6/30/11

Mungkinkah Terjadi

Di film-film, seperti Harun Yahya yang Tanda Akhir Zaman, kemudian Wall-E, dll digambarkan bahwa suatu saat nanti akan datang dimana suatu zaman orang-orangnya sudah berkelimpahan kesejahteraan, kaya-kaya semua.

Mohammad Yunus, yaitu Wiriaatmajanya Bangladesh mengatakan bahwa suatu saat nanti anak cucu kita hanya mengenal kemiskinan dari museum saja. Karena tidak ada lagi orang miskin.

Catatan literatur agama menjelaskan, bahwa akan datang suatu zaman dimana orang bingung mencari orang yang mau menerima sodaqohnya.

Nah, mungkinkah masa-masa itu terjadi? Atau selamanya yang namanya hidup ya begini, ada yang miskin, ada yang kaya, ada jeda jurang yang begitu lebar menganga antara keduanya. Apa hidup selamanya begini, kalau sudah agak besar ya sekolah, sekolah selesai ya kerja, kerja ditaletini nanti kaya, ajarkan itu ke anakmu, begitu seterusnya seperti guru SD mengajarkan pemandangan turun temurun.

Tidak. Zaman itu akan datang. Zaman dimana kapitalisme sudah runtuh. Hm, gambarannya zaman itu mungkin begini, semua orang sudah memiliki perencanaan keuangan masa depan yang baik, semua pakai tabungan berencana dan asuransi. Jadi tidak harus jadi PNS untuk dapat pensiunan, perusahaan asuransipun berlomba-lomba untuk mengcover penyakit seringan apapun, jadi jika orang flu saja sudah bisa klaim asuransi dan rumah sakit hanya berurusan dengan pihak asuransi, orang tidak perlu membayar apa-apa ke rumah sakit.

Zaman itu sangat niscaya atau mungkin terjadi, karena apa? Karena sistem kolaborasi global manusia sudah sedemikian tertata rapi dan terstruktur. Tidak ada segelintir orang yang ungkang-ungkang semakin kaya setiap hari tanpa dia memikirkan sistem bagaimana kaum marginal bisa hidup layak, layak dalam artian bisa makan juga bisa berinvestasi setiap harinya.

Semua orang sudah terlibat dalam sistem tata ekonomi dunia yang menguntungkan semua pihak. Itu mungkin terjadi, sangat mungkin. Tunggu saja, semoga umur kita dipanjangkan untuk dapat menjumpai zaman itu. Zaman dimana semua orang kaya raya.

6/29/11

Prestasi

Kalau lihat prestasi-prestasi orang lain, yang terpikir itu, "aduh, nyong si apa...".

How?how?how?

Apa "nyong" harus ada? dan tinggi posisinya?
Apa kalau tak ada prestasi berarti jelek?
Kalau jelek, memangnya kenapa?

Selama ini sudah berusaha membuat prestasi belum?
Sudah.

Tapi itu.. males2an, tidak sungguh2. Sok tahu kamu, ngukur darimana sungguh-sungguh tidaknya?

How?how?how?




Kontradiksi

Doktrinnya kalangan Islam fundamental memang sangat kuat, bagaimana mereka membonsai ilmu dan melakukan stratifikasi terhadapnya. Ah, menarik sekali dikaji. Belum puas rasanya mengkaji kontradiksi antara Islam fundamental dengan Islam terbuka.

Kalau sudah puas nanti baru beranjak mengkaji antara Islam Sunnah dan Syiah. Kalau sudah mumpuni, barulah belajar menghafalkan script khotbah Jumat. Insyaallah...

Sambil terus hafalannya ditambah, sambil terus pikiran ngeresnya dikurangi, ndang nikah, ndang nikah, ndang nikah... biyadil khoir, amin, amin, amin

6/25/11

Janur Kuning

Ini zaman, zaman industri. Tembakau digulung, jadi rokok, dijual, bisa menerangi kota dengan billboard-billboard raksasanya. Seperti di Alun-alun kota-kota lainnya, di Alun-alun Purwokerto juga sudah teronggok TV Raksasa berisi iklan rokok sepanjang hari. Ya, karena si perusahaan rokok yang membuat itu TV, bagaimana enggak mengiklankan.

Ini zaman, zaman industri, pendidikan jadi ladang segar menggenjot pendapatan, SMA negeri favorit yang menolak ratusan murid dari 20 tahun yang lalu karena kelebihan pendaftar, kini memasang spanduk. Dijalan-jalan bertemu spanduk SMAN 1, ada juga spanduk SMAN 2 almamaterku. Bukannya bangga, tapi heran… apa ini sekolah sudah enggak laku ya sampai-sampai pasang spanduk? Atau sedang melukai hati sekolah-sekolah pinggiran, yang muridnya 20 tidak genap, bayarnya saja ngangsur dan guru-gurunya digaji tidak lebih dari pendapatan pengamen.

Kesehatan juga ikut-ikutan jadi ladang pengeruk uang. Namanya industri kesehatan, mencetak obat dan menjualnya mahal ke orang, jelas bukan orang sehat, tapi orang sakit, yang mau tidak mau, punya tidak punya uang ya tidak ada pilihan lain selain membeli.

Di zaman industri telepati dianggap magis, atau lebih agamanya syirik, tanpa orang-orang diberi ajakan untuk menelaah terlebih dahulu. Agar handphone dan internet gak ada matinye. Di zaman industri, daun pisang pembungkus nasi diganti kertas yang dilapisi laminasi plastik dan kita kenal dengan nama kertas minyak, dengan sekian item dampak buruk dan bahayanya.

Tapi, si zaman industri nyatanya sampai hari ini belum bisa menggantikan janur kuning. Di Banyumas, dan banyak daerah di tanah Jawa, keluarga pengantin selalu memburu seniman janur, agar H-1 sebelum hajatan, di ujung gang tempat anaknya dinikahkan sudah tertancap untaian cantik daun kelapa muda setinggi bambu layur.

Janur kuning tidak bisa digantikan dengan GPS, walau fungsinya sama, untuk memandu tamu menuju lokasi resepsi. Janur tidak bisa diganti dengan umbul-umbul kain, karena keluarga pasti tidak mau dianggap rumahnya sedang memperingati tujuhbelasan. Dan entah si zaman sedang memikirkan apa pengganti janur kuning, seperti si zaman menggeser daun pisang dengan kertas minyak, ilmu kepekaan batin (telepati) dengan HP, juga membisniskan pendidikan dan kesehatan.

Sampai hari ini di Banyumas saya belum menemukan pabrik pembuatan janur, setahu saya janur-janur itu dibuat dari sentuhan tangan seniman langsung. Dan sampai hari ini saya tidak menemukan janur sombong yang tidak mau turun seperti ketua PSSI, karena begitu 3 hari resepsi selesai, sekalipun tidak diturunkan, janur akan layu mencoklatkan diri. Jadi orang tidak akan nyasar datang ke tempat resepsi yang sudah kedaluarsa.

Janur kuning atau daun kelapa muda, adalah dedikasi alam, untuk kemaslahatan hidup kita.

Sepuluh Doa Simbah Penjual Peyek

Sarapan pagi di warung rames sederhana, seperti biasa, ketemu Simbah Penjual Peyek. Peyek, makanan mirip opak, renyah, kranchi, ada kacang dan kedelainya, kadang dipadu dengan udang kecil-kecil itu kini sepertinya memang kalah pamor dengan krupuk. Mungkin karena peyek tetap dimasak di dapur sebagai home industri, sedangkan krupuk sudah banyak pabrik-pabrik industrinya.

Namun begitu, Simbah yang aku tidak tahu namanya karena belum pernah berkenalan sekalipun sudah sering menyapa dan kadang mengobrol itu saat ini masih berjualan peyek. Dengan Tenggok yang dia bopong dengan kain jaritnya, Simbah ber kethu (penutup kepala) khas gadis angakatan 45 itu sedang duduk mampir di warung tempatku makan tadi.

