1/31/10

Selamat Jalan Januari, Selamat Datang Februari

Sama seperti ketika kita melintasi pasar Losari, Brebes, sesaat setelah kita melihat tulisan Selamat Jalan Jawa Tengah, di seberang sungai ada tulisan berikutnya Selamat Datang Jawa Barat. Ya, selesainya sebuah urusan adalah tanda datangnya urusan yang baru.

Sebagai wujud penghormatan saya terhadap waktu, dimana selama ini masih terlalu banyak menyia-nyiakannya, saya ingin mengucapkan selamat jalan kepada Januari. Januari yang telah membawa saya ke Februari, Januari yang telah membawa saya ke begitu banyak ilmu baru, penemuan kesadaran atas kebijaksanaan baru, pengalaman baru dan posisi-posisi baru.

Sebelum saya menginjak bulan baru bernama Februari yang akan indah di awal, di akhir dan diantara keduanya itu, saya ingin sharingkan beberapa ilmu yang saya dapat di akhir Januari yang indah ini.

Dari Mas Arif, bahwa perasaan dan sikap tidak membutuhkan orang lain yang menurut kita adalah tanda kemandirian, itu sebetulnya bukanlah tanda ketinggian tingkatan kita. Dalam diagram Steven R Covey, Kemandirian memang berada setingkat diatas Kebergantungan, tetapi sesungguhnya masih ada strata di atas kemandirian, itu adalah Kesalingbergantungan (Interdependency).

Maka itu, jangan tutup diri kita dengan arogansi bahwa "saya bisa kok sendiri", tetapi teruslah berproses mencapai tingkatan yang lebih diatasnya, rasa saling bergantung sama lain. Rasa itu dua unsurnya :

Pertama : perasaan membutuhkan
Kedua : perasaan dibutuhkan

Perasaan membutuhkan melahirkan sikap "rendah hati", merasa keterlibatan orang lain adalah perlu, sangat perlu. Dan perasaan dibutuhkan melahirkan sikap "tinggi kontribusi", bahwa saya harus maksimal, karena kontribusi saya akan mempengaruhi yang lain.

Dari Miss Ary, diriwayatkan oleh Kusworo, bahwa kondisi dasar untuk terapi apapun adalah "memaafkan", memaafkan memang  manfaatnya bukan untuk orang lain, tapi untuk diri kita sendiri. Dan salah satu dari yang harus dimaafkan untuk bisa berhasil menerapi diri, terapi apapun, yang jelas terapi adalah proses penggubahan kebiasaan/sikap/cara berpikir buruk menjadi baik, adalah diri kita sendiri.

Maafkanlah diri sendiri, memaafkan agar pengkondisian dasar terapi yang kita upayakan berhasil. Tapi, jangan kebablasan menjadi seorang oportunis, yang memebenarkan setiap sikap diri.

Dan, saya canangkan dengan sadar dan terbuka, bulan Februari sebagai bulan memaafkan dan permohonan pengampunan. Saya ikhaskan hati ini untuk memaafkan diri saya sendiri malam ini. Dan saya akan aktifkan salah satu fitur istimewa yang diberikan Tuhan kepada manusia, fitur pengampunan.

Semoga Allah Subhanahuwata'ala membantu saya dalammemaafkan diri sendiri, dan Dia mengabulkan permohonan fitur yang saya aktifkan : pengampunan.

Mau Sholat Isya dulu sebelum berangkar Pra-Reor Fosma..

Regards


Rizky *2 bulan lagi 22 tahun sudah hidupku

Penunjang Keberhasilan Satu Sama Lain

Untuk yang masih tersisa, fokus saya, kita sekarang adalah bagaimana hari demi hari menguatkan keyakinan, bahwa langkah saya adalah penunjang keberhasilanmu, bahwa langkahmu adalah penunjang keberhasilan saya. Ada terlalu banyak ruang untuk bisa mengkomunikasikannya, mengobrolkannya, menyampaikannya.

Saya mulai dari diri saya sendiri, untuk bebas persepsi dan membebaskan berekspresi. Tidak ada satu cuilpun maksud untuk saya menjadi sukses sendirian. Apa yang ada dalam tatapan mata saya, mungkin lebih meyakinkan ketimbang ungkapan manapun dari mulut saya tentang ini.

Bersama tidak berarti harus sama. Semoga kita sukses bersama!

3W :Week of Walking-Walking

Dari minggu ke minggu, 24 ke 31 Januari 2010 mungkin tepat disebut sebagai minggunya jalan-jalan (week of walking-walking). Puas sekali refershing panjang setelah 3 hari kurang enak badan Kamis-Jumat-Sabtunya dulu...

Hari minggu yang dulu, jalan-jalan ke Pantai Logending.
Hari seninnya, untuk kedua kalinya nonton Sang Pemimpi. Dan untuk pertama kalinya mencicipi kuliner di jalan Pramuka : Somay Wahyuningsari
Hari selasanya, Mblusukan di Semboyan35.com sampai keblusuk-blusuk beneran.
Hari rabunya, jalan-jalan cari bahan ujian
Lalu hari kamis, mondar-mandir di kampus, bimbingan perwalian, kroschek nilai, bayar semesteran dan Online KRS.
Hari jumatnya, dua kali dalam sehari ke Curug Gomblang yang menantang
Hari Sabtu, mencicipi tol baru di Cirebon : Kanci-Pejagan
Dan sekarang, minggu : Diajak Mas Arif training di Baturraden dilanjutkan nonton yang ketiga, Sang Pemimpi.

Dan saya menemukan artikel yang sangat berkesan (bisa di klik disini), yang paling berkesan adalah paragraf kedua dari bawah.

Dan satu comment facebook dari sahabat lama untuk sahabat lama, yang juga semakin menambah kesan pencarian makna seminggu ini :

1/29/10

Untukmu Teman

Di sini kita pernah bertemu
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau menghulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru
Dan hidupku kini ceria

Kini dengarkanlah
Dendangan lagu tanda ikatanku
Kepadamu teman
Agar ikatan ukhuwah kan
Bersimpul padu

Kenangan bersamamu
Takkan ku lupa
Walau badai datang melanda
Walau bercerai jasad dan nyawa

Mengapa kita ditemukan
Dan akhirnya kita dipisahkan
Munkinkah menguji kesetiaan
Kejujuran dan kemanisan iman
Tuhan berikan daku kekuatan

Mungkinkah kita terlupa
Tuhan ada janjinya
Bertemu berpisah kita
Ada rahmat dan kasihnya
Andai ini ujian
Terangilah kamar kesabaran
Pergilah derita hadirlah cahaya

1/28/10

Mengakui Fakta-Fakta

Jangan ada pembelaan diri atas yang negatif. Jangan ada pengakuan diri atas yang positif.

SL

1/26/10

Bikin Kaos Ah...



Ini Rizky yang nDesain Loh ya? dan belum nemu di Google sebelumnya.

Spoor














Aku tak ingin kita menyatu,
coz Aku tak ingin kita berpisah..
Marilah menjadi seperti rel,
selalu sejajar berdampingan,
walau ada jarak diantara kita,,
biarkan bantalan yg menghubungkan kita,
dan wesel yg mengatur hubungan kita dengan spoor lain,
batu kricaklah tumpuan kita bersama


Rizky bisa dijumpai di forumnya para railfan semboyan35 dengan akun rizky dr

Weruh Sedurunge Winarah

"Percayalah, lelah ini hanya sebentar saja, jangan menyerah, walaupun tak mudah meraihnya..", Itu kata Ipang.

Sang Pemimpi adalah kisah tentang ketangguhan mempertahankan mimpi, seperti yang Pak Balia bilang, "Yang paling penting adalah bukan seberapa besar mimpimu, tetapi seberapa besar dirimu untuk mimpimu."

Apa si rahasia Aray bisa begitu kuat menghadapi deraan kehidupan? Pernah dimusuhi Ikal, uang tabungannya bersama Ikal harus diserahkan ke Ibunya Ikal dan yang menurut saya terberat adalah bagaimana Zakiah Nurmala pujaan hatinya selalu saja melengos.

Tapi Aray bisa berdamai lagi dengan Ikal, Aray bisa menghadirkan kuda untuk Jimbron, Aray bisa pulang kembali setelah tiga tahun mengadu nasib di Kalimantan, Aray bisa sampai ke Eropa dan yang terpenting menurut saya, Aray bisa menaklukan hati Zakiah Nurmala.





Rahasia Aray adalah, dia sudah melihat apa yang dia inginkan terwujud jauh hari sebelumnya. Tidak ada ragu, tidak ada bimbang, tidak ada cemas, yang tersimpan di benaknya "Itu nanti akan terjadi", konsep inilah yang membuat proses mewujudkan mimpi Aray begitu berkualitas. Tidak berpikir "nanti aku akan benar-benar boleh dipinjami kuda tidak yah?", tidak berpikir "Nanti di kalimantan akan benar-benar mendapatkan sesuatu yang berarti tidak yah?", atau ini yang menurut saya paling mengesankan, "Nanti Zakiah Nurmala akan benar-benar takluk tidak yah?"

Orang jawa mengenal konsep ini dengan istilah "Weruh sedurunge winarah", melihat sebelum terjadi, konsep yang sama seperti yang dimiliki Walt Disney tentang arena bermain keluarga terbesar di dunia yang ingin ia bangun : Disneyland.

Kenapa Jombron tidak ikut ke Jakarta?



Orang mengatakan, karena Jimbron tidak sepandai Aray dan Ikal, makanya dia tidak bisa masuk UI. Benar saja si, Pak Mustar saja bilang begitu, pada saat mereka dihukum karena kepergok sedang nonton film "hot" di bioskop, mereka selamat dari sanksi drop out karena dua anak diantaranya adalah siswa garda depan disekolahnya, hanya dua yang masuk deretan terpandai.

Tapi saya memiliki penilaian berbeda. Jimbron tidak ikut ke Jakarta, lalu ke Eropa, adalah karena Jimbron lebih memilih Laksmi. Tanah Belitong bersama Laksmi keindahannya mengungkuli Eropa.


Jangan Merasa

Cara termudah untuk menjadi seorang pemimpin yang hebat adalah dengan jangan merasa sebagai pemimpin. Dan cara termudah untuk menjadi seorang pengikut yang hebat adalah dengan jangan merasa sebagai pengikut.

Seorang pemimpin yang tidak merasa dirinya sebagai pemimpin tidak terbebani pikirannya dengan capaian minimal, dengan ketakutan-ketakutan akan keputusan yang salah. Tanpa beban dan paranoid itu, tindakannya akan maksimal.

