7/2/11

Dua Gembok

Orang-orang yang masuk aliran Islam fundamental, baik yang mengakui itu sebuah aliran atau tidak mengakaui walaupun dalam keseharian mereka membuat cluster sendiri, mereka sudah tergembok. Gemboknya ada dua :

Gembok 1 : Akal tidak boleh dijadikan hakim

Karena diwanti-wanti akal tidak boleh dijadikan hakim, maka akal atau saya lebih suka menyebutnya nalar seringkali dikesampingkan, dimarginalisasi. Perilaku ini tidak dijumpai pada kalangan Islam non fundamental. Kalangan Islam non fundamental sebenarnya tidak menjadikan akal sebagai hakim, tetapi menjadi akal sebagai alat konfirmator.

Contohnya begini, perintah mengikuti bentuk celana 7/8 yang tidak menutup mata kaki. Kalau itu diniatkan sombong, termasuk dosa besar, sedangkan kalau itu dilakukan tanpa niatan apa-apa, itu termasuk dosa kecil atau maksiat biasa saja. Alasannya adalah karena Rasul dulu juga pakaiannya seperti itu.

Kalau akal difungsikan sebagai konfirmator, akan muncul self-question : Bentuk celana saya ikut masyarakat arab, kenapa bentuk rumah saya tidak? Kira-kira dengan pakaian saya yang menonjol berbeda akan memudahkan atau menyulitkan saya dalam menyampaikan nilai-nilai kebenaran kepada orang lain? Apakah menyampaikan kebenaran kepada mereka yang sudah mengerti Quran dengan preman yang sama sekali belum pernah belajar Islam itu sama caranya sehingga pakaian tidak perlu jadi soal? Apakah pelacur adalah musuh dalam dakwah kita, atau mereka adalah bagian-bagian dari orang yang perlu kita dakwahi? dan seterusnya...

Gembok 2 : Kebenaran ada di tiga perkataan : dari kitab suci, dari sunnah Rasul dan dari ucapan "aku tidak tahu"

Ketika sebuah kebenaran disampaiakan bukan dari rujukan Quran dan Hadits, maka langsung tertolak. Itu terkesan baik dan murni, padahal, yang terjadi adalah, banyak dari mereka yang terjebak berhenti dalam tafsir Quran dan tafsir hadits, bukan Quran dan Haditsnya itu sendiri.

Misalnya, Tuanku Imam Bonjol itu ulama yang benar, kalau Diponegoro, tidak tahu, kejawen mungkin. Imam Bonjol di stigmai sebagai ulama yang benar menurut informasi dari guru atau ustadznya yang bercerita begitu. Sedangkan Diponegoro di stigmai sebagai kejawen dengan embel-embel kata "mungkin".

Mungkin Diponegoro celananya tidak ngatung, tapi memfatwa atau menyebut dia kejawen tanpa diriset terlebih dahulu, itu adalah sebuah kekeliruan. Seringkali kalangan yang berstatus ulama pada begitu, mereka menyebut hipnosis haram, Tasawuf Agus Mustofa itu ingkar sunnah, hanya dasarnya adalah informasi sekunder, tidak tergerak untuk meriset sendiri.

Nanti selanjutnya saya akan posting lagi tentang jenis tolibul ilmi, ada dua : (1) mendengarkan pemaparan, (2) meriset sesuatu perkara. Betapa sering kita terjebak bahwa menuntut ilmu itu mendengar ceramah dan ngaji di masjid saja. Padahal riset lah ilmu sampai ke negeri china juga menuntut ilmu.

Ulama kita banyak yang hanya kutu buku, dan antipati dengan aktivitas riil riset.


No comments:

Post a Comment