Tak lama aku datang, Simbah berbincang sedikit denganku lalu pamitan ke Bapak dan Ibu yang punya warung. Dalam akad pamitan itu aku hitung 10 doa Simbah ucapkan buat Bapak dan Ibu warung itu. Doa-doa itu sebagai berikut :

1. Ke Bapak warung "Sing waras... (yang sehat [rohani])
2. ...slamet ya (selamat [jasmani])
3. Ke Ibu warung "Sing waras...
4. ...slamet ya...
5. sing laris...
6. laris...
7. laris ya pada...

begitu Simbah ucapkan sambil berjalan keluar warung. Dan diluar warung masih mengucapkan doa lagi :

8. Moga-moga laris..
9. laris
10.laris, lah ya..

Orang mendoakan seperti itu sebenarnya biasa. Biasa bagi kebanyakan orang-orang tua disekeliling kita. Tapi tidak bagi masyarakat modern. Jangankan mendoakan, bahkan pada mitra bisnis yang jelas-jelas sudah memberikan keuntungan bagi kita, kadang yang ada adalah menjelek-jelekkan.

Ya itulah masyarakat modern. Begitu juga masyarakat yang sudah beragama dengan modern, kalau mau mendoakan ditanya dulu "agamanya apa?"... kalau dia non-muslim tidak jadi mendoakan. Karena doa kepada non-muslim di dalil disebutkan tidak akan sampai.

Lah, sampai atau tidak, apa jeleknya si mendoakan. Kalau toh kita berdoa dengan rumusan bisnis, mungkin akan dihitung, rugi donk, sudah capek-capek mendoakan, tapi sia-sia karena tidak akan sampai? Setidaknya kita ya mengupayakan. pertama : orang yang didoakan merasa kita menghormatinya. kedua : memangnya Tuhan bukan Maha Kuasa apa, sehingga Dia tidak bisa melanggar ketentuannya sendiri dan mengabulkan doa bagi orang non-muslim?

Untuk yang baca note ini, moga-moga waras ya, slamet, pinter, terbuka pikirannya, tajam hatinya, lembut perangainya, cerah wajahnya, bahagia perjodohannya, mulia anak-anak dan keluarganya.... (sudah 10 belum ya doanya.. hehe)

Kaum Muda Opportunis

Dulu mereka mungkin pemberani. Aktivis yang giat di jalanan bahkan mungkin pernah kena sentuhan penjara. Bentrok dengan polisi dan terntara bisa jadi menu sehari-hari. Tapi nyali itu ternyata tidak berusia lama. Keberanian kerap kali kurang bertahan panjang di badan. Semangat perlawanan dan anti kemapanan nyatanya mengenal kata istirahat. Uang dan jabatan telah membuat mereka bersimpuh. Nyali berganti watak pengecut. Suara kritis berubah jadi kompromi. Lalu sikap anti kemapanan berubah menjadi pribadi borjuis yang haus akan popularitas dan posisi. Sehingga ketika menjadi pengecut, mereka sibuk membela diri.

Sehingga ketika menjadi pengecut, mereka sibuk membela diri.

(Eko Prasetyo, APTR Hal 129)

6/24/11

Pembenaran untuk Membalas

Membenahi ekspektasi

"Besok bisa jadi kapan? Sabtu?", seorang bertanya untuk pekerjaan yang harus aku selesaikan, aku jawab ringan "Bisa, bisa, bisa...". Bukan jawaban asal njeplak, bukan juga nggak dihitung, ketika akhirnya baru jadi hari jumat minggu depannya. Owh.. sabtu itu adalah besok, 24 jam lagi, tapi yang ada di ekspektasiku, sabtu itu masih 100an jam lagi, alias 4 harian ke depan.

Begitu juga, kalau ditanya orang "sekarang kamu kerja dimana?", dengan ringan aku jawab, "ah masih main-main begini aja". Iya si aku aliran anti berkarier di tempat orang, tap sebenarnya dibalik jawabanku itu aku berekspektasi umurku masih 18 tahun, baru lulus SMA, padahal yang senyatanya umurku 24 tahun sekarang, tua.

Sampai ke soal Ketuhanan. "Bayaran listrik sama internet bulan depan gimana?", aku jawab ringan juga "Lah, Gusti Allah sudah mengatur rejeki kita". Welah-welah, ini juga kudu dibenahi, karena aku berekspektasi Tuhan mengaturkan untukku sedetail itu, padahal jelas-jelas di pengajian dari jaman aku SD diterangkan, aku itu diturunkan sebagai wakil Allah, wakil itu diberi otoritas... . Kalau aku sudah mewakilkan kehadiranku pada karyawanku, saru namanya kalau aku juga ikut-ikutan datang. Kalau pencarian rejeki sudah diwakilkan ke manusia, ya masa Tuhan mau nimbrung-nimbrung juga.. Tuhan nggak mau donk dibilang mencampuri privacy kita?

Wallahu 'alam bishawab




Dewan Gaul Indonesia

Gaul gitu loch... pakai celana pensil, bawa bolpoint, jangka sorong, kacamata tebal & kalkulator scientific, itu adalah tanda-tanda gaul. *betul nggak sih? hehe... ngarang...

Ya intinya begitu lah, nah sekelompok anak-anak yang merasa dirinya gaul dengan segala atribut ke-gaul-annya itu akhirnya mendirikan suatu komunitas atau perkumpulan yang lebih reket. Akhirnya dibentuklah Dewan Gaul Indonesia.

Kira-kira menguntungkan atau merugikan ya pendirian organisasi itu? Bagi para pengikut dewan tersebut pasti menguntungkan, kenapa? Pertama, mereka jadi eksis di ranah kegaulan, kedua, mereka lebih mudah memberikan pengaruh gaulisme kepada sesama anggota perkumpulan, ketiga, bisa diatur proses rekrutmen untuk menambah jamaah gaul Indonesia.

Tapi bagi public, terutama dunia gaul, keberadaan mereka bisa jadi merugikan. Anak-anak yang sebenarnya sangat gaul, bukan hanya penampilannya, tapi juga jiwa, dan ideologinya, tetapi mereka tidak menampilkan diri dan membentuk organisasi massa seolah-olah tidak eksis.

Seolah-olah ada stigma sosial, belum gaul kalau belum gabung di Dewan Gaul Indonesia lah pokoknya. Padahal, mungkin anak-anak supergaul banyak, dimana ideologi, nafas dan ruh kegaulannya bisa jadi tidak bisa ditampung oleh organisasi Dewan Gaul Indonesia, satu aliran yang baru muncul kemarin sore itu.

Walhasil, kosakata "gaul" akhirnya dimonopoli oleh aliran perkumpulan itu. Bukan hanya orang-orang supergaul yang tidak bisa dikenal kegaulannya, tetapi juga anak-anak norak, kampungan, kutu buku dan dari berbagai golongan lain yang ingin menjadi gaul merasa minder, karena terlanjur lahir stigma, kalau belum gabung di DGI, belumlah disebut gaul.

Walhasil, mereka tidak pernah berusaha untuk menggaulkan dirinya, untuk bertahap berproses menjadi anak gaul. Kasihan ya..

Menjual Brand

Mie Ayam, makanan khas Indonesia yang ada dimana-mana. Entah darimana kota asalnya, apa malah bisa jadi asalnya bukan dari Indonesia, belum pernah aku riset hal itu.


Tapi yang jelas keberadaan mie ayam sangat disambut di negeri ini, melebihi gemergap penyambutan kita terhadap datangnya Avanza dan Innova atau mobil-mobil mewah lainnya yang tidak berhenti-berhenti dibeli di negeri ini. Kembali ke mie ayam, di Purwokerto saja tidak terhitung berapa jumlah penguasa kuliner, atau berapa properti gerobak yang ada, aku yakin Pemkabpun tak memiliki datanya.