Seorang pengikut yang tidak merasa dirinya sebagai pengikut tidak terkonsep dalam pikirannya bahwa peran dia tidak penting, tidak menyandarkan hasil total pada yang memiliki jabatan lebih tinggi. Serendah apapun posisi, kontribusinya menentukan hasil total di akhir.

1/25/10

Tawang Jaya


Hm, mungkin sebelum merealisasikan rencana ke Bandung, naik ini dulu ah, belum pernah naik kereta di pinggir laut begini.

1/22/10

Pegangan yang Lebih Kuat dan Skill yang Lebih Mahal

Apa pegangan orang biasa? pegangan orang biasa adalah status. Dengan status, penghidupannya terjamin, masa depan (usia pensiun) nya terback-up, kehormatan dirinya didalam stuktur masyarakat terakui.

Namun, sesungguhnya ada pegangan yang lebih kuat ketimbang status yang disandang akibat jabatan, pegangan yang lebih kuat itu bernama skill.

Seseorang tanpa jabatan, tetapi punya skill menukang yang baik akan dihargai mahal perjamnya, yang kalau diakumulasi perbulan lebih tinggi dari gaji PNS eselon bawah. Apalagi kalau orang berskill menukang kayu itu ada di luar negeri (carpenter). Bahkan orang berskill membetulkan ledeng bisa membuat games fenomenal "super mario" yang dikenal dimana-mana.

"Milikilah skill", itu pesan Pa Fahrur, Matematika Dahsyat". Orang yang memiliki skill lebih kuat eksistensi dirinya ketimbang orang yang hanya memiliki status (jabatan). Seperti Wisnu Nugroho, wartawan kompas yang entah sekarang masih jadi wartawan istana atau tidak (masih memiliki "jabatan" atau tidak), tetap saja dia masih terus menampilkan tulisan-tulisan khas dan cerdasnya, hasil olah "skill" menulis yang ia miliki.

Dan diantara begitu banyak skill, apa skill yang paling mahal? Skill yang paling mahal adalah skill menjual. Orang boleh punya produk training terbagus, mesin cetak tercanggih, makanan terlezat, tapi kalau tidak mengusai penjualan, aktualisasi dirinya akibat skill itu akan sangat terbatasi, sangat minimum.

Begitu pula sebaliknya, orang yang tidak punya skill memproduksi apapun, tetapi dia menguasai skill penjualan, dia bisa mejadi orang luar biasa. Sepeti Aristoteles Onasis, saudagar tembakau yang tidak punya kebun tembakau, atau Bob Sadino, eksportir sayuran tanpa memiliki ladang sayur.

Seperti juga Dahlan Iskan (Orang yang melepas jabatananya di 80 perusahaan yang ia miliki saat ditunjuk Presiden menjadi direktur PLN), dari satu skill "marketing" yang ia asah, 80 perusahaan bisa ia bangun. 80 perusahaan dengan karakterisitik cara "membuat produk" yang berbeda-beda satu sama lain.

Karena itu, beruntunglah orang-orang yang mempunyai kesempatan mengasah skill marketingnya. Bahkan di training-training kemandirian yang diasah pertama adalah kemampuan marketingnya. Ya, skill marketing adalah skill yang mahal. Kalau saat melatihnya susah, bahkan skill menceplok telorpun berlatihnya susah.

Skill apapun awalnya susah berlatihnya. Selamat berlatih.

Bersahabat Dengannya

Setiap dari kita memiliki sahabat. Apa yang kita lakukan ketika kita berkesempatan bertemu dengan sahabat kita? Ya, kita akan berbincang dengannya, menyambut hangat kehadirannya, mendengarkan dengan seksama curahan hatinya, berusaha menyuguhkan yang terbaik yang ada, semua sikap teristimewa kita unjukkan padanya.

Begitu bukan sikap kita kepada sahabat kita? Lalu, begitu pulakah sikap kita kepada diri kita sendiri? Hm, seringkali kita tidak menunjukkan sikap bersahabat terhadap diri kita sendiri. Yah, kasihan sekali diri kita itu. Dicueki, tidak didengarkan, dihakimi yang jelek-jelek, tidak diapresiasi saat berprestasi, dibanding-bandingkan dengan diri-diri lain disekeliling kita, hanya diberikan sisa waktu dari setiap hari kita, itu juga kalau ada.

Padahal, diri kitapun rindu ingin didengarkan, ingin diperhatikan, ingin disanjung ketika berhasil, ingin diistimewakan tidak melulu dibanding-bandingkan dengan yang lain.

Apa jadinya diri kita, kalau kita mencoba memberikan padanya sikap teristimewa, label untuknya yang istimewa pula dan meluangkan waktu-waktu istimewa kita untuk mendengarkannya. Ya, bersahabat dengannya, dengan diri kita sendiri.

Terima Kasih Time Planner, Terima Kasih To Do List

Hm, salah sendiri memilih jadi entrepeneur, ya begini jadinya. Ya, entrepeneur itu bukan perkara jualan atau enggak jualan, pejabat atau bukan pejabat, dalam makna yang lebih luas entrepeneur adalah soal sikap mental.

Rasanya capek, tiap hari dikejar kecemasan. Ya, capek tapi bahagia, kecemasan yang mendatangkan keuntungan. Memang ada? Ya, sama seperti marah untuk kebaikan, ada juga kecemasan untuk kebaikan. Cemas hari ini berlalu tanpa manfaat yang berarti.

Saya menjadi berbeda, ketika banyak teman-teman seolah-olah tidak betah dengan keadaan saat ininya "humh, kapan ya lulus", atau "bangun tidur, kerja lagi" saya malah kebalikannya bikin status "Hari ini, janganlah cepat berlalu (sebelum benar-benar termanfaatkan maksimal".

Bukannya kepengen cepet-cepet lulus, tapi malah takut lulus. Ada yang bilang saya terlalu pesimistis, merasa tidak akan mendapat aktivitas yang layak setelah lulus. Ya, mana saya tahulah, saya belum mengalami. Ya, tapi kalau persoalan nilai, cumlaude bukan hal yang susah dengan IQ setinggi saya, kalau persoalan pekerjaan, saya pikir enggak akan repot-repot amat dengan link yang saya miliki, tapi mimpi saya terlalu besar tidak sebanding dengan nilai dan pekerjaan.

Harapan saya, pas saya harus lulus nanti saya punya nilai terbaik, bukan di atas ijasah, tapi nilai dimata masyarakat sebagai anak bangsa yang bisa meneladankan produktivitas dan kemandirian tidak sekedar omong tok. juga pekerjaan yang baik, pekerjaan di pucuk-pucuk jabatan di perusahaan miliki sendiri.

Begitulah, sejak 1 Januari kemarin, satu hari saja rasanya mahal. cemas kalau saya belum maksimal di hari itu, cemas kalau tidak mendapatkan sesuatu yang bisa dipakai untuk bahan perbaikan besok. Itulah kenapa saya belakangan dekat, bahkan sangat dekat dengan time planner dan to do list yang membimbing saya.

Terima kasih time planner, terima kasih to do list dan terima kasih orang-orang yang terlah mengkonfrontasikan saya, resiko (calon) orang besar, kontroversi dimana-mana.

1/21/10

Narsis dan Egoislah

Dibilang bingung ya bingung, tapi tambah dibingungkan jadi semakin membingungkan.

Yang bisa saya pegang sekarang, apa yang bisa saya optimalkan ya itu, sambil otak ini jangan berhenti berputar. Formula baru pasti akan ketemu. Saya agak 'ayem' tadi pagi ngobrol dengan Fikry, oh ya, artinya dia tidak menyandarkan pada saya atas apa yang terjadi. Saya percaya dengan bekal yang dia punya, dia bisa survive, bahkan bisa mensurvive kan tim baru. Peningkatan kualitas sebuah tim ditentukan oleh peningkatan kualitas pribadi masing-masing di dalamnya. Dan salah satu tanda peningkatan pribadi itu adalah kemampuan dia membangun sebuah tim kecil di dalamnya. Team Nested Team

Terus terang, ada terbesit (entah sedikit, entah banyak) rasa bersalah kenapa Kusworo harus keluar kuliah. Bukankah seharusnya kapasitasnya yang terus membesar di dunia entrepeneur akan semakin meleluasakannya dalam memanaj waktu dan prioritas sehingga kuliah pada saat titik tertentu justru menjadi ringan dan sangat ringan (seperti status FB saya kemarin)? Ya, saat waktu luang semakin banyak.

Dan memang, saya sudah konsultasikan dengan beberapa guru terbaik saya, bahwa dua semester kedepan akan saya jalankan dengan semaksimal saya mood, untuk bisa menjemput periode "menganggur" saya, yang saya putuskan akan saya ambil setelah semester ganjil besok. Mudah-mudahan pada saat menganggur, kapasitas diri saya sudah memadai untuk bisa menjadi pegangan bagi diri saya sendiri

Saya jadi ingat kata seorang sahabat, kalau mau sukses ngeblog harus narsis dan egois, betul, egois itu bukan artian memperturutkan semua keinginan pribadi. Egois itu fokus berorientasi pada diri kita sendiri, fokus memaksimalkan apa yang ada dalam zona kekuasaan kita : diri kita sendiri. Dan Narsis adalah menampilkan apa yang kita kuasai. Begitu pula dalam kehidupan, bukan?

Hanya lelah kalau mengharapkan orang lain segesit ini, setotal itu. Hanya capek melihat orang lain menampilkan masalahnya, keterbatasannya, keluhannya. Perhatikan diri sendiri, tampilkan diri sendiri saja.

Sisa 2 Hari Ujian

Besok, dan lompat jauh nanti tanggal 28.

Setelah itu libur panjang sampai akhir Februari. Ini pasti akan serasa cuti ketiga, setelah dulu cuti pertama : bayar registrasi tapi nggak masuk dan nggak ujian, cuti kedua : ijin cuti secara resmi dan besok...

Semoga, di waktu yang demikian free ini, saya bisa mewujudkan target saya, menyandangkan status dan basic salary di bulan April. Itu saja dulu. Agar tidak dibilang kerja bakti terus, agar tidak dicap dolanan lagi.

Syukur pisan dalam waktu-waktu itu Avanza bisa dilunasi. Amin..

1/20/10

Belajar Lebih Banyak dari JK

Apa yang membuat saya tertarik pada JK adalah cara berpikir dan bertindaknya. Tidak sampai jauh pada ranah kendaraan politiknya, rumor permainan di bisnisnya, dan banyak tulisan jelek lainnya. Saya rasa ketertarikan saya proporsional saja, bukan seperti taklidnya mas Felix atau mas Koswara kepada SBY yang selalu tidak pernah berhenti mencari pembenaran-pembenaran bahwa pujaannya adalah benar.

