9/30/11

Maqom Fikriyah

Apa si artinya gelar kesarjanaan, bila tanpa diimbangi peningkatan maqom fikriyah? Proses belajar di zaman kuna lereng justru lebih konstruktif ketika sekalipun tanpa sertifikasi apa-apa, tapi si guru benar-benar menjadi fasilitator meningkatkan maqom fikriyah murid-muridnya.

Tidak seperti sekarang, sekolah itu ya ada divisi marketingnya. Dosen itu ya bagaimana meningkatkan gelar kesarjanaan agar pendapatan bulanannya naik.

Ya, bagaimana lagi, hidup kalau nggak pragmatis nggak hidup si. Jaman edan, kalau nggak ikut edan nggak keduman.

Faidza Faraghta Fanshab

Beres masalah semalam, datang pagi-pagi telepon. Urusan telepon beres tadi siang, datang masalah lagi sore. Begitu seterusnya. Betapa alur kehidupan kita dituntun begitu indah, agar setelah selesai satu urusan, kita segera bergegas ke urusan selanjutnya.

Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”. (Al Insyirah: 7)

Dibilang lelah ya lelah. Tapi nikmati saja. Yang tidak enak kan kalau nganggur.



Nanti Kalau di Audit Bagaimana?

Sewaktu aku kuliah dulu, aku diwajibkan mengumpulkan laporan PKL, dan harus dijilid sesuai prosedur. Alasannya apa kata dosenku? "Iya mas, ini harus Anda lakukan. Karena kalau tidak, nanti kalau di audit bagaimana saya mempertanggungjawabkannya?".

Begitulah mental serigala kita dikerdilkan menjadi mental tikus dengan alasan-alasan legal. Reward & Punishment. Hukum & Prosedur. Sampai-sampai naluri belajar kita dimatikan tanpa kita sadari. Hai... sadarlah para dosen, engkau telah memotong urat berapa mahasiswa sehingga mereka tidak lagi se-teacheble dulu?

Kita buta tentang baik dan buruk, terlebih indah dan tidak indah. Karena kita berkutat dijejali benar dan salah, karena sesuatu yang tertalu prosedural, pendekatannya hukum, aturan, audit, halah.....

Nanti kalau ada polisi bagaimana?
Nanti kalau ditolak bagaimana?
Nanti kalau masuk neraka bagaimana?
Nanti kalau...
Nanti...
Nanti...
Nanti...



Berhenti

Welingnya Ki Nur, juga welingnya Mas Arif, guru-guru terbaik saya mereka itu. Guru yang tidak sekadar menggariskan hukum kurikulum, tapi menorehkan keikhlasan untuk memahami murid-muridnya. welingnya begini, "berhentilah belajar!".

Dan betul, aku berhenti ke kampus dengan segala urusannya, dari utang kampus yang dua juta, sampai utangku mbayar SPP. Aku juga berhenti nonton Mario Teguh. Berhenti datang ke training-training, termasuk ESQ. Berhenti membaca buku. Bahkan yang lebih parah, beberapa hari ini juga berhenti membuka mushaf. Tapi tentu tidak berhenti membaca Quran donk, kan alfatihah 17 kali sehari minimal sehari.

Ini masih terkait dengan tiga hal yang kita dibutakan oleh sekolah, 1)ilmu yang kita serap bagaimana kita menggunakannya, 2)diri kita itu sejatinya siapa dan kedudukannya dimana, 3)masalah real disekeliling kita itu sejatinya bagaimana.

Berhenti belajar yang dimaksud Mas Arif dan Ki Nur bagiku adalah berhenti menyimak text-text, berhenti kulakan knowledge-knowledge yang hanya untuk ditumpuk, sampai-sampai membuat otak kita penuh sesak bak rak-rak perpustakaan.

Maka lengkapnya nasehat mereka adalah "berhentilah 'belajar' agar kamu bisa segera mulai 'Belajar'". Ya, belajar dari, 'Fil afaqi', dan belajar dari diri kita sendiri 'wa fii anfusihim'.