Sekalipun banyak, tapi mereka tetap saja bertahan, itu artinya banyak yang beli, atau bisa jadi laris. Padalah, enjual mie ayam tidak memasang spanduk dan baliho seperti kafe-kafe modern. Tapi, tidak sedikit dari mereka yang menggondol omzet hingga 300 mangkok sehari. Hitung saja sendiri berapa itu sebulan pendapatannya?

Kenapa begitu? Karena mereka memang menjual mie ayam, bukan menjual brand. Asal mie ayamnya enak, sepelosok apapun, atau sejelek apapun tempatnya, tetap saja laris diburu, sekalipun tanpa baliho. Sebut saja Mie Ayam Pajak, tempatnya cuma di pagar keliling kantor pajak lama, kalau ramai pengunjung paling muat 15-20 orang, itu juga berjubel, tapi masyaallah larisnya… Atau Mie Ayam Telkom, tempatnya cuma di gedung tua dan halaman gedung miliki PJKA, ramenya bukan main kalau jam istirahat.

Ada juga Mie Ayam Berkah Karang Salam, cuma dari bambu bangunannya, bukan bambu modern seperti rumah makan berkonsep sawung, asli bambu orisinil dan dekat di bawahnya kolam ikan atau bahasa Banyumasnya, Blumbang, tapi jen laris..

Dan mereka juga bukan kapitalis penumpuk harta, yang ramai sedikit difranchise, tidak seperti franchisor lain yang begitu bernafsu melihat potensi kekayaan, sampai-sampai sistem belum kuat sudah jualan lapak disana-sini, akhirnya ambruk karena kelemahannya sendiri.

Jangankan menjual franchise, pokoknya kalau sudah habis, ya tutup. Tidak nambah porsi. Memang dalam ilmu pengembangan bisnis itu bukan strategi brilian. Tapi satu hal yang bisa dipetik, mereka sangat menghargai pendapatan harian mereka, mereka sangat menjaga kualitas mereka.

Yang mereka jual mie ayam, karena enak, brand nya mengikut. Yang mereka ciptakan adalah pelayanan, karena memuaskan, pendapatanpun menukik. Mereka tidak mudah ambruk, seperti kebanyakan usaha yang terlalu gembar-gembor brand, tanpa potensi intrinsik yang kuat.

6/23/11

Bisnis Rumah Sakit

Kalau ada obat yang lebih murah saja bisa, lalu pak Dokter menulikan resep dipilihkan obat yang lebih mahal, tanpa penjelasan, pokoknya suruh 'nebus' aja itu pasien. Dosa apa tidak itu?

Kalau dosa adalah persoalan hukum. Hm, kira-kira hati  nurani bergetar negatif apa positif itu saat melakukan?

Kasus lainnya, ini kisah dari seorang calon perawat yang hari ini berulang tahun dan entah akan mengajakku makan-makan dimana nanti. Kisahnya begini, di UGD rumah sakit biasanya ada prosedur, satu berkas yang harus disepakati dan ditandatangi oleh pasien, yang isinya tentang, kalau-kalau terjadi keadaan darurat, pasien sekarat, pihak keluarga mau pilih paket apa :

Paket A : biayanya lebih murah, yakni cukup dipacu jantungnya, kalau tidak berdegup lagi ya sudah.

Paket B : biayanya mahaal, yakni kalau dipacu jantung tidak ngefek, maka diberikan selang ventilator untuk menyuplai oksigen langsung ke dalam tubuh.

Suatu ketika ada pasien gawat darurat, pihak keluarga memilih paket A, si pasien sekarat, lalu dipaculan jantungnya, ditekan-tekan dadanya berharap berdegup lagi. Tapi degupan yang diharapkan tidak terjadi, sebetulnya saat itu, si pasien masih bisa punya harapan hidup kalau diberi ventilator, tetapi karena pihak keluarga tidak memilih paket B, maka hal itu tidak dilakukan, dan akhirnya pasienpun meninggal dunia...

Bayangkan, kalau Anda jadi perawat yang menangani pasien itu. Anda tahu prosedur menyelamatkan orang itu, tapi karena terhambat ketentuan administrasi rumah sakit, hal itu dilakukan.

Tragis, mengenaskan, nyawa menjadi bagian dari komoditasi bisnis. Ini tidak kalah sadisnya dengan bisnis pendidikan, yang atas nama mutu sekolah, anak diforsir belajar matematika dan ipa, tanpa pernah diberi kesempatan yang luwes untuk membangun karakter dirinya.

Kalau dukun-dukun pengobatan alternatif saja bisa memberikan tarif bagi pasien kaya dan menggratiskan pasien miskin bahkan diberi oleh-oleh uang saku saat pulang. Kenapa atas nama ketentuan administrasi, rumah sakit tidak?

Ini soal nyawa loh, seharusnya rumah sakit punya sistem yang lebih profesional katakanlah bentuknya anggaran CSR untuk menangani kasus-kasus seperti di atas, kasus kecelakaan yang tanpa ada yang mau menjamin, dan sebagainya.

Janganlah atas nama bisnis, nyawa jadi korban. Setahuku, RSUD Banyumas misalnya, adalah penyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah) terbesar bagi kabupaten Banyumas. Juga RSU Margono, itu juga salah satu penyumbang APBD Provinsi terbesar. Masa iya, tega, begitu, semoga kedua rumah sakit ini si tidak termasuk yang begitu. Dan siap menjewer rumah sakit rumah sakit lain yang masih menjadikan profesionalitas bisnis lebih penting daripada kepedulian sosial menyelamatkan nyawa orang.




Memboyong Malioboro

Belum ke Jogja kalau tidak ke Malioboro, begitu kata orang. Ya, Malioboro menjadi ikon yang begitu penting untuk Jogjakarta. Hm, sebetulnya apa sih isi Malioboro? Isinya pedagang kaki lima, isinya toko dan ada mal, ada juga hotel, ada juga kantor pemerintahan.

Komplit yah Malioboro. Tapi begitu, di Malioboro tidak ada Bank. Kalaupun ada, itu hanya ATM, atau kantor cabang pembantu. Inilah bedanya dengan Jalan Jenderal Soedirman di Purwokerto, satu kawasan yang ada pedagang kaki limanya, ada tokonya, ada malnya, ada kantor pemerintahannya, tapi juga bank nya.

Jalan Jenderal Soedirman, Purwokerto di salah satu ruasnya, yaitu ruas Pasarwage digembor-gemborkan oleh pedagang kaki lima sekitar untuk dijadikan seperti Malioboro? Mungkinkah? Bisa jadi mungkin, tapi tentu saja tidak tepat. Salah satu tidak tepatnya adalah karena jalan itu adalah jalan arteri. Keberadaan banyak bank menandai bahwa jalan itu adalah nadi utama di sebuah kota. Dan berarti Malioboro bukanlah jalan nadi utama, karena walau ramai, tapi tidak ada Banknya

Mungkin kalau memang mau memboyong Malioboro, ada jalan lain yang lebih tepat. Pemerintahlah yang seharusnya melakukan study kelayakan, (kalau pemerintah sedang tidak sibuk), karena pekerjaan seperti ini kan tidak ada upetinya, tidak seperti perijinan hotel atau mal. 

Tapi memang realitanya begitu, pedagang kaki lima di sepanjang Jenderal Soedirman menggemborkan itu semata karena resah, kalau-kalau direlokasi. Relokasi yang sembarang relokasi, asal ada tanah Pemkab yang tidak terpakai, sudah dipindah saja kesitu. Malah berita yang sudah-sudah tentang relokasi lahannya belum siap, tempat yang lama belum di bongkar.

Jadi, bukan sedang memaksakan jalan yang menjadi nadi utama Purwokerto itu untuk dibuat berjubel sesak seperti Malioboro, tapi memang seharusnya pemerintah menyiapkan solusi intelektual untuk memindahkan pedagang yang katanya mengganggu ketertiban itu, ke tempat yang disepakati semua pihak, karena memang benar-benar layak. Kalau pemerintah sibuk, ya ditunggu uluran warga, yayasan, LSM atau siapapun yang mau menggantikan tugas pemerintah, mengerjakan hal itu.

