6/13/11

Kajian Ilmiah yang (menurut Saya) Tidak Ilmiah

Waktu itu aku ikut sebuah kajian di sebuah masjid di Purwokerto. Materi yang dibahas salah satunya adalah tentang hadits berikut ini :

Seorang sahabat Nabi SAW yang bernama Wabishah RA datang dengan menyimpan pertanyaan di dalam hatinya tentang bagaimanakah cara membedakan antara kebajikan dan dosa.

Sebelum Wabishah bertanya, cermin hati Nabi SAW telah menangkap isi hatinya. ” Wahai Wabishah, mau aku jawab langsung atau engkau utarakan pertanyaanmu terlebih dahulu?” Wabishah menjawab,” Jawab langsung saja, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,” Engkau datang untuk bertanya bagaimana membedakan antara kebajikan dan dosa.” Wabishah berkata, “Benar.”

Beliau Rasulullah SAW merapatkan jari-jarinya dan menempelkannya pada dada Wabishah, seraya bersabda “Mintalah pendapat pada hatimu dan mintalah pendapat pada jiwamu, wahai Wabishah. Sesuatu itu adalah kebaikan bila ia membuat hati tenteram, membuat jiwa tenteram, sedangkan dosa membuat kegelisah dalam hati dan kegoncangan dalam dada.(Mintalah pendapat pada hatimu dan mintalah pendapat pada jiwamu), meskipun orang-orang telah memberikan pendapat mereka kepadamu tentang hal itu.” ( HR.al-Darimi dari Wabishah ra )


Dalam kajian itu dijelaskan maknanya adalah bahwa untuk mengetahui sesuatu itu benar atau salah, pahala atau dosa, maka mintalah fatwa pada hatimu. Penceramah memberi keterangan, hati yang boleh dimintai fatwa adalah hati yang benar-benar suci, bukan hati orang-orang biasa.

Karena hati orang biasa diragukan kesuciannya, maka bisa jadi fatwa yang keluar adalah fatwa yang tidak benar. Maka bagi orang-orang biasa, fatwa harusnya diminta kepada ulama. Wabil khusus ulama yang benar-benar terseleksi.

Ada dua point yang aku tangkap atas penjelasan penceramah, yakni (1) tidak ilmiah penjelasannya, (2) ada indikasi sesat muatannya. Begini :

Pertama, kenapa tidak ilmiah. Salah satu tanda sesuatu dikatakan ilmiah, adalah dia bisa diukur (terukur). Nah, kalau ada orang yang bisa meminta fatwa pada hatinya dan ada orang yang tidak, seandainya ini memang kajian ilmiah, seharusnya ada ukuran, orang dengan kadar suci seperti apa yang masih bisa dimintai ukuran dan mana yang tidak?

Kalau ukuran itu tidak ada, maka sebetulnya dalil di atas tidaklah berguna. Karena orang biasa tidak boleh meminta fatwa kepada hatinya, lalu apakah ada ulama yang boleh merasa dirinya sudah suci? setahu saya ulama sejati justru merasa dirinya dholim, artinya ulama pun tidak berani merasa dirinya suci dan karena tidak merasa dirinya suci maka dia tidak berani meminta fatwa pada hatinya.

Kedua, kenapa sesat. Di sebuah pelatihan SDM tingkat lanjutan ada juga pembahasan materi yang mengikutsertakan hadits di atas. Disini penjelasannya justru lebih gamblang, bahwasannya hati itu adalah instrumen di dalam tubuh manusia yang sama seperti kalau di pesawat namanya radar. Kalau kita bisa membaca radar, maka perjalanan udara lancar. Kalau kita bisa membaca hati (dan mengikuti panduannya), maka perjalanan kehidupan akan mulus pula.

Artinya nilai konstruktif dari hadits ini adalah ajakan untuk mengasaha kepekaan kita terhadap hati, bukan untuk semakin membuat kita menurut tanpa kritis kepada ulama, sehingga hati kita tidak pernah difungsikan.

Inilah, betapa orang takut mengkritisi suatu perkataan yang terlihat baik, hanya karena ada dalil sahihnya, sementara secara analisis dan penjabaran, sebetulnya malah tidak bernilai memberdayakan, bahkan berbaya.

Bolehlah kita menghindari penggunaan akal, karena menjadikan akal sebagai hakim itu katanya sesat. Tapi, tetaplah kita menggunakan nalar. Tidak semua yang ada dalilnya itu benar, dan yang ada musiknya itu salah.

Mutiara dari mulut anjing sekalipun tetaplah mutiara.

Besok juga mau ada kajian mantan pendeta Hindu di masjid agung, pesanku kalau mau ikut : jangan telan mentah-mentah. Hidupkan nalarmu.

No comments:

Post a Comment