1/2/16

Zaman Gratisan

Kita sulit mengimajinasikan bahwa di bumi kita dahulu, ada zaman dimana Pendidikan dan Kesehatan tidak dijadikan komoditas. Zaman itu terjadi bukan pada zaman dinosaurus, tapi zaman yang belum lama kemarin. Sewaktu orang tua kita masih remaja bahkan mungkin masih mengalaminya.

Di zaman itu, tidak ada kursus mengaji. Falsafah "Ngelmu iku kalakone kanti laku" benar-benar dipegang. Sehingga kalau ada anak yang mau ngelmu do'a dan wirid, cukup konsisten saja berangkat ke masjid, jangan pulang sebelum wirid ba'da sholat selesai. Dalam hitungan tidak sampai sebulan, si anak sudah mengilmui aneka do'a, wirid yang beraneka ragam dan beberapa adalah bacaan yang panjang-panjang. Semua itu diperoleh dengan gratis, semua itu terselenggara dengan gratis. Sekarang coba dicek, orang-orang tua di desa-desa itu pada hafal do'a dan wirid panjang tanyai, mereka kursus dimana dulu?

Kalau do'a dan wirid adalah ilmu maghdoh, maka bagaimana dengan pendidikan yang terkait ilmu muamalah. Lihatlah para tukang kayu di desa, termasuk Mbah Kakung saya dari Bapak adalah tukang kayu yang mahir, yang aku telat tidak mewarisi ilmunya. Beliau bukan insinyur, tapi karya-karyanya yang awet dan berkualitas masih bisa aku saksikan hingga hari ini. Untuk menjadi tukang kayu, juga tukang batu, tidak wajib sekolah. Cukup konsisten menjadi kernet bangunan, bakti, magang, ngabdi, nanti setahun atau dua tahun asal kamu titen terhadap setiap perilaku tukang senior yang kamu kerneti, selanjutnya kamu akan mahir juga. Metode pembelajaran seperti ini, gratis.

Lalu bagaimana di bidang kesehatan. Dari daun siridia sampai petai china, kalau tahu fungsinya, tinggal ditanam dipekarangan, kalau ada butuh pertolongan pertama atau terapi kesehatan tinggal petik. Tak perlu beli ke apotek.

Pun demikian tenaga ahli melahirkan, yang oleh orang modern diberi stigma sangat naif "dukun bayi". Dia lebih ekspert dari bidan lulusan D3, karena dasar pembelajaran dia bukan alat peraga artifisial di kampus tetapi ilmu titen dari ratusan bahkan ribuan pengalaman mendampingi proses melahirkan dan sedari menjadi pendamping dukun bayi senior sebelumnya. Dia bukan hanya tidak minta bayaran, bahkan dia berpuasa sunnah, berprihatin sebagai bentuk doa yang sungguh-sungguh bagi kelancaran proses kelahiran yang akan ia tangani.

Hanya saja, orang jaman dulu tidak kebangetan seperti orang sekarang. Mentang-mentang gratis, jadi tidak ngirim setandan pisang atau sekarung rambutan ke Pak Kiai tempat belajar mengaji. Mentang-mentang tidak minta bayaran, dukun bayi tidak diberi sesuatu sebagai 'tali kasih'. Tidak seperti itu orang jaman dulu. Semakin orang tidak meminta, semakin dia diberi banyak.

Maka, kalau sekarang kamu percaya pada sekolah ya jangan banget-banget, tetap sekolah tapi tetap cari ilmu alami. Kalau kamu percaya pada tenaga medis, juga jangan banget-banget, sambangi para tenaga kesehatan alternatif yang mungkin sekarang semakin sulit dicari yang benar-benar otentik.

Dan kalau kamu sekarang jadi tenaga medis, jangan congkak. Ingat, aslinya kesehatan itu bukan komoditas loh ya, bukan barang dagangan seperti beras dan gula. Layani yang membutuhkan keahlianmu dengan nawaitu kemanusiaan, bukan sebagai konsumen. Pun demikian kalau kamu sekarang jadi pendidik.

Sekali lagi, aslinya dulu pendidikan dan kesehatan bukan barang dagangan. Maka kalau sekarang mau tidak mau harus diperdagangkan, maka layani konsumenmu dalam nawaitu kemanusiaan. []

No comments:

Post a Comment