10/1/12

Atas Nama Agama, Kok Berat?


Kalau kamu nggak punya uang, terus ngirit, pagi sarapan, siang enggak makan, malam baru makan. Eh, kuat. Tidak makan seharian bisa, tapi kok puasa senen kamis, berat. Kenapa? Itu adalah karena yang berat dari sebuah laku ibadah bukan kegiatan fisiknya, tapi keikhlasannya.

Apalagi di zaman seperti sekarang, dimana agama sudah dimonopoli dan dimobilisasi sedemikian rupa oleh oknum-oknum tertentu yang justru oknum itu kita daulat sebagai agamawan. Sebutlah seorang preman bertato yang sudah insaf tapi belum bisa menghapus tatonya, apakah masjid menjadi teman yang nyaman buat dia? Ataukah justru di masjid dimana orang-orang berjubah dan berwajah serius itu menjadi ancaman bagi dia?

Begitu juga orang-orang yang baru belajar tentang kebersihan, ketika dirumahnya tidak punya kamar mandi yang representatif, hendak mandi di masjid dilanjut sholat dhuha sebelum mulai aktivitas harus berhadapan dengan pertahanan sang Takmir : Dilarang Mandi di Sini.

Busyet dah!! apa takmir itu nggak tahu, saya infak di masjid itu untuk membiayai ledeng bulanan, biar bisa dipakai oleh kemaslahatan banyak orang, baik yang baju kokonya wangi mukanya serius, ataupun tukang becak yang mau numpang mandi yang belum ngerti wiridan yang baru belajar tentang kebersihan sebagian dari iman.

Rasa berhak kita atas agama sudah dirampas oleh dua : Pertama, oleh orang-orang yang sok menjadi agamawan itu. Kedua, oleh perasaan berdosa kita sendiri. Iya to, kalau kita sedang merasa berdosa, rasanya ibadah itu beraat...

Oleh karena itu, kalau memang ibadah berat, ya dilatihlah. Caranya latihan bukan membiasakan aktivitas fisiknya belaka, tapi mengadaptasikan hati kita perlahan.. Misalnya berlatih puasa. Bukan cuma latihan tidak makan tidak minum saja, itu keciiil... tapi latihan begini misalnya. Pertama, tidak makan sebelum shubuh sampai adzan maghrib dalam rangka ngirit.

Oke itu sudah berlalu beberapa saat, tingkatkan : tahan diri tidak makan dari sebelum terbit fajar sampai terbenam matahari  dalam rangka tirakat. Tirakat adalah ajaran nenek moyang yang t.o.p.b.g.t dimana kita melibatkan hati dengan begitu intensif, tanpa membawa-bawa label agama.

Lalu yang ketiga, naikkan lagi grade-nya. Niatkan untuk tidak makan dan tidak minum seharian dalam rangka : bersyukur.

Nah, tanpa terasa sudah meningkat. Ibadah bisa dilakukan tanpa atas nama agama, tanpa label agama, kan? Begitulah, dialektika kita dengan Tuhan itu runyam karena kita terlalu melembagakan agama, sedikit2 membawa label agama. Hanya labelnya saja, bukan substansinya.

Selamat berlatih.

No comments:

Post a Comment