11/21/16

Penghujung

Biasanya masalah-masalah itu berupa letupan, ditiup sedikit saja hilang, selesai.

Tapi di penghujung tahun ini, masalah nampak seujung kuku, tapi didalamnya ternyata menghujam sebesar bongkah gunung es.

Masalah-masalah apa saja, jangan buru-buru menyelesaikan. Tapi buru-burulah menemukan hujaman ke kedalamannya.

Jangan sampai salah memperkarakan masalah. Sebab masalah yang sebenarnya justru tersembunyi di kedalaman.

Semoga di kedalaman kita menemukan mutiara, untuk digenggam memulai langkah tahun yang baru.

11/6/16

Nglari

Seorang saudara jauh datang hendak menyambung silaturahmi. Ia menyebut niat kedatangannya dengan istilah 'Nglari'.

Sebagaiamana anak kebanyakan di jaman ini, kosakata 'Nglari' sungguh undefined di pikiranku.

Ya, sebab sekarang api sebegitu mudahnya dibuat. Selain korek cuncek, korek gas dan aneka teknologi perkorekan berkembang demikian pesat.

Berbeda dengan jaman dulu. Ketika orang hendak membuat api, ia harus menyiapkan klari atau daun kelapa kering di para-para penyimpanan kayu bakar yang ada di dapur. Klari lalu di bawa ke dapur tetangga terdekat yang sudah terlebih dahulu membuat api.

Jadilah ia sukutkan klari kepada api pawon di dapur tetangganya itu untuk menyalakan api di dapurnya sendiri. Setelah menyala, api baru seolah punya nasab, hasil 'Nglari' dari tetangganya itu. Maka tak heran, ikatan nasab atas api membuat masakan yang matang dari atas pawon miliknya akan sampai punjungannya ke tetangga yang telah sudi  apinya disuluti klari tadi.

Harmony sekali peradaban menjadi.

Previllage Berbatas Waktu

Hidup itu futuristik. Di dalam hidup, kamu bisa melihat warna, merasakan gerak, meraba tekstur, membau rasa.

Semua itu serba canggih dan so sophisticated. Sebuah koordinasi faali tingkat tinggi antara indera sebagai responder, syaraf menghantarkan dan otak mengerjakan setiap asa.

Previllage ini kelak ada batas waktunya. Kita tak bisa mengerjakannya lagi.

Meskipun setelah previllage ini dicabut, kita dijanjikan untuk bisa mendapat peluang previllage yang lebih, lebih dan lebih dari yang sekarang bisa kita peroleh, tapi bukan berarti kita tidak rugi jika kita tidak mengagumi dan menikmati previllage yang diberikan Tuhan hari ini.

Menakjubkan sekali hidup ini.

10/14/16

Siklus 17 Tahun

Tahun Wabal hampir sampai penghujungnya. Sebuah siklus 17 tahunan. Juga siklus dari rentang yang lebih luas.

Kasyful hijab, tersingkap, telanjang semua.

Rasa-rasanya sudahlah, paling aman banyak-banyak waktu habiskan dengan keluarga saja.

Menjaga diri dari sapuan elnino kutukan.

9/23/16

Mbak Dwi

Mbak Dwi itu dibilang nggak punya, tapi punya. Dibilang punya, tapi nggak punya.

Sepertinya dia orang kaya, tapi minumnya bening, mau ngleseh bahkan ndlosor.

Sepertinya dia orang nggak punya, tapi pengalamannya kemana-mana. Dan tak pernah membuat repot siapa-siapa.

Mbak Dwi itu sempurna menutupi kekayaannya, dibalut citra bersahaja. Ia juga sempurna menutupi ketidakpunyaannya, hingga tak ada ruang untuk berbelas iba.

Didatangi peminta-minta sebab kaya itu ngga enak. Dikasihani sebab nggak punya, lebih ngga enak. Mbak Dwi aman dari kedua situasi itu.

9/7/16

Setengah Gelas

Wudhu dengan setengah gelas air mineral. Wow. Spektakuler.

Workshopnyapun ramai digelar di banyak kajian-kajian.

Pertanyaannya? Perlukah? Sedangkan ada S.O.P untuk tayamum ketika air langka/minim?

Kalau di Barat atau Timur Tengah mungkin teknik ini perlu, karena memang di sana air mahal. Bahkan saking bernilainya air, di Barat air hanya untuk makan dan minum, pamali dipakai cebok.

Tapi mungkin yang paling aplikatif adalah ajakan untuk hemat air saat ber-wudhu, itu sudah cukup. Tidak harus sebegitunya setengah gelas lah. Kalau memang air ae-langka itu, bukankah lebih baik disimpan untuk cadangan air minum saja?

9/5/16

Expert of Business

Setuju dengan kata-kata Rendra ketika ia memerankan Samin Surasentika: Bisnis itu tukar menukar kebutuhan.

Ya, itulah praktek paling konvensional dalam bisnis. Kebutuhan ditukar dengan kebutuhan, nilai tambah ditukar dengan laba.

Beranjak sengit orang bersaing dalam bisnis, kemudian bisnis berubah definisi menjadi adu iklan, lomba promosi.

Lebih expert lagi, kemudian definisi bisnis berubah menjadi unggul-unggulan modal.

Terus berkembang, bisnis kemudian menjadi dulu-duluan informasi. Di sini, keberadaan koneksi menjadi penting.

Pada tingkat lebih megahnya, bisnis adalah bagaimana deal-dealan dibalik meja. Entertain menjadi mendesak keberadaannya.

Dan pada puncaknya, bisnis adalah menundukkan regulasi. Pada level ini, bahkan sumber daya alam dan cabang produksi pokok saja bisa dikuasai.

Di atas puncak ternyata masih ada puncak. Apa itu? Bisnis adalah menghutangi pembuat regulasi, sehingga mereka bertekuk lutut sempurna. Sebenarnya praktek ini tak beda dengan praktek pembelian ijon yang dialami petani kelas bawah.

Sekarang pilihan di tanganmu, mau sukses bisnis yang seperti apa?

8/1/16

Business Cycle

Metode bisnis orang Jawa jaman dulu menurtku sangat menarik. Rumusnya 3W :
1. Warungan
2. (ngingu) Wedhus
3. (nandur) Wit-witan

Warung jadi perputaran ekonomi harian. Wedhus alias kambing jadi perputaran tahunan. Dan Wit-witan alias pohon-pohonan perputaran per generasi. Maka kita lihat Jawa kaya dengan kayu-kayu tua. Kayu yang bukan ditanam oleh generasi pemanen, tetapi oleh generasi-generasi sebelumnya. Itu pula kenapa orang Jawa dulu hidup berkecukupan, meski tak punya asuransi berlapis-lapis. Makmur dalam keadilan.

Business Cycle itu menarik. Yang kekinian misalnya berikut ini, dari yang paling pendek, sampai yang lebih panjang siklusnya.
1. Project
2. Event
3. Consumer Goods
4. Inventory
5. Field.

7/20/16

Muhammad Ali, Idealis Sejati

“Saya tidak pernah kenal, bergaul atau punya masalah dengan rakyat Vietnam”, kata Ali, “kenapa saya harus pergi ke sana dan membunuhi mereka?”

Ali dicampakkan ke dalam Bui 3,3 tahun, dicopot gelarnya sebagai Juara Tinju Dunia, pada usia peak-time di mana tak seorang petinju lainnya sanggup mengalahkannya. Miliaran dolar ia relakan. Popularitas sejagat raya ia ikhlaskan. Siapakah Ali, kalau bukan seorang Zahid? Sedangkan kita orangtua-orangtua murid membeli jawaban soal Ujian SD empat juta rupiah hanya untuk pura-pura lulus.

