12/29/10

Januari

Januari, buru-buru sekali kamu datang. Saya belum beli time planner. Saya belum bayar utang ini dan itu. Saya belum siapkan plan. Saya belum rampungkan ini dan itu. Saya belum dapatkan calon tetap. Saya belum cukupkan uang di rekening untuk berpetualang bersamamu dengan lebih seru. Saya belum... belum... banyak sekali yang belum.

Jujur, aku ingin lari. Aku belum siap kau hampiri. Atau adakah cara agar aku siap di sisa 2 hari ini? Orang Dhzolim ini menunggu Qudrah-Mu ya Rabb.

Nyaris sama dengan Tidak

Alhamdulillah masuk finalis kompetisi menulis di Kompasiana, ada di urutan kedua. Persis dibawah peringkat pertama, peringkat yang dapat Blackberry Gemini. Nyaris...

Jadi ingat dulu pas SMP, 10 lulusan terbaik Spensaba dijajar dengan begitu membanggakan di upacara pelepasan, urutannya Igi, Latifa, Fahmi Nurhuda, Riky, Putra, Izar, Giri, Hilmy dan agak kurang hafal kesemuanya. Peringkat 1, 2 dan 3 ada amplop di dalam map penghargaannya, tapi mulai juara keempat sampai ke 10, hanya sertifikat saja. Dan saya ada di urutan ke-4. Nyaris 3.

Berhubung buru-buru sudah ditunggu mau ke Semarang, maka belasan nyaris lainnya tidak sempat saya tuliskan kali ini. Tentang nembak cewe, tentang jualan cari untung dan tentang tentang lainnya. Walau nyaris itu dekat sekali, selisihnya cuma satu level saja, tapi tetaplah, Nyaris sama dengan Tidak.

Semoga note pendek ini bisa dikunyah dan diserap manfaatnya.

Surat untuk Firman Utina

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata "bisa" belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!

Copas dari Sumber dengan Judul yang Sama di sini.

Selamat berfinal dengan ksatria, kalah menang yang penting mainnya gembira.

12/23/10

Adakah Hasrat

Dari seorang sahabat Kompasianers, menyebutkan, bahwa penanda pokok entrepeneurship adalah adanya dua hasrat,

1. Hasrat untuk membuat perubahan
2. Hasrat untuk membuat peningkatan

Sekalipun Anda memegang bisnis, tapi tidak punya hasrat untuk berubah, untuk meningkat, Anda tidak memiliki kandungan kebaikan entrepeneurship. Begitupun, seandainya Anda berbisnis dan tersaingi oleh orang yang dia tidak memiliki hasrat untuk berubah dan meningkat sehebat hasrat Anda, maka tidak perlu Anda cemaskan apa-apa.

Berlaku pula di sekolahan, sekalipun mata pelajaran entrepeneurship diberikan setiap minggu, kalau diantara materinya tidak mengandung dua hasrat itu, maka hanya entrepeneurship kosong yang diajarkan. Sebaliknya, kalau Anda seorang pegawai, tapi memiliki hasrat untuk mengubah dan meningkatkan, seperti CEO Blue Bird, seperti CEO Wika, maka Anda adalah seorang yang mengantongi kebaikan entrepeneurship walau Anda tidak berhak disandangi panggilan seorang entrepeneur.

Pun begitu bilan Anda seorang seniman, budayawan, relawan hingga perawan, chek coba, ada tidak hasrat membuat perubahan dan membuat peningkatan.

12/22/10

Belajarlah sampai ke negerinya Pak Miming

Itu Hadits, bahwa kita diperintahkan menuntut ilmu sampai ke negeri China. untuk apa? tentu untuk belajar dengan orang-orang China. Hm, itu yang jadi pertanyaan saya, berarti ikut EU, mendengarkan ilmu dari Kokoh Miming, apakah itu termasuk menjalankan Sunnah Nabi?

Menurut saya, kita terlalu suka mengcluster-cluster. Ini ilmu agama, ini ilmu bukan. Ini ngaji, ini pelatihan biasa, seolah-olah makin banyak vocab arabnya, makin besar pahalanya. Belajar ke orang China, itu juga dituntunkan loh. Jadi menurut saya lagi, tidak tepat kalau belajar kok pilih-pilih ustadz. Kalau saringan hati dan akal sehat kita baik, mau dari ustadz beda pemahaman, dari yang bukan ustadz, bahkan dari orang China, juga kita bisa belajar.

Lah, ke China saja kita dipertuntunkan. Apalagi cuma ke Jogja? Tentu saja, kalau di masjid kita aturan jelas, hijab harus setinggi ini, ketawa maksimal selebar ini, nah kalau kita belajarnya di China, apa ya kaidah belajar di masjid kita masih bisa diterapkan? Disitulah, ternyata kita dituntut untuk memiliki kecerdasan untuk bisa belajar dari mana saja.

Gamam

SKS yang sedang saya geluti itu ini. Itu ini? bukan ini itu? Aah... Jadi, tuh belakangan, sekitar sebulanan ini yang sedang berseliweran adalah pikiran-pikiran semacam gini : ada orang yang kepengin punya penghasilan, tapi saya beri jalan bisnis, ogah dilakuin. Orang lainnya lagi, mau menikah, mumet mikir duitnya. Orang lainnya lagi, naik kereta ekonomi ke Jakarta karena takut telat, bimbang terusin itu kereta atau pindah argo. Orang lainnya lagi, mau beli emas pakai nanya baiknya kapan dan dimana sampai sebegitunya, enggak nanya hari baik beli emas sekalian, gitu pikir saya?

Jawabannya didapat dari dua orang, dan jawaban kedua saya baru dapat dari Mr. Miming barusan... barusan san. Jan, masih anget ini ilmu, hehe. Jawaban pertama diriwayatkan oleh sahabat Kusworo bahwa Mario Teguh berkata yang intinya begini, sesungguhnya kesulitan adalah pengalih yang baik atas perhatian pikiran kita terhadap hal-hal yang tidak perlu.

Loh iya. Bayangkan Anda belum punya calon, apa mikir itu biaya pernikahan? Bayangkan Anda harus jualan cendol dan enggak punya waktu ke Jakarta, apa ada kebimbangan tetap ekonomi atau ganti argo. Haha, semua contoh yang disebutkan di paragraf di atas tidaklah jelek, buat saya mah menarik, jadi bahan berfikir saya... (kalau tafakur mungkin ketinggian).

Jawaban kedua, yang Pak Miming bilang di pembukaan kelas EU tadi, intinya begini, kalau di malam pertama melakukan gituan, apa pada saat melakukan mikir itu nanti punya duit enggak buat melahirkan dan seterusnya? Haha, dipikir enggak dipikir tetap aja dituntaskan itu aktivitas. Silahkan renungkan sendiri maknanya. Kata Caknun, jangan jadi generasi kempong (ompong), yang tidak pernah membiasakan diri mengunyah sesuatu, jadinya ompong beneran akan ilmu-ilmu yang masuk.

Satu fakta yang menguatkan adalah kisah Ibu Eka, istrinya yang punya Jatramas Purwokerto. Bisa dia punya kost-kostan, juga punya mobil derek. Terngiang betul apa yang dia bilang tadi "Ini saya buat stiker seperti ini untuk promosi, dan saya tempel di sepanjang pantura, saya tempel di SEMUA polsek, lantas dari Cirebon sampai Jogja. Dahsyat....

Bu eka betul-betul.... bukan begja dia, tapi hebat menurut saya. Dia tidak berbuat sesuatu dengan gamam. Arep ngene aras-arasen, arep ngono, amang-amangen, walhasil untung kecil, dan enggak maju-maju. Okey, selamat merenung, awalilah renungan dengan kegamaman kita. Bahwa selama ini ternyata sebagian besar ketakutan kita adalah kepada hal-hal yang tidak perlu. Takut dia jengkel, padahal kalau dia jengkel impact terburuknya apa? Takut salah memilih kereta, padahal resiko ternaas kalau salah memilih apa? Takut tidak ada biaya, trus kalau tidak ada biaya pahit-pahitnya kenapa?

Ya, butuh waktu. Butuh waktu untuk meminimalisir gamam-gamam kita itu, untuk lebih logis lagi kalau mau takut, dan mendelete habis ketakutan-ketakutan pada hal-hal yang impact terburuknya saja sebetulnya enteng bagi kita, resiko ya tarubnya yang murahan, resiko ya tidak ikut membaca Basmalah pada MC konser, resiko ya harga emas selisih 7.000 dari yang termurah di kota itu, sapiturute...

Sayang, Desember ini sudah tidak bisa dipakaii nama lain selain grebeg. Bukan karena bertepatan dengan bulan Suro yang dimana-mana sedekah bumi dan sedekah laut. Tapi memang karena ini adalah bulan dimana ya harus grebegan. Jadi bulan yang saya namai Pembebasan, baru bulan berikutnya. Bebas dari rasa gamam.

