8/15/11

Epson Tetap Fight

Jauh-jauh printer Canon tipe M Pixma 258 didatangkan ke L22, eh ternyata... ternyata eh ternyata sangat membantu keberadaan printer itu. Walau sedikit mengecewakan, baru beberapa puluh lembar, warna birunya sudah memudar.

Beda dengan si Epson, R230 ini kemarin sempat kabur beberapa lama, menikmati hari-harinya di toko service printer sana. Sempat cemas kemarin, aduh, jangan-jangan setelah kembali sudah tidak mau lagi berpartner denganku. Terang saja, magentanya enggak keluar, sampai-sampai aku bawa ulang ke toko servicenya, "ini headnya kena mas, rusak permanen magentanya!". Waduh, mana si Epson ini printer paling idealis pula, beda sama si Canon, kalau hitamnya rusak, bisa di mode color only, kalau Epson ya enggak bisa, mau enggak mau semua warna harus OKE semua...

Sedih rasanya, Epson kembali, tapi tidak begitu keadaan head di bagian magentanya. Heumh, ya sudahlah, nyatanya orang sepertiku baru bisa ikhlas kalau sudah kepepet, kalau sudah tidak ada pilihan lain. Ah, ya bersyukur saja, masih bisa ikhlas. Dan aku ikhlaskan itu Epson, aku cueki berhari-hari. Weleh, malah ini, syukur Alhamdulillah, ketika aku kesal dengan si Canon, aku iseng nyalakan si Epson, Alhamdulillah, magentanya sudah OKE.

Epson R230 ini mengagumkan malam ini, ya, setelah sekian tahun bersama, sudah ribuan lembar kertas ia lukisi dengan headnya yang mahal. Dan sampai hari ini, printer sepuh itu terbuki menunjukkan performa yang lebih hebat, ketimbang saudaranya si Canon, yang baru juga 7 bulan bergabung bersamaku.

Terima kasih Epson, keep fight!

8/13/11

GFF

Bagiku tidak ada kata ngisin-ngisini dalam kamus hidupku. Apalagi cuma sekedar ngambil prasmanan saat kondangan, kalau memang lagi kepengin ambil banyak, ya ambil segepok itu daging tusuk-daging tusuknya. Menurutku itu lebih baik, ketimbang sebenarnya laper, sebenarnya kepengin ambil banyak, tapi jaim, alias jaga image. Image siapa? Image diri sendiri? Weleh2... sebegitu meninggikan diri sendiri orang macam itu.

Pun begitu di Soekarno-Hatta kali kedua kemarin. Bukannya ngumpul bareng rombongan, aku memilih playon penculatan entah kemana, weheehe, sampai akhirnya ketemu itu ruangan kecil di terminal 2F berlogo siluet burung, ya, kantornya Garuda Indonesia.

Disitulah mimpiku terwujud : punya kartu GFF, alias Garuda Frequent Flyer.

Amboi senangnya bukan main... yah, bukan soal kartunya yang terpenting, karena kartu yang diberikan saat itu baru kartu sementara, kartu aslinya katanya mau dikirim 14 hari setelah aktivasi dengan sekali terbang, dan sekarang yang harusnya sudah sampai juga belum sampai itu kartu. Tapi yang nikmat adalah ketika satu mimpi kita terwujud. Mimpi waktu itu saat dapat majalah Garuda di sebuah pameran, hehe.

Masih konsisten dengan judul besar blog ku ini. Bermimpilah, teruslah bermimpi, nikmati dahsyatnya setiap moment dimana mimpi kita terwujud.

Passport by Rhenald Kasali


Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa
orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya
sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah
naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah
pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah
pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR
dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi
tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki “surat ijin
memasuki dunia global.”. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet,
terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu
kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan,
pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia,
Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu
dan bisa dijangkau.

“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”

Saya katakan saya tidak tahu. *Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang
bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi
kehidupan dan tujuannya dari uang. *Dan begitu seorang pemula bertanya
uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir
pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga
para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah
melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas
kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut
sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri.
Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju.
Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan,
teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para
pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok
backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah,
menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang
bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka
sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis,
yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang
yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh,
bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah
rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima
Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang
dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko,
menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut
kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan
menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain
kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat
teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi
eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

*

The Next Convergence*

Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel
ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari
Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk
dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin
masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan
miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak
pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket
pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi
para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima
ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis
melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan
jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu
pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah
kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan
infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada
di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan
memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas
Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat
minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus
Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung
melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau
diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka
perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia
ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf
tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti
menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah
punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi,
jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket,
menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan
kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya
sendiri.


Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun
kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka
anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu
tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang
mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang
meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki
daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit.
Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita,
gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki
pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport
pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di
Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe
yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya
mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus
Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

*Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia *

Artikel Jawapos 8 Agustus 2011

Hak Dia atas Diriku

Sudah sabtu, hari yang ditunggu-tunggu oleh Andriyanto senin kemarin. Selamat ya Ndri, sudah tercapai sabtumu.

Seperti minggu lalu, ini saatnya posting review khotbah jumat. Haduh maaf para pembaca yang Efisiensi (jalur Jogja si bukan jalur Bandung), karena aku ketiduran kemarin, jadi tidak menangkap materi khotib secara utuh. Tapi memang beberapa materi itu kupasan dalil umum yang sudah biasa kita dengar. Istilahnya Jamaah Kenduri Cinta : Kalau cuma membawakan Quran dan Hadits, tidak usah ada ustadz, tinggal search saja.

Ya, karena memang tugas pendakwah itu bukan membacakan, tetapi mengunyahkan. Seperti bayi yang giginya belum tumbuh sempurna, jadi nasi yang mau disuapkan harus dikunyahkan terlebih dahulu.

Kembali ke khotbah, satu materi saja ya, kemarin tentang kisah Khalifah Umar, ketika itu ada rakyatnya yang datang mau mengadu tentang persoalan dia dengan istrinya. Tapi ketika datang, dijumpainya sang khalifah juga sedang dicekcoki istrinya, maka si rakyat memilih berbalik badan dan pulang lagi, mau minta nasehat eh yang dimintai nasehat juga sepertinya sedang memiliki masalah yang sama, begitu pikirnya.

Tapi sebelum melangkah pergi, sempat terjadi dialog si rakyat dengan sang khalifah. Ketika sang Khalifah ditanya, beliau menjawab yang kira-kira "... istriku sudah mencucikan baju untukku, mendididik anak-anakku, memelihara aku, kalau dia marah padaku, itu bagian dari hak dia atas diriku..."

Bagi aku yang belum punya istri, dan jarang cek cok dengan adik-adikku. Ya aku umpamakan saja ketika cek cok dengan sahabatku, kalau dia bikin marah, menjengkelkan, ngeselin, ya sepersekian detik driving pikiranku agar ingat jasa-jasa baik dia, jadi yang muncul dari pikiran "Oh iya, dia kan sudah bla bla bla untukku, ya ini hak dia yang ada pada diriku lah."

Kira-kira begitu. Hm, ada yang bertanya lagi, "kok contohnya sahabat si, bukan yang lain?", "yang lain bagaimana?pacar maksudnya?aduh maaf enggak punya saya". Hihiii


8/12/11

Ramadhan Bulan Festival

Tidak tepatnya Ramadhan disebut bulan suci adalah karena Ramadhan tidak termasuk dari 1 dari 4 bulan yang memang ada dalil yang menyebutkan keempat bulan itu sebagai bulan suci. Bulan apa saja itu? Silahkan tanya pada kiai masing-masing.

Kata "suci" pada "bulan suci Ramadhan" hanyalah sebah eufimisme positif dari kata aslinya, bulan festival. Iya, penghalusan bahasa itu perlu, sembrono kan kalau bulan Ramadhan dibilang bulan festifal persis judul note ini. Ya, sembrono bagi orang2 yang sudah punya kapling2 di surga, kalau bagi orang2 abangan macam aku ini mah biasa-biasa saja.

Sedikitnya ada tiga hal kenapa kok disebut bulan festival :

Pertama : Ada festival puasa. Ya, puasa itu ibadah individu, tapi dibulan ini, dibersamakan, biar orang menjalaninnya semangat dan riang... itu bukti betapa Allah begitu memperhatikan kita sampai ke detail karakteristik psikologi manusia.

Kedua : Ada festival qiyamullail, namanya sholat tarawih. Sholat malam atau qiyamulail itu ibadah individu, tapi di bulan ini dijamaahkan. Kalau ditelusuri dalilnya, sholat tarawih itu sholat yang santai. Ya, santai, bukan sholat yang berat. Itu semakin mencirikan bahwasannya keutamaan kebersamaan memang ditonjolkan dalam ibadah ini, secara... festival gitu loh.