6/22/11

Harga Sahabat Rp 200.000

kadang-kadang kita saja yang tidak bisa menghargai apa-apa yang sebetulnya berharga. Hari ini ada pelajaran bagus, si Kukuh lagi cari software RAB, di internet hunting-hunting nemu harga jutaan, murah-murahnya 200.000. Eh tiba-tiba ingat Reza, dihubungilah dia, ternyata dia punya software itu, copy, gratis, tidak jadi keluar uang 200.000 deh.

Itu harga sahabat. Harga di hari itu, di hari-hari lain kalau dinominalkan bisa beragam, dan kalau diakumulasikan, entah berapa itu totalnya.

6/17/11

Kampoeng Baron Expedition

Nikmati sisi lain Yogyakarta di deret pantai selatannya, menjadikan weekend 17 Juli 2011 berkesan di hati. Kampoeng Baron Expediton :

05.30 Peserta berkumpul
06.00 Start dari Purwokerto
10.30 Museum Kayu
12.30 Gua Grubug dan gua2 disekitarnya
15.00 Pantai Kukup, Pantai Baron dan pantai2 disekitarnya
18.00 Bakmi Dua Jaman
20.00 Pagelaran Orkestra Gamelan Kiai Kanjeng
03.00 Pulang ke Purwokerto
07.30 Tiba di Purwokerto lagi

Terbatas untuk 40 peserta.Hanya 150.000/orang (sudah termasuk sarapan, makan siang & makan malam). Selama tour, kendaraan pribadi masing-masing dapat diparkir di Garasi L21.

this tour spesial Guiding with Azis Cahyadi & Insight motivation with Arif RH.

Informasi dan pendaftaran : ...

(Ini masih sekedar konsep)

6/16/11

Ceramah Nikah Khas Banyumas

Biasanya dihubung-hubungkannya dengan ini anak keberapa dengan keberapa yang menikah. Padahal sesungguhnya nilai substansi Begalan bukanlah itu. Begalan adalah tradisi Wong Banyumas (WB) yang sejatinya adalah sebuah ceramah nikah.

Kalau jaman sekarang ceramah atau presentasi menggunakan mickrofon dan powerpoint, maka karena jaman dulu belum ada teknologi itu, maka yang digunakan adalah alat-alat bantu presentasi semacam : Wangking, centhong, siwur, tampah, dll.

Karena struktur sosial saat itu bukanlah didominasi oleh kalangan terpelajar yang tahu tentang tata cara belajar yang rapih, atau kemampuan analisis informasi dengan duduk manis mendengarkan, maka penceramah menggunakan metode pembawaan yang teatrikal (drama).

Dan inilah materi yang diceramahkan dalam Begalan, sebuah karya cipta asli, orisinil orang Banyumas, Jawa Tengah :

1. Wangking/pikulan adalah mengisyaratkan simbol mikul dhuwur mendhem jero. Artinya wong urip jejodohan selalu ada yang abot dan ada yan g enteng. Oleh karenanya segala perkara harus di rengkuh bareng atau diembat bareng.
2. Ian atau ilir yaitu dapat bermakna jagad besar dan jagad kecil. Orang berumah tangga baru memasuki jagad cilik. Jagad dalam ilir itu ada 4 sudut, yang berarti bahwa pengantin harus bisa memberikan kesejukan kepada pojok papat yaitu bapak, ibu dan mertua laki-laki dan perempuan. Fungsi ilir adalah dapat ngadem-ngademi sesama pasangan jika telah terjadi kekisruhan. Selain itu ilir juga bersifat mendatangkan angin untuk mengusir bau yang tidak sedap dalam kehidupan berumah tangga.
3. Cheting berarti wadah nasi. Artinya manusia hidup berada dalam wadah (dunia) yang memiliki aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan itu berarti syariat islam.
4. Kukusan, kaku pisan/kakune mung sepisan. Orang hidup harus kaku atau kokoh dalam memegang 5 M yakni metu yakni harus keluar untuk bebrayan dengan tetangga tepalih. Mengkurep berarti eling dumateng kekalih tiang sepah. Mlumah berarti eling kepada dzat yang maha kuasa. Modot berarti modot pemikirane. Atau ayo mbangun katresnan lan mencapai cita-cita kalian pemikirane ingkang modot dan berkembang.
5. Centong berarti keadilan dalam rumah tangga. Karena centong selalu digerakan kekanan dan kekiri. Yang menggambarkan kedua pengantin laki-laki dan perempuan perlu adil dan seimbang dalam segala gerakan.
6. Irus berarti tumindake sing lurus anggone jejodohan. Irus juga bermakna singkatan: i: iman, r: rukun, u: usaha, s: sekalian. Hal ini berarti: ayo pada usaha bebarengan kanthi rukun lan guyub di dasari keimanan. Fungsi irus adalah untuk mencicipi makanan. Artinya laki-laki hendaknya tidak selingkuh dan mencicipi istri orang.
7. Siwur artinya asihe ojo diawur-awur artinya seseorang pengantin jangan selingkuh.
8. Tampah. Berfungsi kanggo nyunggi. Artinya seorang istri atau suami harus bisa nyunggi atau menjaga aib dan kekurangan kedua belah pihak. Selain itu tampah juga berfungsi untuk menseleksi mana beras dan mana kotoran yang bukan beras. Oleh karenanya perkataan dan perbuatan perlu diseleksi mana yang baik mana yang buruk.
9. Pari berarti mapar tur keri artinya harus memperhatikan bobot,bebet, bibit dan kalau sudah tua hendaknya pandai merunduk.
10. Ciri dan mutu. Ciri dan mutu harus seimbang cara memakainya. Jika tidak seimbang maka terjadi musibah.
11. Suket ; suwe luwih raket
12. Suluh; kanggo mbakar-mbakar. Jadi jangan sampai kebakar antara kedua pengantin.
13. Kendil ;ken dadi lancer. Artinya sakinah, mawadah dan warohmah.

Sumber filosofi : Pa Alfian Aziz, Cilacap

Mustajab

 
  1. Saat Berbuka.
  2. Sepertiga Malam Terakhir. Yaitu ketika Allah turun ke langit dunia seraya berkata, "Siapa saja yang memohon ampun kepadaKu niscaya Aku kabulkan. Siapa saja yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya aku ampuni."
  3. Memperbanyak Istigfar Pada Waktu Sahur. Allah Ta'ala berfirman, "Dan pada waktu sahur mereka memohon ampunan."
  4. Mencari Waktu Mustajab Pada Hari Jum'at. Yaitu di saat-saat terakhir pada sore hari jum'at.
  5. Diantara Adzan Dan Iqomat.
  6. Pada Waktu Gerhana
  7. Pada Saat Hujan Deras.
  8. Pada Saat Sujud.

Total Eclipse

Photo by : Farid Gaban form Pejaten JKT 6/16/11 1.50

Jam 01.28 aku bangun, bulan sudah terkikis sedikit. Tidak kentara, seperti tertutup awan biasa... selang beberapa lama aku tengok, eh kikisan itu bertamah, seperti ada satu bidang bundar datar berwarna hitam yang datang merasuki bulan... oh, tidak, tidak.. sepertinya dia datang didepan bulan... ya, andai saja bidang itu bisa di klik kanan lalu klik behind object mungkin bulan akan terlihat lagi.

Sampai jam 2.20 bulan sudah nyaris tertutup total, tinggal beberapa mm. Hm, bulan direnggut oleh sang kegelapan. Apakah bulan akan kembali bersinar lagi? atau kekal di dalam tawanan sang kegelapan? mari tunggu kelanjutannya, yuk kita ngintip keluar lagi...

