12/15/11

Dijual Terpisah


Pidato Kelulusan Rizky Dwi Rahmawan
Purwokerto, 16 Desember 2011


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pada awalnya dulu, saya mengenal kecerdasan hanya ada satu, yakni kecerdasan akademis. Pertemuan saya dengan buku karangan Andreas Harefa berjudul "Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup" membuka bingkai berpikir saya bahwa kecerdasan ada banyak macamnya, ada yang menyebut ada delapan yakni yang kita kenal sebagai multiple inteligence, ada yang menyebut lebih.

Perjalanan saya setelah bingkai berpikir itu terbongkar pada akhirnya berbanding lurus dengan ritme kesibukan saya di organisasi semasa SMA dan di dunia entrepreneurship setelah lulus SMA. Dan ini berbanding terbalik dengan skor serta rangking di bidang akademis saya. Namun, itu tidak mengapa, saya memandang itu dengan penuh ungkapan kesyukuran, bahwa seperti inilah selugas-lugasnya proses belajar saya, tidak monoton, tidak linear, tidak pula terperangkap dalam kotak.

Setelah saat ini saya dinyatakan lulus dari perkuliahan di kampus kedua saya, terbetik inisiatif untuk bertanya kepada diri saya sendiri sebuah pertanyaan yang dulu di awal kuliah juga saya tanyakan, "untuk apa saya kuliah sebenarnya?".

Maka jawaban saya masih tetap sama, yakni untuk mengisi waktu luang. Itu adalah jawaban pribadi. Lalu bagaimana jawaban yang lebih bisa mewakili bila pertanyaan itu menyangkut tentang orang tua dan keluarga saya? Jawabannya adalah saya kuliah untuk mendapatkan ijazah.

Ijazah yang selembar kertas itu tidak pernah saya pandang sebagai barang sakral yang harus berwudlu dulu sebelum menyentuhnya. Selembar kertas itu diyakini berpengaruh erat dengan nasib penghidupan seseorang, karenanyalah benda ini demikian sakral. Bagi banyak orang begitu, tapi tidak bagi saya. Ijazah bagi saya tidak berbeda dengan bon yang kita dapatkan seusai belanja dari minimarket.

Ya, ijazah adalah bukti pembayaran. Bahwa kita sudah lunas membayar tugas, PR, praktikum dan berbagai aturan kedisiplinan kampus. Bahwa kita sudah menyumbang buku di perpustakaan sebelum lulus. Dan bahwa kita sudah membayar semua biaya SKS yang kita ambil, praktikum dan remidial.

Saya memaklumi ketika Ibu dan Bapak saya begitu memandang penting selembar bukti pembayaran ini sekalipun harus mengeluarkan puluhan juta rupiah untuk mendapatkannya. Karena memang kita hidup di zaman dimana kebenaran kolektif mengatakan, orang yang berijazah lebih tinggi strata hidupnya ketimbang orang yang tidak berijazah. Tentu Ibu dan Bapak saya ingin anaknya ini mendapat kedudukan yang tinggi dimata masyarakat, dan mereka mengupayakannya dengan cara yang dipahami dan diterima oleh masyarakat luas saat ini.

Akan tetapi, sebagai pribadi, saya malah jadi tergelitik dengan kondisi yang terjadi pada diri saya. Pada tanggal 30 November 2011 dibacakan SK Yudisium, saya termasuk yang dinyatakan lulus, ada nama saya di lembar SK tersebut. Namun, dengan alasan untuk dibagikan bersamaan dengan kelulusan periode sebelumnya yang belum mendapat ijazah, maka saat itu hanya dijanjikan ijazah baru dapat diambil setelah wisuda.

Dan saya diharuskan ikut wisuda. Kalau tidak ikut wisuda, tetap bayar penuh. Kalau belum bayar penuh, ijazah ditahan. Nalar berpikir saya agak janggal mendapati pernyataan seperti ini. Saya sudah dinyatakan lulus, tapi tidak boleh mengambil ijazah, karena belum membayar biaya wisuda. Pertanyaannya apakah wisuda itu? Apa ada SKS nya? Apa kalau tidak wisuda jadi kelulusan dibatalkan.

Jawaban yang saya terima dari kampus sederhana : ini sesuai kesepakatan di awal, semua biaya satu paket. Dengan jawaban yang tidak mutu ini, saya berharap menemukan pelurusan kebijakan kampus, agar tidak intimidatif begini. Atau kalau memang tetap memaksakan biaya sepaket ini, tolong bisa menunjukkan ketentuannya seperti apa, siapa yang menandatangani ketentuan itu dan bagaimana kekuatan hukumnya.

Dulu saya tahunya ketika datang pertama kali ijazah dan wisuda dijual terpisah, tetapi ternyata satu paket. Mana mahal pula harga wisudanya. Persoalan ini bukan soal nominal atau dalih penegakkan aturan belaka. Persoalan ini menjadi benar-benar penting karena merupakan satu bentuk intimidasi mental, mental kerbau dicucuk hidungnya. Mental pembayar pajak di SAMSAT yang dipaksa membeli map+balpoint yang tidak jelas urgensi fungsinya. Disini saya mempertanyakan apa urgensi fungsi perhelatan berbiaya 135 juta rupiah besok dengan aturan yang memaksa wajib membayar semua itu?

Namun begitulah, realitas yang harus dipelajari, ditelaah dan kemudian disikapi, bukan hanya diam saja. Karena belajar bukan soal menyelsaikan silabus belaka, tetapi lebih dari itu adalah persoalan bagaimana menggunakan instrumen berpikir, untuk tidak mudah disetir, diremote dan diintimidasi.

Maka terakhir, saya mengajak kepada semua sivitas akademika untuk tidak turut dalam riuhnya hedonisme dan materialisme. Pendidikan diabaikan, penjualan dinomorsatukan. Perbudakan dikampus dilestarikan, riset lapangan entah dikemanakan. Semua itu harus diperbaiki. Agar kampus bukan hanya menghasilkan lulusan ber-IPK manajer tetapi bermental kuli. Lebih baik menghasilkan IPK kuli, tetapi berkedudukan manajer.

Washolallohu'ala nabi muhammad, 
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

No comments:

Post a Comment