Jadi, agak lucu kalau ada penceramah yang ngaruh-ngaruhi kalau tarawehnya banyak rakaatnya tapi banter, expresstaraweh... lha, memang sholat santai, ya wajar kalau imamnya pilih suratan pendek, kalau sholat non-santai lah pilih bacaan panjang Al Baqarah 1 rakaat.

Ukuran santai kan beda-beda, kalau buat aktivis dakwah kampus 1 jus 1 malam santai, tapi kalau di kampung ya surat Qulhu dan setaraf itu santai. Jadi jangan sok lah, mentang2 dapat imam tarawehnya nggak se-express masjid sebelah, terus dirasan-rasani itu jamaah masjid sebelah. Eh siapa tahu, Allah menilai lebih baik kualitas sholatnya masjid sebelah yang lebih express, malu sendiri kan kita?

Dan yang ketiga : Seperti festival band, beda dengan parade band, di akhir pasti ada penentuan pemenang. Sama, di bulan ini juga diakhiri dengan hari kemenangan. Disinilah Mahaadil dan Mahaindah nya Allah, penentuan kemenangan tidak berdasarkan urutan linear. Setiap orang berhak jadi pemenang, ukurannya ya hati kita bisa mengukurnya masing-masing. Aku menang nggak yah Ramadhan kali ini? Seberapa meneng? Agregatkah? Terdegradasikah? Kita bisa bertanya pada hati masing-masing.

Lalu, apa sebetulnya tujuan Allah mengadakan festival untuk kita-kita ini? Ini entah tujuan entah manfaat, tapi ya agar selesai festival, kita punya konsep diri pemenang, sehingga kualitas ibadah vertikal dan horizontal kita terupgrade dibanding sebelum ramadhan.

Nah, inilah yang banyak tidak dipahami oleh para penceramah dan motivator yang seringnya marusak konsep diri jamaahnya, misalnya dengan kalimat : "puasa itu juga harus telinga kita, mulut kita, dan yang paling berat adalah hati kita... sudah puluhan kali kita puasa, ternyata kita belum bisa melakukannya". Nah lho... betapa ini bertentangan dengan visi Allah, Allah saja sedang membangunkan mental pemenang, kok para penceramah yang membawa dalil-dalil begitu fasih itu malah menjatuhkan konsep diri kita, bahwa kita ini jelek, kita ini puluhan tahun tidak mampu puasa dengan becus otomatis kerangka berpikir yang terbentuk kali ini juga pasti berat deh buat becus."

Kepada orang-orang yang punya hak pegang mic, sekalipun dalilmu banyak, coba dianalisis, panjenengan sedang membangun/mengupgrade konsep diri umat, atau malah sedang merusak/menjatuhkan/mendowngrade?

Ini hari festival ke-12 ayo semangat, biar kita menang semua ya...

Bukan Karena

Kalau aku tidak pamer, itu bukan karena aku baik. Hanya karena aku nggak ada yang bisa aku pamerkan...
Kalau aku tidak bergaya hidup mewah, itu juga bukan karena aku baik. Hanya karena aku nggak punya banyak uang...
Kalau aku tidak pacaran, itupun bukan karena aku baik. Hanya karena nggak ada yang mau jadi pacaku...

Sesederhana itu...

8/11/11

Jangan Kasihani Anak Yatim

Bulan Ramadhan begini, anak yatim kebanjiran schedule, buka puasa disini, buka puasa disitu, dapat santunan ini, dapat sumbangan itu, weh weh weh.... senangnya....

Rasa2nya ada yang kurang sreg buatku, secara tindakan kita memang membantu, menyantuni. Tapi banyak diantara kita di saat yang sama menanamkan satu kondisi batin dimana mereka lebih rendah dari kita, kita mengasihani mereka, mereka dikasihani kita.

Sadarlah, mereka itu manusia, sama seperti kita. Kalau memang mau membantu, bantulah dengan sorotan persaudaraan. Bukannya dengan tatapan kasihan. Karena bisa jadi derajat mereka lebih tinggi dari kita, derajat taqwa.

Jangan komoditaskan mereka. sekalipun bukan untuk komoditas bisnis, komoditas sosialpun jangan. Temukan cara-cara cantik untuk mendukung mereka, tanpa kata "peduli anak yatim", tanpa kata "sumbangan untuk anak yatim", tanpa kata "amal untuk anak yatim".

Cerdaslah....