Saya jengkel kalau pemikiran dan tindakan JK diejek, bukan karena apapun karena saya bukan orang Bugis, saya juga bukan orang Golkar, tapi JK seringkali menginspirasikan pemikiran dan tindakan yang proaktif karakteristik seorang entrepeneur.

Ya, kalau saya konsisten dengan jalan yang saya tempuh, semakin tua nanti saya, saya lebih akan mirip JK ketimbang SBY. Soal memangkas birokrasi, berani berkritik tajam, manuver perubahan dan pemikiran serta tindakan berani lainnya.

Oleh sebab itu, seharusnya saya sadar, sikap yang harus jadi bekal saya adalah sikap cuek, tegas, tutup kuping, teguh pendirian, berpikir cepat (blink), berani dan berdaya tahan kuat terhadap ancaman.

Materi-materi inilah yang akan jadi bahan pelajaran saya hingga akhir bulan depan. Untuk menjadi saya yang semakin kuat.

"Dengan menolong diri sendiri, kita bisa menolong orang lain dengan lebih sempurna"

Candradimuka Trainer Baru

Dulu : Mendadak teringat dulu, di awal-awal nama SDTC digaungkan, saya dan Hilmy punya mimpi kita akan mempunyai lembaga training yang mencetak para trainer. Jadi bukan cuma kita yang terjun langsung di lapangan, tetapi kita menyiapkan kader-kader yang siap terjun ke lapangan membawa bendera SDTC. SDTC menjadi kawah candradimuka trainer baru.

Kemarin : Saya dapat kabar kalau manajemen MD sudah tidak aktif lagi, bahkan ZL dan CL sudah membubarkan dirinya masing-masing. Pa Fahrur sedang menggodok sebuah kelas pelatihan di Jakarta, dimana dikelas itu para pendidik di kader untuk dapat mengajarkan matematika secara dahsyat.

Tadi : Saya belajar tentang "kerangka berpikir" salah satu bab yang wajib termuat dalam ujian Metodologi Penelitian yang harus dikumpulkan siang ini. Kerangka berpikir memaparkan alur kejadian dan skema apa-apa yang memeiliki keterkaitan dengan obyek penelitian. Antara satu hal dan hal lainnya yang memiliki keterkaitan dapat kita susun dalam satu kerangka untuk melahirkan sesuatu hasil yang bermanfaat.

Sekarang : Sedang mencoba membangun kerangka pikir dengan tulisan karena dari tadi mikir tidak juga menemukan titik temu. Hm, Apa mungkin ya kita bekerja sama dengan Pa Fahrur untuk bisa menjadikan MD sebagai content awal untuk calon kader-kader SDTC? Ya, "Matematika-Motivasi". Sambil lalu, program-program yang ada dimaksimalkan agar bisa mencapai batas minimum kas stabil yang bisa digunakan untuk membangun ruko, mencadangkan dana operasional dan karyawan dan biaya peluncuran program.

Nanti : Pada saatnya yang sekarang tidak punya status tidak perlu resah karena kita tetap bisa mengikuti aturan permainan di lapangan tempat kita bermain yakni "bekerja", ya bekerja menjadi pimpinan-pimpinan di perusahaan yang kita dirikan sendiri. Hh, saya masih terus berpikir, berpikir, berpikir, untuk menemukan jalannya dimana dan dengan apa harus menjalaninya. Semoga menemukan.

Menulis seperti Minum Obat

Menulislah seperti minum obat, tiga kali sehari. Pagi pas bangun tidur, siang pada saat senggang dan malam sebelum tidur. Semoga penyakit-penyakit mental lekas membaik, seperti : Mental tidak percaya diri, kerangka berpikir tidak sistematis dan mengedepankan emosi dan kewajiban berbagi setiap hari terpenuhi.

Tidak ada efek samping kok, paling cucian keteteran atau makan sedikit tertunda saja. Kalau ada kebuntuan ide dan kemandegan gairah hubungi dokter writerpreneurship terdekat.

Tidak usah takut over dosis, menulis berlebihan tidak menyebabkan kangker, gangguan jantung dan kehamilan apalagi sampai impotensi. Paling pasangan ilfeel saja ditunggu-tunggu di tempat tidur tidak kunjung muncul.

Mana yang Lebih Berharga, Kita atau Uang?

Terus terang, ini adalah masa sulit bagi saya, bagaimana harus mencapai target dalam kondisi yang bahasa fisikanya disebut "sangat lembam" atau bahasa gaulnya "lebay abiss". Kadang terlintas di pikiran saya, kalau saja ada uang 500 juta, langsung bikin warnet paling bagus di Purwokerto, jaminan, rame!. Kalau saja ada uang 150 juta, langsung bikin toko roti terbaik di kota ini, tidak usah merangkak begini. Kalau saja ada uang 250 juta, langsung bikin pusat percetakan di propinsi ini, mempekerjakan tenaga-tenaga yang bisa saya paksa dengan leluasa, mengumpulkan katalog selengkap mungkin walau dengan biaya mahal. Bahkan kalau saja ada uang 100 juta, langsung bikin pusat pelatihan dan konsultansi yang rutin mengadakan penawaran inhouse dan public training secara profesional.

Ah, itu semua kan kalau saja. Apa iya "kalau saja" itu harus ditunggui dulu. Lalu apa bedanya saya dengan uang, malah arti uang lebih bernilai dari saya sebagai manusia. Hm, apa lantas nantinya saya bisa mengendalikan uang, kalau uang lebih berpengaruh ketimbang saya sendiri.

Berpikir dan terus berpikir, terus bagaimana donk ini. Waktu terbatas, sangat terbatas. Target saya pikir sudah dibuat seminimal mungkin, yang paling realistis untuk pijakan awal. Tetapi ya begini adanya. Yang bisa saya lakukan hari ini cuma mengetik note ini, mengeprintkan surat yang kurang, menjahitkan terpal dan memantau perkembangan penyebaran freepass dan efektivitas penggunaannya.

1/19/10

Ingin Baca Buku Ini


Bagi yang ingin menghadiahkan , buku bisa diperoleh di Gramedia dan dialamatkan ke rumah saya langsung. Terima kasih sebelumnya

1/18/10

Purwokerto : Angin Ribut Kemarin

Ba'da ashar, atau tepatnya setelah saya mengantar adonan martabak, langit purwokerto menggelap dan angin bertiup kencang, seng tetangga beterbangan, beberapa pohon dan property reklame di pinggir jalan tumbang. Selang beberapa menit listrik padam, sontak hotspot mati.

Ini foto langit purwokerto kemarin dari teman-teman...

Photographed by : Musa Gunawan




Photographed by : Idhad Zakaria

Dan sebelum maghrib, hujan dan angin mereda, terbitlah pelangi, yang kata orang itu adalah pelangi besar, sayang saya tidak melihatnya sendiri.


Photographed by : Musa Gunawan

Semoga kota ini dan kabupaten ini dan bangsa ini aman dari bencana, amin...

Dua Perspektif dan Tiga yang Saya Yakini dari Anak-Anak SDI



Dari perspektif negatif, rasa-rasanya putus asa adalah solusi terbaik. Ada yang setiap hari berlelah-lelah tapi cuma dapat keringat (ya dapat imbalam materi juga si walau sedikit), ada yang mencoba ini dan itu,  bukannya untung tetapi malah semakin amblas, ada yang stag bingung mau ngapain, ada yang merasakan betapa tidak berfungsinya kebersamaan karena ngurus apa-apa harus sendiri, ada yang blank bagaimana harus mengembangkan, ada yang terpaksa jadi buruh cuci sendiri, ada yang... Menyedihkan. Apa fungsinya donk ada SDI?

Dari perspekif positif, rasa-rasanya ini adalah skenario yang sangat indah, saya ingat nasehat Pa Mario, bahwa tim yang berkualitas dibangun oleh pribadi-pribadi yang berkualitas. Ya, sepertihalnya DPR yang sedang masa reses, SDI mungkin bisa diibaratkan begitu, ini adalah sebuat timing untuk masing-masing mengembangkan pribadi, dengan caranya sendiri, tanpa instruksi, tanpa di dikte.

Mungkin ada yang bertanya, loh apanya yang berkembang kalau aku nggarap ini sendirian? loh apanya yang berkembang kalau inovasiku buntu tidak ada yang membantu? loh apanya yang berkembang kalau tiap hari aku berkeringat hasilnya tidak sepadan? loh apanya yang berkembang kalau aku nggak tahu hari ini harus ngapain?

Bukan cuma tubuh, bukan cuma dompet, tetapi pikiran juga harus dikembangkan. Malah pikiran adalah yang harusnya pertama-tama dikembangkan. Mengubah dunia diawali dengan mengubah pikiran, bukan? Nah, bukankah dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan macam paragraf di atas tandanya kita sedang mengembangkan pikiran kita sendiri?

Itulah dua perspketif, bisa digali lebih dalam, tapi mending gali sendiri saja, ambil waktu menyendiri, berdialoglah dengan diri sendiri, telusuri sebanyak-banyaknya masing-masing perspektif itu, lalu bandingkan keduanya dan kemudian putuskan mau ambil perspektif yang mana, yang negatif atau yang positif?

Pilihan masing-masing saja, tidak masalah, karena saya meyakini 3 hal :

Pertama :  Lepas dari sudah ahli belum kita dalam berbisnis, dalam berpeduli dan dalam berbagi waktu, kita semua saat ini sudah pandai belajar. Pandai belajar itu lebih dahsyat dibanding belajar pandai, karena dengan pandai belajar orang akan tahu bagaimana mengembangkan dirinya dengan optimal ke arah yang benar, jangankan di kondisi nyaman, bahkan di kondisi krisispun pasti tetap bisa mengambil pelajaran.

Kedua : Masing-masing kita sudah punya benih produktif dan mandiri yang dulu belum dipunyai sematang hari ini. Jadi, sebetulnya kita sudah bisa berusaha sendiri-sendiri. Loh, katanya sukses tidak bisa diraih sendirian? Betul, maksudnya, kita bisa membentuk tim-tim dibawah masing-masing dari kita. Karena apa, sukses harus diraih oleh kita sendiri, tidak bisa dipercayakan kepada orang lain, teman lain di SDI.

Ketiga :  Sesukses apapun jadinya, salah satu diantara kita tidak akan lupa dengan SDI. Demikian pula sejatuh apapun, nilai-nilai kemandirian dan produktivitas sudah terlanjur melekat dalam diri kita.

Yakinlah, tidak ada satu badaipun yang perlu kita takuti, sepanjang perspektif yang kita pilih tepat.

