3/30/16

Antara Daratan

Kalau ada alien penghuni planet lain pertama kali melihat google map dan dia kepincut dengan gugusan kepulauan Nusantara, itu wajar. Diseantero google map tak ada kenampakan yang lebih estetis ketimbang gugusan kepulauan Nusantara.

Di ribuan pulau itu, semua sambung menyambung oleh jalur kapal laut. Berbeda dengan Serawak dan Semenanjungnya Kuala Lumpur, walau mereka satu negara tapi tidak ada jalur lautnya. Wajar, karena bentangan Serawak di sisi timur dan Semenanjung di sisi Barat sangatlah jauh. Tidak ada jarak antar pulau besar di Nusantara yang jaraknya sejauh dua daratan di negeri jiran itu.

Terpisah tapi tersambung. Itu cuma satu dari semilyar anugerah Nusantara dari Tuhan.

3/29/16

Sebelum Traveling

Ada orang yang maunya traveling pakai biro perjalanan. Tak perlu ribet, diantar kesana-kemari, ada pemandu, bisa ke  banyak destinasi, bisa dapat banyak foto-foto. Sebaliknya, ada traveler yang sukanya jalan sendiri, tanpa biro, nyasar-nyasar, menemukan destinasi-destinasi yang tidak biasa.

Lepas dari kamu termasuk yang mana diantara kedua jenis traveler itu, saat ini ada yang beda dengan jaman dulu. Kalau jaman dulu, panduan wisata paling banter adalah buku Lonely Planet, selebihnya adalah tanya-tanya penduduk setempat. Saat ini, di era informasi membludak, kita bisa hunting informasi selengkap-lengkapnya sebelum berangkat.

Wah, kan nggak seru, nggak surprise kalau kita sudah kadung tahu banyak destinasi kita? Ya, tergantung ukuran serumu bagaimana. Kalau yang disebut seru, kamu datang dengan gagap meraba-raba, berharap menemukan hal-hal tak terduga, ya iya. Tapi dengan model begitu, kamu akan banyak wasting time, waktu sehari yang seharusnya bisa mengerjakan banyak hal, menuju banyak destinasi, hanya dihabiskan untuk surprise-surprisemu itu. Ketika sudah pulang dan tak sengaja kamu menemukan bacaan bahwa di tempat yang habis kamu tuju ada ini dan itu yang menarik dan kamu tak beruntung menemukannya kemarin, kamu tinggal menyesal sendiri deh.

Maka, cari informasi banyak-banyak tidak ada salahnya. Kamu bisa memilih dan memilah destinasimu, mengefektifkan rutemu, menghemat budget transportasi dan penginapanmu. Dengan menggali informasi banyak-banyak, kamu justru mungkin dapat menemukan hal-hal baru yang tidak dijumpai oleh traveler lain. Kalau kamu cerdas saja si.

Demam Hypnosis

Demam yang tidak disembuhkan bisa menjadi kebanjur, terlanjur. Ada yang demam hypnosis, lalu berhenti berkutat disana, lupa bahwa hypnosis hanya salah satu saja dari rekayasa psikologi manusia. Analogi kandang kambing, hypnosis hanya salah satu bahan pagar saja, untuk menjaga agar kambing tidak liar, tetap tertib sosial.

Hypnosis tidak membuat kambing memiliki cara berpikir yang lebih maju dibanding cara berpikir sebelumnya. Sehingga tidak ada kemungkinan di masa depan kambing akan tidak liar, walau tidak dibuatkan pagar.

Ada juga yang demam fisika quantum. Terlena bahwa fisika quantum sebetulnya hanya tafsir subyektif seseorang yang mana tafsir tersebut ia ejawantahkan menggunakan term-term fisika. Mempelajarinya tanpa bingkai ketunggalan, kemanunggalan, wahhada, yuwahhidu, tauhidan berpotensi membuat kita blunder sendiri pada kepentingan-kepentingan pendek semata.