Yeah, this is my first time to sholat gerhana. Sholat sunnah yang dimuakadkan, sebagai perintah Tuhan bagi kita untuk menyadari waktu, melibatkan-Nya karena pelibatan adalah unsur dari taqwa, bahwa Dia lah pemfenomena semua ini. Di masjid2 raya pun dilakukan sholat ini. Sayang di masjid Muhammadiyah di perumahan tidak ada... hm, mungkin pada enggan neka-neko kali... entahlah.


6/14/11

Memasang Kentongan

Orang modern memang terlalu filosofis. Mau buka akun jejaring sosial saja musti woro-woro pra pembukaan itu jejaring dulu.

Mau tutuppun rasa2nya bangga banget. Bahwa tutup akun itu adalah prestasi besar. Haylah... non-sense semua itu... kalau berani tutup akun SMS, jangan pakai hape, pasang kentongan di depan rumah. itu baru jempol, patut berbangga diri.

Mak Lampir juga dulu tutup akun kaca benggala, tapi dia tidak punya cukup alasan untuk berbangga diri karena dia ternyata tidak bisa melepaskan diri dari fitur baskom penerawangannya.

Its just teknologi, baik buruk, konstruktif destruktif, optimizing or wasting mah terserah kita sebagai usernya sepenuhnya. Bukan soal bangga-banggaan dan filosofis-filosofisan.


6/13/11

Kajian Ilmiah yang (menurut Saya) Tidak Ilmiah

Waktu itu aku ikut sebuah kajian di sebuah masjid di Purwokerto. Materi yang dibahas salah satunya adalah tentang hadits berikut ini :

Seorang sahabat Nabi SAW yang bernama Wabishah RA datang dengan menyimpan pertanyaan di dalam hatinya tentang bagaimanakah cara membedakan antara kebajikan dan dosa.

Sebelum Wabishah bertanya, cermin hati Nabi SAW telah menangkap isi hatinya. ” Wahai Wabishah, mau aku jawab langsung atau engkau utarakan pertanyaanmu terlebih dahulu?” Wabishah menjawab,” Jawab langsung saja, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,” Engkau datang untuk bertanya bagaimana membedakan antara kebajikan dan dosa.” Wabishah berkata, “Benar.”

Beliau Rasulullah SAW merapatkan jari-jarinya dan menempelkannya pada dada Wabishah, seraya bersabda “Mintalah pendapat pada hatimu dan mintalah pendapat pada jiwamu, wahai Wabishah. Sesuatu itu adalah kebaikan bila ia membuat hati tenteram, membuat jiwa tenteram, sedangkan dosa membuat kegelisah dalam hati dan kegoncangan dalam dada.(Mintalah pendapat pada hatimu dan mintalah pendapat pada jiwamu), meskipun orang-orang telah memberikan pendapat mereka kepadamu tentang hal itu.” ( HR.al-Darimi dari Wabishah ra )


Dalam kajian itu dijelaskan maknanya adalah bahwa untuk mengetahui sesuatu itu benar atau salah, pahala atau dosa, maka mintalah fatwa pada hatimu. Penceramah memberi keterangan, hati yang boleh dimintai fatwa adalah hati yang benar-benar suci, bukan hati orang-orang biasa.

Karena hati orang biasa diragukan kesuciannya, maka bisa jadi fatwa yang keluar adalah fatwa yang tidak benar. Maka bagi orang-orang biasa, fatwa harusnya diminta kepada ulama. Wabil khusus ulama yang benar-benar terseleksi.

Ada dua point yang aku tangkap atas penjelasan penceramah, yakni (1) tidak ilmiah penjelasannya, (2) ada indikasi sesat muatannya. Begini :

Pertama, kenapa tidak ilmiah. Salah satu tanda sesuatu dikatakan ilmiah, adalah dia bisa diukur (terukur). Nah, kalau ada orang yang bisa meminta fatwa pada hatinya dan ada orang yang tidak, seandainya ini memang kajian ilmiah, seharusnya ada ukuran, orang dengan kadar suci seperti apa yang masih bisa dimintai ukuran dan mana yang tidak?

Kalau ukuran itu tidak ada, maka sebetulnya dalil di atas tidaklah berguna. Karena orang biasa tidak boleh meminta fatwa kepada hatinya, lalu apakah ada ulama yang boleh merasa dirinya sudah suci? setahu saya ulama sejati justru merasa dirinya dholim, artinya ulama pun tidak berani merasa dirinya suci dan karena tidak merasa dirinya suci maka dia tidak berani meminta fatwa pada hatinya.

Kedua, kenapa sesat. Di sebuah pelatihan SDM tingkat lanjutan ada juga pembahasan materi yang mengikutsertakan hadits di atas. Disini penjelasannya justru lebih gamblang, bahwasannya hati itu adalah instrumen di dalam tubuh manusia yang sama seperti kalau di pesawat namanya radar. Kalau kita bisa membaca radar, maka perjalanan udara lancar. Kalau kita bisa membaca hati (dan mengikuti panduannya), maka perjalanan kehidupan akan mulus pula.

Artinya nilai konstruktif dari hadits ini adalah ajakan untuk mengasaha kepekaan kita terhadap hati, bukan untuk semakin membuat kita menurut tanpa kritis kepada ulama, sehingga hati kita tidak pernah difungsikan.

Inilah, betapa orang takut mengkritisi suatu perkataan yang terlihat baik, hanya karena ada dalil sahihnya, sementara secara analisis dan penjabaran, sebetulnya malah tidak bernilai memberdayakan, bahkan berbaya.

Bolehlah kita menghindari penggunaan akal, karena menjadikan akal sebagai hakim itu katanya sesat. Tapi, tetaplah kita menggunakan nalar. Tidak semua yang ada dalilnya itu benar, dan yang ada musiknya itu salah.

Mutiara dari mulut anjing sekalipun tetaplah mutiara.

Besok juga mau ada kajian mantan pendeta Hindu di masjid agung, pesanku kalau mau ikut : jangan telan mentah-mentah. Hidupkan nalarmu.

Taubat Bertahap v.s. Taubat Nasuha

Senyam-senyum sendiri kemarin membaca sebuah artikel di majalah Rohis salah satu sekolah terbaik di kota ini. Artikelnya tentang pacaran, intinya disitu adalah anjuran agar bagi yang pacaran segera bertaubat dengan cara putus.

Putus? iya "Sayang, kita putus yuuk...".

Apakah setelah putus persoalan selesai, dan surga di tangan? Putus, tapi smsan jalan terus sehari 1000 sms karena pakai kartu As. Atau putus tapi cari yang lain. Atau putus tapi bla.. bla.. bla...

Ya, tidak jelek artikel itu, sekaliber anak SMA tetap punya nilai konstruktif yang bagus lah mudah-mudahan. Hanya saja buat kita yang tua-tua harus memiliki pandangan yang lebih luas... bahwa persoalan tidak selesai dengan "putus" misalnya... karena ada sekian banyak variabel lain yang harus diperhatikan, misalnya how to menikmati amalan, how to tidak menikmati jelalatan, how to puasa sms, how to zakatkan waktu kita sebagian untuk sosial dan sebagainya.

Sama, kembali ke sunnah tidak serta merta dengan memakai pakaian yang persis sama seperti Kanjeng Nabi SAW. Karena kalau tidak memakai pakaian yang sama itu disebut maksiat, maka menggunakan desain arsitekturial karya budaya Jawa, bukan karya Kanjeng Nabi SAW juga bisa jadi maksiat. Begitu pula kalau  meniru ciptaan Allah dalam bentuk visual dalam hal ini foto disebut maksiat, maka meniru ciptaan Allah dalam bentuk Audio, yakni rekaman pengajian, apa bedanya itu. Hanya beda dimensi, visual dan audio.

Taubat Nasuha itu yang serentak drastis dari anak Pang jadi anak masjid yang tidak pernah meninggalkan sholat malam, apalagi sholat wajib, kah? Atau Taubat Nasuha itu perjalanan pembersihan yang istiqomah dengan bahan bakar "cinta ilmu"? Awalnya mungkin preman, ikut konser ada lagu judulnya "Ibu" dia tersentuh untuk lebih berbakti kepada ibunya. Lalu nonton sinetron bernama "KCB", lalu dia tidak sesembrono dulu pada wanita, dan seterusnya.

