumpang adalah luar biasa, maka perbuatan menilep barang penumpang yang ketinggalan dianggap biasa. Begitupun, jika berani jujur adalah hebat, maka tidak jujur menjadi wajar. 

Ada missing pada strata nilai mental sosial kita. Karena jujur dianggap hebat, dan tidak jujur menjadi wajar, maka kita kehilangan daya identifikasi untuk mengenali sesuatu yang tidak wajar. Begitupun karena tidak menilep barang penumpang itu luar biasa, sehingga menilep barang penumpang menjadi biasa, maka kita kehilangan daya identifikasi untuk mengenali sesuatu yang tidak biasa. 

Defisit mental hingga nombok inilah yang membuat ketakjuban kita pada keperwiraan Soedirman dan kesatriaan Soekarno menjadi tidak aplikabel di ranah perjuangan hidup dan pengupayaan masalah sosial kita saat ini. 

Soekarno itu relijius, tapi yang ditunjuk-tunjukkan hanya foto-foto sholat dan haji beliau, tidak ditunjukkan bagaimana ketakdziman beliau pada ulama. Apa sebab? Sebab sekarang dan dulu sudah jauh beda kondisinya, demi ustadz-ustadz muda bergelar Lc. laku di pasaran dakwah, ulama khos diberangus dari pengenalan sosial kita.

Kalau Sudirman itu punya ketangkasan fisik sebagai tentara di kesatuan militer bentukan Jepang, itu karena di zaman itu pemuda belum dimanjakan dengan gadget dan gaya hidup yang melemahkan fisik seperti sekarang ini. 

Dari peta sederhana lintas zaman ini, mudah-mudahan kita faham untuk tidak bersusah payah memaksakan diri menjadi pahlawan seorang diri. Karena sekeras apapun kita menggembleng diri untuk sesempurna profil pribadi Soekarno atau Soedirman, akan tetapi tetap saja sulit kalau kita masih mahfum dengan defisit mental lingkungan sosial kita.

Kita tidak bisa upgrade personal saja, kita harus upgrade komunal. Sosial kita harus jadi ekosistem yang kondusif dulu, baru bibit-bibit pahlawan bisa tumbuh. 

Everytime, Everywhere

Akhir Ramadhan kemarin menjadi marking point super berharga dalam babak hidup yang sedang aku lalui. Di waktu yang termustajab, di tempat yang termustajab sudah aku lakukan sebaik-baik dan seberkesan-kesannya ibadah napak tilas dan ibadah menuntut ilmu.

Empat puluh hari telah berlalu. Dan sekarang, tak ada alasan lagi untuk menghadir-hadirkan guilty feeling mengejar waktu dan mengejar tempat. Sudah kok kemarin. Sekarang tinggal sekontemplatif mungkin kapanpun, dimanapun. Itulah tugas hari ini, bisa lebih kontemplatif menjalani hidup. Wayatafakaruna fii khalqi samaawati wal 'ard..


Mataf

11 Tahun Psimis

Puasa Senin-Kamis jadi pilihan moda tirakat favorit anak SMA 2 zaman itu. Agar puasa terasa ringan, maka jadilah dibuat semacam komunitas puasa, karena secara psikologis jadi terasa banyak temannya yang sama-sama puasa. 


Tidak cukup secara psikologis, tapi secara fisiologis dan ekonomis juga komunitas ini harus bisa membuat pengaruh. Maka diakalilah agar bagaimana dengan iuran Rp 2.500,00 bisa buka bersama sering-sering. Jadilah kita adakan agenda buka bersama rutin dengan rumah berpindah-pindah, juga menyambangi rumah para guru. 

Akta Pendirian Psimis
Sampai 11 tahun berlalu, komunitas ini mesih membekaskan kenangan yang menyenangkan. Semoga tidak pernah terputus pasedulurannya.

8/17/15

Bekal

Seseorang ketika diberi sebuah tugas, pasti dibekali juga dengan peralatannya.

Kalau orang ditugasi untuk tidak menjadi pekerja, pasti juga dibekali dengan peralatannya: hasrat, stamina, daya survive, kreativitas, keberanian, dll. Dan tiap fase perjalanan tugas, bekalnya beda-beda.