Selengkapnya DAUR (165) klik di sini.

7/18/16

#5 Serba Babi

Meski Muslim adalah penduduk minoritas, tetapi sejumlah masjid-masjid besar dapat kita jumpai di pusat-pusat keramaian di Kota Bangkok. Aku hanya sempat mengunjungi satu masjid di Kota Bangkok, Masjid Java namanya. Masjid ini terletak di tengah pemukiman Muslim Melayu. Selain Masjid Java, aku juga sempat tahiyatul masjid di masjid agungnya Kota Pattaya. Sebuah masjid megah yang terintegrasi dengan kompleks sekolah Islam.

Berada di kompleks tersebut tentu saja tidak sulit mencari makanan halal. Berbeda dengan di tempat selain kompleks Muslim, makanan di Thailand didominasi dengan menu yang serba babi. Mata harus jeli sebelum memilih masuk ke sebuah warung makan. Bukan hanya makanan berat, snack-pun harus hati-hati. Aku sempat kecele membeli camilan coconut chip bumbu daging babi. Untung tak sampai dimakan.

Tips mencari makanan halal adalah carilah warung makan yang penjualnya Muslim. Bisa dilihat muka penjualnya, apakah Melayu ataukah Timur Tengah. Apalagi kalau diantara mereka ada yang memakai peci atau kerudung. Amanlah kita makan di situ. Namun, jika kita berada di kompleks yang tidak ada Melayu dan Timur Tengahnya, sementara perut keroncongan tidak bisa ditahan, maka kalau ijtihadku adalah dengan mencari restoran waralaba global. KFC, McD, BurgerKing. Atau minimarket macam Seven Eleven. Kalau tidak sreg dengan menu goreng-gorengan dan daging-dagingan, kita bisa pilih roti-rotian, tapi pastikan selainya nggak neka-neko.

Di perhelatan Thaifex, halal menjadi isu utama yang diangkat bersamaan dengan isu organic. Produk yang berlabel halal dan bersertifikat organik dari dua ribuan booth yang ada di expo kali itu menjadi primadona dan diberi space display tersendiri. Yah, bagaimanapun halal adalah nilai lebih, meskipun bagi para buyer dan trader non-Muslim.



7/5/16

#4 Kitchen of The World

Meski di luar negeri, tapi nasi yang aku makan terasa enak, cocok di lidah. Terang saja, kan beras kita banyak juga yang impor dari Thailand. Event Thaifex yang aku ikuti di kesempatan itu ramai dikunjungi pengunjung. Tiga hari pertama adalah jatahnya pengunjung khusus, yakni para buyer dan mitra dagang. Naga-naganya Thaifex ini menjadi expo bidang pangan yang paling strategis di ASEAN.

Thailand memang belum terkalahkan dalam urusan pembangunan bidang pangan. Wajar kalau buyer dari seluruh dunia lebih tertarik menghadiri event di Bangkok, ketimbang missal event yang mirip-mirip yang digelar di Jakarta.

Luasnya area expo yang diikuti hampir 2.000 tenant ini dibanjiri oleh pengunjung potensial. Di depan gerbang, dengan bangganya Thailand mengumumkan diri sebagai : Kitchen of The World, dapurnya dunia. Ya, ekspor komoditas pangan mereka bukan hanya beras menuju Indonesia, tetapi berbagai komoditas pangan menuju Eropa dan Timur Tengah juga gencar mereka lakukan. Sementara kita tahu, ASEAN dari segi keberagaman sumber daya pangan mempunyai potensi yang sangat kaya. Untuk urusan ini, sepertinya kita ketinggalan beberapa langkah dari Thailand.

Komoditas yang menjadi primadona pada perhelatan Thaifex tahun ini adalah kelapa. Aneka olahan kelapa disajikan dalam kemasan modern. Diantaranya adalah coconut water alias air kelapa alias banyu degan. Thailand sudah mengembangkan banyak merk dan OEM dalam banyak kemasan, sementara kita masih asik mengekspor dalam bulk atau curah. Sebagai negeri Rayuan Pulau Kelapa, adalah tantangan tersendiri bagi kita untuk menyalip ketinggalan.[]






7/1/16

#3 Tuk-Tuk

Vihara kecil di depan pertokoan
Masjid Agung Pattaya
Batal menggunakan shuttle bus, aku naik van menuju Pattaya terlebih dahulu. Dengan 80 Bath atau cuma sekitar 32 Ribu Rupiah., van berupa Toyota Hiace full AC mengantarkanku menuju Pattaya. Rehat sejenak di Pattaya, sight seeing, lalu aku lanjut naik Bus semacam Damri nya Thailand. Bus Pattaya Bangkok dengan jarak tempuh 3 jam hanya membayar 108 bath saja atau sekitar 42 Ribu Rupiah.

Sampailah di ibukota, Bangkok. Sepanjang jalan aku jumpai banyak penduduk yang memasang semacam vihara mini di depan rumahnya. Di viahar mini itu terdapat diorama patung-patung dan didepannya diletakkan sesaji. Sepertinya mereka masih lekat memegang tradisi, sebagaimana di Bali. Sementara kita tahu, di alam modernitas, sesaji adalah barang tabu.

Aku membayangkan, kalau saja Jawa, Sunda dan bangsa-bangsa lain di negeri ini tidak pernah mengalami pemenggalan sejarah oleh kedatangan penjajah seperti Thailand. Mungkin juga mereka masih memiliki banyak tradisi orisinil yang masih terjaga. Tidak seperti sekarang, semua berubah menjadi serba modern-minimalis.

Bangkok tak ubahnya seperti Jakarta, crowded dan macet. Sistem transportasi terbantu oleh adanya BTS, kereta layang yang mengubungkan titik-titik di dalam kota. Turun dari bus di terminal bus Ekkamai, langsung ada halte BTS disitu. Tinggal lihat map, dan mencari halte terdekat dengan destinasi yang akan dituju.

Aku akan menuju daerah Silom. Dari Ekkamai, naik BTS dengan sekali transit di Siam, lalu aku turun di halte Surasak. Kalau jarak tempuh dari halte menuju lokasi masih jauh, kita bisa mengunakan Tuk-tuk. Tuk-tuk itu angkutan semacam large-seriesnya bajaj, bisa muat berempat dan sopirnya hobi ngebut. Semakin sopir dipuji, semakin ngebut. Kalau dipuji lagi, maka sang sopir akan beratraksi. Diantara atraksinya adalah menyelinap di tengah kemacetan dengan jarak antar mobil begitu tipis, dan lebih dahsyatnya lagi adalah atraksi standing, jumping.

Tuk-Tuk


6/30/16

#2 Tebak Bahasa

Kota Sattahip
Pagi menjelang, kota Sattahip yang ketika aku datang masih berbalut malam, kini nampak telanjang. Pemandangan kota kecil yang sedang gegap membangun, mengaspal, melebarkan jalan, juga mengeruk gunung-gunung. Melihat pemandangan seperti ini, yang teringat olehku adalah Sumenep. Entah mirip, entah tidak.

Semalam aku ditunjukki oleh pemuda karyawan bandara yang membantuku sebuah kios dengan papan nama full Bahasa Thai. Ini adalah kios sebuah agen shuttle bus. Setelah berbincang panjang, perbincangan unik antara calon penumpang dengan ibu penjaga agen, akhirnya aku tahu tarif ke Bangkok adalah 1,600 Bath atau sekitar 640,000 rupiah. Kenapa perbincangan unik? Yah, karena aku bertanya dengan bahasa Inggris dan si ibu menjawab dengan bahasa Thai. Dan begitu seterusnya dialog berlangsung. Satu sama lain tidak paham sebenarnya, tapi tetap saja bicara.