Taubat Nasuhanya sebuah rumah itu membersihkan rumah 180 derajat lalu seminggu kemudian berantakan lagi, atau disaat rumah bersih ia menjelek-jelekan rumah tetangga yang masih berantakankah? Atau Taubat Nasuhanya sebuah rumah itu minggu kemarin dibersihin L21nya, minggu kemudian dibersihin L22nya, lalu minggu ini dapur, gelas, piring, perkakas makannya ditata rapi dan minggu depan kamarnya, lalu minggu depannya lagi kebunnya?

Entah yang mana yang lebih merepresentasikan. Apakah yang bertahap itu berlawanan dengan Nasuha, atau Nasuha itu memang bertahap, karena cirinya adalah adanya kesetiaan (keistiqomahan). Eit, ini bukan note ilmiah, jadi tidak ada dalilnya dan tidak ada kesimpulannya. Hanya sekedar pintu berpikir.

Dan jadwal minggu ini adalah merevitalisasi dan menstrukturisasi perkakas dapur. Semoga berhasil.




6/9/11

Satria & Nyaman

Satria itu adalah slogan Banyumas, satu-satunya kota yang memakai slogan itu ya hanya Banyumas (setahuku si). Sayang sekali, sekarang Pak Marjoko sang Bupati agaknya kurang suka engan slogan itu, makanya tidak dipopulerkan, lebih suka mempopulerkan Kota Kripik, atau larung sesaji di kali serayu.

Satria itu adalah akronim dari Sejahtera, Adil, Tertib, Rapi, Indah dan Aman. Ini satu urutan yang sangat cantik dalam membangun masyarakat. Kalau masyarakatnya sejahtera, keadilan bisa dibangun, ketertiban bisa ditegakkan, semuanya akan mudah dirapihkan, terlihat indah, dan seluruh komponen masyarakat akan merasa aman.

Pak Bupati tidak begitu, baru juga menjabat yang dilakukan adalah penertiban disana-sini, keadilan apalagi kesejahteraan entah dikemanakan. Contohnya proyek taman kota, apa coba kontribusinya bagi keadilan masyarakat miskin? apa kontribusinya bagi kesejahteraan warga? Mana tidak ada unsur budaya lokalnya yang kental diangkat, terlihat modern tapi lebih terkesan wagu, TIDAK BERKARAKTER dan tidak punya potensi ekonomi.

Mungkin slogannya mau diganti jadi Banyumas Tasria, alias Tertib, Adil, Sejahtera, Rapi, Indah dan Aman. Apakah bisa?... Haha aku yakin.... yakin.... tidak bisa. Enak saja dibalik-balik begitu. Stop membicarakan Pak Bupati.

Sekarang kok aku jadi terpikir, kenapa diantara akronim itu tidak ada kata Nyaman ya? Ya, ada juga aman. Padahal aman dan nyaman itu kan beda.

Padahal kalau ada seorang wanita jatuh cinta ditanya, "kenapa kamu mencintainya"? Jawabannya biasanya, "enggak tahu kenapa, ya, nyaman aja gitu...".

Jadi terjawab, kenapa tidak ada kata "nyaman" dalam Satria. Karena nyaman ada dimensi yang lebih tinggi dibanding sejahtera, adil dan seterusnya itu... . Betul?

Kita akan nyaman bagi orang lain, itu karena faktor diluar pengupayaan sadar kita. Kita, nyaman dengan orang lain, itu juga karena faktor diluar frekuensi sadar kita. Berbeda dengan Satria yang harus dibangun dengan kesadaran.

Apakah aku nyaman, bagi dia? Haha... lihat nanti saja...








Lebih Mulia

Mana yang lebih mulia, orang yang merasa dirinya bersih suci karena tetap berada di ruang tamu dan tidak pernah tergerak untuk ikut membersihkan gudang. Atau orang yang membersihkan gudang, sampai-sampai tubuhnya belepotan nggak karuan?

Agama kok dimonopoli, jadi preman-preman ogah dan takut mendekat. Yang lebih parah kebenaran juga dimonopoli, sehingga orang putus asa untuk menjadi orang baik, karena orang-orang yang baru belajar jadi orang baik tetap saja diklasifikasikan sebagai orang yang tidak baik.

Yang lebih parah lagi, surga juga dimonopoli. Yang bersih masuk surga, yang tercemar, belepotan tidak masuk surga. Soal dia bersih karena tidak pernah dakwah ke tempat pelacuran, atau dia belepotan tapi membuat 10 preman tahu yang namanya menghormati dan mendoakan orang tua, itu tidak diperhitungkan.

Sekarang lebih mulia mana, orang yang sholat ke masjid karena takut melanggar hukum agama kalau tidak melakukannya. Atau orang yang tidak sholat di masjid karena merasa dirinya tidak pantas masuk ke masjid. Jangan tanya aku jawabannya, aku juga tidak tahu.

6/7/11

Hanya Sifat, Bukan Karakter

Kalau tiap kali ada kerjaan, memilih mengerjakannya pas sudah mepet, apa malah nunggu telat dulu, itu namanya karakter. Tapi jika satu kerjaan telat, karena memang saat itu kesibukan atau bisa juga mood sedang tidak seperti biasanya, maka itu hanyalah sifat.

Membedakan antara sifat dan karakter sangatlah penting, misalnya saat menghadapi orang yang mengecewakan kita karena pekerjaannya lelet. Jangalah langsung di justise dia pemalas, bisa jadi dia sedang sangat padat, hanya sifat, bukan karakter.

Begitupun ke diri sendiri, kalau kita mengecewakan orang karena pekerjaan tidak beres, coba disimak, itu memang karakter kita yang selalu saja mengecewakan orang, atau kita sedang dalam kondisi yang memang tidak memungkinkan untuk tidak mengecewakan.

Ketika memang itu adalah karakter, ya taubatan nasuha solusinya, revolusi diri habis-habisan entah bagaimanapun caranya, berapapun lama waktu yang diperlukannya. Tapi, kalau itu hanya sifat, sebaiknya kita tidak serta merta menghakimi diri jelek, hina dina nista tak berguna.

Karena, dosa hakiki adalah perasaan bersalah di dalam diri yang menurunkan produktifitas. Jangan melulu dosa diidentikkan dengan siksaan api yang panas di alam setelah dunia nanti, api yang menyala berwujud rasa bersalah itu justru lebih berbahaya, dan memang benar-benar berbahaya.

Merasa bersalah itu diperlukan hanya ketika kita sedang dalam sesi introspeksi diri. Rasa bersalah yang tidak pada tempatnya hanya akan membuat hasil kerja kita tidak bisa 100% sebagaimana jika kita tidak dibakar api rasa bersalah.

Terima kasih Hanie atas pelajaran HSBK (Hanya Sifat, Bukan Karakter) nya.

Ind - Eng


Ada ya, teknologi secanggih ini... mana ada suaranya pula kalau di klik "simak", lucu pula suaranya... Ah, google translate..

6/6/11

Wedding of The Year

Pernikahan seorang sahabat baikku, kawan diskusiku tentang Kimia (aslinya si bukan diskusi, tempat nyontek lah iya...), berlangsung lancar, syahdu, sangat sakral hari ini. Dari sekian panjang jam terbangku berkondangan, aku nobatkan inilah pernikahan yang paling mengesankan buatku.

Weddingnya Prince William kalah lah, jauh... apalagi tidak ada Marawisnya disana. Jam 09.00 datang tadi pagi, disambut Bapak-bapak berseragam glidik, rapih seragamnya, mengesankan sekali. Lalu ambil snack seperti layaknya kondangan pada umumnya dan mengisi daftar hadir, tadi pagi kebetulan petugasnya si Marlina, tetangga depan rumahnya wiwit, adik kelas di SMA dulu yang logat Banyumasnya betul-betul nyammnyuuuss... dijamin jadi pesaing berat Defi kalau mereka berdua ikutan audisi mbekayu Banyumas saat dihadapan juri Bahasa Ngapak.