Oh ya, untuk contoh2 ilustrasi kasusnya, jangan dipermasalahkan peristiwanya, ambil inspirasinya saja. Wong itu memang bukan masalah kok, itu kejadian2 yang menarik, kalau menurut saya.

Jakarta, Lebih Baik Tidak

Besok dijadwal berangkat ke Jakarta, haduuuh... dari seminggu yang lalu membayangkan, sudah ilfeel sendiri. Entahlah, padahal Jakarta tidak menyeberang laut acan, tapi rasa-rasanya kok ada di ujung dunia sana ya jauhnya. Terbayang kerasnya kota itu, cadas, panas, riweh, tegang, streng dan segudang imajinasi buruk lainnya. Seandainya tidak karena terpaksa, jujur, mending memilih enggak usah kesana deh.

Mending ke Bandung... Surabaya... bolehlah naik dengan percuma. Senaang, kalau mau ada rencana keberangkatan ke kota-kota besar itu, selain Jakarta pokoknya. Yah, jadi bisa membayangkan bagaimana kecutnya reaksi kawan saya, si Andriyanto, ketika penempatan STAN yang dia gadang-gadang, eh dapatnya Jakarta.

Sekali lagi, kalau tidak karena terpaksa, mending saya enggak ke Jakarta deh. Atau bahasa yang lebih santun : Hanya ke Jakarta untuk urusan yang benar-benar penting.

Menulis untuk Apa

Kemarin posting di Kompasiana, besoknya ada yang comment. Begini bunyi commentnya "Sederhana tapi mencerahkan. Semoga tujuan tulisan ini tercapai." (M.A.H.), sengaja tidak saya tautkan link nya, monggo boleh dicari-cari sendiri.

Haha, orang Jawa bilang kecele mungkin. Alias ketahuan itu tulisan memang saya posting dengan tujuan untuk dapat hadiah kompetisi. Hehe, jadi malu sendiri...

Terima kasih untuk Pak M.A.H, karena comment Anda itu, membuat saya menyempatkan memposting sesuatu yang ingin saya posting kira-kira setengah bulanan yang lalu, ya, tentang tujuan menulislah kira-kira.

Sebenaranya apa si tujuan sebuah tulisan itu ditulis? Pertanyaan ini saya haturkan dengan penuh hormat sembah sungkem, kepada diri saya yang selalu ingin dihormati ini. Hm, semua berevolusi, dulu saya menulis tentang kehebatan entrepeneurship, bahwa jalan entrepeneurship itu lebih hebat ketimbang jalan menjadi pegawai.

Apa pentingnya menulis itu? Pentingnya adalah agar saya diakui hebat, pada jalan entrepeneurship yang saya ungkap-ungkap itu lebih hebat dari jalan lainnya. Analogi sedernahanya, Anda membanding-bandingkan antara Bus Rosalia Indah ketimbang Kereta Api Bogowonto, menyebut-nyebut Rosalia Indah lebih hebat karena Anda menaikinya, dan ingin dicap lebih hebat juga. Haha, sepertinya analoginya kurang tepat. Tapi saya yakin Anda mudheng dengan maksud saya.

Lalu, tulisan sayapun berevolusi, bukan lagi mengunggul-unggulkan entrepeneurship.... wah, kemajuan nih. begitu mungkin pikir para pegawai. Wah, tapi apa iya itu sebuah kemajuan? Kalau ternyata dibalik itu niatnya sama, agar dianggap hebat, karena tidak lagi mengunggul-unggulkan golongannya?

Terus berevolusi lagi, jadilah tulisan ini? Apakah sebuah kemajuan? Mananya yang kemajuan kalau niat memposting ini juga agar dicap hebat, tidak diprasangkai memiliki pikiran seperti yang digambarkan di paragraf di atas.

Haha, jadi ingat kata Aa Gym, ceramah tentang ujub, agar terlihat dia tidak ujub, itu juga bisa jadi ujub... hallooh... jadi bingung sendiri, huehe

12/20/10

Membedakan Biaya dan Bunga

Bukan hanya pegadaian, pemerintah saat ini telah mengijinkan pelaku bisnis perbankan untuk melayani kebutuhan gadai masyarakat. Namun tidak semua jenis gadai barang, hanya gadai emas saja. Juga tidak semua bank diijinkan memberikan pelayanan gadai ini, terbatas untuk Bank Syariah saja.

Dalam menggadaikan emas ke Bank Syariah, kita akan dikenai dua komponen biaya, pertama adalah biaya administrasi dan kedua adalah ijaroh atau biaya titip. Dulu saya ragu dan berasumsi, “Loh, ini kok ada biayanya, apa biaya ini termasuk bunga?”

Setelah saya mempelajari lebih lanjut, akhirnya saya bisa mengidentifikasi perbedaan antara bunga dan biaya bukan bunga. Kalau Anda menggadaikan barang di pegadaian konvensional, maka Anda akan mendapatkan sejumlah uang yang didapat dari hasil taksiran nilai barang itu. Selama uang itu belum ada kembalikan, maka Anda akan dikenai biaya sekian persen mengacu pada besar uang milik pegadaian yang Anda bawa.

Sedangkan di Bank Syariah, uang hasil gadai Anda berapapun itu besarnya tidaklah dikenai bunga. Loh, tidak ada bunga tapi kok tetap ada biaya? Analoginya begini, Anda meminjam sejumlah uang ke tetangga Anda, kemudian sebagai pengiket, Anda menitipkan barang berharga yang Anda punya ke si pemberi pinjaman, misalnya barang berharga itu adalah sebuah mobil.

Nah, selama mobil itu dijadikan pengiket, otomatis mobil terparkir di rumah si pemberi pinjaman. Karena takut mobil hilang, selama ada mobil disitu, si pemberi pinjaman menyewa seorang satpam yang dibayar harian. Nah, kira-kira seperti itulah pengenaan biaya titip pada akad gadai di Bank Syariah. Biaya ditarik untuk menghonori instrumen pengamanan yang harus disediakan oleh Bank Syariah dalam menyimpan emas Anda.

Jadi jelaslah bedanya biaya dan bunga. Kalau bunga merupakan representasi dari uang yang kita bawa. Kalau biaya titip merupakan representasi dari barang yang kita titipkan di Bank Syariah.

Republik Indonesia Syariah

Akhirnya saya kembali membuat rekening di Bank Tidak Syariah (Baca : Bank Konvensional) karena saya kecewa dengan praktek pelayanan Bank Syariah sebagaimana pertama kali saya membuat rekening dulu.

Dulu saya tertarik membuat rekening di Bank Syariah karena tidak ada biaya bulanan. Dalilnya jelas kata mereka, tidak ada transaksi uang di atas uang. Lah, seiring dengan berjalannya waktu, ketika umur rekening saya sudah menginjak tahun ke-empat kok sekarang ada biaya administari bulanannya?

Satu Bank Syariah menawarkan biaya bulanan 6.000/bulan, dan Bank lainnya menawarkan 7.500/bulan. “Loh, apa-apaan ini, Bank besar di ujung perempatan sana saja cuma 9.000/bulan dan bank satunya lagi 10.000/bulan”, masa beda tipis nominalnya sama mereka yang tidak syariah si, begitu pikir saya.

Mungkin Bank Syariah akan berdalih, “Loh itu kan biaya administrasi Mas, Bank kan perlu ongkos operasional”. Pertanyaannya, lalu apa bedanya dengan fasilitas perbankan konvensional, misalnya kartu kredit. Kartu kredit juga kalau membayarnya tepat waktu, pada masa bebas bunga, nasabah tidak dikenai bunga. Nasabah hanya dikenai biaya belanja sekitar 2% sebagai biaya administrasi.

Inilah bedanya Bank Syariah dan Bank Bukan Syariah, Bank Syariah mengatakan dengan ketinggian hati bahwa ini biaya adminstrasi, bukan bunga. Sementara Bank Konvensional dalam mengenakan biaya kepada nasabah pada saat belanja menggunakan kartu kredit dengan istilah bunga, padahal itu hanyalah biaya operasional.

Ibaratnya, si A pacaran dengan si B mengatakan “Sayang aku mencintaimu, sungguh, cup cup muah…”, sementara si C taarufan dengan si D mengatakan”Ukhti, sungguh aku mencintaimu karena Allah”.

Praktek lainnya lagi adalah soal pembiayaan yang dilakukan oleh Bank yang dinamai orang sebagai kredit. Bank Syariah menunjukkan kesyariahannya dengan pembangunan terminologi kredit seperti ini : Nasabah mau beli apa, misalnya mau beli mobil. Maka mobil itu akan dibeli dulu oleh Bank Syariah tersebut dan selanjutnya Nasabah membeli ke Bank Syariah tersebut dengan model mengangsur.