Begitulah, reception hotel, penjaga mini market, satpam bank, tukang ojek, mereka yang aku jumpai hanya bisa bahasa Thai. Susah-susah aku melafalkan Bahasa Inggris, eh lah mereka tak paham. Lebih baik bahasa Jawa-an saja saya kalau begitu. Toh, sama juga tak pahamnya.

Thailand mempungai bahasa sendiri, juga mempunyai abjad sendiri. Konon kosakata dan huruf yang mereka miliki berasal-usul dari Sanskerta. Yah, Thailand beruntung tak pernah dijajah. Mungkin seruntuhnya Majapahit, mereka berdikari, dipimpin adipati atau raja kecil dari masyarakat mereka sendiri. Lalu kemudian setelah PD II lahir tren membuat negara modern, sehingga terpaksa merekapun membentuk diri menjadi sebuah negara. Sehingga bahasa daerah, huruf dari suku mereka, menjadi bahasa dan huruf nasional. Keren.

Keesokan harinya, seorang interpreter yang menemaniku selama di Thailand menyampaikan, bahwa untuk belajar Bahasa Thailand butuh waktu bertahun-tahun lebih lama, ketimbang belajar Bahasa Indonesia. Ia mengaku belajar Bahasa Indonesia di Semarang, setahun saja kala itu. Arus turis yang gencar masuk ke Negeri Gajah Putih itu, tidak diimbangi dengan penguasaan bahasa internasional. Tidak seperti di Manila, tidak seperti di Jakarta. Entah keunggulan karena otentik, atau kemunduran karena membuat bingung pelancong sepertiku. Hehe..

Aksara Thailand


6/28/16

#1 Penumpang Terakhir

Hampir tengah malam, akhirnya aku menginjakkan kaki jua di Thailand. Airasia SIN-UTP yang membawaku tiba di Bandara Utapao, dekat Pattaya. Aku sengaja memilih rute ini dalam perjalananku ke Bangkok kali ini, sebab rute ini tarifnya paling murah.

Tak apalah harus dua jam overland ke Bangkok. Dua jam itu menurut wisik dari google map, walau pada kenyataannya berbeda : seharian! Yah, butuh waktu sehari untuk menempuh Bangkok, keesokan petang menjelang maghrib barulah aku menginjakkan kaki di ibukota Negeri Siam.

Ceritanya seru, tapi nanti dulu. Ini aku selesaikan dulu tantangan pertamaku dulu. Berada di Bandara Utapao, bandara kecil milik militer Thailand yang sedang membangun menjadi bandara komersial. Flight-ku adalah yang terakhir malam hari itu. Petugas bandara, karyawan-karyawan kios, semua berkemas. Lampu dikurangi, pintu-pintu ditutup. Yang ada hanya tentara berjaga. Yah, karena memang ini lapangan terbang milik tentara.

Aku sebenarnya sudah berniat begadang menunggu bus paling pagi ke Bangkok. Welah, tak disangka ternyata tak ada satupun kedai junk food atau minimarket 24 jam untukku nongkrong di sini. Bagaimana ini? Mana Taksi sudah habis pula.

Ditengah kebingunanku malam hari itu, setelah hampir sejam beranjak, akhirnya Tuhan turun langsung menangani penumpang terakhir di Bandara Utapao. Ada seorang karyawan yang baru selesai berkemas bersiap akan pulang tiba-tiba manyapaku. Tidak seperti kebanyakan petugas lainnya, dia bisa aku ajak bicara Bahasa Inggris. Syukurlah.. 

Lalu anak muda ini, bersama seorang kawannya berbaik hati mencarikan solusi untukku. Mereka menawarkan diri untuk mengantarku keluar dari bandara menuju ke kota terdekat, kota Sattahip. Sekitar 7 km aku membonceng, dicarikan oleh mereka sebuah penginapan, aku memutuskan bermalam. Menunggu pagi menjelang. 

Dua anak muda baik ini tak mau diberi ongkos. Padahal dia sudah melakukan misi penyelamatan dari resiko dikeroyok nyamuk, atau mati kutu menunggu pagi, atau diseret petugas keamanan. Terima kasih. []


Hall kedatangan U-Tapao, Pattaya Airport
Sebuah loket bus antar kota

6/19/16

Aman Bergenerasi-Generasi

2016 dilanda elnino, dingin-panas, reda-hujan berfluktuasi secara ujug-ujug dan mengagetkan. Kabarnya beberapa daerah dilanda bencana, banjir dan longsor. 

Setiap tanah yang kita pijaki, bisa berpotensi bencana. Antara takut-takut paranoid bencana mendatangi kita, antara penuh percaya diri daerah kita aman, dimana tepatnya sikap kita?

Dari cerita yang tutur tinular, Mbah Buyut adalah yang pertama kali datang ke Desa tempat aku tinggal sekarang. Orang tua dari Mbah Putri itu bertempat tinggal di depan Masjid yang sekarang biasa aku pakai Jumatan. Lalu ketika Mbah berkeluarga, mereka menempati rumah di sebelah kanan nya, yang menjadi rumah Mbah sampai akhir hayatnya.

Aku percaya Mbah Buyut memilih lokasi rumah tinggal di tempat itu, bukan tanpa pertimbangan. Bahkan pertimbangannya lebih akurat ketimbang orang jaman sekarang memilih perumahan. Aku percaya sejak peletakkan batu pertama, rumah pertama di desa tempat aku tinggal itu, Mbah sudah memanjatkan doa, untuk aman dan selamat, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk anak turun dan generasi penerusnya. 

Aku hanya bisa menerka-nerka, ilmu memilih ketepatan, sepertihalnya kemampuan Mbah Buyut menemukan ketepatan pemilihan lokasi dahulu. Satu petak tanah dari sebukit ladang yang demikian luas, yang berjarak berkilo-kilo meter dari pemukiman yang sudah ada sebelumnya.  

5/17/16

Materialisme, Eksistensialisme

Sejak aku sadar di sekolah aku dikandangkan untuk menjadi perahan industri, batinku minggat meski lahirku tetap tertahan. Batin sudah minggat, badan kemudian ikut-ikutan tak kuat tetap bertahan. Untung bisa menahan badan, setidaknya sampai dapat ijasah.

Hidup itu memang butuh materi, karena itu kita harus mencarinya. Tapi bukan berarti kita harus menjadi pengaut agama materi, yang inna sholati, wanusuki, wa mahyaya, wa mahmati li materi.

Tapi sekarang, sudah sempurnalah kemurtadanku dari agama materi. Sudah, selesaikan euforiamu, kebiasaanmu berbangga-bangga mengaku-aku menjadi kaum murtad.

Kamu sudah berada di agama baru. Kamu tak butuh mencantumkan agama non-materi mu itu di KTP. Cukup dibatin saja juga nggak apa-apa.

Kalau kamu tidak paham ini, diam-diam justru kamu terseret masuk ke dalam agama eksistensi. Malah lebih mengerikan lagi.

5/8/16

Bulan Puasa di Manila

Ini kali pertamaku merasakan suasana Bulan Puasa di negeri orang. Manila, Ibukota negara Filipina, di Bulan Puasa tahun kemarin aku berkesempatan mengunjunginya. Kami bertiga dalam rombongan backpacker kali ini.

Di Kota Manila, muslim adalah minoritas. Ketika berangkat dari tanah air, nuansa Bulan Puasa begitu kentara, mulai dari pengeras suara di Masjid dan Surau, jalanan yang lengang karena warung makan sebagian tutup, juga iklan-iklan di televise yang dipenuhi oleh sirup, sarung dan obat maagh. Berbeda situasinya setiba aku di Ibukota negara yang terletak di sisian Samudera Pasifik saat itu, tidak ada pengeras suara nuansa Bulan Puasa menggema, warung dan penjaja jajanan juga ramai saja.

