1/18/11

Eyang Shinto Gendeng

Tujuh tahun lalu saya berontak pada sekolah, dari yang rajin bikin rangkuman saya bisa berhasil melakukan pemberontakan jadi peringkat ke 37 di kelas. Hm, tapi anehnya, tidak ada yang bilang saya bodoh, penghabisan waktu saya di sekre OSIS, Rohis dan Pramuka membuat orang berpikir 1.000 kali mungkin untuk mengatakan itu, walau sakjane saya ya ini tenanan bodoh.

Beranjak beberapa tahun, saya kembali menjadi pemberontak, pemberontak terhadap gaya hidup masyarakat industri, yang katanya lahir, sekolah, kerja dan mati. Seumur hidup saya baru sekali saya bikin application, ngelamar di Takaful, sebuah agen asuransi, itupun saya tidak becus disana sampai-sampai nomor keagenan saya lenyap dengan sendirinya. Puji syukur, sebangkrut-bangkrutnya saya masih konsisten dengan pemberontakan ini. Dan anehnya lagi, makin kesini kok ya orang tua makin mendukung.

Dan sekarang kembali saya memberontak, memberontak pada Agama. Ora njur saya menjadi kafir, atheis sapiturute, ning yo kenyataannya dari dulu mana becus saya beragama. Puasa andon ngirit, sholat karena terpaksa, haji enggak mampu-mampu, malu saya dibilang orang beragama, apalagi mengaku-ngaku ahlussunah, wong kencing saja saya lebih sering sambil berdiri, padahal sunnahnya kan jongkok. Tapi memang agama yang berkembang di masyarakat lebih didominasi pola destruksi, bahwa amalan ini itu dan anu itu wajib, begini begitu itu tidak sah, dan sebagainya. Tuhan lebih diperkenalkan sebagai sosok yang sering marah-marah dan kesal pada kita, ketimbang Rahman dan Rahimnya. Agama sebagai destinasi, padahal aslinya hanyalah instrumen/perangkat. alah wis mbuh, yang penting terus belajar.

Dan sebentar lagi (mungkin 10 tahun lagi. 10 tahun kok sebentar), apa yang saya sebut sebagai Negara Swasta akan tertuang dalam text yang menyebar kemana-mana. Sebuah konsep pemberontakan secara halus kepada negara. Berontaknya merebut kursi SBY? emoh!! Atau membuat negara baru? ogah!!. Berontaknya saya akan berguru pada si Gembel, muridnya Pak Tanto Mendut, mantan preman yang membangunkan pasar darurat di Magelang, yang katanya suasana disana persis kembali seperti suasana film-film kolosal Majapahit. Di pasar itu cuma ada rakyat, tidak ada pejabat, yang membuat pasar ya rakyat, yang menghidupkan pasar ya rakyat.

Cerita selengkapnya tentang pasar Gembel Harjo itu mungkin lain waktu. Semoga ada kesempatan kesana, menyaksikan nuansa majapahit di samping reruntuhan jembatan Tlatar.

Pemberontakan-pemberontakan itu, akibat saya ketemu guru-guru yang tidak waras (beda dari lazim), sebut saja Andreas Hareva, terus Purdi E Chandra keterusan sampai Caknun, hm, yang belum ketemu itu guru tidak waras yang mewariskan kampak 212 ke mas Wiro, tidak lain beliau adalah Eyang Shinto, Shinto Gendeng. Adakah yang bisa mempertemukan saya dengan beliau?

Pak Tanto Mendut (kiri) & Mas Gembel (kanan)

No comments:

Post a Comment