Dirgahayu RI Ke-70

Hari ini memoriku lari secepat kilat menuju hari yang sama dengan ini di 20 tahun yang lalu. Ketika itu aku masih duduk di bangku SD, merayakan ulang tahun emas kemerdekaan. Desaku ramai mempersiapkan gapura selamat datang. Walau hanya terbuat dari bahan bambu yang di cat dengan gamping, diberi ornamen logo HUT RI yang dicat diatas tampah, tapi aku masih ingat betapa aku merasa mengagumi gapura itu.

Aku tidak ikut menyaksikan Pak Harto memimpin upacara di Istana Merdeka, karena waktu itu di rumahku belum ada TV. Sementara TV di tempat tetangga juga akinya sedang disetrum. Caraku untuk ikut memeriahkannya adalah aku menggambar logo HUT RI banyak-banyak. Saking seringnya aku membuat, dari di awal aku harus mensketsa lekuk-lekuk benderanya dulu, sampai aku sudah mahir, sekali jadi. Spidol warna merah untuk menggambar bendera. Spidol warna hitam untuk menulis angkanya. Sebetulnya di logo yang asli harusnya warna emas. Tapi tak masalah, waktu itu spidol warna emas belum ada dalam benakku dimana harus aku dapatkan.

Hari ini berlalu 20 tahun. Aku tak tertarik sama sekali untuk menggambar logo HUT RI. Bukan karena menggambar logo itu pekerjaan anak SD. Bukan juga karena sekarang sudah ada Photoshop dan Corel. Tapi karena aku muak, jijik dan rasanya ingin muntah melihat tagline dibawahnya yang asal njeplak.

Aku memperingati HUT RI kali ini dengan cukup sederhana, menjenguk PakDe yang saat ini hanya bisa terbaring di tempat tidur. Sakit sejak depresi akibat guncangan hebat 8 tahun lalu setelah di PHK. Aku disana hanya membisikkan sholawat. Tidak berani mengucapkan dirgahayu kemerdekaan, apalagi menyebut-nyebut tagline-nya : "AYO KERJA!"

Regresi

8/15/15

Sebuah Perspektif tentang Rukun Islam

1. Syahadat yakni engkau senantiasa berusaha memahami dan semakin memahami kesadaran disaksikan dan menyaksikan. Dimana dua kesadaran itu sesungguhnya saling menampung satu sama lain.

2. Sholat adalah pemberian Allah sebab Dia mengasihi menyayangi kita sehingga Ia harus 'pura-pura' memaksa seperti Bu'de yang sewaktu kita datang memaksa untuk kita mau makan. Manfaatnya ya untuk kita sendiri seperti kita disuruh mencuci motor, yang nyaman menggunakan setelahnya ya kita sendiri.

3. Puasa membuat kita jadi cerdas. Cerdas karena antara insting dan tindakan diberi jeda oleh bekerjanya akal. Saking pentingnya dan karena Allah tahu seking beratnya, Allah berretorika mengatakan "puasa itu untuk-Ku".

4. Zakat diawali dari kesadaran bahwa semua bukan hak kita. Semua wajib kita berikan. Bahwa ada hal-hal dimana kita butuh mengambil untuk diri sendiri, maka sedikit saja. Dan pastikan itupun dalam rangka sedang memberi.

5. Haji adalah kita hadir ke Baitullah. Rumah dimana Allah kita akui sebagai tuan rumah, kita cuma petugas-Nya, khalifah-Nya, kepanjangangan tangan-Nya, ART-nya, qadim-Nya, hamba-Nya. Abdullah.

8/10/15

Ramadhan di Tanah Suci

KAAIA - Juli, 2015


Tidak semua sesuai dengan rencana, tapi hari itu, kita sudah tiba di Bandara Jeddah. Disambut matahari musim panas di Jazirah Arabia, bibir tak berhenti melafadz Talbiyah "Labbaik Allohumma Labbaik".

Hadiah istimewa dari Allah. Kita menjemput undangan-Nya untuk mengecap nikmatnya Ramadhan di dua kota suci yang ditempuh dengan perjalanan semi-menggelandang, didahului dengan backpacker di tiga negara. Banyak pelajaran, semua menarik dan mengesankan.

8/3/15

Jodoh dan Aqidah

Setiap orang pasti punya kriteria atas jodoh idamannya. Kebanyakan kita, terutama yang kerepotan dengan kriteria itu pada akhirnya lebih memilih downgrade kriteria ketika jodoh tak kunjung ditemukan.

