11/10/09

Banyak ngomong lu!

"Halah, kayak sendirinya benar aja...."

Hm, saya tanya? Kalau hanya orang-orang yang suci yang boleh mengkritik, boleh mengulas argumentasi tentang sebuah permasalahan, berapa banyak masukan yang bisa muncul?

Aneh memang, sama seperti kata orang seperti ini, "sudah, nggak usah banyak ngomong, yang penting kita kerja aja yang baik".

Kalau kita persis mengucapkan ini diucapkan di kapal, kita posisinya sebagai pengepel dak kapal, sementara kita melihat ada yang sedang membocori kapal, tetapi posisi orang itu terlalu jauh jadi mustahil suara kita terdengar.. lalu seseorang mngingatkan kita yang sedang berkoar-koar, "sudah, nggak usah banyak ngomong, yang penting kita kerja aja yang baik".

Hohoho, terus saja pel tuh lantai sampai kapal tenggelam, mapan di dasar laut.

Ini logikanya :


Pertama,
Kita mengenal dan meyakini bahkan merapkan dalam kehidupan sehari-hari secara sadar maupun tidak peribahasa "Rumput di halaman tetangga lebih hijau...".

Peribahasa ini pula yang menjadi alasan kenapa perusahaan dalam memilih konsultan dari orang luar, karena orang luar, karena orang luar lebih fair dan obyektif dan tajam dalam melihat suatu masalah.

Begitulah, memandang dengan kacamata biasa kita akan menilai, ngomongin orang itu jelek. Tetapi, memandang dengan kacamata positif, bukankah dengan menilai orang lain itu, pertama : kita melatih ketajaman kita memandang suatu masalah, kedua : masalah itu bisa menjadi cermin bagi apa-apa kekurangan yang mungkin ada dalam diri kita.

Rumput tetangga yang lebih hijau bagi orang biasa cuma bikin iri, tapi rumput tetangga yang hijau bagi orang-orang tertentu sebenarnya bisa jadi cermin, cermin untuk melihat (kekurangan) diri kita, karena kita cenderung sulit kritis terhadap diri sendiri.

Ya situ, jadi suci dulu saja kalau mau mengkritik.

Kedua,
Sekalipun berkoar-koar itu tidak terdengar oleh yang sedang membocori kapal, atau yang membocori kapal itu dengar tapi bebas saja dia tidak menuruti teriakan kita. Tapi bukankah dengan  berkoar-koar kita jadi ada peluang siapa tahu masinis (maaf, nahkoda maksudnya), atau kapten, atau ABK lainnya, atau bahkan orang lewat yang ada dan lebih memungkinkah menjangkau orang itu untuk tahu bahwa ada yang sedang membocori kapal dan dia bisa membenthong kepala si pembocor kapal?

Samahalnya kita mengisi training, memang mungkin kita tidak bisa membuat perubahan sebesar yang kita omongkan sendiri di training, sehingga kadang merasa sia-sia apa yang kita ucapkan. Tapi, seandainya dari training yang ke 100 kita diantara ratusan ribu peserta, ada satu orang saja yang terinspirasi dan dia adalah keturunan Arjuna yang mendapat Wahyu Makutharama, lalu dia terinspirasi oleh ucapan kita, bisa jadi perubahan 10x lipat lebih dahsyat dari yang kita bayangkan terjadi, hanya karena satu orang.

Ketiga,
Ada tahapan dalam belajar, ini yang tidak pernah diajarkan di sekolahan tetapi valid adanya, pertama adalah Learning to Know, kedua adalah Learning to Do, ketiga dan seterusnya....

Jadi hargailah orang-orang yang sedang berproses dalam belajar, dia belum berhasil untuk bisa melalukan, dia baru berhasil untuk bisa ngomong...

Keempat,
Simaklah 10 film, amati konfliknya, risetlah, analisislah, dan buatlah sebuah tesis : berapa persen konflik di film itu lahir karena kekurangan, ketiadaan atau kesalahan komunikasi. Kalau mau komunikasi tanpa banyak omong, main dulu ke SLB bagian C sana, belajar bahanya isyarat...

Semoga bermanfaat!

No comments:

Post a Comment