Salam Semangat,


Rizky

1/17/10

Urgently Required

Banyak orang membutuhkan saya, membutuhkan kita. Saya, kita yang seperti apa? Tentu : saya, kita yang berguna. Diantara sekian banyak bidang yang digarap di Semangat Donk, kemungkinan besar pada saatnya nanti saya hanya akan concern di 2 : pendidikan dan kesehatan. 2C : Campus & Clinic, yang mungkin kedepannya akan menjadi Learning Center dan Rumah Sakit yang betul betul berbeda dari yang sudah ada saat ini.

Ini merupakan pembeda makna entrepeneur yang sebenarnya. Hm, apa maksudnya? Sekarang saya tanya, apakah semua entrepeneur itu berdagang? Lalu apakah semua pedagang itu entrepeneur? Seorang yang pekerjaannya jualan tetapi setiap hari yang dia kerjakan itu-itu saja, menjadi kuli bagi usahanya sendiri, apakah dia seorang entrepeneur? Seorang bupati yang tidak pernah memasarkan produk, hanya mengemas potensi daerahnya menjadi area-area siap garap dan selalu berupaya untuk produktif dan mandiri, dia adalah seorang entrepeneur?

Bohong, kalau seorang entrepeneur masih menomorsatukan sandaran (fisik/benda/materi) di luar dirinya, masih menjadi kuli bagi warungnya, masih menjadi kuli bagi kampusnya. Kalaupun dia merasa dirinya adalah seorang entrepeneur, tinggal pertanyaannya entrepeneur macam apa?

Baik, lanjut, memang pembeda ada di Visinya, sekedar cari uang untuk menutup sandaran tertentu, atau berniat berkembang dengan memberdayakan segenap potensi dan sumber daya yang ada?

Akhirnya sampai pada point utama yang ingin saya obrolkan kali ini, yakni masalah pemberdayaan. Disekeliling kita banyak sekali orang-orang yang perlu dan dapat diberdayakan dengan profesional, itu adalah fakta dan lowongan yang lebih longgar dari persaingan CPNS dan antrian lamaran kerja bergengsi dimanapun.

Saya tidak tahu, kalau tidak salah keahlian yang dibutuhkan bernama Public Relation Skill. Loh iya, sebut saja Pa Fahrur, saya rasa dengan kehadiran seorang pemberdaya yang profesional dia bisa di level mendekati Yohanes Surya. Atau Arif RH, saya sangat yakin kapasitasnya seharusnya di atas Ippho Santosa.

Hm, ya ya ya, kalau orang-orang itu terlalu tinggi. Saya ingin sebut nama Pak Sarwin, seorang pekerja keras ulet yang memiliki integritas tinggi dengan pekerjaannya, dia cuma jualan martabak unyil dan gerobagan lainnya, berapa si yang dia dapat sehari? Untuk ukuran integritas setinggi itu, dia pantas mengelola toko roti dengan pendapatan bersih 15 juta sebulannya. Saya yakin itu. Atau nama lainnya adalah Pak Diram, seorang tukang kayu bertalenta, dengan pengalamannya selama belasan tahun menukang dan hal yang saya salut dari dia adalah inisiatifnya, saya percaya kalau ada seorang pemberdaya yang datang, dia bisa layak menggarap tender-tender proyek bernilai ratusan juta, dia berkapasitas untuk itu.

Kenapa? Itu masih terlalu susah? Baiklah, disekeliling kita sendiri saja, teman-teman, berapa banyak diantara mereka ibarat kalkulator scientifik tetapi hanya digunakan untuk operasi tambah kurang kali bagi? Berapa banyak dari mereka yang performanya windosw seven dengan Office 2007 yang hanya memfungsikan dirinya tidak lebih dari sekedar mesin ketik karbonan?

Dibutuhkan cepat (Urgwntly Required) seorang pemberdaya. Menjadi seorang pemberdaya itu adalah peluang besar dan sangat-sangat menggiurkan, bayangkan tanpa skill lapangan khusus seperti keahlian menukang atau keahlian public speaking kita bisa berpenghasilan ratusan juta bahkan miliar kalau mau diukur secara materi. Modalnya cuma keberanian, kejelian menangkap peluang, kegesitan membangun link dan daya tahan menuntaskan tanggung jawab.

Namun satu yang perlu diiingat, fokuslah untuk memberdayakan diri sendiri untuk bisa menjadi pemberdaya orang lain dengan hasil yang baik.

1/13/10

Bercengkeramalah dengan Diri Sendiri


Saking sibuknya dengan target-target yang kita buat sendiri, saking sibuknya dengan kegiatan meluruskan persepsi-persepsi orang, mengikuti pemikiran-pemikiran orang lain, kita sampai sering lupa memberi waktu bercengkerama dengan diri sendiri. Akibatnya, stres, kecewa, futur, bimbang, blank haha, memprihatinkan, sebuah tanda-tanda gangguan jiwa yang tidak terraba oleh tim medis kedokteran jiwa.

Lalu, apa solusinya? Beberapa orang membiarkan masa-masa membosankan, suntuk dan blank untuk berlalu dengan sendirinya. Namun, sebagian lagi orang berusaha mencari cara mempercepat berlalunya masa-masa itu. Ada banyak cara untuk tidak berlama-lama berkubang dalam kondisi tidak mengenakkan semacam itu, setiap orang bisa merabanya sendiri, mencobanya sendiri dan menuai hasilnya sendiri. Ini salah satu caranya : Memanjakan diri sendiri.

Bercengkeramalah dengan diri sendiri


Menyendirilah, berdialoglah dengan diri sendiri, dengarkan jangan menyela. Dengarkan sememuakkan apapun yang diri anda sendiri ucapkan, cari tahu dari percakapan itu, gali, gali dan gali, apa sesungguhnya yang diri anda sendiri rasakan, yang diinginkan dan segala sesuatunya.

Berlama-lamalah dalam kesendirian itu, meminta maaflah pada diri anda sendiri yang selama ini anda cueki, yang selama ini anda kesampingkan, yang selama ini anda terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu mendengarkannya, me "ngewulani" nya. Turutilah yang ia mau, sepanjang hal itu baik, agar ia senang.

Bukankah kue teristimewa terbikin ketika seseorang memasaknya dengan senang hati? Bukankah begitu setiap hal isitmewa terjadi? Based on "rasa senang".

Ciptakan prestasi kecil


Maka, bersekongkollah dengan diri anda sendiri, rencanakan sebuah rencana kecil, yang disitu mungkin anda dan diri anda sendiri bisa meraih sebuah keberhasilan. Entah, mungkin dengan membuat sebuah nilai yang bagus di kelas, mungkin dengan mencoba menjual sesuatu dan menghabiskannya dalam sehari atau apapun yang bisa membuat senang.

Sebetulnya ada cara yang paling mudah, yaitu dengan menyedekahkan sesuatu yang anda nilai berharga saat itu, bukankah sedekah adalah sebuah prestasi?

Prestasi kecil akan mengubah konsep diri anda secara drastis, dari yang sumpek, dari yang futur, menjadi tersenyum, menjadi longgar, menjadi menggairahkan.

Hm, susah membayangkan ya? Kalau begitu coba saja dulu.

Tidak berhenti membaca (baca : memahami)


Lalu, tetaplah tersenyum, sambil terus membaca, membaca bukan dalam artian memandangi buku, tetapi memahami banyak hal baru, tidak harus hal baru yang besar, hal baru yang kecil, dalam proses pencarian cara anda untuk meningkatkan kebahagaiaan akan sangat berarti, sangat berarti.

Maka dengan tiba-tiba prestasi besar terjadi


Dan tiba-tiba anda terheran, sebuah prestasi yang tidak anda sangka-sangka terjadi. Apa itu? ya coba saja sendiri. Tidak percaya? ya sudah.

Oke, selamat bermanja-manja dengan diri sendiri, diri anda sendiripun butuh anda perhatikan, dengarkan, turuti dan diajak bersama membuat prestasi. Mulai dari prestasi kecil. Hm, bukankah begitu banyak prestasi besar yang lahir justru dari saat krisis, saat vakum, saat terpuruk?

Mungkin krisis anda hari ini, kevakuman anda hari ini, keterpurukan anda hari ini adalah tempat akan lahirnya prestasi besar anda. Dan terakhir : Kata Pa Ary di ToT (Training of Trainer) angkatan 18 kemarin : "Gambate!!!"

Sukses Tidak Cukup Tahu Resep Saja

Resep Martabak Unyil
Dituliskan oleh keluarga Ferry Hasto dari dapurnyavita.blogspot.com

Bahan A 
125 gram tepung segitiga
25 gram gula pasir
1/4 sdt baking powder
1/4 sdt garam
175 ml air
1/2 sdt ragi instan

Bahan B
2 butir telur
1/8 sdt soda kue
25 gr gula pasir

Cara Membuat
-Bahan A kocok rata sampai halus
-Masukkan ragi instan, diamkan 2 jam (maksimal) atau 45 menit (minimal)
-masukkan adonan B

Adonan siap dimasak..

Tahu resep saja tidak cukup untuk sukses, kita juga harus tahu cara memasaknya. Cukup? tidak, kita juga harus tahu cara menjualnya. cukup? tidak, kita juga harus tahu bagaimana mempertahankan tempat jualan kita sekalipun di awal trafic memilukan.

Itu cukup? tidak, kita harus tahu cara mendelegasikannya. Cukup? tidak, kita harus tahu cara mengembangkannya Cukup? tidak, kita harus tahu cara melesatkannya.

Mari kita bersinergi, untuk menjalani perjalanan itu bersama. Sukses itu lahir dari sinergi, bukan arogansi dan egoisme.

Perbedaan Orang Jawa dan Orang Padang pada Dua Fase Wajib dalam Berentrepeneur


Orang Jawa dan orang Padang mendapati kondisi yang berbeda dalam menjalani fase-fase bereentrepeneur Ada dua fase besar yang mau tidak mau harus dilalui oleh seorang yang terlanjur memutuskan diri menjadi seorang entrepeneur.


Fase Pertama : Entrepeneur Minder

Inilah fase dimana mencoba dagang rugi-rugi terus, mencoba ide baru tetap saja rugi, ketika melihat sekeliling, teman selifting sudah ada yang jadi ini dan jadi itu.

Bagaimana orang Jawa pada fase ini? Mereka sibuk, sibuk memikirkan omongan orang, celaan orang, sibuk meramalkan nasib sendiri, saking sibuknya hingga malas berpikir kreatif. Jangankan berpikir kreatif, berpikir positif saja "aras-arasen", apalagi beraksi proaktif, ah nihil.

Alhasil, bukannya terus mencoba bagaimana (how) melakukan cara-cara baru yang inovatif, mereka "ketungkul" berpikir mengapa (why) nasibku begini? mengapa mereka berkata seperti itu? mengapa mereka bisa berhasil dan aku tidak? Kasihan, energi terkuras di level "why".

