Sudah memandangnya sebelah mata, setengah pula, itulah kebanyakan cara kita memandang sejarah para wali. "Kaum yang besar adalah kaum yang menghargai jasa pahlawannya", seringnya lupa, kita itu kenal Islam darimana si?dari siapa si?
Orang Indonesia, bukan hanya tanah Jawa, sebagian besar seharusnya berterima kasih yang tiada terkira kepada walisongo, merekalah yang menebarkan ajaran Islam secara damai hingga turun temurun sampai ke kita saat ini.
Deislamisasi, yah, sebuah kejahatan intelektual penjajah barat dalam hal penulisan sejarah telah memutarbalikkan cara pandang kita terhadap leluhur Islam dengan sebegitu dramatisnya. Barat memang jahat sekali, bagaimana para wali tetap dikenalkan kepada kita melalui penulisan sejarah mereka yang keliru, sehingga kita mengenal wali sebagai kaum pertapa, yang tidak sholat, yang bertapa, yang punya banyak kekuatan gaib.
Padahal demikiankah yang sebenarnya? sama sekali tidak. Wali songo mendirikan sholat, coba hitung berapa masjid-masjid megah dizamannya dibangun oleh para wali, wali songo bukanlah kaum makrifat yang tidak menjalankan syariat. Dan bukan hanya itu, walisongo adalah orang yang serius mengembangkan dakwahnya.
Maksudnya serius? Ya, beda dengan kita, kita berdakwah disela-sela kesibukan kita, kita berdakwah kalau sedang tidak ngapa-ngapain, atau kita berhenti menjadi guru ngaji kalau sudah dapat kerja kantoran. Ini berbeda dengan walisongo, walisongo adalah orang yang mengejar kekayaan dunia, mereka adalah para saudagar, mualim dilaut atau petani di darat, mereka adalah wirausahawan, mereka adalah entrepeneur, sama seperti Nabi mereka Muhammad SAW, karena dengan entrepreneurshiplah mereka memiliki kekayaan waktu untuk berdakwah kapan saja, karena dengan entrerpeneurshiplah diantara mereka mampu berangkat ke tempat yang jauh hingga ke Tidore.
Bukan hanya membangun kekayaan materi, mereka juga membangun kekuatan politik, Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten diantaranya. Kekuatan politik yang mereka bangun benar-benar mendongkrak pertumbuhan dakwah secara signifikan.
Mereka adalah wirausahawan sekaligus pendakwah, tidak mungkin membawa nash-nash dan dalil-dalil untuk masuk ke masyarakat yang sama sekali belum mengenal Islam, yang dibawa oleh mereka pertama-tama adalah nilai-nilainya, tentang Visi, tentang Karater, tentang kekuatan fokus mungkin, tentang synergy pastinya dan tentang sukses. Tentu tanpa laptop, LCD dan slide karena waktu itu belum ada, media tercanggih saat itu ya kelir, wayang kulit.
Jadilah entrepenur-pendakwah. Bercermin dari mereka, mari kita gali lebih dalam visi besar mereka, kekuatan synergy mereka saat itu. Pastinya mereka berbeda dengan kebanyakan dari kita, yang menyisakah urusan agama hanya jika sedang tidak sibuk (tanpa nilai2 visi), yang beramal pribadi demikian tekun seolah-olah sedang memesan kapling surga sendirian, takut tidak kebagian (tanpa nilai2 synergy).
Ini nasihat untuk diri saya sendiri.
No comments:
Post a Comment