1/3/12

Pelembagaan Agama, Pelembagaan Ujian

TL 03/01/12

Pelembagaan Agama

"Apa yang disampaikan GusDur (Pluralisme) sebenarnya merupakan otokritik bagi umat Islam, karena adanya Politisasi Agama & Pendangkalan Agama"
 
Setelah wafat, barulah omongannya banyak dibenar-benarkan orang, termasuk aku. Karena memang benar. Contoh kasus adalah ucapanya di Kick Andy tentang Amin Rais & Mega, "Saya sudah memaafkan", "Tapi tidak melupakan". Betapa arti kata memaafkan memang berada di luar irisan melupakan dan ini menjadi kajian intensif diantara kalangan ilmu pengetahuan psikologi modern dan forgivness terapi.

Termasuk tindakan Sok Pluralnya Gusdur, yah, manusia hanya bisa menghakimi, tapi hakim seadil-adilnya ya hanya Tuhan. Bisa jadi Gusdur memang cuma Sok Plural, sebagai bentuk otokritik pada agamanya sendiri. Karena agama dimaknai begitu politis dan kian dangkal. Agama terlalu dilembagakan.

Inilah salah satu akar tunggang persoalan masyarakat : Pelembagaan agama yang kelewat batas. Agama yang terlalu dilembagakan membuat "ngaji" dan "belajar IPA" itu terpisah. Agama yang dilembagakan membuat yang bersorban harus duduk di shaf depan dan anak jalanan yang celananya sobek rambutnya bundet "dilarang" masuk masjid.

Terpeliharanya kejahatan, keburukan, kenakalan, kebobrokan di luar masjid adalah karena kokohnya pelembagaan masjid dan agama itu sendiri. Pada sadar tidak, wahai orang yang merasa sudah alim-alim?

Pelembagaan Ujian

Perlu diskusi beberapa SKS untuk memahami secara komprehensif sebab, akibat dan kondisi pelembagaan agama serta ekses negatifnya. Untuk pemanasan, mari kita bicara tentang hal yang lebih ringan : Pelembagaan ujian. Saya tergelitik menulis ini setelah mendengar beberapa teman mengumpat-umpat tentang teman lainnya yang mencontek saat ujian, dan beberapa pengajar yang mengomel-ngomel ketika mahasiswanya semakin kreatif membuat contekan.

Apa yang salah dengan mencontek? Perbandingkan kesalahan mencontek dengan kesalahan institusi kita melembagakan ujian. Coba, kembali dulu ke substansi awal : untuk apa ujian ada?

Ujian ada untuk mengukur ketercapaian proses pendidikan. Aku ulangi, untuk "mengukur". Nah, kalau untuk mengukur saja, kenapa harus demikian disakralkan (pendangkalan ujian), ada perintah harus hening dilarang mencontek. ada ritual pekan sunyi, ada doa bersama istighosah sukses ujian. DAN YANG LEBIH MENTERENG LAGI ADALAH ADA ANCAMAN, KALAU BELUM LUNAS SPP TIDAK BISA IKUT UJIAN (politisasi ujian).

Sepetinya harus ada Gusdur Junior yang mau membawa obor masuk ke wahana pluralisme dan menerangi substansi ketimbang hanya kemasan. Daging buah, ketimbang hanya lembaga. Harus ada Gusdur Junior yang mau masuk ke alam pendidikan yang demikian plural. Loh iya, dikiranya belajar itu tunggal : disekolah. Media belajar itu begitu plural, di sawah, di toko buku, di mal, di angkringan bahkan di gang pelacuran, di setiap tempat bisa terjadi itu proses belajar. 

Berlatih jujur yang hakiki bukanlah dengan tidak mencontek atau menjelek-jelekkan orang yang mencontek. Tapi jujur yang hakiki adalah tampil apa adanya... kalau memang ketercapaian kita masih pada level 7, ya biarlah saat ujian itu yang muncul.

Tidak usah didopping dengan belajar extra, tidak usah dimantra-mantrai dengan istighosah berlebihan. 

Ujian itu untuk mengukur, atau untuk apa si?

3 comments:

  1. dulu orang menganggap Gus Dur gila ketika beliau menyebut anggota DPR seperti anak TK. Terbukti sekarang anggota DPR kelakuannya seperti apa

    dulu orang menghujat Gus Dur ketika beliau mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya pembubaran partai golkar. sekarang terbukti golkar ( baca : bakrie ) kelakuannya seperti apa.

    ReplyDelete
  2. Apa pemikiran sebagus ini cuma bakal jadi wacana saja...?

    ReplyDelete
  3. @ginanjar : tul betul..

    @achmadz : nata de coco ditemukan di filipina, sebelum bisa diproduksi massal rumah tangga, nata de coco di godhog di laboratorium butuh waktu lebih dari 10 tahun...

    sebuah wacana, butuh waktu untuk bisa menjadi aksi.. mungkin sampai beberapa tahun

    ReplyDelete