Kriteriamu sih terlalu muluk-muluk, begitu komentar banyak orang. Lalu kita menjadi blaming of the victim, melafadz banyak-banyak istigfar, lalu dengan terpaksa menurunkan standar kriteria.

Tidak adakah orang yang berpikir kalau kriteria itu adalah clue dari Tuhan? Clue tentang perjanjian azali manusia di awal waktu sebelum penciptaan, akad manusia dengan Tuhannya tentang takdirnya, tentang jodohnya.

Tuhan itu Maha Berkomitmen. Sekalipun manusia lupa ingatan blas tentang rembugan kesepakatan dan akad perjanjian itu, Tuhan tidak lantas acuh tak acuh. Dia dengan caranya mengingatkan butir-butir kesepakatan itu menggunakan 'clue', demi kita benar-benar menemukan jodoh sesuai yang tertulis di akta perjanjian yang bernama lauh mahfudz.

Menemukan akad azali itu, adalah perjalanan aqidah. Jangan-jangan kita berbusa beristighfar, sok-sokan bertawadhu menurunkan kriteria, eh malah dalam rangka melemahkan aqidah kita sendiri.

Jadi, apakah alasan paling mendasarmu menikah? Untuk tidak kesepiankah? Heum, jangan2 setelah menikah jadi sepi karena perjumpaan dgn teman2mu makin terbatas.

Untuk status sosialkah? Ehehe, capek sekali memenuhi tuntutan-tuntutan sosial itu.

Atau untuk menjalankan sunnah Rasul? Kalau itu, sholat rowatib juha sunnah Rasul.

Alasan paling mendasar dari menikah adalah untuk aqidah. Untuk menjumpai perjanjian agung dengan Tuhan di awal waktu, di masa azali, yang tak terjangkau memori kognisi kita.

Bakat dan Aqidah

Bakat adalah kecenderungan yang dilanjutkan dengan kegigihan berlatih. Kecenderungan atas kesukaan kepada suatu bidang yang tidak dilanjutkan dengan latihan hanya akan menjadi seperti tunas tanaman yang tidak dipupuk.

Tentu Allah tidak menggunakan sistem undian dalam membagi-bagi bidang bakat setiap orang. Amnesia kita saja mungkin yang membuat lupa bahwa kita pernah berembug dan bermufakat di awal waktu di masa azali sebelum dilahirkan tentang pilihan tunas kecenderungan atas kesukaan kita kepada suatu bidang.

Menempuh bakat adalah menempuh perjalanan aqidah. Sementara bakat sudah sempurna kita krupuk-kan. Passing grade, potensi ekonomi, jaminan penghasilan, berdasarkan itulah kita memilih bidang hidup kita.

Kalau hari ini kamu miskin, tapi setia kepada kecenderungan kesukaan bidangmu, berbahagialah, karena kamu sedang berpegang teguh pada perjanjian dan akad kesepakatan azalimu dengan Tuhanmu dulu.

Meskipun kamu amnesia sekarang, bukankah kamu yakin Tuhanmu tidak berwatak culas dan curang? Maka yakin saja akad perjanjian azalimu apapun itu isinya tidak mungkin merugikanmu.

Tempuhlah bakat, temui akad aqidahmu sendiri.

7/21/15

Suku, Bangsa dan Aqidah

Manusia mencari kesadaran kenapa mereka dibuat bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah bagian dari pencarian aqidah. Yakni akad dirinya dengan Tuhannya di awal waktu dahulu azali sebelum dilahirkan.

Karena manusia sesudah lahir tak bisa memilih ingin menjadi suku apa atau bangsa mana. Ketika kita latah dengan budaya Arab sebagaimana beberapa puluh tahun lalu kita latah dengan budaya Barat, alih-alih kita sedang menuju aqidah. Jangan-jangan kita malah sedang menjauhinya.

Tentu Allah tidak iseng menentukan kita lahir di suku ini dan bangsa sini. Ada sepaket kurikulum kehidupan dan segunung hidden message yang tersembunyi di suku dan bangsa tempat kita berada.

Menerima dan berkesediaan lalu mempelajari dan menginternalisasi positive value dari dalam bumi tempat kita berpijak dibawah tempat langit yang kita junjung, akan menjadi jalan penempuhan aqidah kita.

