12/6/10

Seandainya Kementerian Pendidikan Tidak Ada

Tidak ada menteri negara urusan Desain, tidak ada menteri pemberdayaan Distro tapi apa yang terjadi di Kota Bandung? Paris betul-betul menjadi Bandung van Eropa, Bandung betul-betul memukau, kreativitasnya mengalahkan Yogya sekalipun dalam posisinya sebagai kota budaya atau kota pelajar atau apapun peran Yogya.

Di Bandung ratusan nama Distro bertebaran, melibas desain-desain kiriman dari luar negeri. Padahal, peran negara hanya sebatas pada urusan regulasi dan penambah hurur "R" dari kata "Registred" di belakang nama-nama.

Begitupun, jika pemerintah menarik diri dari sistem pendidikan di Indonesia. Apakah serta merta bangsa ini menjadi bangsa yang bodoh? Jika pemerintah tidak menetapkan silabus pendidikan, bahkan jika pemerintah tidak mengeluarkan anggaran pendidikan sekalipun.


Jawabannya : Tidak. Negeri ini terlalu kaya alamnya untuk dijadikan media praktikum oleh anak-anaknya. Justru selama ini sekolah membatasi begitu sadisnya, bahwa yang namanya belajar dalam bentuk praktikum tidak lebih dari sekedar mengoleksi nilai atau menambah jumlah hafalan di kepala, sehingga alam terlalu banyak yang tidak dijamah untuk diekspolarasi dalam pembelajaran. Walhasil, pemuda-pemudi kita menjadi sosok yang gagap, sekalipun menyandang gelar sarjana, ketika berhadapan dengan peluang yang disediakan alam untuk berpenghidupan, mereka lebih memilih "Ah, ngode bae saja".

Demikian, apakah terus anak-anak kita menjadi pribadi bloon yang berdiam di rumah tidak tahu mau ngapain ketika sekolah tidak diwajibkan oleh negara? Jawabannyapun : Tidak. Orang seperti saya akan mendesain sekolah lokal, dengan kurikulum yang paling aplikabel agar orang-orang disekeliling saya bisa belajar sesuatu yang berguna bagi dirinya. Itu baru orang seperti saya, lantas bagaimana tokoh daerah, tokoh regional bahkan tokoh nasional lainnya.

Ha, bangsa ini terlalu banyak memiliki tokoh, yang mereka selama ini bekerja bukan hanya untuk mencari uang, mereka bekerja memajukan orang lain dengan membagikan ilmunya. Sayangnya negara membatasi, sepandai apapun orang kalau tidak punya NIP, tidak punya status sebagai guru, tidak boleh mengajari ilmunya secara intensif dalam jalur sekolah. Dan naasnya lagi, sekalipun tokoh itu punya NIP dan berstatus sebagai guru, ia di sekolah tidak boleh mengajarkan ilmu-ilmu paling brilian yang ia miliki, jika itu tidak ada dalam panduan kurikulum.

Saya membayangkan sekolah menjamur seperti Distro, sekolah bersaing kualitas seperti merk mie instan saling bersaing satu sama lain, sekolah berpacu dalam memberikan harga seperti operator seluler berpacu. Dan para tokoh berbondong-bondong membuat sekolah dengan masing-masing keunikan dan keistimewaannya, dengan orientasi utama adalah MANFAAT bukan KEWAJIBAN kepada negara, seperti para trainer motivasi berramai-ramai mendesain pelatihannya sendiri-sendiri saat ini, memberikan yang terbaik.

Kita tidak sadar telah menjadi bodoh karena sekolah, saking bodohnya, kita tidak pernah berpikir bahwa ketika negara tidak membuatkan rakyatnya sekolah, kreativitas metode pembagian ilmu dari generasi atas ke generasi bawahnya di bangsa ini akan merebak, membuat cerdas dimana-mana.

No comments:

Post a Comment