Ya, aku meninggalkan belajar dalam definisi legal formal. Tapi aku tidak pernah mengabaikan perkembangan proses upgrading level fikriyahku.


9/29/11

Zaman Gratisan

Bukan soal kapitalisasi ilmu, bukan soal komoditasi semangat, bukan soal ekonomi. Tapi memang saat ini saya kurang tertarik dengan training, seminar, workshop, talkshow yang berbayar.

Mungkin yang menjadi soal adalah aku tidak punya banyak uang. Mungkin juga aku sudah khatam untuk beraneka rupa tema-tema yang laris dijual macam motivasi, bisnis sampai hypnotherapy. Atau mungkin aku jengah dengan kecanggihan tata slide dan kelihaian teknik public speaking yang semuanya dibuat-buat.

Lagi senang hunting yang gratisan saja. Aku sedang menikmati belajar dari alam. Belajar kepada yang alami-alami. Tanpa slide, tanpa bedak dan lipstik teknik public speaking. Natural, alami, bergizi, sebergizi ilmunya orang-orang zaman dulu.

Zaman dimana anak raja menghabiskan masa kecilnya di desa. Mereka belajar membaca alam, termasuk sistem sosial dengan segala persoalannya. Mereka belajar menggunakan ilmu-ilmu yang mereka serap, dari kanuragan sampai lekukan keris. Mereka belajar menyelamdalami diri sendiri.

Tiga hal itu yang tidak disediakan di lembaga (yang mengaku-ngaku lembaga pelayanan public padahal perusahaan), yakni sekolah. Sekolah cuek saja mendapati alumni-alumninya kesulitan menerapkan ilmu yang mereka pelajari mahal-mahal. Sekolah membangun tembok yang tinggi, sampai-sampai banyak dari kita terisolir dari alam dan struktur sosial sehingga kita buta persoalan sosial. Dan dari sekolah kita tidak menemukan diri kita sendiri. Karena jangankan diri sendiri, hanya struktur berpikir otak saja, tidak dipelajari. Kalaupun dipelajari sedikit saja.

9/27/11

Keduluan

Dulu jaman di Bogor aku dan Azis berencana menyewa lahan di belakang Pangrango Plasa untuk jualan Bansus alias bandrek susu. Eh, selang berapa hari setelah sekian kali rencana itu dibahas, sudah buka di tempat yang kita incar itu Bansus. Keduluan deh...

Beberapa waktu yang lalu Demas berulang kali mengajakku mengontrak rumah di Kedunguter, Banyumas, di Jalan Pemuda untuk dipakai les-lesan. Secara gitu, Banyumas itu potensinya luar biasa.. jumlah sekolah disana jauh di atas Sokaraja, dan Ajibarang sekalipun.

Eh, kemarin, persis, rumah yang sudah digadang-gadang buat dikontrak itu sudah berlabel "Rumah Cerdas", sebuah les-lesan yang ramai dikerumuni anak-anak usia SMP. Mas Empit yang punya... Keduluan lagi.

Begitu.... Kalau kisah2 'keduluan' di bidang cinta, tidak usah diangkat lah ya. Hihi...



9/26/11

Demam Syariah

Ada scene menarik di sinetron semalam, si Kadija apa ya namanya kalau nggak salah, si gadis cantik berjilbab itu mendapat telepon dari pria tampan bernama Badai. ceritanya si Badai meminta Kadija menemani dia datang ke acara reuni SMA nya.

Setelah Kadija mau, pembicaraan di telepon itupun berakhir "terima kasih ya Kadija, Assalamu'alaikum", ucap Badai. Dan dijawab dengan syahdu "Waalaikumussalam". Secara... pacaran Islami gituu...

Begitulah adegan sinetron yang enggak tahu judulnya saya, yang jelas sinetron itu soundtracknya lagu Islami, religius banget lah.