Sekitar setengah jam menunggu, prosesi persiapan akad dimulai. Grup Marawis dari salah satu pesantren di Kembaran (kalau tidak salah) menempatkan diri, hanya beberapa kali cheksound, lagu pertama mereka bawakan dengan tegas, lantang dan apiiiklah... grup Marawis ini rekomended buat teman-teman yang mau nanggap, mereka bermusik dengan tidak gamang, suaranyapun bagus.

Sambil lagu pertama itu melantun, calon penganten pria, Mas Arif namanya, keluar didampingi kedua orangtuanya, dengan pakaian biasa, jas dengan warna agak kebiruan.

Selang beberapa menit, mempelai wanita keluar... aku cuma bilang, anggunnya.... ini baju penganten teranggun menurutku, punya Kate kalah jauhlah. Calon istriku nanti aku sarankan pakai gaun macam ini, atau syukur dia bisa memilih yang lebih cantik lagi.

Penghulu sudah menunggu di beranda masjid, saat penganten hendak dijejerkan dihadapan penghulu, si Wiwit geleng-geleng, lugu sekali, seperti anak TK ditawari permen tidak mau. Akhirnya Wiwit si mempelai wanita duduk di samping ibunya, diantara para hadirin,

Prosesi akad didahului dengan pembacaan ayat suci Al Quran, oleh pembaca dan penerjemah dari teman mereka semasa kuliah di ITB. Sangat tartil, dengan tanpa qiroati, pembaca Al Quran itu melantunkan ayat-ayat suci membuat merinding bergidig para hadirin, termasuk aku
.
Sungguh sebuah persembahan yang luar biasa indah dari seorang sahabat kepada sahabatnya yang sedang menjadi mempelai pagi itu. Terlebih ayat yang dipilih tepat, tentang nasehat-nasehat pernikahan. Makin membuat rantaman acara begitu syahdu dan khusyu.

Memang Weding Organizernya malaikat mungkin, sehingga acara yang berlangsung sederhana itu terasa begitu runut, tanpa jeda, tanpa wasting time, tanpa urutan yang keliru, sehingga tidak ada aura energi kekhusyukan dan kesakralan yang terputus. Itu yang bagiku paling mengesankan tadi pagi.

Dengan mahar 10 gram kalung emas, akad nikah dibacakan dalam bahasa Indonesia, Mas Arif harus mengulangnya sekali karena terjadi jeda. Setelah saksi mengatakan sah, senyumpun merekah di bibir Wiwit, dan kedua mempelaipun berjajar untuk menandatangi surat nikah, juga foto-foto sejenak dengan memamerkan surat nikah mereka.

Mempelai wanita bukan hanya menyerahkan mahar, tetapi juga dua hadiah. Hadiah pertama berupa uang, yang disusun cantik di pigura dan tidak disebutkan jumlahnya, karena mungkin memang tidak dihitung.

Dan hadiah kedua adalah hafalan ayat suci Al Quran. Kalau tidak salah yang dibacakan adalah QS Luqman, sembari si Wiwit menyimak Quran terjemahan, mas Arif duduk berhadap-hadapan dengan dia membacakan dengan begitu tartil ayat-ayat itu. Si Iswa sampai meringis-ringis melihat bagaimana sambil terus membaca, mimik muka mempelai Pria berinteraksi dengan mempelai wanita seolah menggoda.

Dan prosesi akadpun ditutup dengan sungkeman. Tidak seperti pada umumnya, ini sungkeman dilakukan masih di Beranda masjid, diiringi musik pilihan yang dibawakan oleh Grup Marawis yang menurutku sangat match nadanya. Warga yang nonton sampai pada ikutan nangis.

Dan pengantenpun kembali ke kamar, untuk ganti busana (dan lain-lain mungkin). Sambil menunggu kedua mempelai siap digiring ke pelaminan, ada pertunjukan dance yang tidak seperti biasanya ditampilan di pernikahan, dance kali ini dibawakan oleh adik-adik dari TK UMP, lucu sekali, hadirin pada tertawa melihat gerakan lugu dan kadang-kadang antar personel saling bertabrakan.

Sebuah dance yang mengesankan, daripada organ tunggal yang cantiknya meksa, tapi bagaimana juga sedikit banyak menggugah birahi penontonnnya.

Itu cerita pernikahan agung di tanggal 5 Juni, tanggal baik yang dipilih oleh mereka, entah dengan perhitungan apa, yang jelas itu bertepatan dengan hari terakhir long weekend, sehingga bisa banyak teman-teman yang datang menghadiri, guru-guru juga. Ada Pak Gito, Bu Menik, Bu Ndari, Bu Yayu, dan yang lainnya lagi entah tidak ketemu. Oh iya, juga hadir pak Hari Indra Kustiwa, guru SMP ku, entah, apa hubungan dia dengan kedua mempelai.

Mengesankan, tarubnya rapih berbalut warna hijau putih, Marawisnya lantang dan tidak norak, akadnya begitu sakral, hiburannya benar2 pilihan dan satu lagi, hidangan buahnya ditusuk -tusuk jadi semacam sate melon & semangka, itu baru pernah aku jumpai, dan sangat memudahkan untuk diambil (aku saja ambil sampai 4 kali balen, hehe) .

Yang kurang adalah begalan, memang ada tadi, tapi kok cuma pecah kendi saja terus sudah. Padahal, begalan itu baik loh, begalan itu ya ceramah nikahnya orisinil milik orang Banyumas. Ceramah yang tidak hanya menggunakan alat bantu mikrofon, tetapi menggunakan alat peraga siwur, ciri, muthu, ilir, irus yang masing-masing adalah akronim dari sebuah pesan bijak, mendalam maknanya. Sayang sekali banyak orang tidak tahu, tahunya begalan ya sesat dan harus dihapus.

Ah sudahlah, orang fundamentalis memang begitu, tidak mengerti irama dan kreatifitas, semuanya ditafsirkan dengan bahasa hukum. Walau padahal hukum adalah dimensi terrendah diantara sekian banyak norma-norma lainnya.



Dan akhirnya Barokallohulaka, wabaroka 'alaika, wajama'a baina kuma fii khaiir untuk Wiwit dan Arif. Doakan aku agar bisa bersegera menyusul menuju barokah seperti kalian, dengan cara yang barokah, akad yang barokah, resepsi yang barokah.

Rajin Fatamorgana

Suatu kali seorang dari temanku berkisah tentang salah seorang temannya yang mendaftar me-gawai di sebuah Bank. Apa alasan dia mendaftar katanya adalah karena dia ingin menantang dirinya agar produktif, karena ia tahu di bank ada target dan ada presure yang cukup mantap dari atasan.

Hm, sampai hari ini aku belum paham maksud kawannya kawanku itu. Setidaknya untuk dua hal kebelumpahamanku itu. Pertama : Bekerja di bawah tekanan, apa enaknya? Ya, aku merasakan betul bedanya bekerja karena didesak orang lain atau ditarget harus jadi oleh customer, misalnya. Itu sangat berbeda rasanya dengan saat aku mengerjakan hal bebas sesuai kehendakku, tanpa patokan target atau perintah dari siapapun.

Bukan cuma energi yang lebih besar saat mengerjakannya, hasilnyapun lebih memuaskan, ketimbang pekerjaan yang dikerjakan karena perintah semata.

Keheranan pertamaku itu, jadi kalau mau melatih hasil kerja terbaik, menurutku lebih baik membiasakan diri mengerjakan hal-hal yang kita kehendaki sendiri, ketimbang meminta perintah, target dan pengawasan orang lain.