Dengan penerbangan Cebu Pacific Airlines tengah malam kita meninggalkan Jakarta, tiba di Bandara Ninoy Aquino International pagi-pagi buta. Setelah sejenak meregangkan tubuh di selasar hall kedatangan, lalu menuju money changer, kita lantas beranjak menuju halte shuttle bus. Dengan shuttle bus seharga 20 Peso, kita terangkut menuju stasiun MRT dalam kota terdekat. Kurs untuk 1 Peso sekitar 300 rupiah. Setelah naik MRT, kita harus menyambung dengan kendaraan lagi untuk mencapai hotel. Disinilah kita menjumpai angkutan yang hanya ada di Filipina, angkutan umum mirip jeep, mirip oplet, Jeepney namanya. Bentuknya lucu, ditambah livery yang dibuat oleh si-sopir suka-suka, menjadi kesan tersendiri menumpangi Jeepney. Ruang untuk penumpangnya luas dan ongkosnya murah, 8 Peso saja.

Sesampai di Artina Hotel, kita diijinkan early chek in gratis. Mungkin sang receptionist kasihan melihat muka lusuh kita, apalagi diluar sedang turun hujan. Padahal Bulan Juli 2015 waktu itu Indonesia masih kemarau, tapi Filipina hujan dan gerimis sepanjang hari. Tampaknya Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sedang tidak akur. Hehe..

Jeepney

Setelah badan terasa lebih fit, menjelang sore hari kita kembali berburu Jeepney. Masih belum puas menikmati kendaraan unik yang satu ini. Kali ini destinasi kita adalah menuju Carriedo. Di Carriedo terdapat masjid terbesar di Manila, Moskeng Ginto namanya. Masjid ini kubahnya dicat kuning keemasan, karena inilah dinamai Moskeng Ginto yang berarti Masjid Emas. Disekeliling masjid dihuni oleh penduduk Muslim, sehingga kawasan tersebut disebut Moslem Town.

Jam di Manila lebih cepat dua jam dari Jakarta, karenanya buka puasanya terasa lebih lambat dua jam. Kita biasa berbuka puasa menjelang jam enam, kali ini harus menunggu jam setengah delapan lebih. Tapi kukuruyuknya perut untungnya terhibur oleh stand pembagian buka puasa gratis di halaman masjid. Horee.. senangnya berbuka puasa bersama di negeri orang, gratis pula.

Moskeng Ginto tentu saja tidak sebesar Istiqlal. Masjid terbesar di Manila ini mungkin setara besarnya dengan masjid-masjid agung di kabupaten-kabupaten di Indonesia. Masjid cukup ramai oleh jamaah, karena memang disekelilingnya dihuni oleh penduduk Muslim. Disamping itu, kala itu juga sedang Bulan Puasa. Penjaga Masjidnya bersikap ramah terhadap tamu, kita diajak berkeliling untuk mengenali arsitektur dan diberi cerita singkat sekilas masjid ini. Sayangnya, lingkungan sekeliling masjid masih kumuh terkesannya. Terlebih saat itu becek karena musim hujan. Mungkin perlu dibuatkan pagar yang lebih rapih sebagai pembatas masjid dengan hunian penduduk disekelilingnya, sehingga sampah rumah tangga tidak ikut membuat kumuh masjid.

Seusai mengikuti sholat taraweh, kita mengisi waktu dengan berkeliling sekitar Moslem Town itu. Disini banyak warung makanan dan jajanan. Diantara makanan yang unik adalah ikan asap yang ditusuk utuh berukuran 30 – 40 cm. Sebab aku tidak menyukai ikan, aku tidak berminat untuk mencobanya. Bagi kaum Muslim tentu berbelanja makanan di area ini aman, karena diluar sana banyak sekali makanan yang mengandung babi. Meskipun diluaran sana kita dapat mengenali warung makan yang menyediakan babi atau tidak dengan di papan namanya terdapat tulisan “Bobbay”.

Di hari berikutnya, giliran kita mengeksplorasi sejarah Manila di Museum Nasional-nya. Museum yang memanfaatkan bangunan peninggalan kuno yang megah ini memiliki koleksi yang lengkap, mulai dari sejarah purbakala, sejarah awal Filipina hingga perjalanan tumbuh kembang seni budaya, tradisi dan pangan Filipina hingga saat ini. Untuk menikmati semua itu, kita tidak dipungut tiket masuk. Souvenir shop ada di sisi museum, kita memborong untuk oleh-oleh disini.

Moslem Town
National Museum
Selain mengunjungi Rizal Park, selebihnya di hari itu kita mondar-mandir menikmati MRT dan Jeepney, moda transportasi dalam kota yang tidak mewah, tapi mudah dan murah.

Di hari ketiga yang menjadi hari terakhir kita di negara bekas jajahan Portugis ini, kita melanjutkan eksplorasi ke Manila Bay. Pantai di pusat kota ini berada disamping persis Kedutaan Besar Amerika Serikat. Lalu disampingnya lagi ada Pelabuhan Laut Manila. Setelah kepayahan berjalan kaki lima kilometer lebih menyusuri pantai dan menyusuri jalanan kota Manila, tibalah saatnya kita menuju Bandara. Untuk menjangkau stasiun MRT terdekat, kita memilih kendaraan semacam Bentor (Becak Bermotor). Aih sayang, driver bentornya nakal. Harga yang disepakati 40 Peso saat sebelum naik, lalu saat turun dia memaksa kita membayar 80 Peso. Daripada membuat ribut di negeri orang, ya sudah lah aku bayar saja sesuai yang dia minta.

Naik Bentor
Halte LRT
Akhirnya sampailah kita di Bandara, menunggu penerbangan berikutnya menuju Singapura. Lain kali mudah-mudahan ada kesempatan mengeksplorasi lebih luas negara ini. Mungkin bisa dicoba lewat jalur laut, menyeberang dari arah selatan dari Pulau Morotai di Indonesia Timur sana.[]

4/22/16

Umur Obsesif

Kamu itu masih berasa di umur obsesif. Tapi kenapa takut berobsesi?

Takut obsesimu gagal? Bukan dauntless namanya itu.

Takut dianggap orang obsesif? Bukan candor itu berarti kamu.

Merasa obsesimu tidak akan menjadi kemanfaatan bagi banyak orang? Bukan abnegation kalau gitu.

Nggak bisa menghitung, menakar, mengejawantahkan obsesimu dalam manajemen? Tanda bahwa kamu bukan Erudite.

Atau bahkan kamu mengalami confused di dalam dirimu sendiri tentang apa itu obsesi & bukan obsesi? Tidak Amity kamu.

Bertukar Waktu

Kalau hari ini kita bisa bertukar waktu dg diri kita di masa depan. Meminjam mesin waktu Doraemon misal. Apa yang akan kita lakukan?

Kita bisa-bisa akan melakukan sebanyak mungkin hal, sekalipun itu adalah hal-hal yang berpotensi kesalahan. Sebab, diri kita dari masa yang akan datang itu adalah si penanggung penyesalan-penyesalan.

Penyesalan atas hal-hal yang bisa kita lakukan tapi tidak kita lakukan hari ini.

Jangan Sampai Kaya

Lahirku ingin kaya yang raya. Bukan cuma ingin malah, tapi berjuang mati-matian. Tapi jangan-jangan, diam-diam batinku terobsesi sebaliknya: Mbok, kalau bisa jangan sampai kaya.

Apalagi raya, kaya saja sudah mencemaskan. Aku menjadi sepertinya tak butuh tawaran bantuan siapa-siapa lagi kalau uangku sudah tak hitungan banyaknya.

