11/28/15

Derajat Ilmu

Kadang-kadang mikir, mending jadi orang yang banyak enggak tahunya saja. Jadi, ketika ada orang lain minta masukan, aku tidak dibebani kewajiban untuk memberi masukan. Karena memang tidak punya pengetahuan untuk membuat masukan.

Daripada, tiwas sudah meminta masukan, diberi, eh tidak dipake. Dibuat berceceran begitu saja. Tapi yah, itulah kenapa orang berilmu ditinggikan derajatnya. Kompensasi atas beratnya berlaku bijaksana. Harus menahan diri, daripada obral masukan. Meski gemes nggak karuan melihat tingkah polah yang sebetulnya bisa aku berii masukan.

Maksud Sang Nabi

Kalau diantara kita ada yang berani menghukumi bahwa Syiah bukan Islam. Apalagi Khawarij. Kalau syiah saja tidak dianggap bagian dari Islam, terlebih mereka kaum Khawarij.

Tapi apa berani menghukumi khawarij itu bukan Islam. Sedangkan mereka bajunya Islami, rujukannya Quran dan Sunnah. Cara penafsiran dan penerapannya saja yang sakpenakwudele dhewe. Maka yakin, tak berani kita menghukumi kaum khawarij itu bukan Islam.

Kalau menghukumi syiah bukan Islam berani. Karena media berkata begitu. Wong kita lebih sami'na wa ato'na kepada media. Ketimbang bertabbayun pada maksud-maksud Nabi pada Sunnah-sunnahnya.

Sebegitu kita tidak mengenal baik Nabi kita sendiri, sehingga ketika tafsir atas perkataan Nabi dimanipulasi sedemikian rupa, kita masih yakin bahwa itu memang benar-benar yang dimaksud oleh Nabi.

11/27/15

Sulitnya Hidup Jujur

Sulitnya hidup jujur. Jujur itu bukan sekedar ngomong ke orang lain yang benar. Kalau itu jujur fisik. Jujur dalam hidup hakikinya adalah kita tidak mengingkari anggukan universal alias kebenaran murni yang tersimpan di dalam hati.

Kalau mau hidup tidak jujur gampang sebetulnya. Sekolah dan kuliah yang nurut. Kejar nilai tugas dan ujian yang baik. Lulus cari kerja yang menjanjikan. Kerja yang nurut. Disela-sela kerja, sholat yang rajin. Ikuti majelis taklim, rajin mengisi infak ini, infak itu.

Diwaktu senggang hafalkan beberapa dalil. Kuasai keahlian ceramah dg itu, bawakan dengan santun. Kejarlah pahala, nikmatilah dunia.

Semua kebenaran sudah tersaji. Tinggal rajin membaca teks agama. Hindari perdebatan. Ikuti mainstream. Dikala jenuh, sesekali berwisatalah, hitung-hitung mengambil jatah kebahagiaan duniamu.

Mudah bukan? Modalnya nurut. Taat. Pada aturan Tuhan dan Nabi. Tak perlu berpikir sedikitpun bukan untuk menjalani cara hidup seperti di atas? Enak, pikiran enteng, tak perlu banyak yang harus dikaji, diterjemahkan, dikontekstualisasi. Waktu senggang dan waktu tidurpun cukup.

Saking enaknya, bahkan kita tak perlu berpikir untuk meneliti, yang disampaikan tentang perintah Tuhan dan Nabi itu dituturkan oleh siapa? Siapa kelompok yang menuliskan menjadi bacaan tafsir kita? Adakah kepentingan mereka kepada diri kita?

Dan yang terpenting, kita sama sekali tidak perlu berpikir. Apakah yang mereka tuturkan dan tuliskan tentang Tuhan dan Nabi itu sudah betul-betul bisa mewakili yang benar-benar dimaksud oleh Tuhan dan Nabi? Atau jangan-jangan belum.

Maqomat

Kalau di arloji, maqomat aku itu enggine bukan interface. Kalau di kantor, kecenderungannya aku di backoffice bukan di frontoffice.

Aslinya bagian paling pas buatku ya di dapur. Tidak lihai ngurusin permukaan. Tapi bagaimanapun, 'kutukan' trah dari mbah-mbahku adalah aku harus mandito tapi juga harus siap satrio.

Harus pandai mikir. Tapi juga harus kalau 'terpaksa' dibutuhkan untuk tampil ya harus bisa. Tiba-tiba disuruh presentasi didepan juri nasional. Harus naik panggung disorot kamera tv nasional. Harus negosiasi dengan wong londo dengan bahasa mereka. Harus berbicara didepan umum. Minimal tidak ngisin-ngisini.

Tapi jangan salah mengenali maqomatmu. Aslinya ya kamu urusan dapur. Bahwa bisa tampil, itu jurus darurat belaka. Jangan malah terbuai sibuk cari panggung. Dan lupa nguleg ide, mblender gagasan di dapur.

Dan jangan membanding2kan diri dengan kualitas mereka yang maqomatnya memang dipanggung.

11/15/15

Genting

Malam-malam tidak bisa tidur. Seperti AH Nasution di penghujung September 65, seperti Soedirman di 28 Februari 1949. Sesuatu yang besar akan segera terjadi. Ontran-ontran. Genting. Tapi bukan chaos fisik, bukan huru-hara massa. Tapi membaliknya iklim, berganti drastisnya cuaca kehidupan bangsa kita.

Semoga bisa menyambutnya dengan sebaik-baiknya. Minimal menyadarinya. Syukur sekali menjadi bagian dari mekanisme kejadiannya.