6/19/15

Mengerucut

Kenapa Diponegoro menyerah, adalah metode pembelajaran terbaik bagi generasi sesudahnya. Kenapa Tjokoraminoto bersedia dipenjara, adalah metode pembelajaran terbaik untuk generasi sesudahnya. Kenapa Pesantren Hasan Askary di Mangli menjadi sepi sepeninggal Al Muqarom, kenapa Pondok Pesantren Keudng Paruk yang terkenal itu menjadi sepi pula sepeninggal Al Muqarom adalah juga merupakan metode pembalajaran terbaik bagi generasi sesudahnya.

Kenapa Kesultanan Turki Utsmani juga harus gagal menyelamatkan Haramain dari milisi pemberontak. Itu juga pembelajaran terbaik bagi generasi sesudahnya.

Semua itu, dan banyak peristiwa lainnya, kalau Anda pengamatannya jeli adalah bukan karena Diponegoro mati langkah, bukan karena Tjokro kalah. Bukan karena Mbah Hasan Askary kehilangan karomah, bukan juga karena Mbah Abdul Malik Kedung Paruk tidak berdaya setelah beliau berpindah ke alam Barzakh. Serta bukan pula Allah kewalahan untuk meletakkan Haramian tetap pada penjaga yang benar.

Semua itu adalah agar generasi sesudahnya (kita) bisa dipandu untuk mengerucut menemukan kemana sumur pelajaran yang harus ditimba. Dan mengerucut menemukan dimana pancer peradaban peninggalan Kanjeng Rasul Muhammad saat ini berada.

6/16/15

Trainer/Motivator

Trainer/motivator siapapun, lembaga training/motivasi manapun, tidak salah, tidak jelek. Yang salah, yang jelek, adalah yang mandeg.

Ketika publik menyambut antusias, lalu bisa dikomersialisasi dengan laris manis, terus berhenti disitu. Sama seperti mandegnya teknologi batere hape, demi powerbank tetap laris. Sama seperti berhentinya teknologi mobil hybrid, demi mobil2 pendahulunya tetap berpurna jual bagus harganya.

Resikonya pejalan ilmu memang tidak sempat menjual ilmu, kadung sibuk inventory, inventory dan inventory.

6/15/15

Ribut Kata

Konon ini jaman adalah yang terburuk sejak Nabi Adam. Apa iya? Bisajadi. Karena di jaman jahiliyahpun orang Arab Badui masih pandai membuat karya sastra. Artinya mereka paham huruf, paham aksara, paham kata, paham makna, paham rasa.

Ini jaman katanya sudah bebas buta aksara, tapi nol besar soal rasa. Sehingga berminggu-minggu orang2 yang kurang beruntung secara intelektual masih saja meributkan kata-kata Pak Menag "Hormatilah Orang yang Tidak Berpuasa."

Padahal itu juga bukan kalimat orisinilnya Pak Menag. Ruing, ribut sendiri, tanda tingginya arogansi.

5/15/15

Memakmurkan Pombensin

Saat ini masjid makmur-makmur. Kasnya banyak, lantainya marmer, kubahnya megah. Sayang, banyak masjid hanya dibuka saat jam sholat. 1-2 jam setelah jamaah isya sudah ditutup. Takmir mau tidur.

Maka wajar donk, kalau saya lebih nyaman mampir di mushola yang disediakan pombensin. Beberapa pom bensin malah menyediakan gelaran karpet dan selasar khusus untuk istirahat disamping mushola.

Selain itu, beberapa memiliki kamar mandi relatif lebih bersih dan wangi dibanding masjid pada umumnya. Dan yang jelas bisa sekalian isi pertalite. Malahan beberapa ada penjual kopi bahkan kafe serta minimarketnya juga.

Dan yang jelas pombensin tak pernah ditutup gerbangnya. Mau dhuha, tahajudpun bisa. Paling ada yang membuat tulisan "dilarang tidur-tiduran disini!". Itu artinya, Anda harus tidur beneran disitu.

Begitulah pombensin, untungnya cuma puluhan rupiah belum dipotong pungli tangki. Sering dibuat terkejut oleh perubahan harga oleh pa menteri. Dan harus ngangsur ke bank mengembalikan investasi. Pombensin wajib kita makmurkan, karena ia telah menjadi pusat kegiatan ummat. Masjid yang sepi dan dibuat berjarak oleh takmir dan marbotnya malah nggak tau tuh, bernilai apa tidak kalau kita nyemplungkan amal dikotaknya. Mandeg.