4/21/16

Ketungkul

Nasibmu yang silau oleh iming-iming adalah terbeli. Sementara nasibmu yang berhasil tidak silau, tapi gagal membikin manajemen adalah ketungkul.

Manajemen! Kecuali kamu penikmat ratapan nasib.

3/30/16

Antara Daratan

Kalau ada alien penghuni planet lain pertama kali melihat google map dan dia kepincut dengan gugusan kepulauan Nusantara, itu wajar. Diseantero google map tak ada kenampakan yang lebih estetis ketimbang gugusan kepulauan Nusantara.

Di ribuan pulau itu, semua sambung menyambung oleh jalur kapal laut. Berbeda dengan Serawak dan Semenanjungnya Kuala Lumpur, walau mereka satu negara tapi tidak ada jalur lautnya. Wajar, karena bentangan Serawak di sisi timur dan Semenanjung di sisi Barat sangatlah jauh. Tidak ada jarak antar pulau besar di Nusantara yang jaraknya sejauh dua daratan di negeri jiran itu.

Terpisah tapi tersambung. Itu cuma satu dari semilyar anugerah Nusantara dari Tuhan.

3/29/16

Sebelum Traveling

Ada orang yang maunya traveling pakai biro perjalanan. Tak perlu ribet, diantar kesana-kemari, ada pemandu, bisa ke  banyak destinasi, bisa dapat banyak foto-foto. Sebaliknya, ada traveler yang sukanya jalan sendiri, tanpa biro, nyasar-nyasar, menemukan destinasi-destinasi yang tidak biasa.

Lepas dari kamu termasuk yang mana diantara kedua jenis traveler itu, saat ini ada yang beda dengan jaman dulu. Kalau jaman dulu, panduan wisata paling banter adalah buku Lonely Planet, selebihnya adalah tanya-tanya penduduk setempat. Saat ini, di era informasi membludak, kita bisa hunting informasi selengkap-lengkapnya sebelum berangkat.

Wah, kan nggak seru, nggak surprise kalau kita sudah kadung tahu banyak destinasi kita? Ya, tergantung ukuran serumu bagaimana. Kalau yang disebut seru, kamu datang dengan gagap meraba-raba, berharap menemukan hal-hal tak terduga, ya iya. Tapi dengan model begitu, kamu akan banyak wasting time, waktu sehari yang seharusnya bisa mengerjakan banyak hal, menuju banyak destinasi, hanya dihabiskan untuk surprise-surprisemu itu. Ketika sudah pulang dan tak sengaja kamu menemukan bacaan bahwa di tempat yang habis kamu tuju ada ini dan itu yang menarik dan kamu tak beruntung menemukannya kemarin, kamu tinggal menyesal sendiri deh.

Maka, cari informasi banyak-banyak tidak ada salahnya. Kamu bisa memilih dan memilah destinasimu, mengefektifkan rutemu, menghemat budget transportasi dan penginapanmu. Dengan menggali informasi banyak-banyak, kamu justru mungkin dapat menemukan hal-hal baru yang tidak dijumpai oleh traveler lain. Kalau kamu cerdas saja si.

Demam Hypnosis

Demam yang tidak disembuhkan bisa menjadi kebanjur, terlanjur. Ada yang demam hypnosis, lalu berhenti berkutat disana, lupa bahwa hypnosis hanya salah satu saja dari rekayasa psikologi manusia. Analogi kandang kambing, hypnosis hanya salah satu bahan pagar saja, untuk menjaga agar kambing tidak liar, tetap tertib sosial.

Hypnosis tidak membuat kambing memiliki cara berpikir yang lebih maju dibanding cara berpikir sebelumnya. Sehingga tidak ada kemungkinan di masa depan kambing akan tidak liar, walau tidak dibuatkan pagar.

Ada juga yang demam fisika quantum. Terlena bahwa fisika quantum sebetulnya hanya tafsir subyektif seseorang yang mana tafsir tersebut ia ejawantahkan menggunakan term-term fisika. Mempelajarinya tanpa bingkai ketunggalan, kemanunggalan, wahhada, yuwahhidu, tauhidan berpotensi membuat kita blunder sendiri pada kepentingan-kepentingan pendek semata.

Analoginya, kambing mungkin masih bisa diajak memahami bagaimana mekanisme alam semesta mendatangkan seonggok pakan. Tapi tanpa bingkai tauhid, kambing tidak ada kemungkinan untuk memahami untuk apa ia berada dan untuk apa ia harus memakan pakan.

Dan masih banyak jenis demam-demam lainnya, demam berpergerakan, demam berdakwah, dll.

Wabal, Bulan-bulan Kutukan

Ini masih bulan Wabal, bulan-bulan kutukan. Sebab di bulan kutukan, foto bareng presiden saja jadi bahan bully-an. Haha...

Di bulan-bulan kutukan, jangan terlalu banyak berekspresi, orang berkemungkinan salah berekspektasi, atau lebih tepatnya, niat 'jelek' terselubungmu mudah diketahui orang. Di bulan-bulan kutukan, jangan ketungkul asyik dengan kesenanganmu sendiri. Sebab kesenangan kebanyakan adalah melenakan. Di bulan-bulan kutukan, jagalah diri dengan puasa. Puasai apa saja, rem dalam-dalam pekerjaan yang tidak diperlukan, rem dalam-dalam segala keisengan.

Setelah bulan-bulan ini berlalu, semoga kita tergolong orang yang selamat, lolos dan tetap lanjut pada pegangan dan tumpuan nilai yang benar, pada sumur ilmu yang benar pula.

3/5/16

Akhlak kepada Bos, Akhlak kepada Leluhur

Kata Aa Gym barusan di Istiqlal, kita tidak perlu berdoa melalui perantara ulama atau leluhur yang sudah berada di alam Barzakh. Alasan Aa Gym, karena Allah lebih dekat dari urat leher, jadi meminta langsung saja kepada Allah.

Betul. Allah lebih dekat dari urat leher. Karena itu, sebetulnya orang tidak perlu bekerja. Langsung minta ke Allah saja. Namun pasti pendapat seperti ini akan ditolak. Oh ya tidak, bekerja itu harus, karena rezeki itu harus ada ikhtiarnya.

Bekerja harus ada ikhtiarnya. Lantas berdoa memang tidak harus diikhtiari? Doa dan ikhtiar kita sekulerkan sedemikian rupa si, sehingga cara berpikir kita yang salah memproduk cara pandang terhadap berziarah kepada ulama yang masih hidup dan bersilaturahim kepada leluhur yang sudah berpulang secara kelira-liru pula.

Betapa banyak orang mendapat rezeki bahkan tanpa wasilah ikhtiar. Ya, karena rezeki itu dari Allah. Dan Allah itu sangat dekat. Lalu, kenapa kita harus bekerja? Sebetulnya, bekerja itu hanya urusan akhlak saja. Akhlak alias kepatutan. Kepatutan dihadapan Allah, juga kepatutan dihadapan manusia.

Maka ketika kita memilih menjauhi ulama dan antipati kepada makam leluhur, pikirkan pula akhlak kita. Akhlak dihadapan Allah, akhlak dihadapan orang. Betapa senang Allah melihat akhlak anak cucu seorang leluhur yang rajin berziarah dan berdoa. Apalagi jika sang leluhur itu adalah seorang pejuang agama yang tergolong kelompok syuhada, yang tetap hidup dan mendapat rezeki di sisi Allah sekalipun sudah mati. Betapa indahnya orang-orang akan melihat seseorang yang rajin berziarah, berbakti kepada leluhurnya.

Maka yang harus digaris bawahi adalah, kalau mau jadi seorang agamis, hilangkan pikiran sekuler. Jangan pisahkan doa dan ikhitiar. Jagalah akhlak kepada leluhur, sebagaimana kita menjaga akhlak kepada bos ditempat kerja kita.