Bagaimana pula dengan orang Padang? Orang Padang jauh dari keluarganya, jauh dari orang-orang yang ia kenal, di tanah Jawa jangankan orang berkomentar, melirik ke ia saja tidak. Akibatnya, sekalipun omzet tidak nutup, sekalipun berbulan-bulan hanya makan nasi Padang tanpa lauk (nasi, sambal dan lalab saja), tetap saja mereka berpikir pada tataran "how", bagaimana ini terobosannya?

Iya, tidak ada omongan orang yang mereka pikirkan, ketika keluarga jauh di Padang sana menelepon katakan saja "Rancak Bana, Bahagia di Kampuang Jawa Bundo...", ya, bahagia, karena walau cuma makan nasi lalab, tapi pikiran tidak tersita oleh pembanding-pembanding yang menegasi kekuatan diri. Ya mau membandingkan dengan siapa, orang tidak ada yang dikenal?

Lalu masuklah pada Fase Kedua : Entrepeneur Percaya Diri

Ini adalah fase dimana seorang entrepeneur bangga dengan statusnya, bangga dengan kesehariannya, sekalipun hanya memakai sepatu kets dan kaos oblong tetapi kesejahteraan berlimpah, sedekah merekah.

Bagaimana orang Jawa pada fase ini? Haha, bagaimana ya, apa mereka sampai pada fase ini, sedangkan kesibukan mereka memikirkan omongan negatif orang-orang terdekatnya dan ramalan ramalan negatif ngaco yang ia buat sendiri menyita waktu untuk optimalisasi kualitas mental dan skillnya sendiri?

Ya, tidak terdeteksi nasib mereka di fase ini, mungkin karena sebelum masuk ke fase ini mereka sudah terlanjur kembali "repek" di hutan bengkok desa, mendaftar pegawai negeri, yah pokoknya demi meredam omongan orang, yang penting dapat status. Asal tidak lagi makan "sega kucing" yang penting gajian.


Lalu bagaimana dengan orang Padang pada fase ini? Ya, bisa ditebaklah, betapa bahagianya hidup dalam kesejahteraan yang ia jerihkan bertahun-tahun.

Merantaulah! "Merantau", bukan "Merantau", tahu kan maksudnya?

1/11/10

Mulai dengan Memositifkan Pikiran

“Sekarang, lebih baik teman-teman berusaha dulu untuk mengubah mindset, apakah ingin menjadi orang yang positif dan memandang lingkungan dengan pikiran positif, atau tetap akan bertahan pada garis pemisah antara kejahiliyahan masyarakat kebanyakan versus merasa paling benar di pihak kalian. Jika mindset itu sudah berubah, lihat saja apa yang akan terjadi…”, Kata Matahari Timoer

“Jika kita mau mengajak kebaikan, mulailah dengan memositifkan pikiran kita sendiri dan memandang orang lain dengan pikiran positif. Jika kita masih memandang orang lain buruk, jahat, sesat, atau segala vonis negatif lainnya, maka sia-sia saja usaha kita. Orang lain tak akan mau mengikuti saran rencana baik kita…” Lanjutnya.

Lama Sekali

Waduh, lama sekali nggak



nongkrong di pinggir jalan



lari pagi



apalagi bersepeda



hm, renang juga tidak


heumh, masa trainer otak kanan tidak pernah menjalankan aktivitas kanan, si gimana? Tobat-tobat!! Insaf-insaf!! Berubah-berubah!!

Qadli Dzaqa

Saya pernah menonton sebuah film, lupa judulnya, ya yang saya ingat di film itu digambarkan ada seorang wali yang sedang bertapa di pinggir sungai, menjaga tongkat selama bertahun-tahun.

Hm, itukah bagian dari deislamisasi yang dilakukan oleh penjajah dan antek-anteknya yang duduk di pemerintahan waktu itu. Tidak usah pakai data empirik, pakai logika sederhana saja, semisal betul para wali adalah orang-orang yang memiliki kekuatan sihir yang suka memamerkan sihir-sihirnya, para wali adalah orang-orang pertapa yang tidak pernah menjalankan sholat dan mengesampingkan syariat, apa bisa mendapat pengikut begitu luas seantero Jawa bahkan hingga luar Jawa?

Hukum penyebaran ilmu masih berlaku sampai sekarang, bahwa orang akan cenderung meniru apa yang mereka lihat, ketimbang apa yang mereka dengar. Bahwa orang lebih mengikuti keteladanan ketimbang nasehat-nasehat cerewet.

Bahkan dari sebuah sumber disebutkan Kalijaga berasal dari kosakata arab Qadli Dzaqa. Jadi, janganlah mengkeramatkan leluhur kita apalagi dengan persepsi miring yang menyedihkan. Kalaupun makamnya banyak diziarahi, jangan dijustifikasi semua peziarah adalah orang yang tidak tahu agama, berapa banyak dari mereka yang betul-betul kesana untuk mendoakan dan untuk tadzabur diri. Apa iya ada tingkatan alim diatas penghinaan terhadap orang lain yang tidak jelas pula dasarnya.

Seharusnya, kalau memang kita merasa diri kita lebih alim dari mereka, kita harusnya belajar lebih, memikirkan bagaimana kok bisa strategi dakwah mereka begitu efektif, diikuti begitu banyak orang, bahkan masih bertahan hingga 5 abad lamanya, waktu yang begitu lama bila dibandingkan dakwah di Spanyol yang kini Islam hanya menjadi minoritas disana.

Jangan sok suci kalau masih begitu mudah termakan strategi deislamisasi. Tidak dengan hipnotis, apalagi sihir orang-orang bisa begitu luas mendapat pengaruh mereka, yang paling memungkinkan adalah, karena "keteladanan". Dengan keteladananlah sebuah nilai terduplikasi begitu masif, nah pertanyaan selanjutnya, apa saja yang mereka teladankan yang mungkin bisa kita tiru dan sempurnakan saat ini?

Setingggi apapun pengetahuan kita, tetap rendah hatilah agar diri kita ini terdorong untuk mau sungguh-sungguh menggali dan mengkaji nilai-nilai yang tersimpan indah dalam guratan pena sejarah.

Dua Jalan Menjadi Kaya

Umur 22 tahun 10 bulan masih minta orang tua? Itu karena nasib, atau karena bodoh?!

Masih ingat postingan beberapa waktu lalu tentang penjual photobox di GOR? Ya, orang ingin menjadi kaya tetapi tidak kaya-kaya karena orang itu tidak tahu caranya bagaimana mekanisme kaya itu sesungguhnya.

Ada dua cara menjadi kaya, pertama : Mengejar apa yang belum kita miliki, untuk menjadi bagian dari milik kita. Ya, keinginan terhadap benda, posisi, kondisi hidup dan banyak lagi yang dalam pandangan mata kita bila kita memiliki itu kita akan meningkat derajat kehidupannya.

Kedua : Menyadari apa-apa yang sudah kita miliki. Ini lebih mudah dibanding cara yang pertama, karena tidak perlu mendatangkan apapun dari luar, cukup mengidentifikasi apa yang sudah ada dimiliki oleh kita. Begitu kita sadar apa saja yang sudah kita miliki, kita akan tersentak kagum dan berterima kasih tiada terkira, lalu sesudah itu, termanfaatkanlah apa-apa yang kita sadari itu.

Cara kedua ini mudah tetapi banyak orang enggan melakukannya, misalnya diantara seantero warga kota yang memiliki laptop, memiliki printer warna dan khususnya mahasiswa-mahasiswa yang jago desain, ternyata hanya satu orang yang bisa menyadari bahwa dirinya punya laptop, printer dan sedikit saja keahlian olah gambar untuk bisa berjualan photobox dan bisa menghidupi keluarga dari hasil jualan itu.

Menyadari adalah kunci, betapa tidak, tanpa menyadari semua akan sia-sia. Punya handphone, sia-sia, karena tidak sadar punya handphone, tidak termanfaatkanlah untuk menjalin hubungan produktif. Demikian pula punya LCD, dulu pas belum punya, kita berpikir ketika punya maka kita sudah bertambah kaya. Namun, pada kenyataannya, setelah punya sama saja, LCD hanya dianggurkan, tidak menjadi barang yang efektif produktivitasnya.

Nah, inilah kuncinya "menyadari", tanpa menyadari, mau selengkap apapun keinginan kita termiliki, tetap saja kita merasa tidak punya apa-apa dan tidak berbuat apa-apa.

Selamat merenung, mengidentifikasi apa-apa yang sudah kita punya tetapi tidak kita sadari dengan kedalaman alam bawah sadar kita, sehingga apa yang sudah kita miliki yang sebenarnya sangat berharga itu belum termanfaatkan.

Kita tidak bisa menunggu

Hari minggu terakhir di tahun 2009, kami bertiga berkumpul di sebuah kafe bersejarah : Tugu di Banyumas. Hasil yang didapat adalah pernyataan komitmen secara tulus dari masing-masing peserta kumpul bahwa kita masih ingin terus melanjutkan semua ini bersama. Dan betul, hingga hari ini kita masih konsisten dengan hal itu.

Namun pernyataan itu barulah pernyataan umum, untuk diaplikasikan perlu dirumuskan langkah-langkah kongkritnya. Selang tiga hari berlalu, salah seorang menindaklanjuti inisiatif bersama untuk mengumpulkan keseluruhan secara lengkap, kumpul gagal karena salah seorang berhalangan.

Di minggu berikutnya, orang berbeda lagi menggagas kumpul serupa, lagi-lagi karena satu orang berhalangan, kumpul digagalkan.

Di miggu berikutnya orang berbeda lagi mengundang kumpul dengan message "keadaan darurat", lagi-lagi setelah menjelang hari pelaksanaan saya mendapat kabar yang sama, satu orang tidak bisa hadir, saya katakan waktu itu "dibatalkan lagi saja". Itu instruksi saya malam itu, tetapi paginya beberapa orang bersepakat untuk tetap dilaksanakan.

Hingga akhirnya dilaksanakan dengan membahas point tertentu saja tanpa sedikitpun membahas masalah penjabaran kongkrit dari hasil umum di : Tugu sebagaimana disebutkan di atas.

Sekarang, sudah tidak ada lagi orang yang berinisiatif untuk mengirimkan SMS undangan kumpul agar benar-benar terlaksana, termasuk inisiatif dari pihak yang begitu padat jadwalnya sehingga selalu membuat kumpul gagal terlaksana. Saya pernah menyampaikan harapan, "mbok iyao bilang begini : maaf, lagi-lagi saya benar-benar tidak bisa, tapi oke sebagai konsekeuensinya, saya yang akan meng-smsi semuanya dan mencocokkan jadwal agar benar-benar bisa terlaksana sesegera mungkin."

