10/20/10

Sebuah Pengakuan

Diantara sekian banyak prinsip toleransi, sampai sejauh ini, konsep toleransi ala Caknunlah yang paling bisa jiwa saya terima. Bahkan nuwun sewu saya pernah privat dengan seorang ustadzpun, konsep toleransinya bagi saya nggrambyang atau bahasa arifnya, terlalu normatif.

Apa si prinsip Caknun? Wah, baca sendiri di majalahnya lah ya.

Ini bukan postingan agama, jadi tidak saya bahas disini. Ini soal jalan yang saya pilih sebagai seorang entrepeneur, atau bahasa tetangga2 saya juragan, atau bahasanya anak fisip kebanyakan orang matre yang kerjaannya nyari duit melulu, enggan bersosial. Dan lain sebagainya entahlah...

Dulu saya orang yang paling tidak tedeng aling-aling menggembor2kan keunggulan entrepeneur diatas employee, juragan di atas rewang, demi sebuah pengakuan, bahwa saya lebih baik, karena memilih jalan yang lebih baik.

Lalu sekarang, apakah sudah saya anggap sama kasta juragan dan rewang itu dimata saya? Bukan, justru sebaliknya, saya semakin menemukan banyak data ilmiah tak terbantahkan 9 dari 10 pintu rezeki ada pada berdagang. Tapi ya itu, prinsip toleransi yang saya anut adalah prinsipnya Caknun. Saya harus yakin jalan yang saya pilih paling baik dan benar, dan jalan yang lain kalah baik bahkan salah, tapi itu saya pendam dalam hati, tidak saya konfrontasikan. Bagiku jalanku, bagimu jalanku, bagimunegeri jiwaraga kami.

Sok, sekarang saya dibilang malas kuliah karena sudah ijo matanya karena sudah lihat duit. Atau dibilang kelewat matre dan tidak penting apa itu yang namanya sosial atau sok idealis nggak ngerti cari uang kalau nggak dari gaji dikira gampang apa, atau apapun itu tidak lagi jadi masalah buat saya. Sebuah pengakuan tidak lagi penting untuk saya.

Yang lebih penting adalah kontribusi dan penambahan aset kita sebagai energi potensial kontribusi.

No comments:

Post a Comment