12/1/10

Ulang Tahun sebagai sebuah Dialektika Budaya

Selamat berulang tahun untuk my little sister, yang hari ini tepat berumur 8 tahun. Kadonya nanti sore ya, ini masih di Purwokerto.


Ngomong-ngomong soal ulang tahun, dengan segala kebodoh-dungu-tolol-cuped-jumud dan begonya saya, saya termasuk orang yang merasa kurang pas membawa-bawa hal ini dalam ranah syariat. Apalagi sampai pada kalangan yang menganggap pemunculan istilah Hari Ulang Tahun atau Hari Sumpah Pemuda dan sapiturute sebagai sebuah event tandingan untuk dua hari istimewa Idul Fitri dan Idul Adha.

Termasuk pula saya orang yang kurang sreg dengan kalangan yang menempatakan dirinya dalam posisis moderat, sehingga diubah menjadi "Met Hari Lahir" atau "Happy Milad". Ah, aneh saja, cuma nyampur-nyampurin bahasa, mbumbu-mbumbui Islami dan diTimurisasi sekenanya, seolah-olah kata itu lebih nyariat ketimbang ulang tahun.

Ulang tahun dari segi bahasa hanyalah serangkai kata biasa, sama seperti tepo seliro, sambung rasa atau kata sejenis lainnya. Jadi kenapa pula dipermasalahkan harfiahnya dengan membuat terobosan kata baru yang nggak ngkaidah dilihat dari aspek etimologi bahasa manapun?

Ulang tahunpun tidak perlu diprasangka akan bertanding-tandingan dengan Hari Raya apapun. Ulang tahun itu hari biasa kok, tidak ada syariat ritual apapun bahwa di tanggal itu saya harus nglarung sedekah danau atau berkorban buah kesemek.

Itulah kenapa saya tetap mengakui dan tidak men-delete istilah ulang tahun, karena dalam niatan saya itu tidak lebih dari dialektika budaya saja kok. Saya merasa kurang bijak, kalau di hari lahir adik saya yang masih kecil-kecil, yang hidup dilingkungan para tetangga yang kalau ulang tahun dibuatkan nasi kuning sapiturute kok saya adem ayem saja, pura-pura tidak tahu. Sekedar mengucapkan dan memberi kado akan menjadi sebuah bahasa non-verbal "oh, aku ternyata diperhatikan".

Seiring dengan pertambahan umur, akan ketemu kok pola komunikasi bahwasannya perhatian tidak melulu harus dengan kado di hari ulang tahun, itulah kenapa kepada adik saya paling besar yang sebentar lagi wisuda, tidak saya pentingkan lagi kado ulang tahun.

Masa iya, anak kecil dibilangi : "jangan, itu tidak ada tuntunannya!", atau "jangan", "jangan" lainnya. Nanti kalau dia tumbuh menjadi pribadi yang kaku, karena hanya mengenal pembeda antara "jangan" dan "tidak jangan", kan kasihan saya melihatnya. Biarlah akalnya menjadi sayap yang menopang hatinya menelusuri kebenaran, didasarkan pada kelembutan jiwa dan ilmu yang begitu indah, kompleks dan mendalam tentang jiwa.

No comments:

Post a Comment