6/23/11

Bisnis Rumah Sakit

Kalau ada obat yang lebih murah saja bisa, lalu pak Dokter menulikan resep dipilihkan obat yang lebih mahal, tanpa penjelasan, pokoknya suruh 'nebus' aja itu pasien. Dosa apa tidak itu?

Kalau dosa adalah persoalan hukum. Hm, kira-kira hati  nurani bergetar negatif apa positif itu saat melakukan?

Kasus lainnya, ini kisah dari seorang calon perawat yang hari ini berulang tahun dan entah akan mengajakku makan-makan dimana nanti. Kisahnya begini, di UGD rumah sakit biasanya ada prosedur, satu berkas yang harus disepakati dan ditandatangi oleh pasien, yang isinya tentang, kalau-kalau terjadi keadaan darurat, pasien sekarat, pihak keluarga mau pilih paket apa :

Paket A : biayanya lebih murah, yakni cukup dipacu jantungnya, kalau tidak berdegup lagi ya sudah.

Paket B : biayanya mahaal, yakni kalau dipacu jantung tidak ngefek, maka diberikan selang ventilator untuk menyuplai oksigen langsung ke dalam tubuh.

Suatu ketika ada pasien gawat darurat, pihak keluarga memilih paket A, si pasien sekarat, lalu dipaculan jantungnya, ditekan-tekan dadanya berharap berdegup lagi. Tapi degupan yang diharapkan tidak terjadi, sebetulnya saat itu, si pasien masih bisa punya harapan hidup kalau diberi ventilator, tetapi karena pihak keluarga tidak memilih paket B, maka hal itu tidak dilakukan, dan akhirnya pasienpun meninggal dunia...

Bayangkan, kalau Anda jadi perawat yang menangani pasien itu. Anda tahu prosedur menyelamatkan orang itu, tapi karena terhambat ketentuan administrasi rumah sakit, hal itu dilakukan.

Tragis, mengenaskan, nyawa menjadi bagian dari komoditasi bisnis. Ini tidak kalah sadisnya dengan bisnis pendidikan, yang atas nama mutu sekolah, anak diforsir belajar matematika dan ipa, tanpa pernah diberi kesempatan yang luwes untuk membangun karakter dirinya.

Kalau dukun-dukun pengobatan alternatif saja bisa memberikan tarif bagi pasien kaya dan menggratiskan pasien miskin bahkan diberi oleh-oleh uang saku saat pulang. Kenapa atas nama ketentuan administrasi, rumah sakit tidak?

Ini soal nyawa loh, seharusnya rumah sakit punya sistem yang lebih profesional katakanlah bentuknya anggaran CSR untuk menangani kasus-kasus seperti di atas, kasus kecelakaan yang tanpa ada yang mau menjamin, dan sebagainya.

Janganlah atas nama bisnis, nyawa jadi korban. Setahuku, RSUD Banyumas misalnya, adalah penyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah) terbesar bagi kabupaten Banyumas. Juga RSU Margono, itu juga salah satu penyumbang APBD Provinsi terbesar. Masa iya, tega, begitu, semoga kedua rumah sakit ini si tidak termasuk yang begitu. Dan siap menjewer rumah sakit rumah sakit lain yang masih menjadikan profesionalitas bisnis lebih penting daripada kepedulian sosial menyelamatkan nyawa orang.




No comments:

Post a Comment