Melihat adegan itu, saya jadi teringat beberapa hal. Hal pertama, adalah ucapannya Cak Nun yang dituturkan ulang oleh Ustadz Fatur waktu itu tentang pelacuran syariah. Di pelacuran syariah, tamu datang dengan ucapan "Assalamu'alaikum", sebelum persetubuhan dimulai dibacakanlah dalil-dalil dulu dan akhirnya ditutup dengan doa "kafaratul masjlis" bersama-sama. Hahaha....

Bersambung...




Linimasa

Linimasa, terdengar apik istilah terjemahan dari bahasa Inggris "timeline" ini. Linimasa di twitter sangat membantu kita, untuk merekam perjalanan kita kemarin-kemarin bagi yang tidak telaten menulis di diary atau buku agenda tahunan.

Dengan linimasa aku bisa mengetahui hari perhari progress apa yang sudah aku buat, minimal satu, aku coba untuk menuliskannya sedari awal Syawal dulu. semoga istiqomah, dan menjadi catatan perjalanan usia yang indah

9/22/11

Banyak Ide, Satu-Satu

Kalau ditanya ide bisnis, wah, banyak.. ya tapi untuk merealisasikannya itu, membutuhkan ke-SATU-an, enggak boleh setengah-setengah. Apa saja ide-ide itu?

1. Sekolah Non Formal Perbankan Syariah
 
2. Warung Omelet

3. Budidaya Jamur

4. Mister Mendoan

5. Gerai Merchandise

6. Meeting Room Mahasiswa

7. Wahana Wisata Permainan Tradisional

8. Cyber Shop

9. Laundry

10. Sekolah Desain

11. Playgroup

12. Bus Magazine

13. Budidaya Jagung

14. Rumah Ngeprint

15. Reparasi Komputer

16. Seminar Anak

17. Salon

18. Weding Organizer

19. Cluster

20. Kampus Swasta










9/20/11

PNS = Rakyat yang Digaji

Saya berharap Indonesia suatu saat nanti bisa tidak pilah-pilih lagi dalam memberikan gaji bagi rakyatnya. Sekarang kan hanya yang punya NIP yang digaji dan dapat pensiunan, tetapi nantinya, semua yang punya Nomer Kependudukan Indonesia mendapat gaji minimal ya setara gaji pokok PNS saat ini.

Loh iya, sekarang PNS itu digaji apa karena kinerjanya? Bukan, tapi karena dia lolos seleksi, itu saja kan? Perkara kerjanya :
1. santai-santai
2. cuma makan pisang goreng sambil nonton gosip
3. memalak rakyat dengan dalih peraturan ini itu

tetap saja mereka digaji.

Negara sekarang baru menyanggupi pengalokasian dana 67% sekitaran untuk menggaji rakyat-rakyatnya yang sudah punya NIP. Ini sudah prestasi bagus sekali, betapa peduli negara ini pada rakyatnya.

Untuk rakyat-rakyat yang belum dapat gaji gratisan dari negara, sabar saja, sekolah yang tinggi ya, dapatkan ijazah, kalau ada latihan psikotes ikut, kalau ada CPNS ndaftar, kalau ada pejabat negara yang menawari mau jadi wasilah, bayar saja berapapun, nanti juga keterima dan masuk seleksi, dapat deh gaji dari negara.

Soal kapabilitas anda dalam bekerja? tidak penting itu. tidak ditanyakan juga. tenang saja, negara tidak menagih itu.

9/13/11

Malas Itu

Obrolan kemarin magrib, bahwa, males (males nulis, misalnya) itu nggak ada hubungannya dengan laptop (ada atau enggak ada laptop).

Kita saja yang sudah terdehumanisasi, syaraf2 kita sudah dimatikan karena sudah membiasakan diri menggantikan perannya dengan teknologi, walhasil, nulis tangan = males banget.

