Sudah saya terima salam njenengan melalui teman baik saya, tentu jalinan silaturahmi tidak akan terputus hanya karena adu argumentasi dan telisik ilmiah macam ini.
Ini saya dapatkan langsung dari Mas Novriza, trainer, sama seperti Fadli Mudaz, ketika beliau berbincang dengan Kepala RSUD Purbalingga di kesempatan training beberapa waktu lalu.
ESQ memang sengaja memilih bangun usaha PT, bukan yayasan atau ormas, karena memang ESQ punya program jangka panjang yang berkesinambungan. Sifat netral oksigennya dan independensinya terhadap kepentingan-kepentingan apapun, baik itu kepartaian, faham sosial, bahkan obsesi pribadi Pa Ary sekalipun menuntut profesionalitas lembaga pelatihan yang sering disalahpersepsikan sebagai insitusi dakwah (pengajian) ini.
Namun demikian, sebelum beranjak pada kajian ilmiah alasan pemilihan PT, dan mungkin memang tidak akan saya jelaskan disini, secara pribadi, tidak terbantahkan bahwa PT bukanlah mesin komersialisasi ESQ bagi pendirinya.
Sekali lagi lebih pada strategi, yakni strategi agar universalitas ESQ bisa diterimaoleh seluruh lapisan. Sebenarnya ini sudah pernah saya jelaskan. Analoginya begini, tentu profesionalitas Pa Ary dan ti sudah tidak diragukan lagi untuk melakukan estimasi-estimasi, bahwasannya bila harga diturunkan, maka expansi 'the esq way 165' ke daerah-daerah baru, negara-negara baru. Artinya, ESQ memerlukan lembaga donor, dan independensi ESQ akan dipertanyakan.
Namun, justru dengan mempertahankan profesionalitas, termasuk harga, ESQ saat ini sudah berhasil membuat gedung sendiri, yang disebut2 sebagai gadung milik alumni, bukan gedung milik ESQ sebagai korporasi. Apa buktinya, kantor ESQ Leadership Center tetap tidak berpindah dari Ciputat yang sesak dan kecil, padahal gedung megah itu sudah berdiri megah setinggi 6 lantai.
Apa maknanya, gedung itu memang dirancang sebagai bagian dari strategi ESQ, untuk memberi kemaslahatan kepada alumni. sedikitnya dua kemaslahatan, pertama : Alumni memiliki ruang yang leluasa untuk berinteraksi, sehingga proses pencarian akan Tuhan tidak selesai hanya pada training, seperti pesan para trainer "training yang sesungguhnya adalah setelah sholat Isya dirumah, hingga ajal menjemput, 2 hari di ruangan ini kita hanya bersenang-senang..."
Dan kedua, alumni memiliki semacam mesin wakaf, ya, pendapatan dari operasional gedung yang mungkin setara dengan pusat perkantoran macam menara Telkomsel atau menara SCTV di kawasan traffic activities di Jakarta akan memungkinkan untuk memberikan trainig gratis bagi 1 juta guru seperti target ESQ 2020 "1 juta guru sudah mengenal the esq way 165", begitu juga kalangan menengah ke bawah.
Strategi cerdas semacam ini lebih memungkinkan ESQ memberikan kiprah berlipat ganda lebih besar ketimbang memilih menurunkan harga. Sekarang, dengan menurunkan harga, efeknya justru akan lebih luas, misalnya, biaya pengembangan skill SDM trainer akan terpangkas, biaya pengadaan sound LCD dan macam peralatan lainnya demikian pula, sehingga training berjalan dibawah standar, dan tahu apa akibatnya, ya, semakin deras peserta melontarkan persepsi-persepsi negatif, dan the esq way 165 tidak dipahami secara utuh dan positif.
Lepas dari semua itu, saya tidak punya obsesi untuk berdebat berpanjang-panjang, nyatanya, tidak ada ikatan formal apapun antara ESQ dan saya, kecuali : kesamaan visi, dan saya sedang belajar sungguh-sungguh meng-kaizen-kan strategi brilian ESQ yang memang amat jarang sekali terlintas di benak orang, cerdas, ya, itu strategi cerdas.
Satu hal yang membuat saya kecewa, pemaparan Anda di blog memang ilmiah, namun demikian, tidak WISDOM dalam pandangan saya, mengapa? karena dari delapan butir atau lebih yang dimuat, selidik punya selidi, diperhatikan dengan seksama, kesemuanya adalah point2 yang sudah dipilih, yang memang mendukung argumentasi Anda.
Saya memang tidak paham liberal, apalagi kiri, terlebih Marx, tapi saya paham, seandainya mau fair, ada ratusan atau bahkan ribuan point yang sebenarnya akan melengkapi sudut pandang argumentasi-argumentasi Anda sehingga tidak terkesan sempit atau memang sengaja dibuat sempit agar terkesan kuat.
Dan terakhir, 3 Desember lalu tepat 3 tahun saya menjadi alumni ESQ, dan mudah-mudahan benar yang saya rasa, bahwasannya sedikitpun saya tidak mengkultuskan ESQ, baik itu dengan syndrom 165, exlusivis training atau mengkultuskan Pa Ary.
Soal nomer hp yang 165, dan pengamat nomor-nomor pelat mobil 165, saya rasa itu cuma bagian dari kekuatan fokus saja. Terhadap ESQ training, sayapun mengkritisi habis alumni pasca training, cuma memang kritis saya beda, tidak dengan memasang kertas2 demo, atau tulisan-tulisan perlawanan, tapi dengan mencoba menggiatkan alumni-alumni yang selama ini terbengkelai, dalam bentuk kegiatan lanjutan yang tidak melulu training, karena memang proses pencarian itu tidak selesai dengan 2 hari bersenang-senang diatas karpet biru.
Soal pa Ary, bertemu dengan beliau yang saya rasa tidak berbeda dengan ketika saya bertemu dan bersalam semut dengan Hilmy, sahabat baik saya atau Abah Bahrun, rekan sekelompok saat training Character Building di Semarang lalu. Karisma yang saya tangkap dari beliau bukan kekuasaan, ketokohan, tetapi lebih sebagai sahabat, saudara spiritual lebih tepatnya.
Demikian, semoga tulisan ini jauh dari riya, postingan ini ditulis disaat saya merasa demikian hina, dijauhi oleh 2 orang terdekat di waktu yangnyaris bersamaan. Mudah2an ada kesempatan untuk saya memperbaiki keadaan yang cukup menyita pikiran ini. Nuwun
No comments:
Post a Comment