8/10/11

Maiyah Peace Revolution

Sedang mencoba mengaransemen bagaimana ya kalau konsep maiyah itu dituliskan dalam sebuah format konsep tertulis dalam bidang Peace Revolution. Selama ini dunia menganggap yang namanya perdamaian adalah tidak perang senjata, owh, belum tentu... Bahkan Indonesia ini sekarang sedang perang, perang pemikiran, antara Kapitalis dengan Koperasiis. Antara gerilyawan social-entreprize dengan pemburu prediket "dewa penolong sosial", antara aliran agama fundamentalis dengan terbuka.

Tidak menggunakan senjata mesin dan nuklir memang mereka, tapi lebih mengerikan, perangnya dengan bersenjatakan perundangan yang dimanipulasi, persoalan rakyat kecil yang dikomoditasi dan dalil-dalil agama yang dibaca tidak sampai tenggorokan.

Dunia terlalu sempit berpikir kalau internal peace itu sudah berhasil dicapai hanya dengan duduk, diam dan meditasi. Oh tidak, sepengelanaan saya di dunia uncounsiousmind menuju kondisi meditatif hanyalah membuka pintu gerbang superpower bawah sadar. Setelah berhasil mencapai kondisi itu, perjuangan mendamaikan justru barulah dimulai.

Maiyah adalah konsep yang unik dan menarik. Ini bukan seperti training motivasi, yang seolah-olah menolong tetapi sebetulnya menjerumuskan. Persis seperti konsep revolusi hijaunya orde baru, yang dipandang hebat karena itu program bertujuan mencapai obsesi swasembada pangan, tetapi sebetulnya lahan dirusak dengan begitu sadisnya memakai pupuk-pukuk kimia dan pestisida yang sejatinya adalah racun. Begitulah training menjadikan kita terobsesi pada kesuksesan, sementara kita tidak sadar unsur hara dalam diri kita dimusnahkan perlahan...

Bersambung... mandi dulu... ini belum tuntas note nya

Nostalgia Jus Berapa

Waktu itu kelas 2 SMA, layaknya SMA-SMA lainnya, di SMA ku juga ada jadwal taraweh bergilir. Kelasku IPA 4 kebagian jatah bareng kelas IPA 3. Hahay IPA 3 yang istimewa (waktu itu....).

Sepulang taraweh dengan aksi sok perhatian dan sok care ku aku temani si dia menunggu jemputan di luar pintu gerbang mushola SMA. Obrolan kami berdua tidak banyak, tidak se-ramai kalau ngobrol di telepon (maklum ada salah-salah tingkah gitu...) wehew...

Sampai akhirnya bahan obrolanpun habis. Jeda sepersekian menit, dia memulai obrolan lagi dengan pertanyaan "Udah sampai jus berapa nyet?", aku lupa waktu itu aku jawab jus berapa, tapi yang jelas jus ku tak sebanyak jus dia. Dan sejak itu, aku jadi semangat baca Quran, kejar target Ramadhan, biar kalau ditanyain lagi sama dia aku jawabnya dengan bangga.

Dan di Puasa kali ini, hari ke-10, targetnya beberapa halaman menuju rampungnya jus 10. Tapi bukan untuk jaga-jaga kalau-kalau dia menanyakanannya lagi...

*Lucunya saat-saat itu. Gerbang Mushola At Tahrim, Suzuki Esteem Putih B 1812 AN & "jus berapa?", hehew....


8/6/11

Munafik Guarantee

Sebelum mengawali aktivitas hari ini dengan 14 item di to do list hari ini, seperti minggu lalu, ini mau sedikit share tentang materi khotbah jumat, hari jumat kemarin.

Jumat pertama Ramadhan, wuidih... masjid membludak. Kepergok deh bahwa di waktu non Ramadhan ternyata banyak laki-laki yang mangkir dari jumatan. Ya, ini Ramadhan mungkin mereka berharap bisa merapel itu perolehan pahala karena dilipatkan 10 semua bulan ini. Huehehe....

Salah satu insight yang didapat di khotbah jumat di masjid yang berjubel sampai-sampai aku duduk di tataran undak-undakan kemarin adalah tentang "munafik". Ternyata Allah punya mekanisme yang begitu cerdas, ya karena memang Dia Maha Cerdas. Bahwa seseorang belum bisa digaransi dia munafik atau tidak munafik, kalau belum sholat berjamaah di masjid, tidak ketinggalan takbir pertama selama 40 kali berturut-turut.