Orang seperti Pak Bejo, guru gendinganku justru lebih sadar akan bahaya pematian syaraf macam ini. Makanya, walau dalam setiap bilahan sharon sudah ada angka penada urutan notasi. Dalam setiap menyusunnya Pak Bejo selalu menuthuknya dengan didekatkan telinga. Agar syaraf kepekaan telinganya terhadap nada-nada tidak pernah dimatikan oleh kemajuan teknologi spidol yang bisa mengguratkan angka-angka di bilahan-bilahan alat musik kebanggaan Jawa berkualitas dunia itu.

Waspadai pembunuhan syaraf berkedok dehumanisasi.


9/11/11

Laki-Laki Harus Bekerja

Aku setuju, laki-laki yang enggak bekerja itu hilang harga dirinya.

Tapi konteks kerja jangan dipersempit, jangan mentang-mentang ini zaman kapitalisme, dimana kalau seseorang belum mendapatkan kepastian rezeki dari Kapitalisme yang maha esa dalam bentuk kartu pegawai maka disebut belum bekerja.

Bekerja itu ya melakukan pekerjaan. Imbalannya adalah sebagian kecil keuntungan yang didapatkan oleh orang yang menerima manfaat dari hasil pekerjaan kita. Bisa jadi imbalan itu berupa uang, tapi bisa jadi juga bukan.

Begitu ya? Kalau laki-laki nganggur-ngangguran, ada cangkul nggak dipakai, ada printer nggak dimanfaatkan, ada pasar tidak didatangi, baru sok ejek saja orang macam itu. Suruh minum Extra Joss biar laki!

Ngomong-ngomong soal pasar. Dulu, Abdurrahman bin Auf salah seorang milyuner yang dapat jaminan surga ketika ditawari ladang (sumber daya produksi) dan istri oleh orang Anshor tidak mau. Dia malah cuma minta ditunjukkan ke pasar.

Andai nih Abdurrahman bin Auf hidup saat ini. Apa pertanyaan dia ya? Minta ditunjukkan jalan ke Pasar Sokaraja? Minta ditunjukkan (dengan pelatihan) bagaimana masuk ke Pasar Modal (Bursa Efek), atau minta ditelponkan taksi untuk ke Pasar Malam di Lapangan Grendeng?

Jangan bayangkan pasar hanya seperti Pasar Manis, Wage atau Pahing saja Men!!! Luas donk... katanya Hambanya Allah Al Wasi'

Bulan Syawal Ini

Syawal ini adalah Syawal keenam kalau dihitung sejak tahun 2006. Belum menikah juga. Ya sudah, manusia kan hanya berencana, Tuhan yang menentukan. Dalih paling ampuh. Haha...

Jadwal hari ini selain menyelesaikan lemburan kerjaan adalah kondangan, meeting dengan Hilmy & Azis, Silaturahim ke Pak Rasdi salah satu mitra bisnisku dan mas Reza alias Amet yang baru saja pulang umroh full Ramadhan. Manteb!!!

Syawal ini sudah ngapain aja ya aku?

H-2
Mudik dari Jogja. Aku punya tradisi mudik sendiri, dan enggak mau ikut2an para korban kapitalisme global, yang terpaksa harus mudik umpel2an dari tempat kerjaan mereka. Kalau aku mudiknya bukan dari tempat kerja, tapi dari tempat cuti. Haha..

H-1
Karena aku lebaran berdasarkan rukyatul hilal, yang kebetulan sama dengan versinya pemerintah juga versinya NU, jadi H-1 mbah, bude, pakde dan beberapa keponakan sudah pada Idul Fitri. Jadilah ramai rumahku oleh pesta keluarga. Menarik sekali keramaian hari itu, yang makan tetep makan, yang enggak makan tetep enggak makan. Bukti toleransi interumatberagama yang begitu bagus bwt dicontoh.

Hari H, atau 1 Syawal
Sholat Ied, keliling-keliling silaturahim, dan silaturaim bersama warga RT sebagaimana tradisi tahunan ditempatku

2 Syawal, atau 1 September
Silaturahim keluarga besar Mbah Kakung (Alm) Pawijaya, wangsa terbesar yang menghuni desaku sejak masih hutan belantara dulu mungkin...

