7/6/14

Melihat Keindonesiaan di Nederland

Tram, kendaraan sepanjang 3 bus pariwisata digandeng yang melaju di atas rel melintasi dalam kota adalah hal baru buatku. Haltenya ada berselang 5-10 menit, armadanya susul menyusul tiap 10-20 menit dari dini hari sampai tengah malam. Tarif normal untuk 'One hour card' adalah EUR 3, sedangkan untuk sekali naik adalah EUR 1,1. Tapi kalau membeli tiket 'One day card' cukup EUR 6,5.

Tram sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Menurut cerita yang dituturkan Mas Miko dan koleksi dokumentasi Banjoemas.com, komunitas sejarah & heritage yang ia bina dan aku ikut2an nimbrung di dalamnya, tram ini sudah ada di Indonesia pada masa pendudukan Hindia-Belanda dulu. Bukan hanya di Batavia, bahkan di Purwokerto pun ada, salah satu jalurnya melintasi Pasar Wage.

Sebuah tram melintas didepan hotelku. Membayangkan ini di Pasar Wage. Oho..
Bedanya, tram yang merupakan kendaraan ramah lingkungan, tidak bising, antimacet itu berkembang di kota-kota di Nederland tetapi punah di Indonesia. Karena tram yang disupport oleh buskota berkembang, maka mobil menjadi tetap tersier, tidak menjadi kebutuhan primer seperti disini. Jarak dari halte ke rumah kalau jauh, cukup dikayuh dengan sepeda onthel. Maka, menerapkan tarif parkir tinggi hingga EUR 4 per jamnya dan pajak mobil EUR 200 per bulan, tidak menyulut pergolakan warga disana.

Diantara belasan museum kereta api dan tram yang tersebar di belasan kota, aku hanya sempat mengunjungi museum tram di Horn. Sayang, karena waktu yang terbatas, saya tidak sempat mencicipi naik tram kuno disana. Mungkin ada diantara koleksi tram yang ada, adalah jenis tram yang berkembang di Indonesia pada masa negeri ini diperintah oleh Ratu negeri Kincir Angin ini dahulu.

Sebuah Kereta Intercity berhenti di Stasiun Amsterdam Centraal
Kereta api berkembang dengan pesat di Nederland, ada sprinter yang merupakan kereta jarak pendek, ada intercity, yakni kereta antar kota dan ada juga kereta cepat, diantaranya namanya Thalys & Fyra. Ada 'wifi on de trein' juga loh kecuali untuk sprinter. Pesatnya perkembangan kereta api di Nederland, mungkin sama dengan pesatnya perkembangan kereta api di Indonesia selama sekitar se-abad sebelum kemerdekaan. Banyaknya jalur rel dan perusahaan kereta api swasta beroperasi di Indonesia, baik untuk kebutuhan penumpang maupun barang, yang akhirnya pasca kemerdekaan rel memendek perlahan demi perlahan, terus memendek hingga saat ini. Miris.

Beralih ke soal air, negeri ini kini menjadi rujukan penaklukan air bagi negara-negara di seantero jagad. Negeri yang 60% daratannya berada dibawah permukaan laut ini sudah setengah abad lebih tidak menjumpai banjir. Dam atau bendungan dengan sistemasi yang fungsionable tersebar dimana-mana. Aku hanya sempat menghampiri tanggul pinggir pantai di Volendam, selebihnya aku menonton berbagai miniatur terknik pengaturan air di Taman Mini Madurodam.

Tanggul di tepi laut, Volendam

Miniatur bendungan dan sistem pengairan terpadu di Madurodam, bisa untuk belajar anak-anak
Maka kalau kata Jokowi, untuk mewujudkan pembukaan sawah baru 2 juta hektar seperti obsesi Prabowo kita butuh siapkan airnya dulu, rasa-rasanya kita harus mengesampingkan malu belajar kepada negeri yang pernah menjajah kita. Tak bisa dipungkiri, pemerintahan Pra-Orde lama sangatlah produktif dalam hal penciptaan sawah. Bendungan-bendungan, irigasi-irigasi bikinan Belanda di negeri ini banyak yang masih bisa kita jumpai hingga saat ini.

Penataan saluran air yang smart, sehingga dibawah kalipun masih bisa dibuat ruang tinggal
Kok bisa, mereka yang katanya menjajah tapi meninggalkan warisan infrastruktur, sedangkan sekarang yang ngakunya memerintah kok isinya meninggalkan bangunan-bangunan mangkrak saja. Sebabnya sederhana, Penjajah membangun dengan orientasi jangka panjang, sedangkan pemerintah membangun dengan orientasi proyek.

Indonesia impor daging sapi, udah impor tapi harganya 2x lipat dari negeri jiran, itu bukan soal kita tidak bisa membangun peternakan, tidak bisa mengairi rumput. Tapi soal proyek dan soal mafia kok. Begitu pula Jakarta yang katanya mustahil bebas banjir, loh kok bisa fatalis begitu, orang Jakarta masih diatas permukaan air laut kok.

Balik lagi ke Nederland, berikutnya aku terkesan pada perilaku warga yang 'njawani' disana. Diantaranya, pejalan kaki begitu dihormati, kalau ada orang mau menyeberang, mobil mengalah, bukannya klakson-klakson bikin bising. Trotoar juga leluasa untuk menjelajahi kota dengan berjalan kaki.

Kemudian budaya family-time, dimana waktu untuk keluarga yang membudaya disana adalah memasak dan makan bersama dirumah, bukannya makan diluar. Pantas saja, jarang aku menjumpai resto keluarga, banyakan bar dan cafe. Pekerjaan rumah juga menjadi urusan pemilik rumah, bukan semata-mata pembantu. Taman-taman yang sederhana tapi apik di depan rumah-rumah mungil yang aku lihat, ternyata itu dirawat oleh istri-istri saat mengisi waktu menunggu suami pulang kerja. Ya, kalau mau mempekerjakan tukang kebun disana harus siap merogoh kocek EUR 10 perjamnya.

Dan yang 'njawani' lagi disana adalah banyaknya penduduk Suriname dan keturunannya, yang mereka faseh berbahasa Jawa, walau tak bisa bahasa Indonesia. Asik berbicara dengan mereka, bahasa Jawa yang entah Banyumasan, Tegal, Solo, Semarang mbuh campur-campur ra nggenah. Hahah.

Berpose didepan Merah-Putih-Biru
(Untung nggak bawa gunting, jadi nggak bisa merobek birunya. Hehe)
Tentang keindonesiaan di Belanda, aku perlu berkunjung lagi sepertinya, kemarin hanya menemukan pintu-pintunya saja, belum menjamah lebih dalam. Selain disebutkan di atas, ada Masjid Indonesia di Belanda dan ada jejak-jejak pejuang kemerdekaan di Leiden yang nanti aku buat di tulisan lain. Sedangkan tentang National Archieve di Den Haag dan lembaga riset KITLV yang banyak menyimpan data riset mereka tentang Indonesia, belum bisa aku tulis, karena aku belum kesana.

Ah, masih butuh petualangan panjang untuk mengobati kerinduan menemukan Indonesia yang disini hilang, sedangkan banyak masih tersimpan rapih disana.
Bule-bule menari Bali

No comments:

Post a Comment