Analoginya, kambing mungkin masih bisa diajak memahami bagaimana mekanisme alam semesta mendatangkan seonggok pakan. Tapi tanpa bingkai tauhid, kambing tidak ada kemungkinan untuk memahami untuk apa ia berada dan untuk apa ia harus memakan pakan.

Dan masih banyak jenis demam-demam lainnya, demam berpergerakan, demam berdakwah, dll.

Wabal, Bulan-bulan Kutukan

Ini masih bulan Wabal, bulan-bulan kutukan. Sebab di bulan kutukan, foto bareng presiden saja jadi bahan bully-an. Haha...

Di bulan-bulan kutukan, jangan terlalu banyak berekspresi, orang berkemungkinan salah berekspektasi, atau lebih tepatnya, niat 'jelek' terselubungmu mudah diketahui orang. Di bulan-bulan kutukan, jangan ketungkul asyik dengan kesenanganmu sendiri. Sebab kesenangan kebanyakan adalah melenakan. Di bulan-bulan kutukan, jagalah diri dengan puasa. Puasai apa saja, rem dalam-dalam pekerjaan yang tidak diperlukan, rem dalam-dalam segala keisengan.

Setelah bulan-bulan ini berlalu, semoga kita tergolong orang yang selamat, lolos dan tetap lanjut pada pegangan dan tumpuan nilai yang benar, pada sumur ilmu yang benar pula.

3/5/16

Akhlak kepada Bos, Akhlak kepada Leluhur

Kata Aa Gym barusan di Istiqlal, kita tidak perlu berdoa melalui perantara ulama atau leluhur yang sudah berada di alam Barzakh. Alasan Aa Gym, karena Allah lebih dekat dari urat leher, jadi meminta langsung saja kepada Allah.

Betul. Allah lebih dekat dari urat leher. Karena itu, sebetulnya orang tidak perlu bekerja. Langsung minta ke Allah saja. Namun pasti pendapat seperti ini akan ditolak. Oh ya tidak, bekerja itu harus, karena rezeki itu harus ada ikhtiarnya.

Bekerja harus ada ikhtiarnya. Lantas berdoa memang tidak harus diikhtiari? Doa dan ikhtiar kita sekulerkan sedemikian rupa si, sehingga cara berpikir kita yang salah memproduk cara pandang terhadap berziarah kepada ulama yang masih hidup dan bersilaturahim kepada leluhur yang sudah berpulang secara kelira-liru pula.

Betapa banyak orang mendapat rezeki bahkan tanpa wasilah ikhtiar. Ya, karena rezeki itu dari Allah. Dan Allah itu sangat dekat. Lalu, kenapa kita harus bekerja? Sebetulnya, bekerja itu hanya urusan akhlak saja. Akhlak alias kepatutan. Kepatutan dihadapan Allah, juga kepatutan dihadapan manusia.

Maka ketika kita memilih menjauhi ulama dan antipati kepada makam leluhur, pikirkan pula akhlak kita. Akhlak dihadapan Allah, akhlak dihadapan orang. Betapa senang Allah melihat akhlak anak cucu seorang leluhur yang rajin berziarah dan berdoa. Apalagi jika sang leluhur itu adalah seorang pejuang agama yang tergolong kelompok syuhada, yang tetap hidup dan mendapat rezeki di sisi Allah sekalipun sudah mati. Betapa indahnya orang-orang akan melihat seseorang yang rajin berziarah, berbakti kepada leluhurnya.

Maka yang harus digaris bawahi adalah, kalau mau jadi seorang agamis, hilangkan pikiran sekuler. Jangan pisahkan doa dan ikhitiar. Jagalah akhlak kepada leluhur, sebagaimana kita menjaga akhlak kepada bos ditempat kerja kita.

Kecuali kita tak mengimani kematian, menganggap mereka yang tak ada bersama kita berarti benar-benar tiada. Padahal, kita saja yang tak tahu kehidupan mereka, seperti bayi di perut ibu yang tak tahu kehidupan dunia dengan mall, gadget juga sosmed. Betul begitu Aa?