Silaturahim ke Pondok Pesantren Bogangin, ketemu Pak Yai nya disana dan dapat banyak cerita dari santrinya.

2 September
Reuni SMP di rumah Vera. Ketemu lagi dengan Kocaknya Nurcahyaningsih, Lugunya Izar, Medhoknya Indah Puspita, Suburnya Bimbim, Gaya Khasya Jumargo, Hebohnya Luqman dan banyak lagi lainnya... Nyesel mah yang nggak datang


3 September
Kondangan nggone Eny Haryanti, teman 1F Spensaba dulu.

Meeting Project di Alun-Alun with Hilmy & Azis.

With Hilmy silaturahim nggone Igi. Teman sebangku dia di 1F yang sekarang jadi dosen di UGM dan lagi tugas belajar di Jepang. Denganku juga sering sebangku, tapi lebih banyak berinteraksi kita pas kelas 2, sama-sama di OSIS dan penyuka teknologi dulu. *udah hebat aja diaku-aku temen akrab, haha

4 September
Fullday with my little sister & para keponakan. Momong, jadi sopir.

5 September
Masuk kerja. Kerja dimana? Ya dimana lagi kalau nggak di SPC, perusahaan yang aku bangun dari jual HP 250.000 terus dapat pemodal dan terus sampai sekarang sudah tahun ke-6. Tumpukan kerjaan dimulai dengan openhouse L22.

6 September
Ke Jogja, nambah alat buat cetak-cetak. Doglos tok disana. Menikmati perjalanan dengan Efisiensi dan pulangnya naik Teguh Muda.

7 September
Kunjungan ke Outlet Campina nya Rhea yang baru di Depo Bay. Maknyus es krimnya, ambil sendiri si...

8 September
Meeting project with Hilmy di Nasgor Brigjen Encung setelah kuliah informal 2 sesi. Sesi 1 dengan Pak Noor (Pengusaha Gorden sukses), dan Sesi 2 dengan Pak Gusti (Pengusaha Batubara)


9 September
Kuliah informal lagi, tapi cuma 1 sesi. Narasumbernya Pak Fery Hasto (Pengusaha e-book & kuliner online).


10 September
Memenuhi undangan Telkom, ikut pelatihan di Semarang. Dari dulu naik Nusantara terus si, baru ini mencicipi 'yang katanya enak', Cipaganti.

Hari ini semestinya ada permintaan ngisi training di Kampusku, tapi kok nggak ada follow up, konfirmasi, cancelletionpun tidak. Ah, mungkin prosedur kampus memang begitu, orang-orang di kampusku kan sangat taat prosedur.

Dan sampailah di hari ke-11 ini. Hari dimana konspirasi dunia bernama Pengeboman WTC sudah diperingati untuk tahun ke-10.

9/9/11

Jogjanya Nyaman!

Pulang mudik lebaran ke rumah kemarin aku diinfoi oleh teman-teman disana tentang akan berakhirnya kepengurusan Karang Taruna desa. Entah maksudnya apa, mungkin agar aku mau ikut cawe-cawe. Ya, sebagai pemuda memang harus ada lah hasil nyata yang ditorehkan, dan tentu saja harus ada juga pemudi yang ditaklukan. Haha

Kalau di Jogja ada Joger, di Bali ada Dagadu (eh kebalik), di Aceh ada Piyoh, di Bandung ada Mahanagari. Ya di Banyumas ini kalau bukan kita, siapa si yang lebih pantas?


Belajar kreatif untuk bisa sekreatif ini... Jagonya Ayam bisa-bisanya jadi Jogjanya Nyaman! Pak Kolonel Sanders bisa2nya pake Blangkon... keren euy.


9 September 2011
08.00
L22

Lalai dengan Sholatnya

Orang yang Sholat itu celaka. Siapa? Yaitu mereka yang lalai dengan sholatnya. Hm, lalai dengan sholatnya itu bagaimana si?