Namun, kita harus terus bergerak, tidak bisa menunggu.

1/10/10

Semoga

Jika Anda memiliki seorang sahabat sejati, sesungguhnya dia adalah 'makhluk langka', karena zaman yang keras, seakan telah mencerabut segenap ketulusan. Pertahankan persahabatan itu: berlakulah lembut, saling memberi hadiah, saling menasihati, saling memberi dukungan, saling menjaga silaturahmi dan ... saling mendoakan.... Semoga Allah mendudukkan kita dan sahabat kita, di atas mimbar yang terbuat dari cahaya-Nya

Afifah Afra

1/9/10

Mau 54 Juta Setahun?

Untuk kuliah, mahasiswa butuh tempat kost/kontrakan, kontrakan pertahun 4,5 juta bisa ditempati 3 orang atau 6 orang atau 15 orang suka-suka. Untuk listrik perbulannya 100.000 dan untuk air 50.000.

Mau tau caranya biar semuanya gratis? Caranya adalah pasanglah internet!

Hah??bukannya pasang internet jadi nambah bayaran lagi? Betul, itu bagi mahasiswa konvensional, yang belasan tahun belajar tetap saja oon nurut sama guru seperti kerbau dicucuk hidungnya, yang ratusan kali ikut ulangan dan ujian tetep saja panik sebelum ulangan atau ujian, yang ah, yang patut dikasihani pokoknya.

pasanglah internet katakanlah speedy punya dengan bandwith 1MB, 500 ribu misal. Berapa pengeluaran total setahun untuk kontrakan, listrik bulanan, air bulanan dan internet bulanan? 12.300.000.

Bandwith itu cukup untuk dipakai belasan komputer, nah, salurkanlah ke tetangga-tetangga, tawarkan itu dengan baik, katakan "jaminan teknisi 24 jam siap di call (cuma siap di call loh ya, bukan siap datang, bisa jadi datangnya besoknya)", katakanlah 100ribu saja satu orang tiap bulannya, ada 12 tetangga saja yang berhasil kita gaet, ada berapa? 14.400.000 dalam setahun. Selisih berapa itu? betul 2.100.000. Selisih itu adalah honor teknisi yang siap di call tadi, yakni 175.000/bulan.

Kontrakan gratis, listrik gratis, air gratis, INTERNEEEET gratis.

Cukup begitu?

Tidaaak... Cari kontrakan di perumahan lain, gaji seorang teman untuk menjadi petugas penawar internet ke tetangga-tetangga, tawarkan dengan harga 125ribu perbulan, kalau dapat sama seperti di kontrakan pertama, 12 pelanggan, berapa setahun? 18.000.000. Masa iya dengan komisi 300.000 tiap dapat 1 pelanggan orang nggak mau nyariin pelanggan buat kita?

Darimana hitungan 300.000 untuk honor marketing menggaet pelanggan? 18.000.000 dikurangi 14.400.000, berapa coba 3.600.000 dibagi 12 pelanggan, 300.000 kan? Kita nggak rugi kan?

Iya, betul nggak rugi, tapi enggak untung juga, gimana si? Siapa bilang enggak untung. Rumah itu dibuat kost2an saja, jangan banyak2 deh yang kost, 3 orang saja, 150.000 sebulan, kali 12 bulan kali 3 orang, 5.400.000 tuh untungnya.

Ada berapa perumahan dalam satu kota tempat tinggalmu? sepuluh? oke dengan sistem itu, dapat berapa jadi? 5.400.000 x 10 = 54.000.000.

Hm, berapa biaya kuliahmu setahun? Haha... kok cengar-cengir sendiri?

Coba, kalau bisa bikin ISP sendiri, berapa tuh kelebihan untungnya? Total bisa sepersepuluh milyar, sangat mungkin itu?

Tangkap peluang, coba, jalani, tekuni, jatuh, nikmati, jatuh lagi, tambah ilmu lagi, terus tekuni, terus tekuni, terus tekuni, teruslah menuju sukses yang menginspirasi orang lain. Aku percaya kamu bisa.

Walisongo, Sebelah Mata dan Setengah Pula

Sudah memandangnya sebelah mata, setengah pula, itulah kebanyakan cara kita memandang sejarah para wali. "Kaum yang besar adalah kaum yang menghargai jasa pahlawannya", seringnya lupa, kita itu kenal Islam darimana si?dari siapa si?

Orang Indonesia, bukan hanya tanah Jawa, sebagian besar seharusnya berterima kasih yang tiada terkira kepada walisongo, merekalah yang menebarkan ajaran Islam secara damai hingga turun temurun sampai ke kita saat ini.

Deislamisasi, yah, sebuah kejahatan intelektual penjajah barat dalam hal penulisan sejarah telah memutarbalikkan cara pandang kita terhadap leluhur Islam dengan sebegitu dramatisnya. Barat memang jahat sekali, bagaimana para wali tetap dikenalkan kepada kita melalui penulisan sejarah mereka yang keliru, sehingga kita mengenal wali sebagai kaum pertapa, yang tidak sholat, yang bertapa, yang punya banyak kekuatan gaib.

Padahal demikiankah yang sebenarnya? sama sekali tidak. Wali songo mendirikan sholat, coba hitung berapa masjid-masjid megah dizamannya dibangun oleh para wali, wali songo bukanlah kaum makrifat yang tidak menjalankan syariat. Dan bukan hanya itu, walisongo adalah orang yang serius mengembangkan dakwahnya.

Maksudnya serius? Ya, beda dengan kita, kita berdakwah disela-sela kesibukan kita, kita berdakwah kalau sedang tidak ngapa-ngapain, atau kita berhenti menjadi guru ngaji kalau sudah dapat kerja kantoran. Ini berbeda dengan walisongo, walisongo adalah orang yang mengejar kekayaan dunia, mereka adalah para saudagar, mualim dilaut atau petani di darat, mereka adalah wirausahawan, mereka adalah entrepeneur, sama seperti Nabi mereka Muhammad SAW, karena dengan entrepreneurshiplah mereka memiliki kekayaan waktu untuk berdakwah kapan saja, karena dengan entrerpeneurshiplah diantara mereka mampu berangkat ke tempat yang jauh hingga ke Tidore.

Bukan hanya membangun kekayaan materi, mereka juga membangun kekuatan politik, Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten diantaranya. Kekuatan politik yang mereka bangun benar-benar mendongkrak pertumbuhan dakwah secara signifikan.

Mereka adalah wirausahawan sekaligus pendakwah, tidak mungkin membawa nash-nash dan dalil-dalil untuk masuk ke masyarakat yang sama sekali belum mengenal Islam, yang dibawa oleh mereka pertama-tama adalah nilai-nilainya, tentang Visi, tentang Karater, tentang kekuatan fokus mungkin, tentang synergy pastinya dan tentang sukses. Tentu tanpa laptop, LCD dan slide karena waktu itu belum ada, media tercanggih saat itu ya kelir, wayang kulit.

Jadilah entrepenur-pendakwah. Bercermin dari mereka, mari kita gali lebih dalam visi besar mereka, kekuatan synergy mereka saat itu. Pastinya mereka berbeda dengan kebanyakan dari kita, yang menyisakah urusan agama hanya jika sedang tidak sibuk (tanpa nilai2 visi), yang beramal pribadi demikian tekun seolah-olah sedang memesan kapling surga sendirian, takut tidak kebagian (tanpa nilai2 synergy).

Ini nasihat untuk diri saya sendiri.

Mimpi Menikah (beneran mimpi)

Tadi malam, saya mimpi dinikahkan, dengan gadis pilihan saya, cantik, alim, lembut, manja, mandiri dan berjiwa petualang. Ah, saya tidak bisa menggambarkan indahnya mimpi tadi malam, apalagi ketika menit-menit pertama hubungan kami dinyatakan resmi.

Sayang di sayang, pas alur mimpi sampai ke malam hari, kok tiba-tiba ada kesalahan rol mimpi mungki ya, tiba-tiba kok pagi lagi, scene malam pertama kemana? betul lho, nggak ada, dilompati, ya nggak apa-apalah.

Tapi betul, mimpi tadi malam indah sekali, bagaimana bersynergy dengan istri sendiri, ah, penuh cinta, bermanja-manja dan merangkai rencana bersama, terlalu indah, terlalu indah, tidak bisa diceritakan.

Sampai akhirnya mimpi yang lumayan panjang ini ditutup dengan scene saya dan istri saya itu sedang di Semarang, selesai mengikuti sebuah training, entahlah training apa, pas mau pulang istri saya bilang pengen pulangnya naik Pesawat aja, "lho, memang ada pesawat", tanya saya, "Ya sampai ke Jogja aja, nanti nyambung", begitu rengek istri saya manja.

Trus saya coba negosiasi "Naik kereta ajalah, eksekutif inih..." , dan akhirnya terbangun. Pas bangun, masih mikir saja saya ini : "hm, memang ada ya kereta Semarang-Purwokerto".

Apa pulangnya bukan ke Purwokerto ya?

Utopisnya Rizky

Ada tiga kejadian yang membenturkan otak saya hingga saya nyadar betapa utopisnya seorang saya.

pertama : kemarin chatting dengan seorang dosen, berkesah tentang perkuliahan dan tugas akhir, saya masih terngiang salah satu kalimat yang beliau ketikkan "semua sebenarnya soal persepsi saja mas"

Deg, saya tertegun, bahkan sampai sekarang. Kok iya ya, saya yang sudah banyak belajar tentang kekuatan pikiran, yang juga mengajarkan materi training tentang pilihan membentuk persepsi, yang melatih adik saya mengubah persepsi dan berhasil seperti di Dieng kemarin, yang akan menulis tentang kekuatan fokus kok tidak bisa memanaj persepsi saya terhadap kampus?

Apa ilmu saya salah, atau karena saya tidak sungguh-sungguh menerapkannya? Atau persoalan kampus memang masuk dalam daftar yang dikecualikan?

Bukankah seharusnya dengan ilmu yang saya kuasai tentang pembentukan dan pembalikan persepsi saya bisa seperti Adam Kho yang bisa membuat bombastis sekolahnya karena bisa membalik grade-grade rangkingnya dari yang terbawah hingga menjadi terunggul? Atau apa yang salah dengan diri saya?

Harus baca Adam Kho ini.

Kedua : Kompasiana semakin asyik saja ditelanjangi, betul-betul, terlalu banyak tulisan ringan tetapi berisi dan smart karya jurnalis dan umum, saya banyak belajar dari mereka soal kepenulisan, memformulasikan gagasan dan merangkaikannya dalam sebuah output berbagi yang sistematis (tulisan).