Saya bingung membedakan praktek ini dengan praktek Bank Konvensional yang menawarkan program Payment 10 kali angsuran dengan kartu kreditnya. Bank Konvensional itu tidak mengatakan, “Ini saya belikan dulu ya, nanti kamu mengangsur ke saya”, tapi pada prakteknya Bank tersebut memang membelikan terlebih dahulu ke toko, baru kemudian nasabah mengangsur ke Bank setelah harga dinaikkan. Loh, kok sama saja. Jadi apakah ternyata Bank Konvensional itu Syariah juga, tetapi tidak mengaku-ngaku.

Sisi lain lagi, seharusnya Bank Syariah merasa dirinya tergugat oleh konsep koperasi dengan azaz utamanya : Kekeluargaan dan Gotong Royong. Seorang calon nasabah Bank Syariah mengeluhkan praktek pemberian kredit di sana, menurut ketentuan yang disosialisasikan, besaran bagi hasil atau yang kalau di Bank Konvensional disebut beban bunga yang harus ditanggung nasabah bersamaan dengan pengembalian kredit mereka bilang sesuai dengan kesepakatan. Tapi ternyata, bentuk kesepakatannya menjadi begini, “Ini si biasanya kalau orang pinjam di kita bagi hasilnya sekian, kalau kamu mau sekian ya pinjaman saya kucurkan, kalau enggak mau ya sudah”.

Sudah tiga point, terakhir adalah tentang salam di Bank Syariah. Kalau anda sering ke Bank Konvensional, akan mendapati sapaan dari Satpam bak burung beo yang mengucapkan salam serupa kepada semua nasabah “Selamat siang, selamat datang di bank bla bla bla”, tapi kalau di Bank Syariah tidak ada itu selamat siang, salamnya harus Assalamu’alaikum. Tapi sayang, “Assalamu’alaikum” melekat menjadi SOP, sampai beberapa kali saya ke Bank Syariah dan saya yang uluk salam duluan “Assalamu’alaikum”, eh dijawabnya bukan “Waalaikumussalam”, tetapi justru si petugas mengatakan ulang “Assalamu’alaikum”.

Tidak serta merta ketika menggunakan peci, jilbab dan salamnya Assalamu’alaikum kemudian seuatu institusi menjadi layak mencap dirinya sebagai institusi syariah. Bahkan saya miris, simbol-simbol syariah itu seolah-olah menjadi value added agar bisnisnya lebih laku. Syariah adalah pelaksanaan tata nilai, kesyariahan justru ada pada gagasan koperasi yang dicetuskan oleh Wakil Presiden pertama kita, Mohammad Hatta. Bahwa sumber modalnya itu syar’i, komponennya jelas, dari Si A, Si B dan Si C nya pun rinciannya jelas, mana simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela.

Kemudian basis bisnisnyapun syar’i, manusia. Koperasi mengemban konsep one man one vote bukan satu saham satu suara, makin banyak sahamnya makin besar suaranya. Begitupun pembagian hasilnya terbuka, tidak ujug-ujug keluar dalam skala prosentase bagi hasil. Pembagian hasilnya Syar’i melalui sebuah forum tertinggi bernama RAT (Rapat Anggota Tahunan).

Begitulah, kalaulah bangsa kita mau beralih dari bangsa konvensional berganti menjadi Republik Indonesia Syariah, caranya tidak dengan cara ikut-ikutan manajemen perusahaan Bank Syariah, yang memunculkan bahasa-bahasa Arab dalam praktiknya, mengenakan simbol-simbol syariah dalam kesehariannya, tetapi pada prakteknya tetap banyak praktek Bank Konvensional yang masih diterapkan.

Bangsa ini tidak serta merta menjadi syariah dengan memperbanyak jumlah masjid, dengan memperbanyak kegiatan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) yang menghambir-hamburkan dana negara dengan borosnya. Kalau Mau jadi bangsa syariah, cukup dengan mengambil alih pengelolaan Freport, diserahkan kepada SDM pribumi untuk dikelola dengan azaz Kekeluargaan dan Gotong Royong. Sampaikan “Amerika, ini Gunung Grasberg punya saya, saya sudah bisa mengelola sendiri, saya mau dikelola dengan konsep syariah, jadi kontrak kita selesai hari ini ya, terima kasih”.

Lalu Amerika protes, “Loh, tidak bisa! kontraknya kan masih tiga ratus tahun lagi. Kamu nanti saya laporkan ke Pengadilan Arbitrase Internasional loh.”

Indonesia yang cerdas menjawab, “Laporkan saja, sekalian nanti saya mau beberkan kerusakan lingkungan hidup akibat ulahmu di Pulau Surga Papua 100 tahun terakhir ini loh ya.”

Dan begitupun untuk semua praktek pengelolaan cabang-cabang produksi vital bagi negara, yang membuat salah satu negeri penghasil gas terbesar di dunia ini PLN nya kebingungan mencari gas karena diobral keluar negeri semua. Ayo, saatnya men-syariahkan Republik ini, bukan sekedar labelnya, bukan cuma citranya, tetapi nilai-nilai dan prinsipnya. Toh nilai dan prinsip koperasi tidak mengimpor dari bangsa manapun, itu warisan Bapak Bangsa kita sendiri.

Freeport Mengeruk Emas, Bank Syariah Menghimpun Emas

Grassberg adalah nama gunung yang isinya bukan hanya tanah dan pasir, Grasberg adalah gunung tembaga, emas, bahkan uranium. Gunung yang tadinya gunung dan kini sudah menjadi lembah, lembah buatan manusia hasil kerukan perusahaan pertambahan Amerika Serikat Freeport Inc. atas restu resmi pemerintah kita sendiri.

Wasiat Bung Karno & Pemberian Restu Kepada Freeport Inc.

Setiap hari bertruk-truk Emas diangkut ke Amerika Serikat dari sana, dan kita hanya kebagian royaltinya yang begitu sedikit. Dan itu akan berlangsung hingga 30 tahun kedepan, kalau tidak diperpanjang lagi restu pengerukannya. Sudah tidak terhitung gelombang protes atas eksploitasi besar-besaran SDA milik rakyat itu, tetapi bahkan isu paling sentral yakni kerusakan lingkungan hidup disekelilingnyapun tidak cukup membuat Presiden kita bernyali untuk menggugat sang penambang untuk hengkang berhenti mengoyak kekayaan ibu pertiwi. Buku “Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia”, tulisan Amien Rais adalah salah satu buku yang membeberkan ulah Freeport dalam membuat rugi Indonesia, bisa dicari dan dibaca buku itu bagi yang ingin tahu lebih lengkap.

Tidak ada satu dalilpun yang bias membenarkan aktivitas pengerukan besar-besaran dan berkepanjangan itu. Kalau dibilang bangsa kita belum mampu mengolahnya sendiri, maka butuh tenaga asing, maka apakah betul belum ada putra negeri yang mampu mengeksplorasi alam Bumi Cendrawasih itu? Dan sekalipun benar kita belum ada yang mampu, apakah proses pengerukan yang dilakukan oleh asing betul-betul amanah secara proses delegasi? Seimbangkah bagian keuntungan antara si pelaksana proyek keruk dengan negeri kita si pemilik lahan? Sama sekali tidak setimpal. Dilupakan oleh kita wasiat agung dari Bung Karno, pendiri bangsa, bapak bangsa ini :

“Kalau kita belum mampu mengolah alam kita sendiri, maka tutup saja, simpan saja dulu, jangan kau serahkan kepada orang lain, agar kau tidak menjadi budak di negerimu sendiri.”

Pada akhirnya kita harus menyadari, bahwasannya demonstrasi tidak menjadi solusi atas pemerkosaan SDA ibu pertiwi itu. Kita bukanlah bagian dari pemegang regulasi dan seandainyapun diantara kita ada yang menjadi presiden suatu saat nanti sekalupun, kekuatan dan kekuasaan Amerika Serikat terlalu kuat untuk membuat kitapun ciut, tidak bisa bertitah untuk menghentikan proyek merugikan negeri itu.

Siapa Bilang Harga Emas Terus Naik?

Ditengah kekesalan dan kegeraman kita, sebuah oase memancar ditengah terhamparnya perkembangan Bank Syariah di Indonesia. Oase macam apa itu? Sebelum berbicara tentang oase, yang mengaitkan tentang keberadaan Bank Syariah dan potensinya menyelamatkan kerugian bangsa atas hilangnya emas-emas berharga negeri ini, saya ingin bagikan dulu keistimewaan emas. Dari zaman nenek dari nenek kita gemar menggunakan gigi emas, mempunyai tabungan emas dikolong tempat tidurnya, hingga zaman postmodern seperti saat ini semua orang berceletuk, emas itu istimewa, karena harga emas selalu naik setiap tahunnya.