Dalam dimensi hukum, yang lalai ya yang sholat Ashar di waktu Dzuhur. Dalam dimensi iman, ya mereka  (termasuk aku) yang ketika masuk waktu sholat tetap mantengin laptop, bukannya berbegas ke masjid.

Lalu dalam dimensi ihsan? Ya (menurutku nih), orang yang terlalu saklek sama tuntunan, sampai-sampai tidak memikirkan impact dari sholatnya itu. Sampai-sampai merubah tuntunan yang sejatinya Sunnah Rasul, jadi Wajib Rasul. Saking sakleknya, tuntunan nomor satu, yang lainnya di delete.

Dulu aku menyebutnya sebagai kalangan Islam fundamental, sekarang aku lebih merasa nyaman menyebutnya Islam paranoid. Paranoid pada prosedur (tuntunan), lalai pada (dampak) sholat itu sendiri.

9/8/11

Dr. Ir. M.Sc.Agr

Titel berjubel, itu impianku sewaktu SMP dulu. Sama seperti titelnya Pa Ahmad Sodiq, orang yang pernah aku main ke rumahnya di daerah pasir mengobrol soal kambing, dan kini sudah menjadi Dekan salah satu Fakultas di salah satu Universitas Negeri di Indonesia dengan titel ya seperti di judul postingan itu.

Impianku tiba-tiba bergeser sedari pertengahan tingkat semasa SMA, dan benar-benar berbalik di tahun pertamaku kuliah. Bukan karena tidak mampu aku rasa, prestasi akademis bukan hal yang susah-susah amat buatku, kalau aku mau. Tapi, karena waktu itu aku dapat iming-iming, jadi pengusaha itu lebih enak dan gampang loh.

Enak dan gampang. Tidak banyak yang tergiur dengan iming-iming itu diantara teman-temanku. Tapi, aku termasuk yang tergiur diantara yang sedikit itu. Dan seiring dengan perjalanan waktu, enak iya, tapi gampang ternyata enggak.

Memang musuh kemiskinan adalah ke-sregep-an. Atau musuh kekayaan adalah kemalasan. Di Jepang, ada jutaan orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah tersangkut masalah kekurangan ekonomi, karena apa? Karena di kamus hidup orang-orang itu tidak ada kata MALAS.Di Indonesia, persoalan ekonomi menjadi masalah yang begitu luas, karena apa? Karena malas ada dimana-mana.

Termasuk dalam diriku. Menjadi pengusaha jadinya susah karena aku masih punya sifat, bahkan mungkin tabiat, atau watak bahkan karakter malas.

Maka, iming-iming jadi pengusaha itu enak dan gampang jika dan hanya jika syarat-syaratnya memenuhi, diantara syarat utamanya adalah men-DELETE malas.

Rasanya berat, kalau harus menyusul perburuan titel seperti Pak Ahmad Sodiq dan teman-temanku yang sudah semakin panjang gelarnya saat ini. Ya sudah, aku coba konsisten di jalan yang sudah kadung aku pilih ini dengan senang hati. Tanpa gelar, bukan berarti dunia akan berakhir. Tanpa malas, kegampangan akan menghampiri. Tanpa malas, aku bisa setaraf dengan mereka yang bergelar-gelar panjang.

Dunia ini cukup adil bagi orang-orang yang tidak menempuh jalur akademis dengan brilian, karena dunia tidak berpihak kepada orang-orang yang bersertifikat, tetapi kepada orang-orang yang mencintai ilmu.

Staf Ahli Mahasiswa

Dengan bayaran kampus 4 juta per semester misalnya, sebetulnya seorang mahasiswa bisa mengangkat satu orang staf ahli. Ya, digaji 600.000 lah untuk mengurus seluruh keperluan administrasi selama semester itu.

Lho, buat apa staf ahli? Tugas staf ahli adalah mengurus kuitansi keuangan, minta tanda tangan ke kurikulum, mengurus berkas-berkas di Bapendik, mencatat jadwal ujian dan banyak lagi tugas-tugas lainnya.