Kecuali kita tak mengimani kematian, menganggap mereka yang tak ada bersama kita berarti benar-benar tiada. Padahal, kita saja yang tak tahu kehidupan mereka, seperti bayi di perut ibu yang tak tahu kehidupan dunia dengan mall, gadget juga sosmed. Betul begitu Aa?

2/29/16

Kemutakhiran Masa Lalu

Kisah ini terjadi sekitar 250 tahun yang lalu, dituturkan oleh Mbah Kung yang tahun ini genap beliau menginjak usia 100 tahun.

Alkisah Kadipaten Banyumas dipimpin oleh Adipati Yudhanegara II. Sang Adipati bertitah untuk membangun Masjid.], maka dibangunlah Masjid di sisi barat alun-alun Banyumas. Dengan membuka sistem donasi terbatas, Demang Nur Dlaiman dari Gemelem menyumbangkan soko guru atau 4 pilar utama untuk masjid tersebut sekaligus mengarsitekinya.

Setelah Masjid tersebut berdiri, Adipati kesulitan menemukan khatib atau imam masjid. Maklum, saat itu belum ada audisi orang alim seperti hari ini. Tidak selang berapa lama, seorang santri yang tengah lulus dari Pesantren Somalangu, Kebumen sedang berperjalanan menuju Pajajaran tempat kelahirannya. Ketika santri tersebut melintas di alun-alun Banyumas, dicegatlah santri tersebut, kemudian sang Adipati memohon kesediaannya untuk tinggal dan menetap di Banyumas menjadi khatib di masjid yang baru dibangun tersebut.

Singkat cerita, santri tersebut bersedia memenuhi permintaan sang Adipati. Kelak di kemudian hari, santri tersebut dikenal sebagai Eyang Sulaiman, namanya dipadukan dengan nama Deman Nur Dlaiman donatur utama dan arsitek masjid tersebut menjadi Masjid Nur Sulaiman. Masjid tersebut kini menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi oleh negara berdasarkan undang-undang.

Masjid tersebut berdiri ketika sekuleritas agama belum terjadi seperti saat ini. Selain sebagai khatib Masjid, Eyang Sulaiman dikenal sebagai penasehat spiritual Adipati Yudhanegara II. Mungkin istilah sekarang yang relevan adalah menjadi ketua Epistemic Kota. Alangkah Indahnya suasana pemerintahan kadipaten di masa itu ketika Sang Adipati mengkonsultasikan segala unek-unek dan kebijakannya kepada sesepuh terlebih dahulu yang pada masa itu sesepuh direpresentasikan oleh kaum alim ulama.

Di usia senjanya Eyang Sulaiman berpindah ke Kalimanah, Purbalingga. Entah mengapa sebabnya Mbah Kung tidak menuturkan. Dugaanku, Eyang Sulaiman pindah ke Purbalingga karena di saat itu Kadipaten Purbalingga baru saja disahkan pemekarannya oleh Negara Monarki Pajang. Sebagai kadipaten yang baru berdiri tentu saja membutuhkan konsultan Epistemic Kota pula untuk mengawal laju awal pemerintahan. Atau kemungkinan lainnya dari kepindahan itu adalah karena Eyang Sulaiman beristri orang Purbalingga.

Sejarah kerajaan dan kadipaten kini distigmakan dengan pertikaian dan keterbelakangan. Namun sesungguhnya, sejarah itu disembunyikan dari kecanggihan dan kemutakhiran sistem manajemen pemerintahan, konsititusi dan penanganan sosial. Agamawan dahulu ditempatkan sedemikian rupa dalam kasta tertinggi setara Brahmana, sekarang agamawan dikenal dikerdilkan hanya boleh maksimal hanya menjadi seorang mubaligh yang kesibukannya berceramah kesana-kesini.

Eyang Sulaiman setelah mangkat kemudian dimakamkan di pemakaman Bupati-Bupati Banyumas di Dawuhan, Banyumas. Namun anak cucunya tetap dimakamkan di Kalimanah, Purbalingga. Kompleks tempat tinggalnya ditandai dengan keberadaan Masjid Mustahal di Kalimanah Kulon. Nama yang diambil dari nama cucu generasi ke-4 sesudahnya. Dari Mbah Mustahal, di cucu generasi ke-3 berikutnya lahirlah Mbah Putri istri dari Mbah Kung yang menuturkan cerita di atas.  


1/30/16

Rekreasi dari Masa ke Masa

Orang membutuhkan jeda dari aktivitasnya. Aktivitas jeda yang banyak dipilih orang adalah melakukan rekreasi. Jaman dulu, rekreasinya seorang petani yang penat bekerja di sawah adalah bermain gamelan bersama tetangga. Rame, menyenangkan dan gratis pula. 

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan informasi yang kian meluas, sekedar bercengkerama dengan tetangga tidak lagi cukup menarik untuk dijadikan pilihan rekreasi. Terlebih beban hidup yang semakin penat menghimpit kehidupan, untuk merefresh kepenatan itu sungguh butuh pilihan jenis rekreasi yang tidak biasa. 

Merebaknya kebutuhan rekreasi yang tidak biasa ini kemudian ditangkap oleh para pebisnis. Bisnis pariwisatapun menggeliat karenanya. Menggeliatnya potensi pariwisata, akhirnya menjadi angin segar bagi banyak bisnis terkait. Travel agent, maskapai penerbangan juga hotel. 

Angin segar pula bagi kita yang berkeinginan untuk terjun di dunia bisnis pariwisata. Baik dengan menggandeng investor besar, atau kita memulai dari menjadi pebisnis start-up kecil-kecilan. Bekal yang harus kita persiapkan adalah, memahami tren minat masyarakat akan jenis rekreasi yang sedang diminati. Dari masa ke masa, minat masyarakat dalam memilih jenis rekreasi yang difavoritkan berubah-ubah. Di kurun waktu se-dekade terakhir saja, kita bisa mengamati transformasi rekreasi yang terjadi seperti berikut ini.

1. Dunia Fantasi
Ancol menjadi salah satu yang paling moncer dulu. Sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah, pergi ke Ancol adalah rekreasi yang diidam-idamkan. Dunia fantasi identik dengan permainan-permainan pemacu adrenalin, roller coaster menjadi salah satu yang paling populer untuk dijajal. 

Bagi orang-orang desa yang tak terjangkau menuju dunia fantasi yang mewah di kota besar, mereka cukup terhibur dengan mengunjungi arena pasar malam. Ada wahana komedi putar, wahana kincir hingga tong setan. 

2. Waterboom
Seiring dengan perjalanan waktu, minat masyarakat bergeser. Wisata air menjadi tujuan favorit. Waterboom Owabong di Purbalingga kala itu booming sebagai waterboom terbesar di Jawa Tengah. Ide penggagas yang sempat ditolak mentah-mentah oleh pemerintah berbuah sebaliknya, ternyata obyek wisata ini mendatangkan income yang fantastis melebihi target.

Semakin sedikitnya sungai dan danau alami yang ramah pengunjung, membuat wahana air buatan menjadi tujuan favorit untuk berekreasi. Rileks di dalam air menjadi kesenangan yang dicari tersendiri oleh banyak orang.

3. Snorkeling
Terumbu karang bukan lagi monopoli para penyelam. Keindahan ekosistem bawah laut di permuakaan laut yang dangkal kemudian dimanfaatkan orang untuk melakukan snorkeling. Spot snokeling dari habitat air laut yang alami dikembangkan di begitu banyak daerah di banyak daerah dari Sabang sampai Merauke.

Selain menikmati terumbu karang dan ikan yang indah di bawah laut, berfoto dengan kamera underwater menjadi keasyikan tersendiri. Bisnis kamera serta dunia fotografi dan videografi terdongkrak pula perkembangannya.