Memang betul, grafik pergerakan harga emas dari hari kehari, baik terhadap USD maupun IDR terus naik dari waktu ke waktu dengan rata-rata kenaikan 25% setiap tahun. Tetapi, pada hakekatnya, bukan nilai emas yang naik, nilai Dollar, Rupiah dan semua mata uang kertaslah yang turun dari tahun ke tahun. Satu Dinar emas atau setara 4,25 gram emas 22 karat pada zaman Nabi Muhammad SAW 1400 tahun yang lalu cukup untuk membeli seekor kambing, pun hingga saat ini, harga satu keeping Dinnar emas dengan bobot dan karat yang sama bernilai sekitar 1,4 juta cukup untuk membeli seekor kambing.

Grafik Emas 10 tahun terakhir


Berbeda dengan mata uang Rupiah, ketika tahun 2000an, uang saku anak sekolah 1.000 Rupiah setiap hari itu sudah cukup untuk naik bus dan beli jajan, tetapi sekarang uang saku anak sekolah 5.000 Rupiah minimalnya. Laju inflasi menggerus tabungan Rupiah kita dari tahun ke tahun, sekalipun bentuknya deposito sekalipun. Pertambahan tuntutan uang saku anak sekolah membubung drastic tidak sebanding dengan kenaikan gaji dan Upah Minimum Regional.

Kalau kita sadar, sesungguhnya setiap uang kertas kita yang terendap selalu digerogoti oleh tikus waktu yang membuat nilainya berkurang. Betul, nilai rupiahlah yang berkurang, bukan nilai emas yang bertambah. Secara hakiki, daya beli kita selalu setara dengan nilai emas dari waktu ke waktu. Maka, kembali ke persoalan Freeport, sesungguhnya semakin tahun kita semakin bodoh kita membiarkan emas-emas kita dibawa ke Amerika Serikat dan kita diam tidak berdaya. Sekalipun banyak yang tidak diam, berteriakpun kita tidak membuat mereka berefek, tetap saja terus diangkuti, dari mulai harga emas masih 20.000 pergramnya hingga saat ini di tahun 2010 sudah 400.000 pergramnya.

Era Golden Generation, Generasi Punya Emas

Ary Ginanjar, tokoh Indonesia yang dinobatkan oleh Andreas Hareva menjadi satu-satunya orang Indonesia bahkan mungkin se-Asia Pasifik yang menduduki tingkatan Trainer Level V, dimana wujud nyatanya adalah keberadaan dan perkembangan ESQ Training di Indonesia dan di dunia, Ary Ginanjar selalu menyemangati kita untuk menyongsong lahirnya generasi emas yang akan melahirkan Indonesia yang berperadaban baru, yakni peradaban emas Indonesia.

Ary Ginanjar selalu mencontohkan kecemerlangan generasi sahabat Nabi Muhammad SAW, dimana ia sebut dan banyak orang sebut sebagai generasi keemasan. Nah, pertanyaannya, bagaimana mewujudkan generasi Emas yang kuat resistensinya dari penjajahan ekonomi dan konspirasi global sebagaimana zaman sahabat Nabi SAW waktu itu? Agar kita tidak melebar membahas terlalu banyak hal yang harus dibahas, satu saja dulu yang diangkat kali ini, yakni bahwasannya di era keemasan sahabat Nabi SAW dulu, ekonomi begitu kuat, baik secara mikro individu maupun makro negara karena mereka menggunakan emas.

Maka, kalau hari ini kita bergembar-gembor “Ayo, kita menjadi Golden Generation (generasi emas)!”, maka sudah pasti salah satu prasyaratnya adalah kita harus kembali mendayagunakan emas untuk memaksimalkan kemandirian kita. Emas memang belum bisa kita gunakan secara makro dalam artian mengganti mata uang Rupiah yang sudah kita pakai sejak 1946 lalu dengan Dinar misalnya, tidak, tidak usah sejauh itu dulu. Kata Aa Gym, mulai dari diri sendiri, betul, mulai dari yang mikro, amankan perekonomian individu dan keluarga kita dengan emas terlebih dahulu.

Golden Generation haruslah bisa mendayagunakan emas, minimal tabungannya bukan hanya dalam bentuk tabungan berencana dan deposito, tetapi juga emas. Emas adalah salah satu pilar kekuatan kemandirian ekonomi, dan ekonomi adalah bagian pokok dari proses pembangunan kehidupan yang bermartabat. Ibu Athoilah, penulis kitab hikmah Al Hikam yang termasyhur itu menulis yang intinya, janganlah engkau memberi ceramah kepada orang yang sedang kelaparan sebelum engkau memberikan kepadanya makanan. Maka inilah hubungan antara akhlak-akhlak cemerlang, akhlak-akhlak keemasan dengan emas itu sendiri. Ketika membangun akhlak, tidak boleh lupa kita juga harus membangun ekonominya, mulai dari ekonomi individu masing-masing.

Mengenal Gadai Emas Syariah

Celah, itulah yang harus kita cari untuk mensiasati kaburnya emas-emas kita. Ternyata ada satu celah regulasi pemerintah yang bisa kita manfaatkan untuk tidak berhenti hanya berdemonstrasi dan berkoar-koar tidak didengar. Walaupun langkah ini, kalau secara individu dilakukan tidak berasa, tetapi kalau dilakukannya secara berjamaah, apalagi super-jamaah, wah, akan dahsyat sekali dampaknya untuk kekuatan kemandirian bangsa, dan izinkan saya menyebutnya sebagai people power.

Regulasi yang bisa kita jadikan celah itu adalah kebijakan pemerintah yang meluaskan layanan gadai, dimana layanan gadai emas saat ini bukan hanya dibolehkan dilakukan oleh pegadaian, tetapi sudah boleh dilakukan oleh bank, dengan catatan, hanya Bank Syariah saja yang diperbolehkan. Maka, tidak heran kalau setiap kali Anda melewati jalan protokol dan melihat Bank Syariah bertengger, disitu Anda melihat tulisan “Gadai Emas Syariah”.
Inilah people power yang saya maksud bukan aksi masa turun ke jalan, tetapi aksi membeli besar-besaran emas dengan memanfaatkan fasilitas gadai emasnya Bank Syariah. Ruly Kustandar, seorang mentor Enterpreneur University (EU) pimpinan Purdi E. Chandra sang Bapak Entrepeneur Indonesia menemukan sebuah formula membeli emas hingga 10 kali lipat dari kemampuan finansial normal kita. Didukung penuh oleh BRI Syariah, Rullly Kustandar mengkampanyekan formulanya itu, yang mungkin diantara kita sudah mengetahui dan mempraktekannya, formula itu bernama “Kebun Emas”.

Secara sederhana formula Kebun Emas dapat dijelaskan seperti ini : Awali dengan membeli emas batangan, lalu emas itu agar aman jangan disimpan dirumah, tapi titipkanlah ke Bank Syariah agar dia saja yang menyimpannya. Proses penyimpanan emas di Bank Syariah itu, jangan dengan menggunakan system Sewa SDB (Safe Deposite Box), tetapi gunakanlah layanan gadai yang sudah direstui oleh pemerintah itu.

Karena sistemnya gadai, maka kita akan mendapat uang gadai, yang besarnya sekitar 80-90% dari Harga Taksiran Logam Emas itu. Nah, uang gadai itu untuk apa? Uang itu kita simpan sampai kita mempunyai tambahan uang atau gaji bulan berikutnya bagi yang karyawan, untuk kita belikan emas lagi. Maka, kita sudah punya dua batang emas, satu dititipkan di Bank Syariah, satu baru saja kita dapatkan dari toko emas. Nah, emas itu titipkan lagi ke Bank Syariah, lalu kita dapat uang gadai lagi, lalu tunggu sampai dapat tambahan uang dari pekerjaan kita lagi, lalu belikan emas lagi dan begitu seterusnya.

Itulah gambaran singkat tentang formula kebun emas. Karena kebun, kapan kita memanennya? Memanennya terserah kita, yang penting selama kita belum butuh uang, akan lebih menguntungkan bila emas-emas itu tetap tersimpan di Bank Syariah, sampai kapanpun, selama apapun. Namun, kalau kita memang butuh atau ingin memanennya, caranya gampang, sederhananya begini : Pinjamlah uang ke tetangga Anda untuk menebus satu batang emas kita, setelah uang ditebus, juallah emas itu ke toko emas. Ingat, emas adalah komoditas yang gampang sekali dijual, berbeda dengan tanah atau rumah.

