12/27/12

Sumpah bukan Sumpah


Awal tahun 2012 lalu, tepatnya di bulan Februari, aku ikut sebuah perhelatan pemuda tingkat nasional di Gedung Merdeka & Gedung Indonesia Menggugat di Bandung. Menarik acara itu, hanya justru di acara inti malah terjadi kelucuan.

Kelucuan ada di sesi pembacaan Sumpah Pemuda jilid II. Lucunya kenapa? Karena disitu isinya adalah text "kami putra dan putri Indonesia bersumpah, bla22..." begitu pula baris kedua, dan ketiga. Padahal, coba si liat text Sumpah Pemuda yang asli tahun 1928 dulu, apakah ada kata-kata sumpahnya?

Tidak ada kata-kata sumpah sama sekali. Hanya kata, "mengaku", "mengaku" dan "menjunjung".

Kejadian serupa ini aku temui lagi untuk kasus berbeda di majalah-majalah yang memakai nama-nama Islam.   Ceritanya majalah itu mengangkat tentang tradisi Grebek Sura di sebuah kota di pesisir utara Jawa Tengah. Betapa pandainya sang jurnalis mengatakan, bahwa orang-orang yang mengikuti tradisi itu adalah pelaku kurafat, karena ada jimat yang dicuci disitu dan ada ritual upacara yang dilakukan disitu.

Pertanyaannya, darimana si jurnalis mendapatkan informasi bahwa peserta grebek itu sedang melakukan kurafat? Pandai sekali si jurnalis membaca hati para peserta? Kalaupun ada yang berniat syirik, berapa persen dari seluruh peserta yang hadir? Berapa jumlah dari peserta grebek yang ikut acara itu dengan niat meramaikan kampung sepertihalnya lomba panjat pinang 17an? Atau sekedar niat dalam rangka melestarikan nasab leluhurunya.

Kita sebagai pembaca ya manut saja dengan penjelasan si pembuat majalah. Padahal tulisan yang dibuat hanya berdasar prasangka, tidak melalui ditanyain satu-satu sampai ketemu prosentasi berapa dari peserta grebek yang memang niatnya syirik.

Kasus keblinger seperti ini terjadi pula pada orang-orang yang anti pada ramalan Jayabaya. Loh, memang Jayabaya itu tukang ramal apa? Jayabaya hanyalah seorang raja besar dimasa lalu, sang raja senang membuat karya sastra, karya sastra yang ia buat berdasar ilmu titen, menelaah kondisi disekeliling dan pola sejarah yang terjadi di masa itu.

Karena karya sastranya kok mathuk dengan perjalanan di masa depan, maka enak saja disebut itu sebagai ramalan Jayabaya. Dan orang yang mempelajari karya sastra itu disebut pelaku kurafat.

"Maka, mengapakah kamu tidak berpikir?"

No comments:

Post a Comment