8/1/11

Bulan Menganyam

Di bulan ini tiga warna bersatu, merah, putih dan hijau. Di bulan ini pula, bambu dan daun kelapa berkolaborasi, semangat bambu runcing dan anyaman daun kelapa muda yang membentuk selongsong ketupat bertebaran merata.

Bahwa kemerdekaan yang tahun ini diperingati yang ke 66 bukanlah sekedar selembar, dua lembar karya. Akan tetapi kemerdekaan adalah anyaman beribu-ribu lembar dedikasi putra-putri terbaik bangsa, dari teriakkan Bung Tomo di Surabaya, Serangan Umum 1 Maret yang dikonfigurasi oleh Sudirman dan HB IX, invasi udara pertama ke semarang oleh 3 ksatria udara, Adi Sucipto, Adi Sumarmo dan Abdurrahman Saleh, dan banyak lagi lainnya.

Kini kesakralan 17 Agustus akan berhimpitan dengan malam istimewa bagi sebagian besar umat di negeri ini, yakni malam turunnya Al Quran. Satu momentum yang paling hanya seumur hidup sekali dialami oleh insan manusia. Akan seperti apakah bulan ini berjalan?

Dan buatku bulan ini semakin istimewa, karena bersamaan dengan detik-detik proklamasi kemerdekaan dari sangkar emas yang nyaris menjadi agama baru masakini : kampus. Ketambahan lagi dengan superberantakannya L22 akibat renovasi L21. Hm, sensasi emosional belum selesai, gagalnya mencapai prestasi puncak di 3 perhelatan E-Idea, Communitty Entrepeneur Chalange & Entrepeneur Delegation semakin membuat bulan ini bisa dipastikan menjadi sebuah chekpoint hidupku. Entah chekpoint revolusioner, atau malah titik nadir keputusasaan. Oh, satu lagi, suasana mencekam sidang tugas akhir bak ditengah arena Coloseum di Roma kemarin...

Kehidupan sudah berjalan sedari lama dulu bukannya start selulus kuliah, kegagalan, keberhasilan, pujian, celaan, apresiasi positif, hambatan, cukup lihai semua itu mengantarkanku sampai saat ini. Sampai saat dimana aku tersadar, skalaku terlalu kecil, yang aku kerjakan terlalu mentah.

Ibarat janur, aku hanya memetiknya, sudah, terus menyajikannya ke hadapan dosen penguji, memamerkannya ke hadapan juri British Council, dan mencoba menyelipkannya ke meja Hillary Clinton. Nyatanya, tidak ada yang tertarik dengan seonggok janur. Aku seharusnya berpikir, untuk menganyam janur itu menjadi seselongsong ketupat. Kalau toh Hillary tidak melirik, kalau dosen penguji juga masih tidak berkenan, toh itu masih laku dijual di pasar cereme 250 perak.

Atau kalau aku masih punya saldo ketelatenan dalam kantong-kantong penyimpanan energiku, aku bisa isi itu anyaman janur yang sudah berbentuk selongsong dengan beras, lalu ditanak, lalu jadilah ketupat. Harga jualnya lebih mahal. Diberikan ke orangpun lebih tinggi benefitnya.

Ya, terlalu banyak janur (daun kelapa muda) yang aku petik, tapi dibiarkan berserakan, sudah, sudah, tidak usah capek-capek memanjat pohon-pohon ilmu lagi, berhenti berburu kebun-kebun inspirasi lagi, tunda dulu keinginan bertualang kesana-kemari kalau hanya untuk sekedar memuaskan keinginan saja. Puasa, puasa!. Diam saja sekarang di rumah Ramadhan, simpan itu bambu runcing, negara ini sudah ada yang mengurus, tugasku sekarang adalah mengurus diriku sendiri. Dianyam itu janur-janur yang sudah aku kumpulkan, sampai bernilai guna bagi orang lain, dan itu akan membuatmu dibutuhkan oleh mereka, berguna bagi mereka.

Selamat menganyam..........sampai jadi.





No comments:

Post a Comment