Hanya beberapa menit transaksi kita sudah dapat uang hasil penjualan emas itu, lalu kembalikanlah uang yang kita pinjam dari tetangga itu dan uang hasil penjualan emas tadi kita gunakan untuk menebus emas kedua yang kita gadai di Bank Syariah, lalu jual lagi, lalu tebus lagi emas ketiga begitu seterusnya. Dan hitunglah sendiri berapa uang di tangan Anda ketika semua emas sudah ditebus, ingat, harga emas terus membubung naik terhadap rupiah, ketika tahun 2006 harga emas masih 200 ribuan per gram, di 2010 ini sudah 400 ribuan, dua kali lipat, bukan?.

Emas-Emas Kita : Mari Bung Rebut Kembali (Melalui Bank Syariah)

Kalau bisa memahami dan mempraktekkan formula kebun emas itu, betapa keuangan pribadi kita begitu terproteksi. Tabungan kita tidak tergerus inflasi, uang yang kita konversikan dalam bentuk tabungan emas itu membuat nilainya stabil, terus seimbang dengan kemampuan daya beli dan kenaikan harga disekeliling kita, dan regulasi gadai emas yang direstui resmi oleh pemerintah itu membuat kita bisa memiliki emas hingga 10 X lipat dari kemampuan normal kita, dengan catatan kita ikhlas menitipkannya di Bank Syariah dengan system gadai.

Mungkin kita bertanya soal keamanan emas-emas yang kita titipkan itu. Jawabannya sederhana, percayakan hanya kepada Bank Syariah yang menurut Anda amanah, insyaallah aman emas-emas Anda disitu. Dan pertanyaan berikutnya adalah soal bagaimana hukumnya menjalankan formula Kebun Emas. Jawabannyapun sederhana, datanglah kepada ulama yang berkompetensi menguasai keilmuan tentang hukum jual, beli dan gadai emas. Kalau Anda susah mencari dan menemui ulama berkompeten itu, Anda bisa datang dan bertanya ke ulama-ulama yang duduk di deretan Dewan Syariah BRI Syariah yang sudah memberikan fatwa kepada BRI Syariah untuk mendukung penuh Kebun Emas ini.

Hingga, pada akhirnya konsep Kebun Emas ini bila dijalankan secara berjamaah akan menjadi kekuatan tersendiri bagi bangsa. Kalau separo saja penduduk Indonesia mendapatkan sosialisasi dan besarnya manfaat memiliki emas dan mengetahui cara untuk memiliki hingga 10 X lipat jumlah emas dari kemampuan normal kita, katakanlah satu orang 10 gram saja, maka ada 10 gram emas x 100 juta penduduk Indonesia atau sejumlah 1000 ton emas. Seribu ton emas tetap terserap ke dalam negeri, lalu pemerintah kewalahan sehingga mencarikan di luar negeri dan mengimpornya, sekalipun emas yang kita impor itu sebenaranya bahan mentahnya juga dari perut bumi kita sendiri, tidak mengapa, yang penting kita punya emas, sekalipun mahal saat membelinya, tidak seperti bila kita mengambil di tambangnya langsung, tetapi nanti juga harganya akan terus naik terhadap Rupiah.

Pada akhirnya, ekonomi individu-individu kita akan menguat karena emas dan daya beli itu seimbang. Pada akhirnya uang kertas tidak menjadi satu-satunya mata uang dalam bertransaksi, kalau semua diantara kita sudah memiliki emas, maka akad belanja bisa dilakukan dengan barter emas, kalaupun emas kita masih dititipkan di Bank Syariah, maka mungkin akan ada trend baru dalam bertransaksi, yakni barter dengan Sertifikat Gadai Emas Syariah.

Kesimpulannya, melalui tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk mengkonsumsi emas, ajakan ini terutama bagi mereka calon-calon generasi emas. Emas berbeda dengan rumah dan tanah, termasuk dalam penominalannya, bahkan bentuk yang paling kecilpun, satu gram pun ada. Jadi, kita bisa menguasai emas mulai dari nominal berapapun sesuai dengan kemampuan. Kalau setiap orang memburu emas, mudah-mudahan suatu saat nanti pemerintah tersadar bahwa stok emas dalam negeri menipis, sehingga pemerintah berinisiatif mengimporkan emas untuk kita beli.

Atau kalau pemerintah lebih cerdas, mereka akan menutup semua tambang emas yang dikelola oleh asing untuk kemudian kita kelola dan konsumsi sendiri. Dan dibantu dihimpunkan oleh Bank Syariah ayo kita menjadi generasi emas, generasi yang mempunyai simpanan emas juga generasi yang akhlaknya secermaerlang emas. Bersama Bank Syariah, kita songsong zaman keemasan, zaman dimana seluruh penduduk Indonesia mempunyai aset pribadi berbentuk emas dan pemerintahpun tertuntut untuk menghentikan pengangkutan emas-emas kita ke luar negeri, karena kita sendiri juga membutuhkannya.

Diposting juga di Kompasiana

12/14/10

Ngarso Dalem Kaping 9

Sultan Yogya ini gemar menonton silat. Ketika tidak lagi menjabat Wakil Presiden, kegemaran akan silat ini disalurkannya melalui video. Dan begitulah, pada Juli 1985, sehabis menyaksikan tak kurang dari sepuluh seri cerita silat Mandarin, Sri Sultan terjatuh ketika menuju kamar mandi.

Sekitar dua minggu Sultan terbaring di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Acaranya yang penting, menandatangani perjanjian kerja sama antara Kota Yogya dan Kota Kyoto, Jepang, harus diwakilkan kepada Sri Paku Alam VIII, Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan Sri Sultan tetap harus banyak beristirahat, sehingga penyulutan Api PON XI yang rencananya dilakukannya sendiri, sebagai Ketua Umum KONI Pusat, juga diwakilkan.

Lahir dengan nama Raden Mas Daradjatoen, di Universitas Leiden, Belanda, ia tak sempat merampungkan studinya. Begitu mempersiapkan skripsi dalam bidang indologi, telegram ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, datang. Daradjatoen diminta pulang.

Ayahnya menjemput di Batavia, kini Jakarta. Ayah dan anak menginap di Hotel Des Indes, sekarang pusat pertokoan Duta Merlin. Tidak ada pembicaraan serius antara keduanya. ''Kami tak ada waktu untuk itu. Terlalu banyak acara yang harus dipenuhi,'' tutur Daradjatoen.

Salah satu acara penting adalah, Daradjatoen menerima keris pusaka Kiai Jaka Piturun di sebuah kamar hotel dari ayahnya sendiri. ''Keris pusaka yang sampai sekarang tersimpan baik di keraton itu adalah yang selalu diserahkan oleh raja kepada seseorang yang diinginkannya menjadi putra mahkota. Dengan penyerahan keris itu, menjadi jelaslah maksud ayah saya dan saudara-saudara saya,'' tutur Daradjatoen beberapa tahun kemudian -- setelah menjadi Hamengkubuwono IX -- seperti tertulis dalam buku biografinya, Tahta untuk Rakyat. Dan rencana itu memang berjalan mulus. Ia dilantik menjadi Putra Mahkota pada 18 Maret 1940, lima bulan setelah ayahnya wafat (22 Oktober 1939), dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram.Selang lima menit kemudian, di tempat yang sama, Bangsal Manguntur Tangkil -- tempat para Sultan biasa bersemadi -- ia dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta dengan gelar: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX. Ucapannya yang sangat terkenal pada saat pelantikan itu adalah, ''Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa,'' kata Sultan baru ini.

Menjelang masuknya Jepang, bangsawan Jawa banyak yang khawatir akan tentara penjajah yang menggantikan Belanda ini. Mereka mengajak Sultan menyingkir ke Australia, atau ke Belanda. ''Apa pun yang terjadi, saya tidak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat, demi keselamatan keraton dan rakyat,'' katanya.

Tidaklah aneh kalau Raja Yogya ini ikut berjuang di masa perjuangan kemerdekaan. Andilnya besar dalam perundingan- perundingan dengan Belanda. Sudah banyak diketahui, bagaimana sikap Sultan membela tanah airnya, dan membela keutuhan keraton. Jabatan-jabatan di luar keraton yang dipegangnya juga bukanlah enteng. Sultan menjadi Menteri Negara (1946-1949), Menteri Pertahanan Koordinator Keamanan Dalam Negeri (1949), Wakil Perdana Menteri (1950-1951). Di masa Orde Baru, ia Wakil Presiden (1973-1978).

Nama panggilannya di masa kecil memang berbau Eropa: Henkie. Ia menjadi anggota perkumpulan kepanduan NIPC (Nederlands Indische Padvinders Club). Di sinilah ia mendapat kepandaian memasak. Kelak, setelah menjadi orang penting, ia punya klub memasak tak resmi. Anggotanya, Radius Prawiro, Budiardjo, Frans Seda, Surono Reksodimedjo, Soegih Arto, Ashari Danudirdjo, dan D. Suprayogi. ''Tetapi kini saya jarang memasak lagi,'' kata Sultan.

