12/3/10

Ben kon Celilian

Jawa, pernah berkraton di Kediri, pernah berkraton di Gresik, pernah berkraton Demak dan kemonarkian Jawa yang masih bertahan sampai saat ini tinggallah tersisa di Yogya dan Solo.

Jawa adalah keanggunan, Keraton adalah kewibawaan yang santun. Berbeda dengan pilar-pilar Istana Demokrasi, Istana adalah keangkuhan yang serakah.

Saya termasuk orang yang sangat muak atas gembor-gembor presiden dimana-mana tentang demokrasi, demokratis dan demokratnya. Seolah-olah demokrasi adalah satu-satunya pasword menuju kesejahteraan rakyat. Jan-jane, apa si terminologi dan substansi prinsip dari demokrasi itu sendiri tidak pernah dijabarkan oleh presiden. Saya menduga, dia sendiri juga tidak tahu.

Sederhana saja, apakah pemilu yang berlangsung damai, tetapi angka Golput tingginya subhanalloh, apakah itu bisa disebut ciri demokrasi yang sukses? Apakah ketika rakyat bisa mengakses langsung dengan sekali "contreng" siapa pemimpin yang dia inginkan tanpa rakyat bisa mengakses informasi yang akurat setelanjang-telanjangnya tentang calon pemimpin mereka, itu adalah gambaran demokrasi yang maju? Saya jadi heran sendiri, sakjane opo kuwi demokrasi?

Lah, kok kemarin-kemarin berani-beraninya si demokrasi yang masih pecicilan enggak nggenah itu menggugat kemonarkian Yogyakarta. Gumun saya... mosok iyo ada Presiden cemburu sama Gubernurnya lantaran instruksi Gubernur yang dalam hal ini Sabda Raja di daerah itu lebih didengarkan ketimbang Instruksi Presiden?

Seharusnya Presiden itu ngaca, atau setidaknya pinjam mesin waktunya Doraemon untuk pergi ke masa lalu. Andai Monarki itu tidak Anggun, Andai Hamengkubuwono IX itu serakah layaknya kroni-kroni Istana saat ini, bisa jadi NKRI tidak pernah ada. Ketika Jakarta diduduki Belanda kembali waktu itu, Soekarno-Hatta diijinkan ngekost di depan Kraton, ora kon mbayar, NKRI diuripi oleh dana pribadi Kanjeng Sultan Ngarso Dalem waktu itu, ora petung-petungan.

Saya membayangkan, kalau waktu itu yang jadi sultan itu presiden yang kemarin-kemarin yang menggugat kemonarkian Yogya, mungkin sikap yang dia ambil berbeda : "Sudah, NKRI bubar saja, seluruh wilayahnya sini serahkan ke kraton Yogya saja".

Nyatanya Yogya sebagai entitas Politik dan teritori Bangsa terbesar di tanah Jawa ketika itu tidak bersikap seperti itu. Yogya begitu anggun, sama anggunnya ketika besok hari Anda tersesat disana dan minta ditunjukkan sebuah alamat, Anda akan dijelaskan begitu detail, bahkan cuma-cuma diantarkan sampai tujuan. Begitulah ketika NKRI gonjang-ganjing kehilangan ibukota, Yogya menyiapkan sebuah Istana cuma-cuma disana.

Saya rasa, NKRI terlalu angkuh dengan memaksakan Pilkada disana. Tapi ya benar kata Caknun, sudah, biarkan saja, manut presiden demokrasi saja, biarin diadakan Pilkada disana, mundak 100% milih Sultan semua, pemerintah pusat celilian. Haha.

Ini baru bicara Yogya, belum bicara Aceh. Aceh yang andil modalnya begitu besar untuk lahirnya NKRI. Belum setimpal seperseratus acan balas budi NKRI terhadapnya. Karenanya, tidak sedih saya kalau NKRI hancur, musnah, punah sekalipun, karena saya yakin Nusantara tetap tidak tenggelam.

Karakter kita sebagai BANGSA memang lemah diinjak-injak imperialisme modern, tetapi karakter kita sebagai NEGERI terlampau anggun untuk dilibas oleh negeri manapun di dunia ini, India, China bahkan Arab sekalipun.

1 comment:

  1. Seharusnya seorang presiden, melihat sejarah masa lalu sebelum berbicara..

    ReplyDelete