Derawan Island
Lalu, tren apakah setelah era snorkeling ini berakhir? Salah satu prediksi yang aku yakini adalah wisata etnik dan wisata budaya. Heritage kekayaan leluhur masih begitu banyak yang belum diungkap dan direkonstruksi. Kalau itu sudah bisa dilakukan, tren rekreasi masyarakat mungkin segera bergeser. Orang akan terpukau dan bisa menikmati keasyikan cara hidup di masa lalu yang sama sekali berbeda dengan yang kita kenal dan kita jalani hari ini.


Kekinian dan Kekinian Syariah

Sabtu sepekan kemarin, Hilmy sahabatku baru saja kedatangan seorang putri cantik. Genap sepasang sudah buah hatinya dengan Rini.

Mereka berdua pandai membuat nama menurutku. Anak pertama diberi nama Manah Jembar Membumi. Nama yang aneh kalau dilihat dari ukuran kekinian. Orang-orang kekinian lebih suka menamai anaknya dengan kata dari bahasa Rusia, sementara yang kekinian syariah menggunakan kata dari bahasa Arab.

Nama adalah do'a. Esensi dari sebuah nama adalah munajat atau pengharapan. Membumi adalah pengharapan yang spesifik, bukan sekedar sholeh, bukan sekedar alim, tapi spesifik, membumi.

Semoga si Bumi kecil tumbuh menjadi anak yang dekat dengan sekelilingnya, membumi keramahtamahannya, membumi keahliannya, membumi dedikasinya. Ditengah sekarang banyak orang pandai tapi pandai atas keahlian yang tidak dibutuhkan oleh sekelilingnya, banyak orang alim tapi tidak menyatu dengan tanah yang ia pijak.

Anak yang kedua, mereka beri nama Sendang Mili Migunani. Nama yang indah sekali, tidak perlu membaca kamus A-Z nama anak, kita sudah tahu maknanya, mengalir dan berkegunaan. Sepertinya Ayah dan Bundanya Sendang gaulnya dengan orang-orang tua, orang-orang kuno. Lihat saja Bapak, Eyang dan Buyut kita. Mereka membuat nama dengan memilih istilah yang begitu dekat dengan keseharian mereka, bukan nama yang aneh-aneh. Pun begitu dengan pemilihan kata Migunani, sangat dekat dengan keseharian kita kini, bukan?

Hilmy dan Rini well prepared sekali pada anak-anaknya, ia mungkin khawatir di generasi anak dan cucunya nanti, mereka harus membuka kamus dulu untuk mengerti kata "Migunani", karena sudah tak pernah digunakan, maka mereka ukirkan menjadi nama agar abadi.

Sama seperti kita kini, perlu membuka kamus dulu untuk mengerti kata "Prasojo", "Raharjo", "Pratiwi" atau "Sri". Padahal kata-kata itu adalah kata-kata keseharian di beberapa generasi yang lalu yang bukan hanya mengandung makna yang baik, tetapi baik dan spesifik.

1/26/16

Berakhirmya Era Tas Kresek Gratis

Kabarnya, bulan depan pemerintah kita kembali mengimitasi negara maju: menghilangkan tas kresek gratis di tempat perbelanjaan.

Langkah yang bagus dalam rangka menggalakkan program go green. Budaya tas kresek berbayar sudah lama dilakukan di negara-negara maju. Kalau kita mau mempraktekkan, ya tinggal meniru saja.

Yang mesti diperhatikan paling :
1. Apakah ini hanya berlaku di toko modern atau semua toko? Bisakah pemerintah memonitor pemberian tas kresek gratis di warung kelontong di ujung pengkolan?

2. Apakah trust pemilik toko kepada konsumen sudah baik. Sehingga konsumen bisa menenteng tas kresek berisi dagangan yang ia beli di toko sebelumnya, masuk ke toko berikutnya. Atau setiap toko sudah siap menyediakan tempat penitipan barang?

Lepas dari semua itu, ini adalah langkah baik yang harus kita dukung. Penerapannya akan mudah di toko modern berjaringan yang instruksinya terpusat. Tapi susah bagi warung-warung. Ini mudah2an menjadi nilai lebih bagi warung tradisional, sehingga konsumen lebih senang datang ke warung tradisional yg melayani dengan keramahtamahan juga dapat kantong kresek sekalian.

Yang pemerintah tidak boleh lupa, kantong kresek vital keberadaannya, yaknk untuk bungkus tong sampah di rumah-rumah. Apakah sudah dilakukam tahap uji, sampah plastik apa yang paling dominan? Jangan-jangan bukan kantong kresek.

1/24/16

Pendekar

Tahap-tahap latihan kanuragan yang ditempuh untuk menjadi seorang pendekar tidak boleh dibolak-balik.

Pertama: Ndandani pikiran. Pikiran dibuatkan bangunan konstruksi yang kokoh. Sementara kebanyakan orang sekarang sibuk menghimpun referensi, asal masuk ke pikiran, tidak ditata. Karena pikiran belum dibangun rak-rak konstruksi, bangunan-bangunan penampung.

Kedua: Ndandani wektu. Ada waktu pagi, siang, sore dan malam. Itu untuk level awam. Kalau yang lebih expert fasenya sehari ada 24. Empat saja dulu diberesi. Pagi waktu aktif. Siang sediakan jeda. Sore waktu ceria. Malam luangkan kontemplasi.

Ketiga: Ndandani awak. Ini sebenarnya otomatis, karena di dalam pikiran yang sehat terdapat badan yang kuat. Kalau badan tidak terperhatikan, itu indikator ada yang belum beres di pikiran.

Keempat: Ndandani jurus. Kalau ketiga di atas sudah beres, baru bicara menang-kalah, menyerang-bertahan. Meringankan tubuh-hentak2 bumi. Dst.

Di alam modern, keempat tahap di atas tidak lagi penting. Karena sekarang tidak ada orang bercita-cita jadi pendekar. Repot. Harus menolong orang lain.

Lebih enak jadi orang kaya. Tidak penting sehat pikiran, tidak harus mengelola waktu, setiap hari bisa memanjakan badan, tak bisa jurus yang penting punya bodyguard.

1/18/16

Teror Tivi

Baru juga pulang liburan dari Derawan eh sudah harus menghadapi teror. Teror yang membuat perasaan mencekam. Teror dari benda bernama Televisi.

Media sepertinya sudah memposisikan diri menjadi Nabi ke-26, pembawa berita dan pemberi peringatan yang paling kita imani. Rasanya tertutup sudah segala apa yang terjadi, sebesar apapun itu, jika tidak masuk berita tivi.

Untunglah, kita selaku generasi Z kini memiliki daya makrifat-internet, mampu mengakses dunia tak kasat mata. Media digital benar-benar berhasil membangun jejaring sosial yang bisa menjadi pembawa berita alternatif atas intimidasi informasi yang dilakukan oleh media mainstream.

Tapi walau begitu, digital media harus digunakan dengan arif dan luas. Agar ia tidak tanpa sadar dijadikan nabi ke-27. Proporsional saja dalam mengkonsumsi informasi. Justru kalau bisa kita produktif jadi penyedia informasi, bagusnya seperti itu.

Kalau mau jadi penyedia informasi, cerdas dulu, agar kita jadi produsen yang memproduksi produk informasi yang sehat.

Lalu, jalur distribusinya juga diatur yang baik. Agar tidak salah kamar, nanti ibaratnya menceramahi kucing tidur.

Tiap jejaring sosial sebetulnya ada aurat-auratnya. Kalau mau share sesuatu yang fun, bisa di instagram. Kalau mau share refleksi, bisa di twitter. Facebook cukup untuk menshare godaan-godaan berpikir. Analisa dan penjlentrehan sesuatu bisa di blog. Heum, apalagi ya..