Istri Sultan HB IX yang dikenal dan setia mengikuti upacara di Keraton Yogya, ada empat: B.R.A. Pintoko Poernomo yang memberi lima anak, B.R.A. Windijaningroem yang memberi empat anak, B.R.A. Hastoengkoro memberi enam anak, dan B.R.A. Tjiptomoerti memberi enam anak. Yang mengagetkan, suatu ketika, di depan keempat istrinya itu, Sultan menyatakan, tidak seorang pun yang berstatus garwa padmi (permaisuri). Konsekuensi pernyataan ini adalah, tidak akan ada Putra Mahkota, dan itu berarti tidak ada tanda-tanda munculnya Sultan HB X, sebagai penggantinya.

Tjiptomoertilah yang menemani Sultan di Jakarta, selama ia memegang berbagai jabatan penting. Beberapa bulan setelah Tjiptomoerti wafat, 30 Maret 1980, Sultan menikahi Norma, wanita dari Kampung Tanjung, Mentok, Pulau Bangka -- yang dibawa Bung Karno dan dijadikan anak angkatnya di Jakarta. Kabarnya, tak pernah diajak Sultan ke Keraton Yogyakarta. Bersama Norma, Sultan aktif dalam berbagai kegiatan usaha dan mengurusi olah raga. Hari ulang tahun Sultan belakangan ini selalu dirayakan di cabang-cabang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tempat Sultan HB IX menjabat Presiden Komisaris Kehormatan. Ulang tahun ke-73 (1985) dirayakan bersamaan dengan peresmian BDNI Cabang Semarang.


Sumber : Pusat Data & Analisis Tempo

12/13/10

Mananya?

Gagal itu kalau diukurnya dari proyeksi. Kalau diukurnya dari awalnya tidak ada menjadi ada, awalnya tidak bisa menjadi bisa, awalnya tidak tahu menjadi tahu, yang gagal itu mananya?

Waktu-Waktu Terbaik

Seperti dikutip dari Health.MSN, Senin (4/10/2010) ada 8 waktu tertentu yang mana seseorang bisa menjadi brilian dalam melakukan tugas-tugasnya, yaitu:

Jam 7-9 pagi: Saat terbaik untuk meningkatkan semangat dan gairah
Jam 9 pagi sampai 11 siang: Saat terbaik untuk kreativitas
Jam 11 sampai jam 2 siang: Saat terbaik untuk melakukan tugas yang sulit
Jam 2-3 siang: Saat terbaik untuk beristirahat

Jam 3 siang sampai 6 sore: Saat terbaik untuk kolaborasi
Jam 6 sore sampai 8 malam: Saat terbaik untuk melakukan tugas-tugas pribadi

Jam 8-10 malam: Saat terbaik untuk bersantai

Sumber dari sini

Misterius

Membuat selongsong ketupat itu misteri, bagi orang yang belum pernah mempelajari ilmu menganyam janur dan berpengalaman membuatnya. Begitupun bisnis, jangankan bagi yang belum tahu ilmu dan belum punya pengalaman, yang sudah tahu ilmu dan belum cukup pengalaman saja bisnis masih tetaplah misteri.

Misterinya begini, orang terjun ke dunia bisnis kan banyak, ada 0,018% dari seluruh penduduk Indonesia, silahkan hitung sendiri berapa itu. Tapi kenapa coba, mereka bidangnya beda-beda. Kenapa tidak ada rangkingisasi bahwa jenis bisnis ini bisa melipatgandakan uang sejumlah x Milyar menjasi 2x dalam waktu sekian, lalu jenis bisnis lainnya lagi bisa memutar uang x menjadi 2000x dalam waktu sekian tahun, dan sebagainya, lalau yang nilai lipatgandanya paling besar dan paling cepat pilih aja bisnis itu untuk dijalani semua orang.

Nyatanya tidak begitu, tetap ada yang bisnis jualan krupuk, ada yang menanam jamur, ada yang  jualan website. Dan hasilnyapun beda-beda. Tidak melulu yang besar hasilnya njur dikrubuti dan yang kecil njur ditinggalkan.

Baru satu terkaan kesimpulan saja, bahwa bisnis memang bukan persoalan modal awal berupa uang saja, bukan soal prospek saja, bukan soal potensi keuntungan saja. Bisnis itu soal kecocokan dengan diri sendiri. Kalau cocok, daya tahannya kuat. Kalau cocok, kemampuan improvisasinya luas, kalau cocok ungkit pengembangannya dahsyat, sapiturute.

Nah, bagaimana menentukan sebuah bisnis itu cocok untuk kita atau tidak? Cara nomor satu adalah mengenali karakterisitik diri kita sendiri, hidung kita seberapa panjang, jari kita seberapa lentik, betis kita seberapa keras, telapak kaki kita seberapa kasar sapiturute.

Semakin bisa mengenali diri kita sendiri dengan segenap lekuk liuk tubuh dan persendiannya, maka semakin bisnis tidak menjadi misteri. Selamat membeli cermin yang besar itu semoga bisa membantu.

12/10/10

Jumat Pertama 1432 H

Apakah ada pembenaran, walau satu buah saja sekalipun, atas kesalahanku, dosaku, kehinaanku? Tiada tuhan selain Engkau, maha suci Engkau, sungguh aku ini dzolim....  benar-benar seorang yang dzolim.

Hari ini adalah hari jumat pertama di tahun yang baru, 1432 H. Karena tadi terjebak antrian, jadi tidak terkejar jumatan di tempat biasa, tempat yang biasa saya dan Kukuh sebut Masjid Kompleks Istana. Tadi jumatan di masjid PJKA. Tadi adalah jumatan ketiga dalam hidup saya yang saya titeni dibarengi dengan turun hujan. Dan tadi adalah jumatan pertama dalam hidup saya melihat orang sholat dibawah gerimis karena masjid, bahkan tarub yang disiapkan tamir tidak bisa menampung.

Untung Imamnya pengertian, suratannya tidak panjang-panjang amat, Sabihisma untuk suratan rakaat pertama dan Hal ataka untuk suratan rekaat kedua. Memang tempat saya sholat enggak kena gerimis, tapi basah juga terciprat-ciprat lantainya. Tapi jan betapa egoisnya saya, tidak mau dikalahkannya saya, saya pertahankan tempat dipojokan itu agar tidak keduluan orang, agar saya tidak kena gerimis. Jan, mbok ya pada-pada sholat. Semoga yang sholatnya gerimisan mendapat kemuliaan dunia akherat.

Maafkan saya tadi, sholat saja egois, apalagi diluar sholat. 
Lantai tempat dimana orang sholat di bawah gerimis

Fiqh Bisnis

Tenang, ini bukan potingan pelajaran agama. Selamat membaca. Bisnis adalah sebuah proses, diawali dengan penyediaan barang/produk dan diakhiri dengan diserahterimakannya barang tersebut dalam proses akad yang disebut jual-beli. Hehe ndean si seperti itu pengertiannya.

Kalau saya pertama diajari bisnis oleh Ibu saya kelas 3 SD, waktu itu jadi sales Ibu saya menjualkan lembar perkalian yang biasa kita pakai untuk contekan *hayo ngaku saja, maka kali ini saya lebih dini lagi mengajari adik saya bisnis, kelas 2 SD.

Gantungan kunci yang dia jual. Luar biasa, anak kelas 2 SD bisa mengorder 19 gantungan kunci dalam seminggu untuk dipasarkan kepada konsumen yang sudah memesan. Sebagai produsenpun saya senang.

Proses produksipun selesai, gantungan kunci didistribusikan kepada konsumen. Setelah seminggu berlalu, saatnya saya menyampaikan invoice pembayaran. Apa yang terjadi? Ternyata yang membayar baru cuma 6 orang. Hahahaha...

Apakah adik saya berhasil menjadi pebisnis? gagal! itu menurut pendekatan Fiqh. Karena produk sudah sampai ke konsumen, tapi akad tidak menghasilkan uang sebagai imbal bayarnya. Apakah adik saya harusnya dimarahi dan diberikan sertifikat "KAMU TIDAK BECUS BERBISNIS."? Ya jangan to kasihan.

Dimarahi dan dicap tidak becus hanyalah milik orang-orang yang terlalu memandang bisnis dari sisi sah dan tidak sah. Bisnis itu sah kalau untung dan tidak sah kalau rugi, begitu pandangan mereka. Mereka memburu prospek yang kira-kira tidak mungkin rugi, tetapi juga kira-kira belum ada orang lain yang melirik agar tidak punya pesaing (aneh... memang ada?) demi ke ab-sah an bisnis dia.