Ada satu rekan di kompasiana yang hobinya selain menulis, dia juga hoby berenang, bersepeda, main gitar, main biola dan beberapa lagi saya lupa. Perhatikanlah, hobinya merupakan aktivitas kreatif bukan?

Bandingkan dengan hoby saya yang enggak jelas, wedew.... memalukan dan memprihatinkannya diri saya saat ini. Bagaimana mungkin seorang yang begitu banyak belajar tentang otak kanan dan mengajarkan tentang dahsyatnya otak kanan tetapi tidak mempunyai banyak hobi yang merupakan aktivitas kreatif, hobi yang otak kanan. Kok bisa saya tidak nyadar begitu utopisnya saya soal ini? apa ada yang salah dengan diri saya?

Musti baca buku apa neh?

Ketiga : Nasihat mas Arif betul adanya "yang saya lihat, Rizky itu terlalu mengedepankan perasaan".

Terlalu sering saya terguncang oleh sebab-sebab yang bagi orang lain kecil tapi bagi saya berarti besar. Yah, daripada saya bilang mereka egois, mereka tidak mau mencoba memahami saya, mending juga saya yang belajar untuk cuek.

Cuek atas perasaan-perasaan yang tidak enak, fokus pada kegembiraan saja. Toh mereka juga butuh perasaan diperhatikan, mereka juga butuh sahabat, mereka juga butuh itu.

Untuk ini tidak usah baca buku terus, coba praktekkan saja.

1/8/10

Expressnya Prambanan




Menghitung Hari


Sudah 7 hari kita tapaki, dua kali jumatan akan kita jalani di tahun baru yang digegapgempitakan kehadirannya oleh banyak orang kehadirannya.

Lain lagi SBY, 20 hari lagi 100 hari kabinet keduanya akan habis.

Hm, sudah puaskah kita dengan kinerja SBY selama ini? Lalu bagaimana pula, sudah puaskan kita dengan kinerja diri kita sendiri 7 hari terakhir?

Okelah, mungkin kita golongan orang optimis yang merasa umur kita akan panjang, sampai 60-70 atau bahkan lebih. Hm, tapi bukankah tidak sepanjang itu masa muda kita? paling juga tinggal 2, 3, atau 7 tahun lagi saja.

Mari sejenak kita renungkan, apa pada saat masa muda kita habis, usia muda kita tutup, kita masih bisa sebebas ini? kita masih bisa bergumul dengan resiko seberani ini? kita masih senyaman saat ini dengan keadaan kita?

Mari, 7 hari kemarin adalah capaian yang teristimewa kita yang patut kita syukuri, semengecewakan-mengecewakannya 7 hari kemarin, syukurilah Anda menemukan postingan ini dan memutuskan diri Anda untuk sejenak merenung.

Berbekal ungkapan syukur atas 7 hari kemarin, mari kita goreskan tinta yang lebih emas di 7 hari kedua di tahun yang baru ini.

Mari, kita berhitung, hitung hari kita, hitung jam kita, hitung menit kita, kalkulasikan harganya sebagai variabel modal. Sudah untungkah kehidupan kita? Semoga kita tidak termasuk golongan orang yang merugi, melainkan kita termasuk dalam golongan orang yang beriman, beramal baik dan saling menasehati dalam kebenaran serta kesabaran.

1/7/10

Kepasrahan yang terpaksa

Dipaksa atau sukarela, pada akhirnya ujung-ujungnya manusia hanya bisa berpasrah. Pilihannya hanya ada dua itu, mau pasrah secara sukarela, atau menunggu terpaksa dulu baru pasrah.

Berapa banyak dari kita yang dalam nada mengeluh yang begitu dalam mengatakan "yah, mau bagaimana lagi...", sebuah ungkapan menyedihkan akibat melakoni aktivitas dan nasib hidup yang tidak ada pilihan lain. Loh iya, masa itu akan tiba, kalau kita tidak mempersiapkan sebuah gambaran masa depan hidup kita sendiri yang tidak seperti itu sedari sekarang.

Akan datang masa ketika orang akan mengataimu "kok masih minta ortu", atau "udah umurmu ngode", atau "nikahe kapan" atau "deneng masih dolanan aja", dan seterusnya yang menyudutkanmu pada kenyataan dimana kita harus melakoni aktivitas, pekerjaan dan rutinitas yang tidak kita inginkan. Lalu kitapun terpaksa pasrah, tapi sangat bandel memang kita, dalam kepasrahan di saat itu kita masih bilang "yah, sudah nasib...".

Sesungguhnya nasib menyedihkan yang kita dera saat itu bukanlah kiriman dari Tuhan semata, itu adalah akibat dari pilihan-pilihan tindakan kita sebelumnya. Yah, tindakan kita hari ini akan mengantarkan kita pada seperti apa nasib kita di masa depan.

Oleh sebab itu, jangan menunggu dipaksa untuk pasrah, pasrahlah sedari sekarang. Pasrah pada kenyataan bahwa siapa yang bersungguh-sungguh dia akan sukses, pasrah pada kenyataan bahwa siapa yang berbuat baik dia akan menuai keberuntungan, pasrah pada kenyataan bahwa siapa yang bertindak berbeda akan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula.

Mahalnya masa muda adalah karena ada begitu luasnya pilihan kita untuk merancang seperti apa masa depan kita akan dibentuk nanti. Kita bersantai-santai dan mengikuti cara pikir orang kebanyakan, sehingga pada saatnya nanti masa muda habis kitapun akan seperti orang kebanyakan yang setiap hari sibuk untuk mengepulkan dapur tanpa pernah punya waktu memberi nafas pada "idealisme" kita.

Atau kita mencari pengertian, pemahaman dan pemaknaan terdalam tentang kehidupan dan memilih jalan hidup kita sendiri, sekalipun itu berbeda dengan orang kebanyakan. Walhasil, sekalipun masa muda telah berlalu, pada saat itu kita sudah terlanjur kaya, kaya materi, kaya ilmu, kaya hati, sehingga tidak ada rutinitas yang bisa memaksa kita, tidak ada tanggungan asap dapur yang membelenggu kita dan kita bisa bercengkerama dengan idealisme kita sampai akhir hayat, sampai ke alam sesudah dunia.

Pasrahlah kepada Tuhan, dan nur yang Dia tiupkan yang kita terjemahkan sebagai bisikan nurani. Jangan perturutkan alam sadarmu terus, dia terlalu dangkal pengetahuannya.

Sebegitu Mudahnyakah Menjalin Hubungan?

Kalau sedang nongkrong di kedai Martabak, lihat yang berseliweran, lihat yang datang, kebanyakan berpasang-pasangan, muda-mudi dua sejoli yang sudah meretas hubungan dalam wadah bernama "jadian".

Saya jadi teringat facebooknya ambar, yang ketika statusnya diganti "sedang menjalin hubungan", comment mengalir bertubi-tubi (diantara yang comment ada yang jealous n sedih mungkin, :p), pas saya konfirm ke yang bersangkutan cuma bilang "lah emang napa yo mas dengan menjalin hubungan, kok heboh?".

Dan teringat dengan pertanyaannya Ambar di facebook kepada para mahasiswa kost "dimana tempat makan yang murah dan nggak malu-maluin makan sendiri?", ealah, jebul banyak yang malu to kalo makan rames sendiri, lah berarti dari dulu saya nggak tahu malu ya, udah berapa sering saya beli rames sendirian.

Dan jebul berarti, mungkin apa yang pernah dikatakan sepupu saya benar "mahasiswi itu cari tukang ngojek", repot kalau nggak punya pacar, masa ke warung rames sendirian? masa ke fotokopian harus mbecak? haha...

Ya, semuanya "jadian" semuanya "pacaran", pertanyaannya, betulkah cinta yang melandasi hubungan mereka? atau cuma perasaan yang terasa agak indah saja, atau bahkan hanya perasaan "daripada dhewekan kemana-mana?", oh, kasihan sekali yang jadi pacar ya...

Yang saya tahu, jatuh cinta itu tidak mudah, apalagi menjalinkannya. Cinta itu tidak sedangkal perasaan nyaman ketika bersama, perasaan tampan atw cantik atw sekedar lumayan ketika memandang. Karena itulah saya salut pada orang-orang yang menghargai cinta, tidak usah jauh sebut saja Fikry, setahu saya dia sedang jatuh cinta, walau tak tahu dengan siapa (mudah2an kita ga bersaing ya, hehe, becanda2...), tapi dia tidak pacaran, hubungan terdekat yang saya tahu ya dengan mbak tercintanya, cinta dua kakak beradik. Atau Hilmy, bukan karena nasib dia masih jomblo, gadis mana yang sanggup menolak kalau dia nembak, nyatanya tidak. Begitu juga Naim, penampilannya yang sangat dia perhatikan tidak untuk dipersembahkan ke satu orang spesial, semuanya spesial, pejabat dinas spesial, peserta training spesial.

Ya, saya berdoa untuk diri saya sendiri dan berharap untuk semuanya, agar jangan sampai sesuatu keindahan yang kita anggap cinta, yang padahal bukan cinta yang sejatinya, ketika diperturutkan justru akan menutup jalan kita menuju pertemuan dengan cinta yang sejatinya.

Ya, kali ini saya tidak sebut nama, yang jelas dia adalah sahabat saya dua sejoli yang sudah menjalin cinta yang sejatinya dalam jalinan suci bernama pernikahan. Yang saya tahu, mereka tidak pernah pacaran, dan saya baru tahu ternyata diantara mereka berdua telah memiliki kesan-kesan khusus sedari SMA tentang satu sama lain. Inilah yang menurut saya unik, karena setahu saya, pas di SMA, mereka belum menjalin cinta, jangankan "jadian", suka aja mungkin belum.

Itu mungkin yang Afi bilang benih-benih cinta. Ya, saking lembutnya benih cinta, bahkan mungkin kita tidak merasakan bahwa kita itu menyukai dia, kesan-kesan tersimpan begitu dalam di bawah sadar tanpa alam sadar ini merasa. Baru terbuka setelah menikah, oh ya dulu, oh ya dulu... ternyata sebelum rasa terbangun, kesan-kesan sudah terbangun dalam, tanpa kita sadari.

Selemat berjuang merengkuh cinta yang sejatinya, bukan cinta karena kenyamanan semu bersamanya, apalagi cinta untuk nemenin beli rames biar nggak terlihat sendirian.

Dieng... (Pengalaman Pertama Mereka)


Hari minggu penghujung libur akhir semester 1 kemarin dipilih untuk melaksanakan "ritual" piknik ke dataran tinggi Dieng yang dikenal sebagai "Dieng Plateau". Hm, kalau Rosyita membaca ini mungkin akan langsung SMS saya, karena janji mengajaknya ke Dieng rame-rame belum juga terlaksana (nanti, nunggu reyen Avanza ta, doakan, amin..).