Sederhana sekali ya cara menggaransinya? Tapi maknyus benar metode ini. Betul saja, aku jadi tahu pentingnya syariat. Syariat itu jadi garis garansi ya penerapannya semacam ini. Tentu ini bukan analogi, tapi bisa membantu jembatan berpikir kalau belum paham, misalnya seseorang mengaku menyukai gamelan, tapi ketika ada syariat dari pelatih gamelan untuk berlatih 2x seminggu kadang bolos, datang telat, maka bisa saja si pelatih meragukan ucapan orang itu yang bilang katanya suka gamelan. Sah-sah saja kan bilang munafik lah kamu katanya suka gamelan. Begitu...

Jadi, sholat wajib berjamaah di masjid dan ga ketinggalan takbir pertama itu penting.

8/5/11

PR Maiyah 17 Juli

Sebelum merampungkan revisi TA dan ujian khusus 1 jam lagi, mari mengerjakan PR dari pak Guru Toto Raharjo yang diberikan 17 maiyah bulan kemarin tentang fenomena puasa :

Ini Pak Guru Toto yang berhasil saya himpun sampai saat ini :

1. Puasa itu adalah mengendalikan jatuhnya pilihan. Jadi, hati nurani itu biasanya berbisik, misal : mau sodaqoh 5.000 apa 20.000 ya?... atau ketika baca Quran "mau 2 lembar apa 5 lembar ya? Atau ketika-ketika lainnya. Nah, seseorang dikatakan sempurna puasanya kalau skor pemilihan maksimum untuk memilih pilihan yang tertinggi, sekalipun berat. Ketika terbesit tertinggi 5 lembar, ya 5 lembar dijabanin, ketika terbesit tertinggi 20.000 ya itu yang dikeluarkan.

Aku tidak bisa membayangkan betapa hebatnya orang yang selalu berhasil menjatuhkan pilihan ke opsi tertinggi. Dan toh, hati nurani nggak akan ngeledek kok, misal membesitkan : 30 lembar sekarang bacanya, atau 100.000 sodaqohnya, padahal di dompet cuma ada 25.000.

2. Da'i dan penceramah itu beda. Da'i itu pendakwah, tidak selalu dengan ceramah, malah kebanyakan dengan mendengarkan dan meneladani. Sedangkan penceramah ya orang yang pekerjaannya berceramah. Di bulan Ramadhan penceramah itu laris manis.

3. Ramadhan adalah semacam cuci gudang atau bulan diskonnya Allah untuk manusia yang notabenennya lalai dan dhzolim. jadi dengan adanya iming-iming 10x lipat, orang akan berbondong-bondong untuk mengupgrade kebiasaannya, yang tadinya baca Quran sehari 3 lembar, jadi 10 lembar. Yang tadinya ke masjid 2 x seminggu, ya sekarang jadi 2 x sehari. Nah, kenapa 30 hari? karena batas minimal rata-rata membentuk kebiasaan hari adalah 21 hari, jadi harapannya selesai ramadhan itu kebiasaan baru sudah terupgrade permanen.

4. Aku ingin bertanya pada Cak Nun soal Lailatul Qodr. Apa sebetulnya pesan besar dibalik fenomena yang diburu setiap insan (yang sadar mau memburu) itu.

Bersambung...



Kalah

Gempa yang mengguncang Purwokerto kemarin untung tidak berlangsung lama. Ya memang tidak perlu berlangsung lama, baca 10 lembar mushaf saja beres kok.

Dan setelah diinvestigasi mendalam, memang betul kata sahabat baikku di sms kemarin, yang intinya ya, ini semakin memperkuat tanda untuk...wah sudahlah tidak jadi dibahas disini.

Ya, dalam pokoknya, ini bukan soal menyayangkan atau apa. Hanya guncangan kekalahan saja. Karena memang jadi tahu, tidak ada yang perlu disayangkan. Sama, seperti kalah oleh Ibu Sabrina dan Mbak Ning di Usmar Ismail Hall kemarin.

8/3/11

sepasang-sepasang

Dapat beberapa point ilmu berhaga hari ini, ya suatu saat nanti pasti akan sangat berguna. masing-masing dari beberapa itu berjumlah sepasang-sepasang. Yakni, industry & trading. Inti & plasma. Surabaya & Bandung. Menarik menarik menarik... menarik.

8/1/11

10 Hari 10 Hari

Kalau ingat kata banyak penceramah, Ramadhan itu dibagi dalam 3 termin. 10 hari pertama, 10 hari tengah-tengah, dan 10 hari terakhir.

Karena tanggal 9 adalah Yudisium, maka aku putuskan 10 hari pertama ini aku mau fokus, khusyuk di kampus saja, beberes semuanya.