4/28/15

Wudhu

Pemahaman "Wudhu" yang dijelaskan oleh Sabrang buatku sangat membantu meredam gaduh dipikiranku. Gaduhnya berada di simulator tingkat lanjut seperti Tris Prior sedang disuruh melawan dirinya sendiri.

Kerja keras itu bukan soal hasil uang. Tapi soal martabat. Disinilah kamu harus menemukan esensi wudhu martabatmu. Egois namanya ketika kamu mempertahankan untuk ingin dikenal sebagai orang yang paham, sementara kamu melalaikan izzah martabat. Tapi kentut kamu, kalau atas nama izzah martabat kamu memilih mengesampingkan kenaifan sosialmu sebagai atas nama orang yang paham.

Lalu dimana batas antara keduanya? Batasnya di wudhu ruhani. Kalau wudhu jasmani gampang mengidentifikasi kamu sudah batal apa belum, kentut batasnya. Kalau wudhu ruhani?

Kita akan mendapati orang seperti Pak Khotib. Yang oleh karena senioritas usianya, ia merelakan diri dianggap sebagai orang yang tidak paham. Walau pada aslinya paham. Beda dengan kita, yang masih butuh menunjuk-nunjukkan pemahaman kita demi diakui sebagai orang paham. Kuwatir dianggap sebagai orang tidak paham.

4/27/15

Jelajah Malut

Tidore, gambarnya ada di lembaran uang pecahan seribuan. Ternate, lima abad yang lalu penjelajah samudera dari Portugis sudah sampai disana memburu rempah-rempah. Dua pulau yang terletak di Propinsi Maluku Utara ini adalah pilihan destinasi untuk traveling berikutnya.

Akan menjadi sebuah perjalanan yang lengkap : wisata air, wisata pegunungan, wisata kebudayaan Indonesia Timur dan wisata sejarah. Aku menghitung setidaknya butuh waktu seminggu minimal untuk bisa berpuas diri menjelajahi seserpih kekayaan Nusantara kita ini.

Perjalanan diawali dengan berburu tiket menuju Pulau Ternate. Tiket Garuda Indonesia dirrect Jakarta-Ternate bisa jadi pilihan. Cukup dengan merogoh kocek empat jutaan, sudah bisa menikmati penerbangan langsung dari Indonesia Barat menuju Indonesia Timur dengan waktu tempuh lebih kurang tiga setengah jam.



Setiba di Bandara Sultan Babullah Ternate, aku rencanakan untuk mengambil penginapan disana. Selanjutnya, hari pertama mulai tengah hari aku sudah bisa mulai eksplore Pulau Ternate. Ada banyak pilihan destinasi di Pulau Ternate, diantaranya adalah Keraton Sultan Ternate yang menjadi saksi kebesaran wilayah itu semasa masih berbentuk kesultanan beberapa abad yang lalu. Ada juga Benteng Oranje yang pernah menjadi markas besar VOC. Juga ada beberapa benteng lainnya seperti benteng Tolluko dan Benteng Kalamata yang merupakan peninggalan Portugis.

Setelah satu setengah hari berpuas-puas mengeksplore Ternate, di hari ketiga saatnya menuju Dermaga Bastiong untuk melanjutkan perjalanan ke Dermaga Rum di Pulau Tidore. Ada Istana Sultan Tidore, Pantai Akesahu dan benteng-benteng disana.

Hari ke-4 saatnya menyeberang ke Pulau Halmahera. Di pulau yang berbentuk mini Sulawesi inilah ibukota Propinsi Maluku Utara berada. Sofifi nama kotanya. Cantik kedengarannya.. Kali ini aku ingin bermalam di kota Tobelo di sisi utara pulau ini. Tapi sebelum itu, tak ada salahnya aku memanfaatkan waktu untuk singgah di Kota Sidangoli dan Jailolo terlebih dahulu.