Tidak demikian untuk adik saya itu, yang penting dia sudah bisa jualan. Bisa dalam artian, dia tidak malu menjajakkan produknya. Ini adalah kemerdekaan berpikir, dari paradigma berpikir global saat ini, bahwa pembeli itu lebih mulai dari ;penjual, jadi belanja itu PD tapi jualan itu minder. Beli segala sesuatu untuk peralatan sekolah itu wajib, tapi saat sekolah berjualan itu haram.

Ke Diri

Mas Arif sedang ke Kediri, naik keretanya Exa Gajayana. Hm, bukan itu tapi yang mau saya post di note kali ini, karena saya enggak mau menyusul Mas Arif ke Kediri kok. Saya cuma mau ke stasiun saja malam ini, mau workshop, coz lama tidak workshop.

Apa itu workhop? Work itu bekerja dan shop itu toko. Bekerja di toko? Bukan, bukan. ngawur saja le mengartikan. Baiklah, cerita tentang workshop di stasiunnya nanti saja, kalau sudah selesai dilaksanakan. Bahas yang lainnya dulu saja.

Kemarin Mas Hendro ke sini, beberapa jam saya anggurkan dan beberapa menit berbincang, ceritanya Pak Zainal Abidin baru dari Unsoed. Wedew, ada barang bagus datang enggak kabar-kabar koh. Sempat naik pitam saya enggak dikabari kedatangan Rektor sebuah Institut yang namanya Kemandirian itu. Yo ben gak popo, paling juga belum berubah kok postur dan slide-slidenya. Hm, tapi bukan itu yang saya cari.... uwis, uwis...

Saya kepengen cerita, kalau Pa Zainal dan satu partnernya, Pa Lee adalah guru yang hebat, yang 5 tahun lalu mengenalkan saya tentang enrepeneurship. Beda loh dengan EU, yang banyak mengajarkan tentang bagaimana mengakali Bank agar dapat modal, Pa Zainal dan Pa Lee titik tekan mengajarnya adalah bagaimana membangun kemampuan.

Kalau di EU kita diajari cara ke bank, kalau di Pa Zainal dan Pa Lee kita diajari cara ke diri. Bahwa bisnis itu bukan proses perolehan uang seperti pejabat melahap jabatan atau atlit menggondol piala. Bisnis adalah proses penyepuhan besi menjadi sendok, menjadi teralis atau menjadi peniti.

Sudah jadi apa ya kita ini?

12/6/10

Seandainya Kementerian Pendidikan Tidak Ada

Tidak ada menteri negara urusan Desain, tidak ada menteri pemberdayaan Distro tapi apa yang terjadi di Kota Bandung? Paris betul-betul menjadi Bandung van Eropa, Bandung betul-betul memukau, kreativitasnya mengalahkan Yogya sekalipun dalam posisinya sebagai kota budaya atau kota pelajar atau apapun peran Yogya.

Di Bandung ratusan nama Distro bertebaran, melibas desain-desain kiriman dari luar negeri. Padahal, peran negara hanya sebatas pada urusan regulasi dan penambah hurur "R" dari kata "Registred" di belakang nama-nama.

Begitupun, jika pemerintah menarik diri dari sistem pendidikan di Indonesia. Apakah serta merta bangsa ini menjadi bangsa yang bodoh? Jika pemerintah tidak menetapkan silabus pendidikan, bahkan jika pemerintah tidak mengeluarkan anggaran pendidikan sekalipun.


Jawabannya : Tidak. Negeri ini terlalu kaya alamnya untuk dijadikan media praktikum oleh anak-anaknya. Justru selama ini sekolah membatasi begitu sadisnya, bahwa yang namanya belajar dalam bentuk praktikum tidak lebih dari sekedar mengoleksi nilai atau menambah jumlah hafalan di kepala, sehingga alam terlalu banyak yang tidak dijamah untuk diekspolarasi dalam pembelajaran. Walhasil, pemuda-pemudi kita menjadi sosok yang gagap, sekalipun menyandang gelar sarjana, ketika berhadapan dengan peluang yang disediakan alam untuk berpenghidupan, mereka lebih memilih "Ah, ngode bae saja".

Demikian, apakah terus anak-anak kita menjadi pribadi bloon yang berdiam di rumah tidak tahu mau ngapain ketika sekolah tidak diwajibkan oleh negara? Jawabannyapun : Tidak. Orang seperti saya akan mendesain sekolah lokal, dengan kurikulum yang paling aplikabel agar orang-orang disekeliling saya bisa belajar sesuatu yang berguna bagi dirinya. Itu baru orang seperti saya, lantas bagaimana tokoh daerah, tokoh regional bahkan tokoh nasional lainnya.

Ha, bangsa ini terlalu banyak memiliki tokoh, yang mereka selama ini bekerja bukan hanya untuk mencari uang, mereka bekerja memajukan orang lain dengan membagikan ilmunya. Sayangnya negara membatasi, sepandai apapun orang kalau tidak punya NIP, tidak punya status sebagai guru, tidak boleh mengajari ilmunya secara intensif dalam jalur sekolah. Dan naasnya lagi, sekalipun tokoh itu punya NIP dan berstatus sebagai guru, ia di sekolah tidak boleh mengajarkan ilmu-ilmu paling brilian yang ia miliki, jika itu tidak ada dalam panduan kurikulum.

Saya membayangkan sekolah menjamur seperti Distro, sekolah bersaing kualitas seperti merk mie instan saling bersaing satu sama lain, sekolah berpacu dalam memberikan harga seperti operator seluler berpacu. Dan para tokoh berbondong-bondong membuat sekolah dengan masing-masing keunikan dan keistimewaannya, dengan orientasi utama adalah MANFAAT bukan KEWAJIBAN kepada negara, seperti para trainer motivasi berramai-ramai mendesain pelatihannya sendiri-sendiri saat ini, memberikan yang terbaik.

Kita tidak sadar telah menjadi bodoh karena sekolah, saking bodohnya, kita tidak pernah berpikir bahwa ketika negara tidak membuatkan rakyatnya sekolah, kreativitas metode pembagian ilmu dari generasi atas ke generasi bawahnya di bangsa ini akan merebak, membuat cerdas dimana-mana.

12/5/10

Industri Kreatif

Kaos ini bermotif batik, masih penasaran saya gimana ini cara menyablonnya. Kaos, pada prinsipnya adalah sebuah produk industri kreatif yang terbuka, setiap orang bisa membikinnya.

Yang penting kita unik, yang penting kita jaga brand dengan harga tertentu, yang penting kita beda, yang penting kita membawa karakter, yang penting kita uptodate yang penting kita customer satisfaction dan yang penting-penting lainnya. Tidak salah semua itu.

Tapi yang tertepat menurut saya cuma satu, yang penting kita telaten. Apa telaten itu? Susah didefinisikan, tapi mungkin untuk diindikasii. Telaten iku, ora mikir bathen (keuntungan), ora mburu target fisik, sinau serius, lebih serius dari yang lain dan terakhir : bertahan.

Semoga saya bisa tune in lebih serius dan selanjutnya bisa tune on di dunia bisnis industri kreatif. Rumah Desain, Rumah Ngeprint, Clothing, hingga Publishing. Setidaknya ini jatah magang saya sampa Prajab pertengahan tahun depan. *)Melu2 nggaya-nggaya wae nganggo Prajab2an koyok dambaan konco-konco, hehehe

12/3/10

Grebeg Suro & Grebeg CPNS

Meretas sebuah persembahan diri di bulan Desember. Semoga...
Hak saya untuk memilih tidak apatis kepada Grebeg Suro, sama dengan ketidak apatisan saya kepada Grebeg CPNS. Katanya berebut gunungan itu musyrik, nglarung sesajen dalam sedekah lautpun demikian. Njur berebut jabatan, trus merasa perekonomian hidupnya belum terjamin kalau belum dapat NIP, apa itu perilaku yang lebih tidak musyrik?

Ah, saya tidak mau menghakim-hakimi, syirik terang-terangan dan syirik terselubung itu bagusan mana. Yang saya tahu, beda keduanya adalah, syirik terang2an mudah sekali diucapkan dan dicapkan, karena diri kita tidak terlibat. Tapi syirik terselubung, diumpet-umpetke karena ada kepentingan kita di dalamnya.

Banyak pegawai itu mulia, kepala dinas & CEO yang mengantarkan perusahaannya ke kancah nasional bahkan  internasional, itu T.O.P B.G.T loh. Dan lain sebagainya.

Mung ngelingke, saya pernah dengar dalil : Jangan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya. Silahkah kau artikan apa, terserah, yang kira-kira makna dalil itu paling menguntungkan untuk dirimu, yang makna dalil itu tidak merugikan dirimu ya... Ok?