Karena pekerjaan-pekerjaan Ospek akan dipakai di tanggal-tanggal pasca HUT kemerdekaan, maka 10 hari kedua aku mau genjot itu SPC, sepool aku bisa.

Dan karena aku harus menyelesaikan anyaman-anyaman karya-karya besarku, maka seperti tahun lalu, aku nawaitukan 10 hari terakhir aku sediakan waktu yang semaksimal aku bisa, hanya untuk diriku sendiri. Untuk bawah sadarku tercinta.

Dan setelah 3 termin itu, semoga aku keluar jadi pemenang kali ini.


Bulan Menganyam

Di bulan ini tiga warna bersatu, merah, putih dan hijau. Di bulan ini pula, bambu dan daun kelapa berkolaborasi, semangat bambu runcing dan anyaman daun kelapa muda yang membentuk selongsong ketupat bertebaran merata.

Bahwa kemerdekaan yang tahun ini diperingati yang ke 66 bukanlah sekedar selembar, dua lembar karya. Akan tetapi kemerdekaan adalah anyaman beribu-ribu lembar dedikasi putra-putri terbaik bangsa, dari teriakkan Bung Tomo di Surabaya, Serangan Umum 1 Maret yang dikonfigurasi oleh Sudirman dan HB IX, invasi udara pertama ke semarang oleh 3 ksatria udara, Adi Sucipto, Adi Sumarmo dan Abdurrahman Saleh, dan banyak lagi lainnya.

Kini kesakralan 17 Agustus akan berhimpitan dengan malam istimewa bagi sebagian besar umat di negeri ini, yakni malam turunnya Al Quran. Satu momentum yang paling hanya seumur hidup sekali dialami oleh insan manusia. Akan seperti apakah bulan ini berjalan?

Dan buatku bulan ini semakin istimewa, karena bersamaan dengan detik-detik proklamasi kemerdekaan dari sangkar emas yang nyaris menjadi agama baru masakini : kampus. Ketambahan lagi dengan superberantakannya L22 akibat renovasi L21. Hm, sensasi emosional belum selesai, gagalnya mencapai prestasi puncak di 3 perhelatan E-Idea, Communitty Entrepeneur Chalange & Entrepeneur Delegation semakin membuat bulan ini bisa dipastikan menjadi sebuah chekpoint hidupku. Entah chekpoint revolusioner, atau malah titik nadir keputusasaan. Oh, satu lagi, suasana mencekam sidang tugas akhir bak ditengah arena Coloseum di Roma kemarin...

Kehidupan sudah berjalan sedari lama dulu bukannya start selulus kuliah, kegagalan, keberhasilan, pujian, celaan, apresiasi positif, hambatan, cukup lihai semua itu mengantarkanku sampai saat ini. Sampai saat dimana aku tersadar, skalaku terlalu kecil, yang aku kerjakan terlalu mentah.

Ibarat janur, aku hanya memetiknya, sudah, terus menyajikannya ke hadapan dosen penguji, memamerkannya ke hadapan juri British Council, dan mencoba menyelipkannya ke meja Hillary Clinton. Nyatanya, tidak ada yang tertarik dengan seonggok janur. Aku seharusnya berpikir, untuk menganyam janur itu menjadi seselongsong ketupat. Kalau toh Hillary tidak melirik, kalau dosen penguji juga masih tidak berkenan, toh itu masih laku dijual di pasar cereme 250 perak.

Atau kalau aku masih punya saldo ketelatenan dalam kantong-kantong penyimpanan energiku, aku bisa isi itu anyaman janur yang sudah berbentuk selongsong dengan beras, lalu ditanak, lalu jadilah ketupat. Harga jualnya lebih mahal. Diberikan ke orangpun lebih tinggi benefitnya.

Ya, terlalu banyak janur (daun kelapa muda) yang aku petik, tapi dibiarkan berserakan, sudah, sudah, tidak usah capek-capek memanjat pohon-pohon ilmu lagi, berhenti berburu kebun-kebun inspirasi lagi, tunda dulu keinginan bertualang kesana-kemari kalau hanya untuk sekedar memuaskan keinginan saja. Puasa, puasa!. Diam saja sekarang di rumah Ramadhan, simpan itu bambu runcing, negara ini sudah ada yang mengurus, tugasku sekarang adalah mengurus diriku sendiri. Dianyam itu janur-janur yang sudah aku kumpulkan, sampai bernilai guna bagi orang lain, dan itu akan membuatmu dibutuhkan oleh mereka, berguna bagi mereka.

Selamat menganyam..........sampai jadi.