Kalau tivi, cukup untuk pengusir sepi. Jangan lebih dari itu. Bahaya.

1/2/16

Belajar Bisnis dari Tumbuhan

Strength + Opportunity + Inspiration = Income + Benefit. Rumus bisnis ini dipakai oleh tumbuhan, intern resources tumbuhan adalah klorofil, extern resources yang ada diluar adalah CO2, inspirasinya Sinar Matahari, maka jadilah income-nya Zat Makanan + benefitnya O2.

Jadi bisnis mustahil tanpa inspirasi. Rencana bisnis juga tidak bisa ngayawara, analisa SWOT dulu lah. Agar kita tidak memakai resorces yang bukan berada dalam diri kita. Juga tidak membidik yang bukan peluang disekitar kita.

Kenali potensi otentik, kalau potensi otentikmu kapak, jangan ikut2an mencangkuli ladang walau seluruh dunia sedang demam mencangkul. Kapak itu untuk menebang pohon, dia punya fungsi spesifik sendiri, sama seperti zat hijau daun.

Dan jangan mengejar peluang yang sudah menjadi rebutan terlalu banyak orang. Disaat banyak spesial memburu oksigen, tumbuhan malah sendirian memunguti karbondioksida.

Lalu bentangkan penampang otakmu agar bisa tersinari inspirasi. Bisnis tanpa inspirasi hanya akan disusuli kompetitor, sesudah itu mati.

Setelah proses bisnis kamu jalankan dan perolehan tinggal menunggu masak, siapkanlah perencanaan penerimaan income yang baik. Cash income paling besar itu untuk R&D, agar bisnismu tumbuh, selanjutnya baru untuk operasional dan selebihnya laba.

Jagalah fitrah sosial, kemanusian dan alam selalu, sehingga setiap yang kamu tuai menjadi benefit bagi sekelilingnya. Maka kamu sudah berhasil membangun a responsible corporate. Maka kamu tak perlu lagi menyisihkan Corporate Social Responsibility (CSR), karena semua perolehanmu adalah bernilai oksigen.

Kalau dirangkum menjadi: Kerjakan apa yang ada disekelilingmu yang itu bisa diraih, dengan sesuatu yang memang sudah ada dalam dirimu, improvisasikan dengan inspirasi tercemerlangmu. Lalu bersiaplah menuai hasil, yang pertama untuk membiayai pertumbuhanmu, sisanya kamu cadangkan. Dan keseluruhan kamu kerjakan dengan bertanggung jawab secara sosial, menjadi benefit yang bisa dipetik oleh semua.[]

Zaman Gratisan

Kita sulit mengimajinasikan bahwa di bumi kita dahulu, ada zaman dimana Pendidikan dan Kesehatan tidak dijadikan komoditas. Zaman itu terjadi bukan pada zaman dinosaurus, tapi zaman yang belum lama kemarin. Sewaktu orang tua kita masih remaja bahkan mungkin masih mengalaminya.

Di zaman itu, tidak ada kursus mengaji. Falsafah "Ngelmu iku kalakone kanti laku" benar-benar dipegang. Sehingga kalau ada anak yang mau ngelmu do'a dan wirid, cukup konsisten saja berangkat ke masjid, jangan pulang sebelum wirid ba'da sholat selesai. Dalam hitungan tidak sampai sebulan, si anak sudah mengilmui aneka do'a, wirid yang beraneka ragam dan beberapa adalah bacaan yang panjang-panjang. Semua itu diperoleh dengan gratis, semua itu terselenggara dengan gratis. Sekarang coba dicek, orang-orang tua di desa-desa itu pada hafal do'a dan wirid panjang tanyai, mereka kursus dimana dulu?

Kalau do'a dan wirid adalah ilmu maghdoh, maka bagaimana dengan pendidikan yang terkait ilmu muamalah. Lihatlah para tukang kayu di desa, termasuk Mbah Kakung saya dari Bapak adalah tukang kayu yang mahir, yang aku telat tidak mewarisi ilmunya. Beliau bukan insinyur, tapi karya-karyanya yang awet dan berkualitas masih bisa aku saksikan hingga hari ini. Untuk menjadi tukang kayu, juga tukang batu, tidak wajib sekolah. Cukup konsisten menjadi kernet bangunan, bakti, magang, ngabdi, nanti setahun atau dua tahun asal kamu titen terhadap setiap perilaku tukang senior yang kamu kerneti, selanjutnya kamu akan mahir juga. Metode pembelajaran seperti ini, gratis.

Lalu bagaimana di bidang kesehatan. Dari daun siridia sampai petai china, kalau tahu fungsinya, tinggal ditanam dipekarangan, kalau ada butuh pertolongan pertama atau terapi kesehatan tinggal petik. Tak perlu beli ke apotek.

Pun demikian tenaga ahli melahirkan, yang oleh orang modern diberi stigma sangat naif "dukun bayi". Dia lebih ekspert dari bidan lulusan D3, karena dasar pembelajaran dia bukan alat peraga artifisial di kampus tetapi ilmu titen dari ratusan bahkan ribuan pengalaman mendampingi proses melahirkan dan sedari menjadi pendamping dukun bayi senior sebelumnya. Dia bukan hanya tidak minta bayaran, bahkan dia berpuasa sunnah, berprihatin sebagai bentuk doa yang sungguh-sungguh bagi kelancaran proses kelahiran yang akan ia tangani.

Hanya saja, orang jaman dulu tidak kebangetan seperti orang sekarang. Mentang-mentang gratis, jadi tidak ngirim setandan pisang atau sekarung rambutan ke Pak Kiai tempat belajar mengaji. Mentang-mentang tidak minta bayaran, dukun bayi tidak diberi sesuatu sebagai 'tali kasih'. Tidak seperti itu orang jaman dulu. Semakin orang tidak meminta, semakin dia diberi banyak.

Maka, kalau sekarang kamu percaya pada sekolah ya jangan banget-banget, tetap sekolah tapi tetap cari ilmu alami. Kalau kamu percaya pada tenaga medis, juga jangan banget-banget, sambangi para tenaga kesehatan alternatif yang mungkin sekarang semakin sulit dicari yang benar-benar otentik.

Dan kalau kamu sekarang jadi tenaga medis, jangan congkak. Ingat, aslinya kesehatan itu bukan komoditas loh ya, bukan barang dagangan seperti beras dan gula. Layani yang membutuhkan keahlianmu dengan nawaitu kemanusiaan, bukan sebagai konsumen. Pun demikian kalau kamu sekarang jadi pendidik.

Sekali lagi, aslinya dulu pendidikan dan kesehatan bukan barang dagangan. Maka kalau sekarang mau tidak mau harus diperdagangkan, maka layani konsumenmu dalam nawaitu kemanusiaan. []

1/1/16

Sugeng Tindak 2015

Sugeng tindak.... Selamat jalan 2015. Sedih berpisah denganmu wahai makhluk Allah bernama 2015. Yang sudah setia menemaniku menjalani kesetiaan.

Yang sudah menjadi kepanjangan tangan Allah menjaga kesehatan, keselamatan dan keutuhan. Yang sudah menyediakan diri menjadi ruang pertemuanku dgn hal-hal besar, mengejutkan dan menakjubkan.

Yang sudah membentengiku dari petaka, kekufuran juga kefakiran. Yang tidak pernah sedetikpun berhenti, sehingga masalah-masalah yang aku hadapi menjadi berlalu.

Sugeng tindak... Selamat jalan... Semoga Allah ridho kepadamu, juga kepadaku. Hari ini aku tidak merayakan tahun baru, aku hanya mensyukuri 2015-ku.