Hari ke-5 dari Tobelo saatnya menuju destinasi selanjutnya : Pulau Morotai. Aku sediakan waktu agak panjang di pulau yang terkenal dengan Sail Morotai ini. Dua malam mudah-mudahan cukup. Pulau di jajaran terluar Nusantara sebelah utara ini berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Selain keindahan pantainya, Pulau ini istimewa karena masih menyimpan jejak peninggalan perang dunia ke-2. Sisa amunisi dan bangkai pesawat di dasar laut bisa disaksikan sambil snorkeling. Pulau ini memang jauh dari Jakarta Ibukota Negara, tapi nyatanya ia mempunyai arti penting pada era perang kemerdekaan dulu.

Setelah memuncaki petualangan di Pulau Morotai, saatnya kembali ke Ternate untuk menuju Bandara Sultan Babullah menuju Jakarta. Sebelum pulang sempatkan untuk mengambil gambar di view point uang seribuan terlebih dahulu untuk kenang-kenangan.

Begitulah rencana perjalanan tujuh hari menikmati secuil keindahan Indonesia Timur. Budget yang dibutuhkan kalau dirinci menjadi begini :
Tiket KA Purwokerto-Jakarta PP : 600.000
Tiket Garuda Indonesia Jakarta-Ternate PP :  3.666.200
Penginapan di Ternate : 300.000
Penyeberangan Ternate-Tidore : 20.000
Penginapan di Tidore : 300.000
Penyeberangan Tidore-Halmahera : 75.000
Perjalanan darat di Halmahera : 300.000
Penginapan di Tobelo : 300.000
Penyeberangan Tobelo-Morotai : 75.000
Penginapan di Morotai : 600.000
Penerbangan perintis Morotai-Ternate : 450.000
Tiket obyek wisata : 250.000
Peralatan Snorkeling : 250.000
Makan : 1.000.000
Souvenir : 1.500.000
TOTAL : 9.998.200

Untuk pembelian tiket pesawat aku pilih dengan Traveloka mobile apps. Kelebihan menggunakan traveloka adalah harga yang ditampilkan didepan merupakan harga final alias harga bayar, jadi tidak perlu was-was. Terlebih keuntungan tambahan kalau menggunakan mobile apps seringkali harganya lebih murah ketimbang diluar.



 

4/20/15

Kalau Indonesia Krisis Pangan

Orang-orang yang tinggal di pulau-pulau kecil di sekitar Madura tidak doyan ikan lele dan gabus. Disana banyak ikan-ikan yang lebih gemuk berisi dan lebih lezat yang saking berlimpahnya jadi tak laku diperjualbelikan. Begitu juga orang di pedalaman papua, ikan bergizi tinggi dibakar dengan singkong aduhai lezatnya.

Di pantai-pantai Kebumen, ada species lucu bernama Utuque (baca : yutuk) atau undur-undur laut yang bisa digoreng krispi, asam manis, saos tiram atau dibikin peyek. Di lereng gunung andong kobis & kentang dijual super-murah kepada para pendaki & peziarah.

Kalau besok-besok Indonesia pimpinan nasional oleng, negara chaos, krisis pangan. Maka penduduk di pelosok masih bisa makan untuk sekedar survive. Makan dari hasil bumi yang tumbuh tanpa dirawat, ikan yang berlimpah tanpa menebar benih.

Mari kita kenali sumber daya alam bekal hidup dari Tuhan yang ada disekeliling kita. Belajar makan wortel, belajar doyan ubi jalar, belajar doyan mengkudu. Agar bisa survive ketika masa sulit datang nanti. Setidaknya menggu sampai Imam Mahdi dibai'at didepan Ka'bah

Berubah Drastis

Apa yang drastis berubah di desa saat ini adalah rasa saling menguatkan saudara. Semangat pro-eksistensi terdegradasi menjadi semangat kompetisi. Saya bersyukur menemukan desa yang masih otentik belum terdegradasi. Kalau banyak orang se-desa sibuk berkompetisi besar2an kulkas, bagus2an keramik. Justru saya berada di lingkungan dimana hampir tidak pernah membicarakan itu belasss...

Bukan cuma tidak membicarakan malah, bahkan saya harus berpikir 7 hari 7 malam untuk sekedar ganti gadget. Takut melukai saudara yang lain yang sedang tidak mendapat kesempatan bermewah-mewah dalam hidup.