Mengapa staf ahli diperlukan? Staf ahli diperlukan karena dengan bayaran yang demikian mahal di kampus-kampus jaman sekarang, mahasiswa masih disarah-suruh seperti 'babu' seenaknya sendiri. Minta surat keterangan suruh minta tanda tangan dan cap sendiri, padahal itu kan bagian dari pelayanan. Untuk pengesahan KRS harus begini begitu prosedurnya, belum kalau mau skripsi dan mengurus kelulusan, diperbabu betul-betul itu. Dan anehnya mahasiswa mau-mau saja tidak protes. Itu satu bukti doktrinasi kampus sebagai sebuah agama baru berhasil ditanamkan dengan gilang gemilang.

Kampus itu kan perusahaan, ya melakukan promosi dengan bikin billboard besar. Melakukan branding yang namanya akreditasi. Ada manajerial keuangan, ini tahun ini biaya naik berapa, operasional berapa, gaji karyawan berapa, untung berapa, untuk pemegang saham (Yayasan) berapa. Dan sebagainya.

Jadi sebuah pembodohan kalau sebuah perusahaan kok menyuruh-nyuruh begitu klien2nya. Tidak ada kan pengacara yang memperbabu kliennya?

Perusahaan tanpa misi pelayanan akan collaps. Enggak percaya? Tunggu saja...


6:20
8 September 2011
L22


9/7/11

Tips Batere Laptop Awet

Kadang bakul laptop saja tidak bisa menjelaskan bagaimana laptop agar baterenya awet. Mana sekarang garansi cuma 3 bulan untuk batere dan charger. Beruntung aku dulu, garansi masih setahun, pas 11 bulan ndilalah batere ngedrop, ya sudah deh aku tukar. Sekarang, bulan ke 11 ngedrop ya batere harus beli

Sederhana saja si tipsnya, boleh percaya boleh tidak. Begini, kalau kondisi batere di atas 85%, boleh sambil di charge, tidak masalah. Tapi kalau batere di bawah 85% remaining, mending dimatikan dulu kalau mau di charge, kondisi seperti ini kalau sambil di charge, batere jadi cepat sowak.

Begitu saja, silahkan dicoba, ewondene nanti pas mencoba gagal, ya tidak apa-apa.. namanya kan mencoba. Tapi setidaknya itu lebih ramah penggunaan, daripada charge nyolok terus tetapi batere dilepas. Kasihan laptopnya kena arus liar PLN, kasihan juga chargernya panas...



Kejar-Kejaran Kaki

Bisa-bisa diancam pasal pelanggaran Hak Azasi Manusia loh tindakan mengejar-ngejar kaki orang disebelah kita saat sholat berjamaah. Loh iya, Hak Azasi untuk khusyuk beribadah kan jadi terganggu karena pikiran orang tertuju pada kakinya yang was-was terinjak, jarak rentang kedua kaki yang tidak nyaman karena sempit dan tidak punya kesempatan melebar lagi, sudah dipentok si. Dan sebagainya.

Itulah gambaran dampak negatif dari seorang manusia prosedural. Di lain kesempatan aku ingin posting lebih banyak tentang manusia prosedural di berbagai aspek kehidupan, tapi untuk starting ya di ibadah paling substansi buat kita ini, sholat.

Imam yang baik tentu meneruskan tuntunan Rasul SAW untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Tapi jamaah yang pemikirannya hanya sebatas prosedur, tidak sampai ke fungsi, tindakan mengejar-ngejar kaki jamaah sebelahnya bahkan kadang sampai sedikit menginjakpun dilakukan.

Padahal yang dirapatkan itu bahu, agar sebisa mungkin meminimalisir celah antar bahu. Bukan kaki. Begitu kira-kira penjelasan Ustadz Syakir, seorang peneliti hadits2 tentang sholat dari UMY (Universitas Mana Ya..?he) kemarin.