Ben kon Celilian

Jawa, pernah berkraton di Kediri, pernah berkraton di Gresik, pernah berkraton Demak dan kemonarkian Jawa yang masih bertahan sampai saat ini tinggallah tersisa di Yogya dan Solo.

Jawa adalah keanggunan, Keraton adalah kewibawaan yang santun. Berbeda dengan pilar-pilar Istana Demokrasi, Istana adalah keangkuhan yang serakah.

Saya termasuk orang yang sangat muak atas gembor-gembor presiden dimana-mana tentang demokrasi, demokratis dan demokratnya. Seolah-olah demokrasi adalah satu-satunya pasword menuju kesejahteraan rakyat. Jan-jane, apa si terminologi dan substansi prinsip dari demokrasi itu sendiri tidak pernah dijabarkan oleh presiden. Saya menduga, dia sendiri juga tidak tahu.

Sederhana saja, apakah pemilu yang berlangsung damai, tetapi angka Golput tingginya subhanalloh, apakah itu bisa disebut ciri demokrasi yang sukses? Apakah ketika rakyat bisa mengakses langsung dengan sekali "contreng" siapa pemimpin yang dia inginkan tanpa rakyat bisa mengakses informasi yang akurat setelanjang-telanjangnya tentang calon pemimpin mereka, itu adalah gambaran demokrasi yang maju? Saya jadi heran sendiri, sakjane opo kuwi demokrasi?

Lah, kok kemarin-kemarin berani-beraninya si demokrasi yang masih pecicilan enggak nggenah itu menggugat kemonarkian Yogyakarta. Gumun saya... mosok iyo ada Presiden cemburu sama Gubernurnya lantaran instruksi Gubernur yang dalam hal ini Sabda Raja di daerah itu lebih didengarkan ketimbang Instruksi Presiden?

Seharusnya Presiden itu ngaca, atau setidaknya pinjam mesin waktunya Doraemon untuk pergi ke masa lalu. Andai Monarki itu tidak Anggun, Andai Hamengkubuwono IX itu serakah layaknya kroni-kroni Istana saat ini, bisa jadi NKRI tidak pernah ada. Ketika Jakarta diduduki Belanda kembali waktu itu, Soekarno-Hatta diijinkan ngekost di depan Kraton, ora kon mbayar, NKRI diuripi oleh dana pribadi Kanjeng Sultan Ngarso Dalem waktu itu, ora petung-petungan.

Saya membayangkan, kalau waktu itu yang jadi sultan itu presiden yang kemarin-kemarin yang menggugat kemonarkian Yogya, mungkin sikap yang dia ambil berbeda : "Sudah, NKRI bubar saja, seluruh wilayahnya sini serahkan ke kraton Yogya saja".

Nyatanya Yogya sebagai entitas Politik dan teritori Bangsa terbesar di tanah Jawa ketika itu tidak bersikap seperti itu. Yogya begitu anggun, sama anggunnya ketika besok hari Anda tersesat disana dan minta ditunjukkan sebuah alamat, Anda akan dijelaskan begitu detail, bahkan cuma-cuma diantarkan sampai tujuan. Begitulah ketika NKRI gonjang-ganjing kehilangan ibukota, Yogya menyiapkan sebuah Istana cuma-cuma disana.

Saya rasa, NKRI terlalu angkuh dengan memaksakan Pilkada disana. Tapi ya benar kata Caknun, sudah, biarkan saja, manut presiden demokrasi saja, biarin diadakan Pilkada disana, mundak 100% milih Sultan semua, pemerintah pusat celilian. Haha.

Ini baru bicara Yogya, belum bicara Aceh. Aceh yang andil modalnya begitu besar untuk lahirnya NKRI. Belum setimpal seperseratus acan balas budi NKRI terhadapnya. Karenanya, tidak sedih saya kalau NKRI hancur, musnah, punah sekalipun, karena saya yakin Nusantara tetap tidak tenggelam.

Karakter kita sebagai BANGSA memang lemah diinjak-injak imperialisme modern, tetapi karakter kita sebagai NEGERI terlampau anggun untuk dilibas oleh negeri manapun di dunia ini, India, China bahkan Arab sekalipun.

12/1/10

Ulang Tahun sebagai sebuah Dialektika Budaya

Selamat berulang tahun untuk my little sister, yang hari ini tepat berumur 8 tahun. Kadonya nanti sore ya, ini masih di Purwokerto.


Ngomong-ngomong soal ulang tahun, dengan segala kebodoh-dungu-tolol-cuped-jumud dan begonya saya, saya termasuk orang yang merasa kurang pas membawa-bawa hal ini dalam ranah syariat. Apalagi sampai pada kalangan yang menganggap pemunculan istilah Hari Ulang Tahun atau Hari Sumpah Pemuda dan sapiturute sebagai sebuah event tandingan untuk dua hari istimewa Idul Fitri dan Idul Adha.

Termasuk pula saya orang yang kurang sreg dengan kalangan yang menempatakan dirinya dalam posisis moderat, sehingga diubah menjadi "Met Hari Lahir" atau "Happy Milad". Ah, aneh saja, cuma nyampur-nyampurin bahasa, mbumbu-mbumbui Islami dan diTimurisasi sekenanya, seolah-olah kata itu lebih nyariat ketimbang ulang tahun.

Ulang tahun dari segi bahasa hanyalah serangkai kata biasa, sama seperti tepo seliro, sambung rasa atau kata sejenis lainnya. Jadi kenapa pula dipermasalahkan harfiahnya dengan membuat terobosan kata baru yang nggak ngkaidah dilihat dari aspek etimologi bahasa manapun?

Ulang tahunpun tidak perlu diprasangka akan bertanding-tandingan dengan Hari Raya apapun. Ulang tahun itu hari biasa kok, tidak ada syariat ritual apapun bahwa di tanggal itu saya harus nglarung sedekah danau atau berkorban buah kesemek.

Itulah kenapa saya tetap mengakui dan tidak men-delete istilah ulang tahun, karena dalam niatan saya itu tidak lebih dari dialektika budaya saja kok. Saya merasa kurang bijak, kalau di hari lahir adik saya yang masih kecil-kecil, yang hidup dilingkungan para tetangga yang kalau ulang tahun dibuatkan nasi kuning sapiturute kok saya adem ayem saja, pura-pura tidak tahu. Sekedar mengucapkan dan memberi kado akan menjadi sebuah bahasa non-verbal "oh, aku ternyata diperhatikan".

Seiring dengan pertambahan umur, akan ketemu kok pola komunikasi bahwasannya perhatian tidak melulu harus dengan kado di hari ulang tahun, itulah kenapa kepada adik saya paling besar yang sebentar lagi wisuda, tidak saya pentingkan lagi kado ulang tahun.

Masa iya, anak kecil dibilangi : "jangan, itu tidak ada tuntunannya!", atau "jangan", "jangan" lainnya. Nanti kalau dia tumbuh menjadi pribadi yang kaku, karena hanya mengenal pembeda antara "jangan" dan "tidak jangan", kan kasihan saya melihatnya. Biarlah akalnya menjadi sayap yang menopang hatinya menelusuri kebenaran, didasarkan pada kelembutan jiwa dan ilmu yang begitu indah, kompleks dan mendalam tentang jiwa.

"Tepat Waktu"

Kemarin niat mau buka bubur Ayam jam 7, tapi karena harus ke SMP 8 dulu, ke Asrama dulu dan bla, bla lainnya akhirna "tepat" jam 7.59 saya bisa mulai jualan.

Tepat waktu menjadi sesuatu yang sudah sangat kita toleransi bersama, bahwa kalau ada undangan rapat ba'da maghrib dan kita datang beberapa jam setelah Isya, asal masih "tepat" rapat itu belum bubar, masih biasa sajalah itu dan bisa dikatakan tepat waktu.

Dan kata Pak Man, pemilik Bakmi Dua Jaman yang tekenal di Jalan Parangtritis, Jogja, raihlah keberhasilan dengan sholat di awal waktu. Ya, tuntunan sholat memang diawal waktu, bukan tepat waktu, karena kalau hanya tepat waktu, setiap kita juga sudah begitu, sholat Ashar tepat di waktu Ashar, dan Sholat Maghrib tidak di waktu Shubuh. Kalau saja saya bisa menjalankan amalan yang dipesankan Pak Man ini, yang notabenenya adalah Sabda Nabi SAW, maka betapa perfectnya perjalanan dan pencapaian keberhasilan saya. Ya, tidak mudah, tapi terus diupayakan saja.

Sambil saya terus mengupayakan agar saya bisa lulus "tepat waktu", tepat 10 semester jatah maksimal masa study saya.


*Diinspirasi dari mesej FB Pa KaProdi tentang "tepat waktu", haha