7/20/16

Muhammad Ali, Idealis Sejati

“Saya tidak pernah kenal, bergaul atau punya masalah dengan rakyat Vietnam”, kata Ali, “kenapa saya harus pergi ke sana dan membunuhi mereka?”

Ali dicampakkan ke dalam Bui 3,3 tahun, dicopot gelarnya sebagai Juara Tinju Dunia, pada usia peak-time di mana tak seorang petinju lainnya sanggup mengalahkannya. Miliaran dolar ia relakan. Popularitas sejagat raya ia ikhlaskan. Siapakah Ali, kalau bukan seorang Zahid? Sedangkan kita orangtua-orangtua murid membeli jawaban soal Ujian SD empat juta rupiah hanya untuk pura-pura lulus.

Selengkapnya DAUR (165) klik di sini.

7/18/16

#5 Serba Babi

Meski Muslim adalah penduduk minoritas, tetapi sejumlah masjid-masjid besar dapat kita jumpai di pusat-pusat keramaian di Kota Bangkok. Aku hanya sempat mengunjungi satu masjid di Kota Bangkok, Masjid Java namanya. Masjid ini terletak di tengah pemukiman Muslim Melayu. Selain Masjid Java, aku juga sempat tahiyatul masjid di masjid agungnya Kota Pattaya. Sebuah masjid megah yang terintegrasi dengan kompleks sekolah Islam.

Berada di kompleks tersebut tentu saja tidak sulit mencari makanan halal. Berbeda dengan di tempat selain kompleks Muslim, makanan di Thailand didominasi dengan menu yang serba babi. Mata harus jeli sebelum memilih masuk ke sebuah warung makan. Bukan hanya makanan berat, snack-pun harus hati-hati. Aku sempat kecele membeli camilan coconut chip bumbu daging babi. Untung tak sampai dimakan.

Tips mencari makanan halal adalah carilah warung makan yang penjualnya Muslim. Bisa dilihat muka penjualnya, apakah Melayu ataukah Timur Tengah. Apalagi kalau diantara mereka ada yang memakai peci atau kerudung. Amanlah kita makan di situ. Namun, jika kita berada di kompleks yang tidak ada Melayu dan Timur Tengahnya, sementara perut keroncongan tidak bisa ditahan, maka kalau ijtihadku adalah dengan mencari restoran waralaba global. KFC, McD, BurgerKing. Atau minimarket macam Seven Eleven. Kalau tidak sreg dengan menu goreng-gorengan dan daging-dagingan, kita bisa pilih roti-rotian, tapi pastikan selainya nggak neka-neko.

Di perhelatan Thaifex, halal menjadi isu utama yang diangkat bersamaan dengan isu organic. Produk yang berlabel halal dan bersertifikat organik dari dua ribuan booth yang ada di expo kali itu menjadi primadona dan diberi space display tersendiri. Yah, bagaimanapun halal adalah nilai lebih, meskipun bagi para buyer dan trader non-Muslim.



7/5/16

#4 Kitchen of The World

Meski di luar negeri, tapi nasi yang aku makan terasa enak, cocok di lidah. Terang saja, kan beras kita banyak juga yang impor dari Thailand. Event Thaifex yang aku ikuti di kesempatan itu ramai dikunjungi pengunjung. Tiga hari pertama adalah jatahnya pengunjung khusus, yakni para buyer dan mitra dagang. Naga-naganya Thaifex ini menjadi expo bidang pangan yang paling strategis di ASEAN.

Thailand memang belum terkalahkan dalam urusan pembangunan bidang pangan. Wajar kalau buyer dari seluruh dunia lebih tertarik menghadiri event di Bangkok, ketimbang missal event yang mirip-mirip yang digelar di Jakarta.

Luasnya area expo yang diikuti hampir 2.000 tenant ini dibanjiri oleh pengunjung potensial. Di depan gerbang, dengan bangganya Thailand mengumumkan diri sebagai : Kitchen of The World, dapurnya dunia. Ya, ekspor komoditas pangan mereka bukan hanya beras menuju Indonesia, tetapi berbagai komoditas pangan menuju Eropa dan Timur Tengah juga gencar mereka lakukan. Sementara kita tahu, ASEAN dari segi keberagaman sumber daya pangan mempunyai potensi yang sangat kaya. Untuk urusan ini, sepertinya kita ketinggalan beberapa langkah dari Thailand.

Komoditas yang menjadi primadona pada perhelatan Thaifex tahun ini adalah kelapa. Aneka olahan kelapa disajikan dalam kemasan modern. Diantaranya adalah coconut water alias air kelapa alias banyu degan. Thailand sudah mengembangkan banyak merk dan OEM dalam banyak kemasan, sementara kita masih asik mengekspor dalam bulk atau curah. Sebagai negeri Rayuan Pulau Kelapa, adalah tantangan tersendiri bagi kita untuk menyalip ketinggalan.[]






7/1/16

#3 Tuk-Tuk

Vihara kecil di depan pertokoan
Masjid Agung Pattaya
Batal menggunakan shuttle bus, aku naik van menuju Pattaya terlebih dahulu. Dengan 80 Bath atau cuma sekitar 32 Ribu Rupiah., van berupa Toyota Hiace full AC mengantarkanku menuju Pattaya. Rehat sejenak di Pattaya, sight seeing, lalu aku lanjut naik Bus semacam Damri nya Thailand. Bus Pattaya Bangkok dengan jarak tempuh 3 jam hanya membayar 108 bath saja atau sekitar 42 Ribu Rupiah.

Sampailah di ibukota, Bangkok. Sepanjang jalan aku jumpai banyak penduduk yang memasang semacam vihara mini di depan rumahnya. Di viahar mini itu terdapat diorama patung-patung dan didepannya diletakkan sesaji. Sepertinya mereka masih lekat memegang tradisi, sebagaimana di Bali. Sementara kita tahu, di alam modernitas, sesaji adalah barang tabu.

Aku membayangkan, kalau saja Jawa, Sunda dan bangsa-bangsa lain di negeri ini tidak pernah mengalami pemenggalan sejarah oleh kedatangan penjajah seperti Thailand. Mungkin juga mereka masih memiliki banyak tradisi orisinil yang masih terjaga. Tidak seperti sekarang, semua berubah menjadi serba modern-minimalis.

Bangkok tak ubahnya seperti Jakarta, crowded dan macet. Sistem transportasi terbantu oleh adanya BTS, kereta layang yang mengubungkan titik-titik di dalam kota. Turun dari bus di terminal bus Ekkamai, langsung ada halte BTS disitu. Tinggal lihat map, dan mencari halte terdekat dengan destinasi yang akan dituju.

Aku akan menuju daerah Silom. Dari Ekkamai, naik BTS dengan sekali transit di Siam, lalu aku turun di halte Surasak. Kalau jarak tempuh dari halte menuju lokasi masih jauh, kita bisa mengunakan Tuk-tuk. Tuk-tuk itu angkutan semacam large-seriesnya bajaj, bisa muat berempat dan sopirnya hobi ngebut. Semakin sopir dipuji, semakin ngebut. Kalau dipuji lagi, maka sang sopir akan beratraksi. Diantara atraksinya adalah menyelinap di tengah kemacetan dengan jarak antar mobil begitu tipis, dan lebih dahsyatnya lagi adalah atraksi standing, jumping.

Tuk-Tuk