Sederhana saja, jangan atas nama prosedur, kita membuat tidak nyaman orang sebelah kita. Jalankanlah tuntunan/peraturan/manual book/panduan atau apapun istilahnya dengan cinta, bukan kekakuan 'akhlak prosedural'.

9/6/11

Paradoks Dua Juta

Sebelum puasa, aplikasiku dan Hilmy lolos di RES di Bali. Kampus hanya memberi sangu sepertiga dari yang kita ajukan, 500.000 rupiah. Sudah sudah sudah, jangan dinalar, karena memang nominal segitu tidak akan ketemu nalar dengan logika apapun juga. 500.000 bisa 2 orang sampai ke Bali?

Tapi itu tidak jadi soal, kita memang tidak menuntut banyak dari Kampus kok,. dan kampuspun sedemikian sebaliknya, cukup menyadari ketidaknalaran nominal itu, sehingga cukup uang itu cair, sampai saat ini selembar kuitansipun tidak ada yang kita tandatangani.

Eventpun selesai, selang beberapa lama, ada kabar dari Pemkab, dana sponsorship turun, 2.000.000 besarnya dan bisa diambil di Bapernas. Singkat cerita uang itu sudah dicairkan dan sudah ada di kampus. Kitapun bergegas ke kampus mengambil uang itu.

Entahlah, beda nominal, beda pula nalarnya mungkin, kali ini tiba-tiba kita dimintai nota perjalanan, sampai nota beli es teh di warteg. "Ini sudah prosedurnya mas!", gitu kata orang Kampus yang disebut dosen.

Paradoks, sewaktu cuma 500.000 enggak ada prosedur ini, eh tiba-tiba nambah 2 juta, tiba-tiba prosedur muncul, harus menyetorkan nota dan laporan keuangan... apa-apaan....!!!!!!!!!!!!!. Oh, seandainya prosedur adalah sesosok manusia, pasti mas dan mba prosedur sudah bunuh diri seringkali dijadikan kambing hitam, oleh orang-orang yang berilmu, berjabatan.


Lho, mbok bilang dari dulu, jadi sepanjang perjalanan, BUKAN MENDADAK BEGINI, apa memang niatnya mempersulit? Akhirnya Hilmy ngecek ke Bapernas, syarat laporan keuangan tidak ada, cuma minta agenda dan makalah kegiatan saja copiannya diantarkan.

Aku tidak mau neka-neko lah, sudah sangat hafal di negeri ini bagaimana dana bantuan jadi bancakan, sehingga tak pernah sampai ke subyek yang seharusnya menerimanya. Ya sudah, kita sepakat untuk tidak mengambilnya. kecuali 2 juta itu utuh, dan tanpa ditodong laporan keuangan.






9/5/11

September Serius

Mendengar kisah perjumpaan dengan sang Jodohnya Andres, juga Igi.. membuatku ngilu macam makan mangga mentah atau pakel pakai sambel lutis. heumh, sesimpel itulah, semudah itulah, bagi orang yang memang istilahnya sahabat baikku "enggak neka-neko".

Setelah lama nggak posting, karena terlalu asyik dengan dunia nyataku setengah bulan terakhir, maka pagi ini aku tertarik untuk mempost tema di atas. Hm, apa si arti enggak neka-neko itu? Banyak tafsirnya tentunya, tapi satu saja, dalam intepretasiku, orang macam Andres, juga Igi, yang dikejar-kejar banyak perusahaan dengan tawaran gaji dua digit itu dan mereka enggak sembarangan menerima adalah, mereka adalah orang-orang yang serius menjalani kehidupannya.

Lepas dari apapun expertise mereka, seperti apapun idealisme mereka, mereka adalah orang yang bersungguh-sungguh. Maka pantaslah kalau Allah kasih mereka kemudahan, salah satunya dalam persoalan jodoh. Karena, seperti kata Pa Ustadz, kalau sungguh-sungguh dipadukan dengan hati-hati maka itulah komponen taqwa.

September, Serius!