Yah, selalu seru kalau piknik dengan adik-adik, dari sekian banyak pelajaran, kali ini saya ingin bagikan tiga cerita dulu saja. Hm, ini piknik apa sekolah?kok ada pelajaran? Yah, itulah resiko kalau sudah menjadi manusia pembelajar, kalau seseorang sudah mempelajari pelajaran tentang cara belajar, bahkan dalam termenungpun ada pelajaran, apalagi dalam jalan-jalan.

Pertama, obyek yang dikunjungi di awal adalah telaga warna, sebuah telaga yang konon mempunya aneka warna tetapi sekarang kok sudah tidak sepertinya. Nah, disitu ada anak-anak muda sepantaran saya, kelihatannya anak-anak pecinta alam yang berinisiatif membuka arena Flying Fox di atas air telaga. Dari belasan anak-anak yang ikut dalam rombongan, semuanya takut untuk mencoba, termasuk si Yiyi, nama panggilan dari Firly adik bungsu saya.

Loh iya, tinggi ada hampir 10 meter mungkin, di atas air pula (walau di pinggiran), dan betul sampai semuanya meninggalkan arena Flying Fox itu untuk menyusur ke kompleks gua-gua, tidak ada yang berani mencoba. Tapi, sepanjang jalan saya ajak ngobrol Yiyi, intinya "kenapa takut", "apa yang ditakutkan", "mungkinkah ketakutan itu terjadi?". "kalau terjadi bagaimana, parah atau enggak resikonya?", tidak lama obrolan santai itu selesai dan begitu pulang dari gua-gua, kembali ke dekat Flying Fox lagi, ternyata Yiyi sudah tidak takut lagi, minta ke Ibu-Bapak untuk dibayarin naik.

Sayang, akhirnya tidak diijinkan, ya iya, anak yang di 1 Desember kemarin baru 7 tahun minta Flying Fox-an, ya Ibunya yang panik. Dan akhirnya, dari yang tadinya disuruh naik enggak mau, sekarang kebalikannya, bukan cuma sedih tidak boleh naik, tapi Yiyi pun jengkel. Apa pelajarannya? simpulkan sendiri...

Kedua, ini sudah pindah obyek ke Kawah Sikidang, sebuah kawah yang pekat dengan bau belerang, serombongan yang naik 3 mobil hampir semuanya tutup hidung sambil mengeluhkan "waduh baunya", bau belerang yang hampir mirip bau kentut singa ini.

Tapi si Yiyi beruntung karena saat menempuh jalan kaki ke dekat pusat kawah bareng saya tidak perlu merasakan itu, memang sekalipun awalnya tidak enak bau itu, tapi saya tidak pernah sedetikpun tutup hidung, alih-alih mengeluhkan bau itu, saya cuma ngomong santai ke Yiyi, intinya begini "jarang-jarang loh ada bau seperti ini, cuma ada disini, enak..."

Dan betul, dari yang semula Yiyi tutup hidung terus, eh setelah dibilangin itu dia sudah tidak tutup hidung lagi, malah bilang "baunya enak ya...". Dan betul juga, sampai pulang dari area kawah, di mobil saat perjalanan pulang masih bilang lagi, " tadinya baunya enak ya di kawah...". Hm, apa pelajarannya? bisa dipetik sendiri...

Ketiga, pas di dekat pusat kawah, dimana air "bergemulek" mendidih oleh "kompor" yang ada di bawahnya, kepulan asap yang merupakan uap dari air di pusat kawah itu tidak pernah berhenti bergumul, sehingga ada bagian diantara radius sekeliling kawah yang tertutup kepulan asap pekat itu.

Ya, bagi orang dewasa, menembus kepulan asap yang kurang lebih 7 meteran luasnya untuk bisa berjalan melingkari kawah si bukan hal yang sulit. Tapi bagaimana dengan anak kecil? Seperti Yiyi awal saya ajak ketakutan untuk berjalan memutari kawah, nggak mau lah pokoknya.

Sampai akhirnya saya gendong saja, lalu berjalan memutari kawah, menembus asap tebal itu, dan akhirnya selamat deh bisa satu putaran kawah, "oh ternyata...". Coba, kalau tidak pernah merasakan masuk ke dalam asap, menembus dari sisi kawah sebelah sini ke sebelah sana, bisa tidak seorang anak kecil bilang "oh, ternyata...".

Yah, dari kecil, kita terbiasa dibuat aman dari ketakutan-ketakutan dengan menghindarinya. sampai tidak bisa mengatakan "oh ternyata...", sebuah ungakapan pemahaman tentang apa si sesungguhnya apa yang kita takutan?

Bukankah MEMBACA itu MEMAHAMI? Ya, membaca itu bukan menghitung huruf, membaca itu mencari makna agar paham, sekalipun caranya adalah dengan melakukan apa yang kita takutkan, agar bisa bilang "oh, ternyata...".

Cari Peluang & Cari Aman

Bolehlah kita merasa punya umur panjang, karena kita bercermin pada veteran yang panjang umur sampai 70 tahun, pada pensiunan petani yang bertahan sampai 90 tahun, atau pada nenek-nenek yang begitu pandai menjaga kesehatan hingga umurnya menembus 100 tahun.

Tapi, pernahkah membayangkan bagaimana kita ketika umur segitu? Kalau belum, mari kita bayangkan bersama-sama. Berapa teman kita saat itu? topik apa yang lebih sering dibahas selain keluar masuk rumah sakit? Apakah anak-anak kecil kita yang lucu-lucu masih membersamai kita? Kemana rute lari pagi kita, siapa yang menemani?

Baik, selanjutnya kita bayangkan umur kita lebih rendah lagi, 30 tahun. Masih bisakah kita karaokean, sementara anak istri dirumah belum dapat setoran untuk masak dan jajan? Masih bisakah kita berkomunitas sementara angsuran rumah dan perabotnya belum tahu akan ketutup darimana? Masih bisakah kita malas-malasan sementara tetangga sebelah kanan sudah jadi dai dan tetangga sebelah kiri sudah naik jabatan?

Umur bolehlah kita merasa masih panjang, tapi siapa yang bisa membantah kalau masa muda kita itu tinggal sedikit lagi? Berapa tahun lagi coba? Yah, sebab terkuat kenapa orang malas-malasan adalah karena memandang kehidupannya akan se-enjoy ini, akan se-nyaman ini, akan se-longgar ini selamanya. Padalah, apakah begitu?

Tidak, sekali-kali tidak. Tahukah, masa muda itu identik dengan "peluang dan tantangan", tapi masa tua itu identik dengan "keamanan". Kapan saat pergantian dari peluang dan tantangan menjadi keamanan itu tiba? sudah siapkah kita masuk ke zona keamanan yang begitu terbatasi? atau kita lebih memilih memperkaya diri kita dengan ilmu dan materi agar sekalipun uur fisik kita sudah tua tetapi kita masih bisa tetap identik dengan "peluang dan tantangan?".

Teman, di usia muda memang serba longgar, tapi kita tidak muda terus kan? Efektifkan hari-hari kita, dengan time planner & to do list. Chao...

1/6/10

Mimpi ketemu Bu Sri Mulyani

Jadi ceritanya saya ketemu Bu Sri Mulyani, sepertinya latar mimpi itu di rumah beliau. Saya dan bu Menkeu itu akrabnya sama lah kayak akrabnya saya dan mbak Sri EU yang punya apotek di Purbalingga itu, terus kita cerita-cerita.

Wah, buetul, bahwa dari cerita itu saya tahu betapa berdedikasinya Bu Sri itu. Seorang wanita berkarakter baja, teguh, kuat, tegas dan berprinsip. Lalu ketika pertanyaan saya arahkan "apa ini salah Pak Boed", dengan panjang lebar, gamblang dia bercerita, yang membuat siapapun yang menyimak ceritanya bahwa betapa telah curangnya pak Boed.

Ah, ini cuma kisah di dalam mimpi kok. Bukan wangsit apa-apa, mungkin bisa jadi karena saya kebanyakan baca berita Century yang nada-nadanya terkuat satu demi satu bahwa ketidakberesan pengelolaan BI dan keputusan2nya terhadap Century mulai dari cikal bakalnya ini memang semakin kentara nyata.

Sayangnya, ketika saya tanya tentang keterlibatan Pak SBY, bermaksud meminta penjelasan ke Bu Sri yang dalam tokoh di mimpi saya itu begitu akrab dan begitu baik, eh, saya keburu terbangun. Saya belum bisa menterjemahkan arti raut wajah yang dibentuknya seketika ketika saya menanyakan pertanyaan itu.

Oke, itu saja cerita hari ini.

Mari pertahankan mimpi-mimpi disaat terjaga kita. Dan mari berdoa sebelum bermimpi dalam tidur kita.

Malaysia 100 ribu

Kata Pak Ferry, ada promo maskapai yang ke Malaysia cuma 100ribuan... tinggal ngurus Paspor ke Imigrasian di Cilacap, then berangkat deh, disana nginepnya di PPPI Malaysia, trus numpang secukupnya dan pulang lagi deh...

Yo iyo, masa sejauh2nya pergi aku baru nyampe Surabaya, paling pool Malang.

Nanti lah, pasti ada jalan keluar Indonesia, untuk membuktikan bahwa Indonesia memang benar-benar tak tertandingi. Sekalian itung-itung, hadiah ulang tahun ke-23 dah.

Pemanasan sebelum nggelandang ke Mekah, Madinah dan Yordania (mampir di Burj Dubai..), amin...

1/4/10

Malam 5 Januari

Rampungkan tugas post test Siskom sebelum jam 17.00
Janjian Online 17.00 s.d Isya, di break maghrib
Janjian di Martabakan ba'da Isya s.d. 20.30
Kerjakan Laporan praktikum Siskom 20.30-22.00
Rapat koordinasi bidang bisnis 22.00-23.30

Istirahat

Semoga bisa bangun pagi, sebelum jam 05.00 besok
Ke kampus jam 07.00

Menyebabkan

Sekarang saya percaya, bukan hanya Bahagia yang menyebabkan kita Tersenyum.
Tapi, Tersenyum menyebabkan kita Bahagia.


Tersenyum... :D

1/1/10

99 hari pertama di 2010

"Tidak puas dengan kehidupan yang itu-itu saja setiap hari? Hidup terasa tidak ada perubahan? Tekan Ctrl Alt Del dalam komputer kehidupan anda. Tentu saja ada resiko, anda kehilangan beberapa hal dari masa lalu anda. Tapi percayalah, anda tidak akan kehilangan masa depan!", Zainal Abidin Guru Kita.

penjelasan klik disini