Tuhan begitu cerdik mengatur skenario, sehingga saya kehabisan alasan untuk mengeluh ketika omzet menurun. Karena disaat yang sama bahkan ada sekeluarga yang puasa berminggu-minggu karena dagangannya tak laku. Dan keluarga itu masih ceria-ceria saja. Sistem sosial yang anomali ditengah penghambaan orang pada tugan kapitalisme. Ditengah zaman mengimani bahwa segelintir orang sah-sah saja meraup untung besar sementara saudaranya hidup kerepotan.

Apa ada seperti itu di Jakarta? Di lepas desa Melati masih ada.

3/23/15

Menikmati Cuti

Cuti ada baiknya diambil. Bagi pegawai, cuti diperlukan untuk menguras sedikit perolehan pendapatannya, agar tidak menumpuk menggunung. Bagi yang bukan pegawai, cuti diperlukan untuk sekedar mengkalibrasi : ini yang sedang aku kerjakan adalah pekerjaan yang sesuai kalibernya atau terlalu remeh atau terlalu besar yah?

Gajah jangan ikut berburu nyamuk, karena nyamuk itu kaliber targetnya cicak yah.

3/20/15

Tahun Test Case

Nenek Asiani di blow up media, oleh kasus remeh temeh 7 batang kayu jati, kasus yang belum seujung kuku hitamnya rekening gendut beberapa minggu lalu. Media sedang menggambarkan seolah-olah di Situbondo tidak ada alim ulama yang hanif atau sekedar konglomerat kaya raya yang baik hati sehingga kasus seremeh itu bisa muncul ke permukaan.

Publik sedang di test, seberapa luapan nurani rakyat setelah disayat kasus memilukan itu. Seberapa rakyat berontak dipertontoni potongan berita yang kental nuansa drama itu. Kalau publik masih tersentuh nuraninya, berarti dosis patirasa nurani akan ditingkatkan lagi.

Ini tahun pertama sang raja baru bertahta, disebutnya tahun test case. Di test dengan harga beras, di test dengan dibuat seolah-olah kasus terorisme ISIS tak bisa ditangani militer kita, di test dengan pemerkosaan harga BBM, di test dengan polemik hukuman mati, dan test-test lainnya.
Lantas, apa selanjutnya setelah test?

Bank Komunitas

Dollar menguat menembus 13.000. Ini masa sedang mengajak kita regresi pada situasi 17 tahun yang lalu. Tak beda komentar sang pejabat antara sekarang dan 17 tahun yang lalu : walau Dollar menguat tapi tak masalah karena fundamental ekonomi kita masih bagus.

Jelaslah kalau fundamental ekonomi bangsa kita masih bagus, karena yang fundamental bagi bangsa kita sejatinya bukan uang. Yang fundamental adalah personal happines & community strength.
Yang sang pejabat maksud fundamental ekonomi itu kalau masih dipikirannya adalah uang, maka sang pejabat itu hanya sedang berfantasi berhalusinasi. Bangsa ini survive hingga hari ini bukan karena fantasi sang pejabat yang indah itu. Tapi karena masih meletakkan fundamental ekonomi pada empan papan-nya.

Sistem permodalan komunitas (sisdaltas) adalah hal yang fundamental untuk segera dibangun secara sungguh-sungguh. Dia berupa bank atau bentuk lembaga keuangan lainnya yang berfungsi tertutup bagi tiap-tiap komunitas. Dia menjalankan perang Bank ditengah para Bank kini sedang sibuk menjalankan peran pegadaian.

Lembaga sisdaltas tidak sibuk menagih agunan, karena yang dinilai adalah proposal. Lembaga juga tidak boleh terjebak pada bentuk formal proposal, karena yang dinilai sejatinya adalah personal trust. Personal trust hanya sebuah kepura-puraan palsu, jika tidak didahului dengan gairah paseduluran, hasrat untuk hidup bebrayan.

Lalu bagaimana lembaga Sisdaltas meraup laba? Laba tidak haram diraup, sepanjang tepat pada patrapnya. Pastikan pas, kapan dia menjadi dewa penolong darurat sosial, kapan dia menjadi partner bisnis bagi peminjam.

Dua hal pokok yang musti dicatat :
1. Berfungsilah sebagai bank, bukan pegadaian
2. Berperanlah sebagai sedulur, bukan penghisap

3/9/15

L-22 Sodaqollahul-Adzim

Delapan tahun tiga bulan masa inkubasi sudah selesai. Tahapan panjang membangun cara berpikir agar tidak terhanyut oleh arus mainstream yang salah arah ditutup pada 8 Maret 2015 kemarin. Selang beberapa minggu saja setelah kita berhasil menemukan karakteristik otentik komunitas, L-22 rumah inkubasi kemudian dikosongkan.