Keheranan kedua adalah, apa si hebatnya orang yang bekerja dengan baik karena dipaksa. Yang namanya terpaksa, kepepet, sudah wajar kita bisa mengeluarkan jurus-jurus yang tidak bisa keluar saat kondisi normal, jadi apa hebatnya? Bisa jadi itu cuma rajin fatamorgana, alias rajin yang palsu, ketika tekanan hilang ya mbalik tidak rajin lagi. Justru hebat adalah ketika tanpa target, tanpa aturan waktu, kita bisa menelorkan hasil kerja buah inisiatif kita sendiri.TOP BGT itu.

6/4/11

Cukup Satu Hari Full

Cukup 1 hari full kemarin untuk merapihkan L21 bersama Pak Narso, orang Karanggintung dekat Pabuwaran sana.

Mungkin, cukup 1 hari full saja juga untuk merampungkan proposal, desain dan input database orderan.

Dan mungkin, hanya perlu 1 hari full saja untuk merapihkan L22 menjadi tempat yang lebih manusiawi. Sepertihalnya hati yang perlu dibersihi dengan istighfar setiap hari, L22 pun perlu di taubati dengan sapu dan sulak setiap hari.

Hm, mulai kapan ya?

6/3/11

surprise-surprse kecil dan pengalaman baru

PS-an.... jangankan memainkannya, bahkan mendengar soundnya sudah bikin eneg, macam naik bus lewat jalur selatan Pwt-Bandung saja. Haha, terlalu lugu aku ini mungkin, fasilitas yang sebegitu itu, kok tidak dimanfaatkan untuk nge-games, sekedar PS-an pun tidak. Itu aku sekarang, entah besok atau lusa, kalau sedikit2 diajari PS-an, mungkin lama-lama tercuci otak dan keranjingan juga.

Peristiwa dibelinya stick PS oleh Arif cukup membuat polusi suara di L22, itu salah satu pengalaman surprise kecil yang buatku pantas untuk aku note di awal bulan penuh surprise ini. Peristiwa lainnya adalah dapat gratisannya elegant konser Novia Kolopaking di malam pergantian bulan.



Dan surprise kecil lainnya adalah batal hadirnya Ki Enthus di Alun-alun Purbalingga yang aku pendeng dengan teman baikku di bawah gerimis semalam. Tapi tak apa, itu tetap pengalaman unik, pertama kalinya nonton konser semacam itu, konser yang sama sekali beda dengan performa Novia Kolopaking kemarin dulu. Tapi memang Iwan Fals benar-benar maestro, nggak nyesel lah nonton walau diguyur hujan, enggak duduk pula. enggak nyesel, tapi kapok, nggak datang-datang lagi lah begituan, hihi...

Ada enam hal yang aku garisbawahi di konser semalam :
Pertama, EO sebesar event begitu ternyata bisa sebegitu teledornya, menulis tanggal 3 ternyata H-1 atau malah hari H ditempeli itu tanggal jadi tanggal 2. Dan di baliho ada tulisan Ki Enthusnya, ternyata nggak ada.

Kedua, ketiga, keempat dan kelima, jadi melihat langsung tingkah polah anak muda bangsa ini, didepan mata lihat : orang hujan-hujan kok ya masih mau menyimak ustadz ceramah. orang gelut, untung polisinya sigap, sempat kedorong-dorong takut kena bacok aku. juga lihat ternyata di event begituan ada yang kencing dimuka umum, bukannya minggir cari tempat sepi eh main buka celana aja, dan ditonton pula sama teman-temannya. Dan yang berikutnya adalah melihat anak TRANCE, dari lama aku perhatikan ini anak menikmati betul jogetannya, eh betul, di lagu terakhir ia kesurupan, dan teman-teman satu geng nya panik... haha, mereka sepertinya perlu ikut seminar Pa Asep.

Dan keenam adalah, bagaimana Dakwah dikemas dengan penyanyi berjilbab tetapi memakai stoking doang, dan ini terus akan menjadi perdebatan, dan tentang point ke enam ini nanti lah diposting tersendiri.

Tabrak Lari yang Meyatimpiatukan 3 Anak Kecil

Sampai hari almarhum ayah dan almarhumah ibunya dimakamkan, fahri si sulung yang masih usia TK belum diberitahu tentang kepergian abadi kedua orang tuanya dari alam dunia. Begitupun si Dedek dan adik bungsunya. Entah, mungkin karena eyang dan keluarga yang ditinggalkan sedang menyiapkan mentalnya terlebih dahulu untuk bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi, atau bisa juga karena tak ada satupun dari keluarga yang ditinggalkan tega menjelaskan peristiwa ini.

Peristiwa tabrak lari, di hari lahir Pancasila, 1 juni lalu, ba'da maghrib di Ajibarang, Banyumas yang menjadi korban adalah almarhum Pa Bagus, seorang pemasar perumahan dan istrinya, seorang laboran di RSUD Ajibarang. Keduanya dan anak-anaknya adalah tetangga dekatku.

Pilu membayangkan wajah fahri dan adiknya ketika mereka memahami apa yang sebenarnya terjadi, anak kecil yang biasa dengan polos dan logat agak cedal huruf "s" itu nyelonong main ke rumah "Om, minta minumnya..." itu sekarang sudah tidak punya ayah dan tidak punya ibu.

Anak yang biasa dipanggil upin ipin yang biasa seharian dirumah dijaga pembantu karena kedua orang tuanya harus mencari nafkah itu, kini benar-benar ditinggal bukan hanya disiang harinya saja, tapi selama-lamanya.

Semoga maghfiroh Allah SWT untuk almarhum dan almarhumah. Semoga 3 anak kecil yang saat ini mewarisi salah satu rumah mungil di RT-ku itu mendapat hikmah kemuliaan di dunia juga di akhirat atas keikhlasannya ketika mereka sudah memahami perisitiwa ini suatu saat nanti.

Dan semoga si penabrak lari itu bisa mendapatkan kabar tentang kecelakaan dan kepiluan akibat perbuatannya itu. Karena tanpa kejelasan kabar dan tanpa tanggung jawab darinya, aku sangat yakin, si penabrak lari itu sangatlah patut untuk dikasihani.

Entah siapa pelakunya, entah mobil jenis apa yang ditumpangi, yang jelas pada 1 Juni lalu ia melintas di Ajibarang, Banyumas ba'da magrhib dan hingga note ini ditulis aku yakin wajahnya gusar dan setiap malamnya dihantui mimpi buruk. Apabila diantara pembaca ada disekelilingnya orang yang resah tidak karuan dan dia melintas di Ajibarang, Banyumas kemarin dulu, cobalah tanyai, siapa tahu ada hubungannya dengan kecelakaan ini. Kalau memang iya, suruhlah ia datang ke RSUD Ajibarang dan menuntaskan apa yang memang harus ia tuntaskan. Tanggung jawab.

6/1/11

Apa Ada Angin di Jakarta

Benar-benar nggak kapok diajakin nonton konsernya Eyang Novia Kolopaking, apalagi Hilmy dengan hebatnya bisa membuat kita ber-7 masuk concert hall gratis & halalan pula. Nyamnyusss pokoknya...

Dari oh bunga mawar, keluarga cemara yang diacak adut dengan pujian atas Nabi (sejenis sholawat mungkin), sampai Hati Matahari lagu-lagunya mengguncang semua deh. Tapi diantara yang mengguncang-mengguncang itu, yang paling berkesan ya lagu ini, lagu ciptaan gurunya Cak Nun : Umbu Landu Paranggi...


Apa ada angin di Jakarta,
Seperti di lepas Desa Melati,
Apa cintaku bisa lagi cari,
Akar bukit Wonosari.
Yang diam di dasar jiwaku,
Terlontar jauh ke sudut kota,
Kenangkanlah jua yang celaka,
Orang usiran kota raya.
Pulanglah ke desa,
Membangun esok hari,
Kembali ke huma berhati......


Ada yang punya koleksi lagu ini, kah?