Ada tiga kejadian yang membenturkan otak saya hingga saya nyadar betapa utopisnya seorang saya.
pertama : kemarin chatting dengan seorang dosen, berkesah tentang perkuliahan dan tugas akhir, saya masih terngiang salah satu kalimat yang beliau ketikkan "semua sebenarnya soal persepsi saja mas"
Deg, saya tertegun, bahkan sampai sekarang. Kok iya ya, saya yang sudah banyak belajar tentang kekuatan pikiran, yang juga mengajarkan materi training tentang pilihan membentuk persepsi, yang melatih adik saya mengubah persepsi dan berhasil seperti di Dieng kemarin, yang akan menulis tentang kekuatan fokus kok tidak bisa memanaj persepsi saya terhadap kampus?
Apa ilmu saya salah, atau karena saya tidak sungguh-sungguh menerapkannya? Atau persoalan kampus memang masuk dalam daftar yang dikecualikan?
Bukankah seharusnya dengan ilmu yang saya kuasai tentang pembentukan dan pembalikan persepsi saya bisa seperti Adam Kho yang bisa membuat bombastis sekolahnya karena bisa membalik grade-grade rangkingnya dari yang terbawah hingga menjadi terunggul? Atau apa yang salah dengan diri saya?
Harus baca Adam Kho ini.
Kedua : Kompasiana semakin asyik saja ditelanjangi, betul-betul, terlalu banyak tulisan ringan tetapi berisi dan smart karya jurnalis dan umum, saya banyak belajar dari mereka soal kepenulisan, memformulasikan gagasan dan merangkaikannya dalam sebuah output berbagi yang sistematis (tulisan).
Ada satu rekan di kompasiana yang hobinya selain menulis, dia juga hoby berenang, bersepeda, main gitar, main biola dan beberapa lagi saya lupa. Perhatikanlah, hobinya merupakan aktivitas kreatif bukan?
Bandingkan dengan hoby saya yang enggak jelas, wedew.... memalukan dan memprihatinkannya diri saya saat ini. Bagaimana mungkin seorang yang begitu banyak belajar tentang otak kanan dan mengajarkan tentang dahsyatnya otak kanan tetapi tidak mempunyai banyak hobi yang merupakan aktivitas kreatif, hobi yang otak kanan. Kok bisa saya tidak nyadar begitu utopisnya saya soal ini? apa ada yang salah dengan diri saya?
Musti baca buku apa neh?
Ketiga : Nasihat mas Arif betul adanya "yang saya lihat, Rizky itu terlalu mengedepankan perasaan".
Terlalu sering saya terguncang oleh sebab-sebab yang bagi orang lain kecil tapi bagi saya berarti besar. Yah, daripada saya bilang mereka egois, mereka tidak mau mencoba memahami saya, mending juga saya yang belajar untuk cuek.
Cuek atas perasaan-perasaan yang tidak enak, fokus pada kegembiraan saja. Toh mereka juga butuh perasaan diperhatikan, mereka juga butuh sahabat, mereka juga butuh itu.
Untuk ini tidak usah baca buku terus, coba praktekkan saja.
No comments:
Post a Comment