Ini waktunya bertransformasi. Kalau kita kemarin diletakkan di lingkungan yang sangat permisif atas abnormalitas cara hidup dan cara berpenghidupan kita, kini harus mulai siap masuk di dunia nyata. Kalau kita kemarin tidak hidup abnormal, maka pertumbuhan keilmuan kita tidak akan segembur hari ini. Itulah kenapa kita ditempatkan di lingkungan yang sangat akomodatif terhadap abnormalitas gaya hidup komunitas kita.

Namun sekarang, kita sudah punya bekal pemahaman yang utuh atas karakteristik otentik komunitas. Bahasa agamanya sudah punya Iman. Sehingga kalau harus berbaur dengan mainstream yang cara hidupnya sememuakkan apapun, pertumbuhan keilmuan kita tidak akan terganggu.

Justru kita menjadi dzolim, kalau pertumbuhan keilmuan kita justru diisolasi untuk internal kita sendiri saja. Saatnya bertransformasi dari era inkubasi, menuju era eskalasi. Mudah-mudahan kita memang sedang menjalani firman dan titah Tuhan yang Maha Benar.


2/3/15

Supra-Melihat

Orang bilang cinta itu buta. Disebut begitu hanya karena cinta tak pernah memakai ukuran mata pandang jasadi kita. Lalu apakah memang cinta benar-benar tidak pake mata, sehingga ia dicap buta?

Ada buta, ada melihat, ada supra-melihat. Apakah supra-melihat itu? Yakni cara kita melihat dengan indera penglihatan yang bukan mata jasadi. Tapi dengan indera penglihatan yang kita pakai saat kita merem, juga saat kita tidur.

Dengan indera 'halus' itulah cinta terukur. Kalau kau tak bisa mengukur cinta, jangan buru-buru menyalahkan cinta. Salahkan dirimu yang tak pernah mengenali cara lensa, pupil dan retina 'halus'mu itu bekerja.

Utilitas Sosial

Berpikir tentang utilitas sosial, bukan ilusi amal. Selama kita tidak mencoba menstrukturkan apa yang sudah kita lalui, kita berkemungkinan untuk selalu mengulang kesalahan yang sama.

Tak tahu mana yang sudah kita dapat, mana yang belum kita kerjakan, mana yang harus ditajamkan, mana yang mesti ditinggalkan. Mana kemanfaatan.hakiki, mana yang cuma romantisme.

Pahala, kesantunan, sikap tawadhu yang dipisahkan dari realitas, kesemuanya pada akhirnya akan berarti menjadi ilusi belaka kok.

Sembilan tahun yang sangat padat sudah aku lalui, pembelajaran hidup serius yang nyaris aku tak pernah bolos. Aku geleng-geleng kepala sendiri, menyaksikan dan mendata apa-apa yang sudah pernah aku kerjakan selama itu. Salout..

Lantas selanjutnya bagaimana? Itu terserah kita.

1/26/15

Apa Setelah Lengser?

Martabat Presiden sudah di titik nadir kerendahan, sudah di titik asfala safilin. Dirongrong wartawan kemana-mana, dicaci maki di medsos lengkap dengan meme ejekan yang beraneka rupa.

Kalau benar beliau hanya bertahan 13 bulan, maka tinggal menghitung jari saja untuk menujunya. Sambil meratapi aset-aset yang dijual murah, deal-deal yang meniadakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Lalu, setelah lengser, apakah kepemimpinan nasional menjadi lebih baik? Siapakah yang bisa menduduki posisi kepemimpinan nasional dan masih dipercaya rakyat bisa membawa ke arah lebih baik? Sang kandidat kalahkah yang sudah mati gaya dengan serentetan tuntutan? Atau yang sudah main kasar dengan diam-diam menggoalkan UU sabotase parlemen?

Pencapaian bangsa paling dekat, belumlah sampai kepada harapan lebih baik itu. Paling jauh, pencapaian bangsa kita adalah menyadari bahwa kita bangsa yatim. Tak punya orang tua dan tak mengakui yang seharusnya dituakan.